Monika duduk di depan cermin besar yang tertanam di dinding. Sebuah kain melingkupi tubuh bagian atasnya, bersiap dirapikan potongan rambutnya. Sebuah anting berlian menghiasi sepasang indera pendengarannya. Mereka meninggalkan galeri perhiasan itu beberapa menit yang lalu dan sekarang ada di sebuah salon untuk memperbaiki penampilan wanita ini.
"Potongan seperti yang Anda inginkan, Nona?" tanya seorang wanita yang bersiap menata rambut kuning kecoklatan di hadapannya.
"Aku tidak ingin memotongnya, tolong rapikan saja ujung-ujungnya." Monika melirik Rio sekilas, sebelum menjawab pertanyaan wanita ini.
Rio tak ikut berkomentar. Dia duduk memangku lutut, memperhatikan Monika yang berjarak tiga meter darinya. Rambutnya yang tergerai indah, menambah nilai kecantikannya sebagai seorang wanita.
"Ini, Tuan." Leo mendekat, menyerahkan sebuah tablet di tangannya pada Rio. Disana terpampang laporan keuangan yang sebelumnya ia minta, tentunya dengan beberapa pen
"Apa dia begitu memanjakan Anda?" Seketika wajah cantik itu merah merona. Pergulatan panasnya dengan Rio kembali terbayang. Pria itu bukan hanya kuat di atas ranjang, bahkan bisa melakukannya dengan berdiri seperti yang terjadi di ruang ganti kemarin. "Ah, maaf atas ketidaksopanan saya." Wanita itu tampak merasa bersalah, telah bertanya sesuatu yang tidak sepantasnya. Monika tersenyum hambar, tidak tahu bagaimana cara menyikapi wanita ini yang sepertinya kelepasan bicara. "Tolong maafkan saya." "Tidak apa-apa. Lanjutkan saja pekerjaan Anda. Kami harus ada di bandara pukul lima sore nanti." "Baik-baik. Saya akan segera menyelesaikannya," ucapnya setelah mengamati jam dinding di atas cermin. Masih ada dua jam kedepan sebelum waktu yang pelanggannya ini ucapkan. Jadi cukup waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya. "Anda asli lahir di sini atau...?" Kalimat wanita ini menggantung, ragu-ragu dengan tebakannya. Dari wajah dan warna ram
Sebuah pesawat yang terbang dari Singapura baru saja mendarat. Beberapa petugas tampak sibuk, memberi bantuan bagi para penumpang first class mereka untuk mengambilkan barang bawaan yang tersimpan di atas kabin. Seorang petugas berjaga di depan pintu keluar, memberikan ucapan selamat tinggal pada penumpang yang mulai meninggalkan burung besi ini. "Silakan, Nona, Nyonya. Semoga selamat sampai tujuan Anda berikutnya." Wanita dengan pakaian serba biru itu menangkupkan tangan di depan dada, tersenyum ramah pada nyonya Liliana dan gadis yang bergandeng tangan dengannya. "Mommy, aku lapar." Clara merajuk, menggoyangkan lengan wanita paruh baya yang berjalan di sampingnya. Nyonya Liliana tersenyum. "Tunggu sebentar lagi. Kita akan makan bersama Rio." "Aah, iya. Aku hampir lupa." Clara mengambil ujung rambut ikal miliknya dan memilin benda itu sambil tersenyum. Berbagai bayangan indah tergambar di dalam kepalanya. Dia membayangkan Rio yang akan menyambutnya d
WARNING!! 18+ Rio mengajak Monika makan di sebuah restoran mewah bintang lima bersama nyonya Liliana dan juga Clara. Keempatnya duduk di meja yang sama, tentu saja dengan posisi Monika di dekat Rio. Itu sengaja Rio lakukan untuk membuat ibu tirinya marah. Sepanjang perjalanan menuju tempat ini, Rio terus menggandeng tangan Monika. "Mau pesan apa, Sweety?" tanya Rio, membukakan buku menu yang diberikan oleh salah satu pelayan di tempat ini. "Aku bisa makan apa saja," jawabnya lirih. Rio tersenyum, mengelus puncak kepala istrinya dengan sayang, membuat Monika sedikit menundukkan kepalanya. "Berikan kami dua porsi menu spesial yang kalian miliki." Rio berkata dengan ramah pada pelayan wanita berpakaian hitam putih itu. "Bagaimana dengan Nona dan Nyonya? Mau pesan apa?" "Aku tidak lapar!" ketus nyonya Liliana, tidak sudi makan satu meja dengan wanita yang menurutnya tidak pantas ini. 'Dasar wanita jalang!' umpat wanita lima
WARNING!!!! 21+ NOT FOR CHILD * * * Rio mengingat kejadian satu jam lalu, bagaimana obat perangsang itu bisa Monika konsumsi. Seorang pramusaji mengantar makanan yang Rio pesan sebelumnya. Wanita itu pergi setelah memastikan tidak ada komplain ataupun permintaan lain dari pelanggan VVIP ini. Rio menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah lima menit Monika pergi tapi wanita itu tak jua kembali. "Apa dia marah padaku?" gumam Rio, kembali mengingat eksresi wajah Monika yang tampak begitu menyeramkan tepat sebelum ia pergi. "Apa yang harus aku lakukan untuk membuatnya setuju berakting di depan Liliana?" Rio sedikit frustasi, mengingat hubungannya dengan Monika kembali memburuk. Entah kenapa interaksi mereka berdua masih labil, pasang surut hanya dalam hitungan detik. "Haruskah aku menggunakan jalan pintas itu lagi?" Rio kembali mengingat apa yang pernah ia lakukan pada Monika tempo hari, mencampur se
Tubuh Monika bergetar semakin hebat. Bulir-bulir keringat terus membanjiri pelipisnya. Seluruh tubuhnya bereaksi setelah mendapat sentuhan tangan Rio barusan. Obat perangsang yang ada terkandung dalam makanan dan minuman yang ia konsumsi, sudah aktif bekerja meningkatkan hormon libido di tubuhnya hingga ke batas maksimal. "Apa yang harus aku lakukan?" gumam Rio. Tangannya mencengkeram kemudi erat-erat, bingung dengan apa yang harus dilakukan untuk menolong istrinya. Rio tidak menyangka akan seperti ini jadinya. Tujuan awalnya adalah agar Monika bisa memuaskan hasratnya sekaligus memprovokasi Liliana dan Clara. Tapi, ternyata wanita ini mempertahankan harga diri yang dimilikinya, tak ingin menyerah begitu saja. Monika berpikir lebih baik membiarkan tubuhnya menderita daripada harus menuntaskan hasratnya dengan Sang Suami. Gemeletuk gigi-gigi Monika terdengar jelas, menandakan bahwa gelombang di dalam tubuhnya semakin hebat. Monika semakin erat memeluk lenganny
"Apa kamu ingin membunuh istrimu?" Rio bungkam. Dia tidak menyangka tindakannya akan membahayakan nyawa Monika. Dia tidak tahu efek obat perangsang yang ia berikan akan membuat istrinya begitu menderita. Pram mengembuskan napas beratnya, menatap wajah pria paling bodoh yang pernah ditemuinya. "Kamu bisa melihat dengan mata kepalamu sendiri betapa menyedihkannya keadaan istrimu. Ku pikir kamu sendiri pernah merasakan hal itu. Kenapa sampai berbuat bodoh seperti ini, huh?" "Obat perangsang bukan zat yang bisa kamu gunakan sembarangan. Itu bisa menyebabkan penyakit jantung, tekanan darah rendah atau tinggi yang tidak terkontrol, gangguan penglihatan, sirosis atau gangguan hati yang kronis, bahkan sampai gangguan ginjal yang nantinya mengharuskan penderitanya untuk cuci darah selama sisa hidupnya." Rio menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dia tidak berniat menyakiti Monika sama sekali. Dia hanya ingin membuat wanita itu bersikap liar seperti sebelum
"Katakan saja!" ketus wanita yang kini membenahi beberapa helai rambutnya yang maju ke depan, menghalangi pandangan. "Dimana Rio bertemu wanita itu?" "Nona dan Tuan Muda. Mereka..." Leo sengaja mengulur waktu, ingin membuat kemurkaan wanita ini semakin menjadi. Itulah yang Rio minta asistennya ini lakukan. "Kenapa diam? Katakan semua yang kamu tahu!" Wajah wanita itu mulai terlihat merah padam. Kesabarannya sudah ada di ambang batas, siap meledak detik berikutnya. "Saya takut apa yang akan saya katakan ini membuat Anda marah. Saya tidak berani." Nyonya Lilliana berdiri, menghampiri Leo dan menatapnya dengan pandangan mematikan. "Jika kamu menolak memberitahuku tentang gadis itu, kemasi barang-barangmu sekarang juga. Jangan pernah menginjakkan kaki di perusahaan selama-lamanya!" Leo menggeleng tegas. "Jangan pecat saya, Nyonya. Saya akan mengatakan semuanya." Dalam hati Leo tersenyum. Dia berhasil memancing kemarahan wan
Rio membawa Monika ke kediaman Pram, dokter sekaligus sahabatnya sejak di bangku SMA. "Sebelah sini." Pram mengarahkan langkah kaki Rio menuju kediaman mewahnya bersama Sang Istri. Pria 31 tahun itu menekan kombinasi password dengan cepat, tak membiarkan Rio lebih lama kesusahan membawa Monika yang mulai menggeliat tidak nyaman dengan keadaan tubuhnya. "Sayang, aku pulang," ucap Pram, dengan cepat membukakan pintu kamar tamu yang akan Rio tempat bersama Monika. Seorang wanita dengan potongan rambut di atas bahu mendekat. Dia tidak tahu kenapa suara suaminya terdengar begitu buru-buru seolah dikejar sesuatu. "Ada apa?" tanya Dya, menatap suami tercintanya yang kini berdiri di ambang pintu menatap ke arah dalam. Pram tak menjawab, menunjuk pada Rio yang tengah menurunkan istrinya ke atas ranjang dengan hati-hati. Dya mengerutkan kening. Tanpa melihat wajahnya sekalipun, dia tahu siapa pria yang dibawa oleh suaminya. "Apa