Baling-baling helikopter terdengar nyaring berputar. Putaran angin yang diakibatkannya, membuat debu beterbangan bagaikan tornado. Di kejauhan Rose melihat puluhan wartawan dan beberapa pengawal sekaligus pegawai hotel melambaikan tangan, sementara dirinya memaksakan senyuman terindah mengukir wajah, disaat pelukan tangan Robert melingkar pundaknya.
Helikopter mewah itu membawanya terbang tinggi dengan seorang pilot yang mengendalikannya. Rose mencengkram sabuk pengaman dengan rasa tegang berada di ketinggian yang dengan jelas bisa dilihatnya. Gedung tinggi dengan segera menjadi titik kecil dan berganti dengan lautan biru yang membentang luas.
Semua yang dia alami ini begitu cepat dan tak dapat dikendalikan lagi oleh Rose. Dia terjerat menjadi istri dengan perjanjian tanpa batas waktu dari musuhnya, yang sekaligus adalah calon adik ipar di masa lalu. Dokter ternama itu memperangkapya dalam jerat yang sukar dilepaskan. Dalam sekejap kehidupan Rose berubah menjadi seoran
"Aku tidak mau!" Rose berteriak tertahan ke arah Robert yang menarik tangannya menaiki tangga. "Ya, kau harus mau, Rose!" seru Robert tegas tidak terbantahkan. "Kau pemaksa!" Rose menghentakkan tangannya berulang kali, tetapi cengkraman Robert justru semakin kuat. "Tanganku sakit, tahu!" "Itu karena kau terus menerus memberontak." "Itu karena kau pemaksa!" "Bicara lagi atau aku akan melakukan sesuatu." Robert menatap bibir Rose penuh ancaman. Seketika wanita itu menutup mulutnya rapat-rapat. Dia menenggelamkan bibirnya ke dalam, menyembunyikan dari tatapan lapar mata biru lelaki tampan tersebut. Meskipun merindukan, tetapi Rose sudah membentengi hatinya dan menyangkal
"Aaa … Robert! Bejat!" Rose meremas rambut pria itu."Rose, maaf … ini empuk sekali," ucap Robert dengan nada mesum."Kyaa! Menyingkir kau, apa yang kau lakukan di sini!" Rose histeris.Dia mendorong dada Robert menjauhkan lelaki itu dari tubuh telanjangnya, tetapi tindakan itu malah membuat tubuh Robert merosot ke bawah, hingga gesekan halus dengan dada telanjang pria itu membuat Rose merinding. Kejutan halus menggetarkan membuat jantungnya berdebar kencang."Menyingkir!""Ini licin, Rose," ujar Robert beralasan.Pria itu justru bersikap seolah-olah tangannya tergelincir di dalam bath up, sehingga tubuhnya membentur dada Rose kembali. Dia melakukan
Robert membalas tatapan tajam sepasang mata coklat seorang pria muda yang terlihat begitu ingin membunuhnya. Jarak antara dirinya dan pria tersebut hanya berbatas meja bar melingkar. Ruangan tersebut temaram diterangi sedikit cahaya dari lampu kuning yang menerangi tampilan jejeran botol minuman. Tak ada satupun yang berusaha mendahului untuk angkat bicara. Bir dingin di depan mereka mulai menghangat, terlihat dari embunnya yang sudah meleleh, tak juga menggoyahkan minat kedua pria itu untuk menyentuh apalagi menghabiskan minuman tersebut."Ryan Gonzalez," gumam Robert, "akhirnya kita bertemu dengan cara yang lebih santai."Robert akhirnya memecahkan keheningan. Perkataan ramah yang diucapkan tidak membuat pemuda di depannya mengendurkan otot. Ryan masih menatap Robert dengan tajam, penuh dengan aura membunuh. Hal itu jelas dari rahang yang mengetat dan tangan yang mengepal."Aku rasa kau begitu membenciku.""Kenapa kau ber
"Hallo, Kakakku yang paling cantik.""Ryan!" Rose melompat dengan gembira ketika melihat adik laki-lakinya muncul. "Aku merindukanmu."Ryan memeluk wanita itu dengan erat dan mengecup kepala Rose berulang-ulang. Pemuda itu terlihat sangat menyayangi kakaknya dan begitu merindukan wanita itu."Maafkan aku tidak sempat memberimu kado pernikahan.""Tidak, Ryan, maafkan aku yang memberimu kabar mendadak. Aku-- maaf seharusnya aku tidak mengabaikan dirimu." Suara Rose terdengar serak dengan air mata yang berlinang.Pernikahan yang terlalu cepat di mana Rosa meninggalkan Robert tepat sehari sebelum pernikahannya. Rose bahkan tidak mengerti bagaimana foto-foto Robert bersama Ruby dan beberapa wanita lain, bisa berada di tangannya tepat saat Rosa berkunjung ke apartemen.Dia yang awalnya mensyukuri kemalangan Robert akhirnya menjadi panik karena terjebak dalam pernikahan dengan pria itu. Rose bahkan tidak bisa melarikan diri lagi karena
"Mommy!" Kenzie meloncati dalam pelukan Rose. Bocah kecil itu dengan begitu mudah beralih dari mengucapkan panggilan Aunty menjadi Mommy."Kenzie, Sayang, Aunty merindukanmu," ujar Rose.Dia memeluk bocah itu dengan erat seakan tak mau melepaskannya."Bukan Aunty, Mommy! Ingat Mommy!" Kenzie menegaskan."Iya, Mommy." Rose gemas melihat bibir mungil yang protes padanya. Wajah Kenzie terlihat begitu imut dan tampan menengadah ke arahnya, membuat Rose tak dapat menahan diri untuk mendaratkan kecupan berulang-ulang ke pipi dan dahi bocah itu."Sudah. Sudah." Kenzie tertawa geli. "Sekarang giliran Daddy dapat ciuman." Ucapan bocah itu membuat Rose terkejut sementara Robert yang berada di sisinya, tersenyum lebar."Tidak aku sangka, dalam sepuluh hari Kenzie semakin pintar." Robert mendekati kedua orang yang masih berpelukan itu dengan percaya diri."Tentu saja, Sean dan keluarganya juga sering melakukan hal yang sam
"Rose, sampai kapan kau akan menghindar?" Robert memegang tangan istrinya yang hendak keluar dari dalam kamar utama."Aku sudah janji pada Kenzie untuk membacakan buku cerita padanya." Rose tidak menarik tangannya dari genggaman Robert. "Tolong lepaskan tanganku, Kenzie bisa menunggu lama."Robert menahan langkah Rose beberapa saat lamanya. Pria itu melihat jika Rose terlihat tidak akan mengubah keputusan untuk tidur di kamar Kenzie. Robert akhirnya melepaskan tangan Rose dan menghela napas melihat wanita itu keluar dari kamar, tanpa berpikir dua kali.Sudah sebulan lebih mereka hanya tinggal bertiga di apartemen mewah Robert. Selama itu pula, Robert selalu menghabiskan malamnya tidur seorang diri. Dia selalu berusaha menyempatkan diri untuk pulang lebih awal dan makan malam bersama. Namun, hanya sampai pukul delapan malam dia bisa menikmati waktu bersama Rose dan Kenzie, sebelum mereka terlelap.Robert teringat bagaimana dia menggunakan Kenzie untu
"Okay! Ayo kita pindah ke kamarmu!" Rose berbisik di saat pria itu melepaskan bibirnya. Dia berusaha menyudahi perbuatan Robert yang semakin membuat napasnya terasa sesak. Rose takut dia terlena dan berakhir menyerahkan diri."Kamar kita, Rose." Robert membenahi kata-kata Rose.Raut wajah pria itu terlihat berseri-seri, mendengar Rose menyetujui permintaannya. Dia merasa senang karena impiannya selangkah lagi akan tercapai, menghabiskan malam yang indah hanya berdua dengan Rose."Terserah." Rose perlahan menyingkirkan tangan Kenzie yang memeluk lengan kirinya. "Robert! Berhentilah menyentuhku!"Rose terbelalak ketika tangan pria itu kembali mengusap perutnya dan mulai berani sedikit naik ke atas, sementara bibir Robert tak berhenti mencium tengkuknya. Rose he
"Siapa yang menelpon mu?" Robert menatap Rose dengan pandangan menyelidik."Bukan siapa-siapa." Rose menutup sambungan telepon."Apa kau berbicara dengan hantu?" Robert semakin kesal ketika melihat Rose menaikkan bahunya tak peduli. "Rose aku bertanya padamu."Rose tidak menghiraukan perkataan Robert, wanita itu justru tersenyum ke arah lain, "Selamat pagi, Kenzie."“Pagi," sahut Kenzie ceria. Bocah itu duduk di sisi Robert. "Kenzie semalam bermimpi bagus sekali." Tangan mungil itu mulai mengambil roti berlapis bacon dan menikmatinya."Mimpi apa, Sayang?" Rose meletakkan handphonenya di meja ketika dia mengambil posisi duduk di depan Kenzie."Kenzie punya adik kembar! Sean kalah sama Kenzie, hahahaha," celoteh bocah itu penuh semangat."Uhuk." Rose yang baru saja menggigit roti, tersedak. Dia buru-buru mengambil segelas air untuk melancarkan tenggorokannya."Oh ya, adik kembar? Perempuan atau laki-laki?"