“Apa lagi ini?” jeritku dalam hati saat para orang tua menyeret tubuh ringkih ini ke salah satu butik yang cukup terkenal di daerahku. Meski awalnya tak senang, tetapi wajah takjubku seketika merekah saat melihat gaun-gaun pengantin yang tertata rapi.
Aku pernah membayangkan akan menjadi seorang putri kerajaan saat mengenakan gaun pengantin. Pernah berharap akan menjadi cantik saat menggunakan gaun putih itu di pelaminan. Namun, semuanya sirna saat aku kembali mengingat siapa yang akan menjadi pasanganku.“Cobalah, Nan. Sepertinya kamu akan cocok dengan gaun ini.” Mama memberikan dua pilihan gaun. Aku pasrah saja.Aku masuk ke ruang ganti dan pelayan wanita menutup tirai berwarna abu gelap. Pelayan tersebut tak henti-gentinya memuji akan bentuk tubuhku yang ramping dan semampai. Ia berpikir bahwa aku menjalani diet ketat. Padahal, ia tak tahu saja bagaimana cara makanku yang sudah hampir mirip kuli. Memiliki tubuh yang ideal tanpa harus menjalani proses yang disebut diet membuatku sangat bersyukur. Hal ini bisa kusebut mukjizat, bukan?Di saat orang lain menahan hasrat untuk makan makanan berkalori, justru diriku tak pernah memikirkan hal itu. Pantas saja para cecunguk merasa iri dengan tubuhku yang tak bisa menggendut meski nafsu makanku sangat baik. Jangankan gendut, lemak saja sepertinya ogah menempel di tubuh ini.Aku menatap tubuh yang terbalut gaun mewah. Rambut yang disanggul membuat tengkukku terekspos. Gaun berenda dengan sedikit aksen mutiara menambah kesan anggun dan berkelas. Bagian dada sedikit terbuka, memperlihatkan tulang selangka yang sedikit membuatku kurang nyaman. Namun, kata pelayan, aku terlihat manis dan terlihat lebih dewasa. Aku setuju dengan mereka.Saat tirai terbuka, pupil mataku seketika melebar. Mas Rangga sudah duduk di depan sana, menyilangkan kaki sambil melipat kedua lengan di dada. Lagi-lagi sifat angkuh dan sombongnya terlihat mendominasi. Ya, aku tahu bahwa dia memang tampan, dan sangat cocok berpenampilan seperti itu. Namun, aku tak akan terjerat dalam pesonanya yang tampak luar biasa.Orang lain mungkin akan dengan mudah jatuh hati padanya, tetapi aku tidak seperti itu. Dia laki-laki yang berbanding terbalik dengan apa yang diharapkan oleh kaum hawa. Meski good looking, tetapi bad attitude. Dan hal itu yang membuatku merasa tidak nyaman dan tak bisa membayangkan akan hidup bersama laki-laki seperti dirinya. “Wah, cantik sekali, Nan,” puji Tante Mira yang juga ikut bersama dengan mama.Suara decakan Mas Rangga membuatku mengalihkan tatapan padanya. “Tidak bagus. Ganti yang lain. Bagian dada terlalu terbuka. Usiamu masih sangat belia untuk menggunakan baju seseksi itu,” pungkasnya tanpa menoleh padaku. Ia tiba-tiba sibuk membuka lembaran majalah fashion. Keningku berkerut samar, sejak kapan dia suka melihat benda seperti itu? Bacaannya hanya buku sejarah, filsafat, dan buku-buku non fiksi saja.Pelayan menutup tirai, seketika aku menghentakkan kaki kesal. “Mulutnya terlalu kasar,” gerutuku.“Calon suami Anda sangat tampan,” kata si pelayan yang menggunakan lipstik merah gonjreng.“Tampan tak akan membuat kenyang dan bahagia,” sanggahku.“Apa kalian dijodohkan?”Aku mengangguk.“Wah, luar biasa.”Aku mengerjap. Apa yang luar biasa dari hubungan yang tercipta di jalur perjodohan? “Aku kerap membaca novel tentang perjodohan dan endingnya selalu membuatku senyum-senyum sendiri,” curhatnya yang membuatku tersenyum kecut.Novel? Hei, jangan jadi wanita naif. Cerita di novel hanyalah karangan semata yang belum tentu akan kebenarannya. Mungkin banyak orang yang berhasil dengan pernikahan yang tercipta karena perjodohan, tetapi yakinlah jalan yang mereka tempuh tidaklah mulus. Namanya juga perjodohan, sesuatu hal yang dipaksakan. Selain hubungan, cinta, dan kasih sayang, semuanya efek paksaan dari kedua keluarga. Tirai lagi-lagi terbuka, wajah terpukau terlihat dari kedua wanita paruh baya yang terlihat antusias melihatku. Berbeda dengan lelaki berwajah datar yang hanya melihatku sekilas. Apa aku benar-benar tak menarik di matanya? “Bagaimana, Rangga? Apa ini lebih baik dari gaun sebelumnya?”Kulihat Mas Rangga menatapku, kemudian menelisik dari puncak kepala sampai kaki, seolah mencari celah dan kesalahan yang bisa ia komentari. “Sesuaikan gaun dengan usiamu.” Lagi-lagi ia mengatakan kalimat yang sama kemudian beralih pada gaun-gaun yang tergantung di etalase, menyingkap satu persatu dan terlihat meneliti. Sesekali ia menoleh menatapku lalu kembali menatap gaun yang ada di hadapannya. Mas Rangga memberikan gaun pada salah satu pelayan dan kembali duduk di sofa. Lagi-lagi tirai itu kembali tertutup. Wajahku sudah tak bisa dikatakan baik-baik saja. Rasa kesal menguasai diriku. Namun, hal itu tak berselang lama. Saat si pelayan memuji kecantikanku. Apa iya? Kutatap pantulan tubuhku di cermin lebar yang menempel di dinding. Ah, ternyata pilihannya tak terlalu buruk juga. Ya, lumayan. Lagi-lagi aku tak ingin mengakui kemampuannya itu. Dengan kekesalan yang sudah memuncak, aku kembali tersenyum kepada kedua wanita yang menatapku dengan mata berbinar setelah tirai dibuka untuk kesekian kalinya. Gara-gara laki-laki itu, mereka harus menghabiskan waktu yang tidak sedikit. Harusnya acara memilah baju tidaklah memakan waktu. Namun, karena ia yang terus menerus protes membuat semua orang harus merelakan waktu berharganya. ***“Bunda!” panggil gadis kecil yang sudah menungguku di depan pintu. Ia merentangkan tangannya dan segera memelukku setelah aku mendekat dan berlutut menyejajarkan posisi. “Lala sangat merindukan, Bunda.”Aku menoel hidung mungilnya. “Kamu sih, betah banget di rumah Oma.”Ia menggeleng manja. “Tante Rani melarangku pulang. Katanya Bunda bakal sibuk mempersiapkan pernikahan.”Aku membelalakkan mata, Lala berkata seperti itu seolah tahu apa arti pernikahan.“Emang Lala tahu apa itu pernikahan?” tanyaku lalu menggendong tubuh gembulnya masuk ke dalam rumah, yang nahasnya sudah semakin berat.Ia mengangguk cepat. “Ya, menikah itu adalah di mana Bunda dan Ayah akan tidur bersama,” jawabnya riang.Aku terbatuk. Pupil mataku melebar seolah tak percaya dengan apa yang dikatakan anak yang berusia hampir lima tahun ini. Lala bertepuk tangan bahagia. Seketika ada perasaan iba saat mendengarnya berceloteh dengan penuh antusias. Seolah pernikahan ini akan membuatnya menjadi anak yang sangat bahagia. Aku paham dengan dirinya.Sedari kecil ia dirawat oleh mama dan aku. Tante Mira juga kerap mengasuhnya jika keluargaku tiba-tiba memiliki keperluan penting. Sejak Lala berusia tiga tahun, Tante Mira sudah bebas membawanya untuk menginap bersama Mas Rangga. Dan membuat jadwal kunjungan untuk Lala. Setiap hari Sabtu dan Minggu, Lala akan menginap di rumah Tante Mira, kecuali ada keperluan mendadak seperti beberapa hari terakhir ini.
“Bunda!” Lala tiba-tiba menepuk-nepuk lenganku saat kami sudah duduk di ruang tamu. Aku menaikkan alis tak mengerti maksudnya, tetapi dia hanya melambaikan tangan agar aku sedikit menunduk.Ketika aku menyejajarkan wajah kami, ia mendekat dan membisikkan sesuatu di telingaku.“Apa setelah menikah, Bunda bisa memberiku seorang adik?”Seketika aku menjauhkan tubuh darinya, cukup terkejut dengan permintaan yang sepertinya berlebihan diucapkan oleh anak seusia Lala.Lala memasang wajah memelas, lalu menyatukan kedua telapak tangan di depan wajah, mirip orang yang sedang memohon. “Bunda, aku mohon. Temanku yang bernama Laras memiliki seorang adik laki-laki yang sangat imut. Setiap hari ia memamerkan tingkah adiknya yang sangat lucu. Aku juga ingin seorang adik laki-laki, Bun,” pintanya dengan raut wajah yang hampir menangis.Oh tidak! Bagaimana bisa aku mengabulkan harapan Lala? Itu sesuatu yang sangat mustahil.“Satu aja.” Matanya berbinar sambil mengacungkan satu jari. “Eh … dua, deh, Bun. Nggak usah banyak-banyak.” Lagi-lagi ia membuatku tercenung. Inginku menjerit di hadapan anak ini dan berkata bahwa aku dan ayahnya menikah bukan karena saling menyukai, tetapi hanya agar Lala mempunyai orang tua lengkap. Eh, anak ini malah meminta hal yang aku pun sulit untuk mengabulkannya.Adik? Andai aku bisa berproduksi sendiri, mungkin hal itu sudah kuiyakan saja. Akan tetapi, melahirkan anak itu butuh proses yang panjang. Harus ada pihak laki-laki dan perempuan yang saling menyatu. Ah, sudahlah. Untuk apa menjelaskan tentang hal itu. Toh, semua orang juga sudah paham.“Apa? Menikah lagi? Suaraku meninggi. “Apa Ibu tak bosan menjodohkanku? Lala akan sulit menerima wanita lain. Ibu sudah sering mengenalkanku dengan wanita, tetapi saat mereka bertemu Lala, pasti semuanya akan mundur perlahan.” “Kamu tenang saja, ibu yakin bahwa Lala bakal seneng.”“Ibu juga pernah mengatakan hal yang sama, tapi Lala tetap tak suka.” Aku mengerlingkan mata, sedikit tak suka dengan aksi ibu yang semaunya.“Kami, kan, ingin menjodohkanmu dengan Kinan.”Mataku melotot, kala telingaku mendengar nama gadis yang menurutku tak akan pernah masuk dalam daftar gadis yang kusukai. Petakilan, bar-bar, tak tahu aturan, dan sedikit bodoh.“Apa Ibu tidak salah? Kinan adik Kinara.”“Ya, justru karena Kinan adik Kinara sehingga kami sepakat untuk menikahkan kalian. Toh, Lala juga sudah akrab dengan Kinan. Tak akan ada alasan, seperti yang sering kau ucapkan saat menolak wanita yang ibu kenalkan.”Aku memijat pelipis dengan kuat. Orang tuaku benar-benar bersikap semaunya. Apa mereka tak
“Kemarin gimana, Nan?” Rara menopang dagu sambil melihatku dengan mata berbinar, terlihat sangat penasaran dengan kegiatanku kemarin.“Ya, gimana lagi. Sudah pasti menjengkelkan. Dia terlambat datang lalu membuatku berganti-ganti gaun. Setiap pilihanku selalu ia tolak dengan alasan gaun yang kupilih tak sesuai dengan usiaku, padahal gaun itu nggak seksi amat, kok,” geramku kala kembali mengingat kejadian kemarin.“Berarti dia nggak mau kalo aurora calon istrinya dilihat sama orang lain. Wah, protektif banget nggak, sih?” Mela tersenyum semringah. Seolah kejadian kemarin adalah hal yang paling romantis di muka bumi ini.“Bukannya protektif, tapi dia memang tak suka dengan setiap hal yang kulakukan.” Aku tahu mengapa ia sangat membenciku, mungkin karena aku adalah adik dari Kinara. Wanita yang tak pernah ia cintai sebelumnya. Dari yang kutahu Rangga tak suka pada Kinara, padahal Kinara juga korban dari perjodohan ini, tetapi sayangnya wanita lembut itu ternyata jatuh dalam pesona lelaki
Aku benar-benar tak tahu bagaimana lagi menghadapi dosen yang mengalahkan singa dan para jajarannya. Apa salahnya jika Devan yang menyelesaikan tugas yang diberikan padaku? Katanya aku melimpahkan tugas kepada orang lain dan tidak bertanggung jawab akan amanah yang diberikan. Hello! Dia pikir hanya dirinya yang punya banyak pekerjaan. Sebagai mahasiswa, aku pun memiliki segudang pekerjaan sekaligus masalah.Jika bukan Devan yang membantuku, nasibku mungkin sudah berada di ujung tanduk. Ya, Bu Mega akan memberiku nilai jelek untuk kesekian kalinya. Itu opsi yang masih ditoleransi, bagaimana jika beliau malah tidak memberikan nilai sama sekali?Mau tidak mau aku harus mengikuti kelasnya lagi, karena nilaiku yang kurang baik, sehingga dengan segala kebaikan yang ia miliki membuatku harus mengulang kelas yang sama. Hal ini adalah opsi yang sangat membagongkan, bagiku yang memiliki otak dangkal, mendapat nilai C saja sudah syukur, apalagi jika mendapat B, dipastikan aku akan menari samba s
Sekali lagi aku menatap dekorasi pelaminan yang cukup mewah. Para orang tua sengaja mengadakan acara pernikahan di sebuah hotel yang tidak jauh dari kediamanku. Alasannya tidak ingin repot lagi membersihkan pasca pernikahan. Sebab, di saat pernikahan Mbak Kinara, kami sekeluarga kewalahan membersihkan pekarangan yang cukup kotor akibat sampah dari para tamu.Toh, untuk apa mendirikan tenda di pekarangan rumah, yang nantinya membuat para tetangga terganggu. Terlebih sekarang, sudah jarang orang yang akan mengadakan resepsi di rumah sendiri, mengingat lahan yang semakin sempit dan tidak semua orang suka dengan keributan.“Eh, calon pengantin kenapa di sini? Tidak boleh berkeliaran dulu,” tegur salah satu crew wedding organizer lalu menuntunku kembali ke kamar yang sejak tadi kugunakan untuk make up dan berganti baju. Ruang pengantin masih terlihat sepi dikarenakan hari juga masih pagi, hanya ada beberapa orang yang kutahu adalah keluarga Rangga sedang asyik berfoto ria dan beberapa crew
Tak akan ada kata libur untuk pengantin baru. Aku bahkan tak habis pikir bagaimana pola pikir laki-laki yang berstatus sebagai suamiku. Harusnya aku libur saat ini, tetapi Rangga mewanti-wanti agar diriku tetap ke kampus. Tidak ada kata pengecualian meski aku berstatus sebagai istrinya. Toh, saat di kampus statusku tetap sama dengan mahasiswa lain.Orang-orang akan curiga jika Rangga memperlakukanku dengan spesial. Baru beberapa jam menyandang status sebagai istri dari Rangga Prakasa, tetapi aku sudah merasakan euforia yang sangat berbeda.Aku terus menerus mengomel sebab dia tak membangunkan. Sehingga aku harus ketinggalan bus dan terpaksa menggunakan taksi yang nahasnya harus tersendat akibat terperangkap kemacetan ibu kota. “Kirain libur?” tanya Rara setelah melihatku turun dari taksi.“Tak ada kata libur, Ra. Bisa-bisa Pak Rangga ngasih hukuman lagi. Nilai gue udah anjlok di titik terendah.”“Dih, paling hukumannya di ranjang.” Ia menaik turunkan alis, pertanda sedang menggodaku,
“Apa kalian dekat?” tanya Mas Rangga saat aku melewatinya di ruang keluarga. Sebelum hari pernikahan, aku dan Rangga sudah membawa pakaian ke rumah ini. Rumah yang diberikan oleh kedua orang tuaku dan orang tuanya. Bisa dibilang ini adalah hadiah pernikahan kami. Berada di kawasan yang cukup elit dan asri. Jujur aku suka rumah ini, jauh dari hiruk pikuk keramaian. Tak akan ada tetangga yang julid dan tak akan ada CCTV berjalan, seperti lingkungan rumahku sebelumnya. “Maksudnya?” Keningku berkerut samar, berpura-pura tak tahu apa maksud dari ucapannya. Padahal, sudah jelas jantungku berdegup kencang kala mendengar pertanyaannya barusan. “Kau sudah dewasa dan masih saja tidak cepat tanggap.” Ia mendengus lalu kembali berkata, “kau dan Devan. Hubungan kalian sejauh mana?” “Oh, kami hanya berteman.” “Teman? Akan tetapi, mengapa kalian tampak seperti pasangan kekasih? Sampai-sampai dia menemanimu di kelas. Sakit?” Ia lagi-lagi mendengus dan menatapku tak suka. “Kau sakit apa?” Aku
Aku kembali merutuki segala kebodohanku saat ini. Bagaimana bisa aku salah mengambil tugas dan malah menyerahkannya ke dosen ganas yang tak lain adalah Rangga dan Bu Mega. Pantas saja kedua dosen tersebut memanggilku dan mengatakan bahwa aku tak becus, salahkan kecerobohanku yang sepertinya sudah mendarah daging. Aku benar-benar tak teliti, tak memeriksa tugas itu terlebih dahulu sebelum mengumpulkannya. Kembali kumengacak rambut frustrasi, mengapa aku mengulang dua kelas yang diisi dengan dosen paling ganas di kampus ini? Seharusnya aku tak perlu mengulang kelas mereka, agar nasibku juga tak se-mengenaskan ini. Namun, aku bisa apa? Kelas keduanya sangat penting dan akan sangat berpengaruh jika nantinya ingin melamar pekerjaan. Dengan segala keberanian yang telah kukumpulkan, kuketuk pintu Rangga dan membukanya setelah orang di dalam mengisyaratkan agar aku langsung masuk saja. Jantungku berdegup kencang, jangan lupa napasku sudah tak teratur sebab laki-laki itu terlihat sedang me
Suara anak kecil yang terus mengoceh membuat senyumanku terus mengembang. Akhirnya Lala kembali juga, setelah tiga hari mengungsi di rumah neneknya. Sejak tiga hari pula aku harus menjalani hari dengan penuh kejenuhan. Itu sudah jelas. Lala sudah sejak bayi kurawat dengan sepenuh hati seperti anak sendiri. Sehingga, saat ia jauh dariku, seketika rasa sepi itu muncul.“Bunda, kata nenek, Lala harus memanggil bunda dengan sebutan ibu. Apa perlu?”Aku mengerutkan kening berpikir sejenak. “Sepertinya tak perlu. Lala sudah nyaman manggil bunda, kan?”Ia mengangguk cepat.“Bunda itu, kan, artinya sama dengan ibu.”“Oh begitu, baiklah, Bunda.” Ia lagi-lagi mengangguk dan beralih menonton serial animasi yang berasal dari negeri seberang. Ya itu cerita anak kembar botak yatim piatu, di salah satu stasiun televisi. Gara-gara kartun tersebut, Lala kerap melontarkan bahasa melayu yang membuatku cukup terhibur. Aku memperhatikan wajahnya dari samping, perpaduan Kinara dan Rangga jelas teru