Tara keluar dari kamar, langkahnya lesu dan malas saat menuruni anak tangga. Di ruang keluarga, Dewa sudah duduk bersama Rina dan Danu.
"Om, Tante, saya ingin pernikahannya digelar minggu ini," ujar Dewa, suaranya tegas dan penuh percaya diri. Tara menatap lekat wajah Dewa. Hatinya sontak tersentak, dadanya seolah dihantam ombak besar. Apa maksudnya ini? Permainan macam apa yang sedang Dewa mainkan? Kenapa dia begitu ngotot ingin semuanya disegerakan? Sementara itu, Rina dan Danu saling melempar pandang. Di dalam hati mereka bergemuruh penolakan yang tak bisa diucap. Putri mereka akan menikah dengan pria yang belum mapan. Tapi apa daya, menjaga nama baik keluarga lebih mendesak saat ini. "Kenapa Kak Dewa memutuskan sepihak? Aku juga punya hak untuk menolak," ujar Tara, suaranya lirih namun jelas. "Tara!" tegur Danu cepat, mencoba meredam gejolak yang mulai muncul. Dewa hanya melirik sekilas ke arah Tara, lalu kembali menatap Danu dan Rina. "Bagaimana, Om, Tante?" tanyanya lagi, tenang namun mengintimidasi. Tara menatapnya penuh kesal. Seolah ucapannya barusan tak berarti apa-apa. Kenapa Dewa diam saja? Ada apa sebenarnya denganmu, Dewa? "Bukankah lebih cepat lebih baik?" Dewa kembali berkata mantap, suaranya tak tergoyahkan. "Baiklah," jawab Danu akhirnya, singkat, namun nadanya berat, seperti dipaksa menyerah oleh keadaan. "Bagaimana dengan pesta?" tanya Rina hati-hati. "Mah, keadaan begini masih sempat memikirkan pesta?" sahut Danu, nadanya tinggi, jelas tak setuju. "Akad sederhana saja, Tante," ucap Dewa, tenang. "Yah, baiklah. Kamu pasti memang gak punya cukup uang buat bikin pesta," ujar Rina malas, nadanya sinis namun pasrah. Tara tak bisa berkata-kata lagi. Lidahnya seolah kelu, terbungkam oleh kenyataan yang terlalu pahit untuk ditelan. Setiap upayanya menyuarakan isi hati selalu saja dimentahkan, seakan suaranya tak pernah benar-benar dianggap ada. Perlahan, ia melirik ke arah Dewa. Pandangan mereka bertemu sejenak, dan Tara menggeleng pelan. Matanya memancarkan ketidakmengertian yang dalam, kebingungan yang tak mampu diurai. Ia benar-benar tak paham dengan keputusan dan tindakan yang baru saja diambil Dewa. Bukankah Dewa sangat mencintai Liora? Tapi kenapa dia sama sekali tidak berontak? dan malah setuju dengan pernikahan ini? Berbagai pertanyaan itu timbul dibenak Tara, tanpa bisa ia tanyakan secara langsung Tara kemudian bangkit. Tubuhnya terasa berat, tapi hatinya jauh lebih berat. Ia melangkah pergi, ingin kembali ke kamar karena untuk apa tetap di sana, jika pendapatnya tak pernah benar-benar didengar? "Tara, mau ke mana kamu?" cegah Rina, nadanya setengah menuntut. "Tara lelah. Ingin istirahat," jawabnya cepat, datar, tanpa menoleh sedikit pun. Ia lalu kembali menaiki anak tangga, satu demi satu, dengan langkah yang seperti menyeret beban tak kasatmata. Tara tak peduli lagi dengan obrolan di ruang keluarga. Semuanya terasa asing dan memuakkan. Ia merasa seperti kerbau yang ditarik hidungnya, dipaksa berjalan ke arah yang tak ia inginkan, harus mengikuti segalanya tanpa diberi ruang untuk menolak. Ini gila. Semua ini benar-benar gila. Tidak masuk logika. ******** Esok paginya, hari pertama kuliah dimulai. Tara bersiap sejak pagi, mengenakan pakaian rapi, meski hatinya masih berkecamuk, masalah demi masalah sedang mengguncang hidupnya, tapi ia tetap berusaha tegak berdiri. Ia keluar dari kamar, tas sudah tergantung di bahu. Namun, langkahnya terhenti di ambang pintu utama. Di sana, Rina berdiri menghadangnya. "Mau ke mana kamu, Tara?" suara Rina terdengar tegas, bahkan dingin. "Kampus," jawab Tara singkat, matanya menatap lurus. "Kamu gak perlu ke kampus. Untuk beberapa waktu ke depan, bahkan sampai kamu melahirkan," ujar Rina tanpa memberi ruang untuk bantahan. Tara menghela napas panjang, keras. Di sudut ruangan, matanya menangkap Liora yang tersenyum, senyum miring penuh ejekan, seperti menikmati setiap detik penderitaannya. Karena tak tahan lagi, Tara akhirnya angkat suara, “Gimana kalau kita ke dokter kandungan?” Nada suaranya tajam, dan ia melirik Liora dengan sinis. Namun, Liora langsung melangkah mendekat, merapat pada Rina. “Jangan, Mah. Tara pasti mau sabotase kehamilannya,” bisik Liora dengan nada licik. Tara menatap wajah Liora, penuh amarah, penuh kekecewaan. Ia ingin berteriak, ingin meledak, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Ia hanya bisa menyaksikan ibunya yang perlahan-lahan kehilangan kendali, seolah dicuci otaknya oleh anak sulungnya sendiri. "Sudahlah, Tara. Kamu kembali ke kamar. Nggak ada kuliah, nggak ada kampus sampai semua keadaan kembali normal," ujar Rina, seakan keputusan itu mutlak dan tak bisa digugat. Tara mendengus kesal. Bahkan kini ia tak tahu lagi bagaimana caranya bersedih. Hatinya hampa, tapi matanya tajam menyoroti wajah Liora, penuh tanya, penuh luka. Bagaimana mungkin… kakaknya sendiri bisa setega itu? Tiba-tiba saja, ketukan ringan terdengar di pintu yang terbuka lebar. Penjaga rumah berdiri di ambang, tangannya membawa sebuah paper bag berwarna cokelat yang tak jelas isinya. “Maaf, Nyonya… ini ada titipan buat Non Tara dari Mas Dewa,” ujar sang penjaga, seraya menyerahkan paper bag itu pada Rina. Rina menerimanya tanpa berkata-kata, lalu perlahan membukanya di hadapan semua yang ada di ruang itu. Di dalamnya, tampak sebuah kotak. Kotak sederhana, tapi tampak rapi dan berisi maksud. Saat kotak itu dibuka, terbentanglah sehelai kain kebaya pengantin. Potongannya sederhana, tanpa banyak hiasan. Namun jelas, itu adalah kebaya untuk sebuah pernikahan. Tara tertegun. Pandangannya tertuju pada kebaya itu, lalu beralih ke wajah ibunya, lalu ke Liora yang diam menonton. Kenapa Dewa niat sekali? Sampai menyiapkan baju kebaya? pikir Tara. Apa semua ini benar-benar sudah tak bisa dihentikan?Tara dan Dewa baru saja tiba di rumah. Belum sempat Tara turun, dari balik kaca mobil, ia melihat Mang Diman berlari tergesa-gesa menuju dalam rumah. Raut wajahnya tampak panik. Seketika Tara membuka pintu dan melompat turun, diikuti Dewa dari sisi lain."Mang Diman... Tunggu! Ada apa?" teriak Tara sambil berlari mengejar Mang Diman.Mang Diman menghentikan langkahnya, menoleh dengan napas memburu. Ia berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya bersuara."Itu... Non Liora sejak tadi dipanggil nggak nyaut-nyaut. Pintu kamarnya dikunci dari dalam, kunci cadangannya juga nggak ada. Tuan Danu minta pintunya didobrak," ujarnya terbata.Tara terpaku, matanya menoleh cepat ke arah Dewa, penuh tanya dan cemas. Mang Diman kembali berlari ke dalam rumah, menuju kamar Liora."Apa yang terjadi sama Kak Liora? Aku takut..." gumam Tara pelan.Dewa menggenggam lengan Tara, menenangkan. "Semoga nggak ada hal buruk... Ayo, kita masuk sekarang."Tanpa buang waktu, keduanya bergegas masuk dan menaiki tan
Liora kini sudah berada di dalam mobil bersama Adit, pengawal setia Dewa. Di dalam kabin yang sunyi itu, Liora terus menangis terisak. Air matanya tak henti mengalir, membasahi pipi yang pucat. Ia merasa tubuhnya kotor, ternoda, setelah disentuh oleh Samuel.Namun, ada yang terus mengganjal di benak Adit. Pandangannya sesekali melirik ke arah perut Liora yang tampak menonjol. Ia menyadari sesuatu yang tak biasa, Liora lupa mengenakan korset dan jaket bombernya seperti biasanya.“Nona, maaf jika saya lancang… apakah Nona sedang hamil?” tanya Adit dengan suara hati-hati, nyaris seperti bisikan.Liora tersentak. Manik matanya langsung menunduk, menatap perutnya sendiri. Ia terdiam. Nafasnya tercekat, menyadari kelalaiannya.Ia menarik napas panjang, kasar, mencoba menguasai kegelisahan yang mendadak menyeruak. Percuma mengelak. Perutnya kini sudah terlalu jelas untuk disembunyikan.“Sebenarnya… aku hamil delapan bulan,” ucap Liora lirih, matanya masih sembab. “Tapi aku mohon, jangan kata
"Pak Dewa?”Suara Yasmin menyentak kesadaran Dewa. Ia tak menduga akan bertemu dengan Yasmin di sini. Sekilas, Dewa melirik Adit, bingung harus berkata apa. Bibirnya sempat terbuka, namun tak ada kata yang keluar.“Pak Dewa tinggal di apartemen ini juga?” tanya Yasmin, matanya memandang heran.“Oh, nggak… aku cuma sedang mencari seseorang di sini,” jawab Dewa cepat, suaranya terdengar ragu dan sedikit terbata.“Seseorang? Siapa kira-kira? Barangkali orang yang Pak Dewa cari itu malah tetangga sebelah apartemenku,” sahut Yasmin, nada suaranya ramah, namun menyiratkan rasa penasaran yang tak bisa disembunyikan.Dewa terdiam. Ia seperti terjebak di antara dua jurang. Kalau ia mengatakan yang sebenarnya, Yasmin pasti akan terkejut. Tapi kalau ia menyembunyikannya pun, Yasmin tetap akan tahu. Padahal ia datang ke sini hanya untuk satu tujuan, membawa Liora pulang demi Tara. Tapi sekarang, semuanya menjadi lebih rumit.“Sebenarnya… aku mencari Samuel,” ucap Dewa akhirnya, memilih untuk juju
"Kak... apa Kak Liora akan baik-baik aja, kenapa aku merasa khawatir Kak Liora bersama Samuel," ujar Tara.Dewa melepas jasnya, lalu duduk disamping Tara, mengusap lengan Tara, memberinya ketenangan agar Tara tidak berlebihan mencemaskan Liora."Aku yakin, Liora pasti akan baik-baik saja, Samuel nggak akan berani menyakiti Liora apalagi Liora sedang mengandung anaknya," ujar Dewa."Kalau kamu masih belum tenang, aku akan suruh Adit untuk memantau Liora," sambung Dewa.Tara mengangguk pelan, Dewa lantas mengetikan pesan pada nomor Adit untuk mengawasi Liora, di apartemen Samuel. Saat mendapat balasan pesan dari Adit, Dewa memperlihatkan layar ponselnya. Seketika itu juga Tara bisa bernafas lega."Makasih Kak Dewa," ujar Tara seraya menyandarkan kepala di pundak Dewa."Jangan memancingku, ini masih sore," ujar Dewa dengan mata genitnya.Tara beranjak dan bergeser sedikit menjauh dari Dewa, "Kak Dewa apaan sih..." ujar Tara wajahnya seketika memerah."Ayo kita bikin baby?" ujar Dewa ser
"Kak Liora, udah sampai di depan mini market, silakan turun," ujar Tara sambil menoleh ke belakang.Liora hanya terdiam. Pandangannya kosong, pikirannya sibuk meramu alasan lain, apapun, asalkan bisa terus berada di dekat Dewa. Waktunya tak banyak, tapi hatinya menolak berpisah sekarang.Tara dan Dewa mulai gelisah. Kekesalan mereka perlahan berubah menjadi amarah, melihat Liora masih enggan keluar dari mobil."Kenapa bengong? Cepat keluar, jangan buang-buang waktu kami," bentak Dewa, nadanya meninggi, tak bisa lagi menyembunyikan emosi."Ah ini... kayanya aku lupa bawa dompet," gumam Liora pelan, nyaris tak terdengar.Dewa menggeram. Tangan kirinya menghantam stir keras-keras, membuat suara dentuman menggema dalam kabin mobil. Wajahnya memerah, rahangnya mengeras. Tara pun ikut naik pitam, merasa waktunya sengaja dihabiskan untuk hal yang tak perlu."Kak Liora gimana sih? Masa kita harus balik lagi ke rumah," sungut Tara, nada suaranya tak kalah kesal."Dewa... aku pinjam dulu uangmu
Dewa?” ujar Danu, terdengar sedikit terkejut.Dewa menunduk, lalu mencium punggung tangan ayah mertuanya. Sebuah senyum canggung tergurat di sudut bibirnya. Ada rasa segan, juga malu, yang jelas tergambar dari sorot matanya saat berhadapan dengan ayah Tara.“Ayah… aku kemari ingin menjemput Tara,” ucap Dewa dengan nada lirih.Danu menghela napas panjang. Ia menepuk lembut pundak Dewa, lalu memberi isyarat untuk masuk ke dalam rumah. Danu tahu, sesuatu tengah terjadi di antara Dewa dan Tara. Namun, sejak kesalahpahaman terakhir dengan Tara, Danu tak ingin lagi terlalu jauh mencampuri urusan rumah tangga putrinya. Ia belajar untuk bersikap lebih bijak, lebih menjaga jarak, tanpa mengabaikan.“Duduklah dulu. Kita minum teh atau kopi sebentar,” ujar Danu, menawarkan dengan nada tenang.Dewa tak bisa menolak. Ia hanya mengangguk kecil, menyambut tawaran itu dengan senyum yang tampak kaku. Mereka lalu duduk berdua di ruang tamu, dalam suasana yang sedikit kikuk.Dari lantai atas, Tara mempe