Naila menelan getir yang mengganjal di tenggorokannya. Suaranya nyaris pecah saat akhirnya ia berkata perlahan, “Ayah, nanti aku akan jelaskan semuanya. Sekarang Ayah harus fokus sembuh dulu. Tolong jangan ikut campur urusan kami.”
Harist, yang berbaring lemah di ranjang rumah sakit, menatap putrinya dengan mata yang masih menyimpan bara. Meski tubuhnya ringkih, suaranya tetap membawa nada perintah yang tak bisa ditawar.
“Segera pulang! Suami-istri tidak boleh hidup terpisah!”
Nada tegas itu menggores hati Naila. Ia tahu, bayangan masa lalu masih menghantui ayahnya: perceraian dengan ibunya dulu, yang dimulai dari kebiasaan tidur di kamar terpisah.
Luka lama itu belum benar-benar sembuh, dan kini Harist takut putrinya akan mengulang nasib yang sama, bahkan lebih buruk—dihina orang karena meninggalkan suami.
Rama lekas maju, duduk lebih dekat dengan Harist, lalu menyuarakan kata-kata manis yang terdengar seperti balsam
Naila menundukkan kepala, jemarinya saling meremas di atas meja kerja yang dingin. Ia tak berani mengangkat wajah, takut menabrak tatapan mata Galih yang selalu mampu meruntuhkan bentengnya.“Bukan begitu,” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan. Suaranya terdengar bergetar, seolah setiap kata yang keluar harus melewati jalan panjang penuh duri. “Cuma… tidurku nggak enak aja. Mungkin karena kasur baru.”Galih mencondongkan tubuh, dagunya bertumpu di telapak tangan. Sepasang alisnya terangkat, matanya menyipit, meneliti wajah Naila seperti berusaha menyingkap lapisan demi lapisan rahasia yang tersembunyi.“Serius?” tanyanya, nadanya ragu, tapi masih dibalut kehangatan khas dirinya.“Iya.” Naila akhirnya menatap, hanya sekilas, sebelum buru-buru mengalihkan pandangan ke arah jendela. Di luar, cahaya pagi jatuh miring, menembus tirai tipis. “Kamu sibuk semalaman di kantor. Aku cuma nggak mau kita te
Galih mengangkat ponselnya, dan seketika wajahnya menegang. Suaranya terdengar singkat, padat, tanpa ruang untuk tawar-menawar. “Baik, aku segera ke sana.”Nada berat itu masih menggantung di udara saat telepon ditutup. Galih menoleh, matanya bertemu dengan pandangan Naila yang penuh tanya. “Ada masalah di kantor. Aku harus keluar sebentar. Tidurlah dulu, jangan tunggu aku.”Naila refleks maju setapak, bibirnya terbuka hendak menahan. “Tapi punggungmu—”“Aku hati-hati,” potongnya cepat, seakan tak memberi kesempatan pada kekhawatiran itu untuk tumbuh.Tanpa menunggu jawaban, Galih bergegas pergi. Punggungnya yang tegap sempat bergetar halus, menandakan rasa sakit yang ia sembunyikan. Naila hanya bisa menggigit bibir, rasa cemas menumpuk di dada.Ia ingin memanggilnya kembali, tetapi suara pintu yang menutup rapat menjadi jawaban dingin.Keheningan rumah menyergap. Ia membereskan piring ya
Rena menatap Naila dengan mata menyipit, bibirnya melengkung dalam senyum sinis yang lebih terasa seperti pisau dingin ketimbang sekadar ekspresi wajah. Aura penghakiman memancar dari sorot matanya, seolah setiap gerakan Naila adalah noda yang tak terampuni.Bayangan lampu rumah sakit jatuh di wajah Rena, menegaskan garis-garis tajam penuh cemooh.“Ya. Aku bersama dia.”Suara Naila tenang, datar, tapi di balik itu ada getar yang hanya bisa ditangkap jika seseorang benar-benar memperhatikannya.Keheningan menyusup di antara mereka, merayap perlahan hingga meremas dada semua yang hadir di ruang itu. Harist memejamkan mata sesaat, lalu membuka kembali dengan tatapan yang terasa runtuh.Kelopak matanya berat, wajahnya yang pucat kian terlihat letih, dan ada seutas gurat getir di sana.“Aku gagal membesarkanmu.” Nada suaranya nyaris patah. “Aku sudah mengecewakan ibumu.”Naila menggenggam tangannya sendi
Laboratorium sore itu dipenuhi cahaya putih dari lampu neon yang tak pernah padam, bergema halus di dinding kaca yang dingin. Aroma khas bahan kimia bercampur dengan bau kertas dan mesin elektronik.Di tengah ruangan, Alysa masih terlelap di atas meja, kepalanya tertumpu pada lengan, napasnya pelan dan berirama. Rambutnya yang tergerai menutupi sebagian wajah, memberi kesan rapuh di tengah dunia penuh logam dan mesin ini.Naila masuk tanpa suara, langkahnya hati-hati seolah takut membangunkan temannya. Ia menaruh tas di kursi, lalu duduk di depan komputer yang monitor hitamnya memantulkan bayangan samar wajahnya.Jarum jam di dinding mendekati pukul dua siang. Sejenak ia menimbang, tapi rasa kantuk yang tadi sempat menekan matanya ia tepis dengan keras. Ia menarik satu buku catatan dari rak, membuka lembar yang penuh coretan rumus, lalu mulai membaca.Hanya beberapa menit kemudian, tepat pukul 13.55, suara alarm ponsel memecah keheningan. Alysa tersentak
Naila mengerutkan kening, menatap Galih yang duduk di sebelahnya. Lelaki itu tampak terlalu tenang, wajahnya datar, tak ada tanda-tanda gelisah atau terkejut.“Kamu tidak percaya?” suara Naila terdengar pelan, nyaris bergetar, namun tetap berusaha terdengar tegas.Belum sempat ia menarik napas dalam, Galih tiba-tiba mencondongkan tubuhnya. Gerakan itu cepat, mendadak, membuat Naila refleks menyingkir. Bahunya menempel ke kaca jendela mobil, hampir saja kepalanya terbentur, jika saja tangan Galih tidak segera terulur, menahan lembut di belakang kepalanya.Waktu berhenti sejenak. Nafas Naila tercekat ketika merasakan sentuhan ringan di keningnya. Sebuah kecupan, singkat, sekilas, namun cukup untuk membuat darahnya mengalir deras ke wajah. Seolah ada bulu tipis menyapu kulitnya, halus, nyaris tak nyata, tapi meninggalkan getar yang dalam.Galih segera menarik diri. Matanya terarah ke wajah Naila, ada kilatan bersalah yang tak ia sembunyikan. Suar
Awalnya, Naila hanya berniat memanfaatkan Galih. Rencana itu sederhana, nyaris kejam, seperti bidak catur yang digeser tanpa rasa. Tapi pagi ini, semua berubah. Ia bahkan tadinya tak berniat datang, memilih tenggelam dalam rutinitas kosong yang akhir-akhir ini jadi selimutnya.Sampai sebuah pesan singkat dari Rama masuk ke ponsel. Foto yang terlampir membuat dadanya seakan diremas tangan tak kasatmata, perihnya merambat hingga ke tulang.Jantung Naila berdegup lebih kencang dari biasanya. Ada sesuatu di balik bayangan itu, sesuatu yang tak lagi bisa ia sangkal: ia jatuh. Bukan tersandung. Jatuh hati. Pada Galih. Dan menyadari hal itu, menunggu dalam diam tiba-tiba jadi siksaan yang mustahil ia terima.Galih berdiri tak jauh darinya, sosok tinggi dengan wajah yang lebih banyak disembunyikan di balik dingin dan diam. Saat bibirnya akhirnya terbuka, suaranya lirih, namun cukup tajam untuk menembus ruang di antara mereka.“Kali ini aku biarkan. Tapi lai