Ceklek!Gara membuka pintu depan dan langsung mendapati istrinya sedang duduk di sofa dengan kedua tangan terlipat di depan dada."Selamat malam, Tuan Muda Sagara Rihanda," sapa Bella dengan senyuman sinis."Kamu belum tidur? Ini udah malam loh Bel," ucap Gara mengalihkan pembicaraan. Bella pun tak perduli juga dengan pertanyaan Gara."Bahasa Inggrisnya selamat malam apa Ra?" Tanya Bella dengan nada ketus. Gara langsung bisa tahu jika istrinya tengah ngambek."Good night," jawab Gara singkat."Oh, bagus. Kalau bahasa Inggris-nya malam apa Ra?" Tanya Bella lagi."Night," jawab Gara."Pinter. Bahasa Inggris kamu bagus ya ternyata. Makanya kan kamu mau kuliah di Sorbonne."Gara menelan ludahnya dengan kasar."Hmm... Kalau bahasa Inggrisnya tengah malam apa?" Tanya Bella dengan nada semakin ketus."Midnight," jawab Gara lagi."Whooaaa emang bagus banget bahasa Inggris kamu deh, sayang." Bella turun dari sofa untuk mendekati suaminya."Terus kalau bahasa Inggrisnya suami yang pergi nongkro
"Nggak usah nanggepin netizen julid. Buang-buang energi tau," ucap Gara."Tapi mereka nyebelin loh Ra. Seolah-olah banget aku ini kayak pengganggu di antara kalian.""Nggak usah diperduliin. Ayo aku anter ke kelas."Selama perjalanan menuju kelas Bella masih mendengar bisik-bisik tak enak."Modal muka growing dan paha mulus doang sok-sokan nggaet hati Gara. Paling nanti kalau Gara sudah sadar si Bella otaknya kosong juga bakal ditinggalin."Bella menoleh pada gadis yang mengatai dirinya demikian. Tapi Gara buru-buru meraih wajah Bella agar melihat lurus ke depan."Ini pasti gara-gara nilai raport semester kemarin kan Ra?" Tanya Bella pada suaminya yang sibuk merangkul Bella dengan posesifnya."Ada yang salah dengan nilai raportnya?" Gara justru bertanya balik."Ya kan kamu abis dapat juara umum. Sedangkan aku sepuluh besar di kelas aja nggak masuk. Kamu tau sendiri kan Ra anak-anak SMA swasta itu menilai seseorang keren atau tidak dilihat dari prestasi akademik dan status sosial. Apal
"Ck, yang lalu biarlah berlalu Do. Nggak usah diungkit-ungkit lagi," jawab Gara."Hai, Sabia. Apa kabar?" Tanya Bella dengan wajah sumringah. Yang ditanya justru berwajah masam. Gadis itu sama sekali tidak mau menjawab pertanyaan dari Bella."Tegak!" Sabia menarik tangan Bella dengan kasar."Lepas!" Bella langsung menepis tangan Sabia. Perseteruan dua gadis keturunan mafia ini sudah mulai lagi."Dengar Bella, jangan pernah merasa menang dariku karena sekarang kau sudah berpacaran dengan Gara. Suatu saat aku pasti akan merebut Gara lagi darimu.""Nggak capek-capeknya sih Bi ngerecoki Gara?" Bella memutar pergelangan tangannya. "Pengen aku kasari tapi kasian juga dengan bumil yang satu ini. Nanti kalau dedek bayinya kenapa-kenapa aku juga yang disalahkan."Sabia terkecat demi mendengar ucapan Bella."Jaga mulutmu!" Bentak Sabia."Jaga kandunganmu Bi," balas Bella dengan seringaian. Ia selangkah lebih menang dari Sabia."Bella!" Sabia berteriak murka."Kenapa marah? Aku bener kan?"Bella
Hari-hari berlalu begitu saja. Tanpa terasa sudah hampir tujuh bulan kepergian Revan. Sejak saat itu persidangan kasus Revan terus saja di lakukan. Namun hari ini ada berita yang tak mengenakkan yang datang dari Edo."Ra, dimana?" Tanya Edo melalui sambungan telepon."Di rumah.""Aku sudah dari rumahmu tapi satpam yang jaga rumahmu bilang kamu lagi nggak di rumah.""Di rumah Bella. Aku tinggal di sini sejak menikah," jawab Gara."Ck, kenapa nggak bilang sih kalo tinggal bareng mertua. Share lokasi coba. Aku mau ketemu kamu. Bahas sesuatu yang penting.""Oke, tunggu.""Yaudah teleponnya aku matiin. Aku langsung meluncur ke sana.""Oke siap."Beberapa saat lamanya Gara mendengar suara mobil Edo yang khas karena knalpotnya diganti dengan knalpot brong. Jadi dari kejauhan saja Gara sudah tahu jika yang datang adalah Edo."Biar aku aja Pak," kata Gara pada penjaga gerbang saat hendak membuka pintu gerbang."Tapi Tuan Muda tidak pantas melakukan hal ini. Kalau Tuan Rano melihatnya saya bisa
Plakkkk!!!Satu tamparan keras mendarat di wajah Sabia. Meninggalkan bekas cap merah di pipi putihnya."Bikin malu keluarga Rudolf!" Hardik Tuan Rendy.Sabia memegangi pipinya. Ia tertunduk dalam. Air matanya tampak meleleh."Papa... Sabia sungguh-sungguh minta maaf. Semua terjadi bukan karena kesengajaan.""Cukup Sabia!"Sabia tersentak kaget."Sejak awal Papa sudah memperingatkan untuk tidak mencampur adukkan urusan cinta gilamu itu dengan mafia. Bukannya berhasil membunuh putri keluarga Hyuugo kamu malah hamil dengan teman sekelasmu. Kamu benar-benar sangat mengecewakan!"Sabia tahu jika papanya pasti akan sangat marah karena berita kehamilannya ini. Tapi mau bagaimana lagi. Sabia tidak mungkin menyembunyikan kehamilannya terus menerus. Bayi itu akan tumbuh membesar. Mustahil untuk menyembunyikannya. Lebih baik jujur sekarang daripada ditunda-tunda."Papa..." Sabia benar-benar pasrah. Ibarat kata sekarang ini nasi sudah menjadi bubur. Hal yang ia lakukan dengan Edo adalah kesalahan
Mobil putih senilai 2,5 milyar itu berhenti tepat di depan halte. Edo keluar dengan buru-buru. Ia mendapati Sabia duduk dengan mata sembab dan merah."Edo!" Sabia refleks saja menghambur memeluk laki-laki itu. Satu-satunya harapan Sabia sekarang hanya Edo. Ia tidak tahu akan kemana jika Edo juga berlaku sama dengan keluarganya."Edo, tolong jangan tinggalkan aku. Aku janji akan melupakan Gara. Aku tidak akan merecoki kehidupannya lagi. Aku janji. Aku benar-benar janji Edo," ucap Sabia. Jelas sekali jika gadis ini baru saja mengalami sesuatu yang sangat berat di kehidupannya."Ssttt... Tenangkan dirimu dulu Bi."Karena merasa tidak tega dengan keadaan Sabia, Edo pun membalas pelukan Sabia. Bahkan Edo mengusap-usap punggung gadis itu supaya tenang. Edo merasakan kulit dadanya basah oleh air mata Sabia. Gadis itu seperti menemukan rumah untuk mencurahkan segala kesedihannya."Kamu mau kemana?" Tanya Edo setelah Sabia sedikit tenang.Sabia menggeleng. Air matanya justru turun lagi hanya d
Tok! Tok! Tok!"Bi, kamu lagi apa? Aku masuk ya," kata Edo.Sabia gemetar ketakutan. Ia meletakkan cutter itu di atas meja.Ceklek!Edo muncul di depan pintu tepat saat Sabia baru selesai meletakkan cutter. Edo jelas melihat hal itu. Apalagi sekarang posisi cutternya berpindah dari dalam gelas wadah pensil ke atas meja."Apa yang ingin kamu lakukan?" Tanya Edo penuh selidik.Sabia hanya menggeleng kaku. Edo meletakkan makanan dan susu yang dibawanya di atas meja. Ia kemudian meraih kadua bahu Sabia."Jangan gila Bi. Yang kita lakukan saja sudah gila. Kenapa kamu justru ingin menambah sesuatu yang lebih gila?"Sabia menggeleng. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis. Kehidupannya saat ini benar-benar di titik paling rendah. Ia tidak berdaya."Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup. Itu bukan solusi.""Tapi... Gara-gara aku orang tuamu."Edo meggeleng."Ini bukan gara-gara kamu saja. Tapi gara-gara kita. Kalau kamu memilih mengakhiri hidup. Bukan saja kamu yang mati tapi
Bella tengah tertidur di kursi samping kemudi. Gadis kecil yang cantik jelita itu benar-benar damai sekali dalam tidurnya. Mamanya Bella tersenyum bahagia menyaksikan putri kecilnya."Lelah banget ya sayang mainnya hari ini sampe tidur pules banget," ucap mamanya Bella. Wanita itu mengemudikan mobilnya dengan tenang.Hari ini mereka baru saja bersenang-senang dari sebuah taman hiburan. Saking asyiknya main sampai-sampai mereka kemalaman di jalan saat pulang.Suasana yang tenang dan hati yang tenang seketika berganti panik kala mamanya Bella melihat datangnya sebuah truk dengan kecepatan tinggi dari arah depan. Truk itu sepertinya mengalami rem blong."Ini bagaimana? Ya Tuhan selamatkan kami," ucap mamanya Bella ketakutan.Ttttiinnnn!!! Tttiiinnnnnn!!!Truk itu mengklakson dengan keras membuat makanya Bella jauh bertambah panik. Sementara jarak truk itu semakin dekat saja.Demi menghindari tabrakan mamanya Bella membanting setir ke kanan.BBRRRAAAAAKKKKK!!!Sudut depan mobil itu mengha