Share

Chapture 6

‘siapa yang mereka lihat?’ batin Zuzu.

“Masyaallah, itu putra Kyai Agil yang sulung,” kata mereka yang sempat terdengar di telinga Zuzu.

“Masyaallah, ganteng sekali,” timpal yang lain.

“Mana? Mana putra sulung Kyai Agil?” tanya Limah penasaran bertanya pada mereka yang sudah melihat putra mahkota dari sela-sela tirai.

“Itu. Ganteng banget,” kata santriwati di depan Zuzu.

“Mana?” kata Titi ikut mengintip dari sela tirai.

Zuzu hanya bersiap untuk salat berjama’ah karena pak kyai sudah mengucap takbir memulai salat maghrib.

Selesai menunaikan salat maghrib berjama’ah dengan serangkaian dzikir tahlil setelahnya. Kyai Agil mulai menduduki kursi yang sudah disiapkan pengurus untuk menyampaikan kajian, dan tirai bagian santri putripun siap dibuka.

“Masyaallah,” kagum santriwati yang mulai melihat pria yang duduk berdampigan dengan abahnya itu.

“Ya Allah ih ganteng, putih lagi,” mereka tak henti-henti memuji putra mahkota pak kyai.

Waktu seakan melambat selama tirai itu dibuka dan menampakkan dua pria wibawa nan tampan di hadapan.

“Wahai anakku, ilmu tanpa amal itu tidak ada. Begitu juga dengan amal, amal tanpa ilmu itu berarti gila. Seperti contoh, ada seorang dua pria di dalam gua sedang beribadah. Keduanya sama-sama kuat dalam beribadah, tetapi suatu Ketika si A ini bertanya kepada si B.

Wahai B, kenapa sakumu itu ada warna merah seperti darah?

Lalu si B pun menjawab, aku baru saja tidak sengaja membunuh burung, lalu aku merasa bersalah padanya, dan aku menaruhnya dalam sakuku sebagai penebus kesalahanku pada Allah karena sudah tidak sengaja membunuh burung kecil ini.

Lalu si A pun beristighfar terkejut mendengar jawaban si B, lalu berkata.

Wahai B, apakah kamu tidak tahu, bahwa darah dan bangkai itu najis. Sedangkan salat kita harus dalam keadaan suci, maka jika ada sesuatu yang Najis dalam diri kita, maka batallah salat kita.

Si A pun terkejut dan ia menangis menyesali kebodohannya.

Jadi, anak-anakku sekalian, ilmu dan amal itu saudara kembar, ia harus berjalan bersama untuk mencapai ibadah yang sempurna,”

Kami mengangguk memahami kalam kyai Agil yang cukup membuat kami terbuka betapa pentingnya sebuah ilmu dalam beribadah.

Setelah pak kyai menyelesaikan kajian, pak kyai mulai melirik pria tampan di sebelahnya.

“Apa kalian sudah mengenalnya?” sambil tersenyum lebar pada putranya, lalu bergantian menatap para santri, khususnya bagi santriwati yang sejak tadi pandangan mereka tak luput memandangi pria bersorban putih itu.

“Sudah,” sahut santriwan yang juga tersenyum-senyum melihat sang abah yang menggoda putranya melalui lirikan.

“Baik, kalau begitu kita beri kesempatan untuk putra Abah yang ganteng ini,” ujar pak kyai.

Para santri pun dibuat terkekeh  oleh ucapan kyai Agil.

“Terimakasih untuk Abah yang telah memberikan kula kesempatan ini. Jika tadi Abah sudah menyampaikan dawuh yang begitu penuh hikmah. Kini kula hanya ingin panjenengan semua untuk menutup mata panjenengan,” pinta sang putra kyai.

Para santri pun menuruti titahnya.

“Sudah ditutup semua?” tanyanya memastikan. “Kalau sudah, kula ingin, kalian semua pikirkan satu Impian kalian yang paling ingin kalian gapai, apapun itu. Kalian resapi, dan minta dengan sungguh-sungguh,” titahnya lagi.

Semua tenggelam dalam impiannya, tak terkecuali Zuzu, bahkan Sekarang ia terisak, membayangkan betapa ia ingin menjadi orang sukses yang bisa merubah keluarganya menjadi keluarga kaya yang serba berkecukupan.

“Aku ingin menjadi orang kaya ya Allah, aku ingin keluargaku memakan makanan yang enak setiap harinya. Aku tidak ingin melihat adik-adikku kelaparan dan diusir saat ingin mengikuti sekolah. Aku ingin mereka bahagia,” isak Zuzu mulai terdengar oleh gus Riza. Ia pandangi gadis itu lamat-lamat.

‘Ada apa dengan gadis itu? Apa masalah yang Tengah ia alami?’ batin Riza. Netranya tak lepas dari memandangi Zuzu.

“Harapanmu akan segera Allah ijabah, yakinlah,” suaranya terdengar untuk menasehati semua, namun, matanya masih tertuju pada Zuzu, seakan ia menenangkan Zuzu tepat dihadapannya. ”Sekarang bukalah mata kalian,” titahnya.

“Sudah Zu, semua akan baik-baik saja. Kamu kan sudah disini,” kata Limah menghibur Zuzu.

“Iya Zu, kita bareng-bareng belajar yang bener disini,” kata Titi menimpali.

Zuzu hanya mengangguk.

***

Keesokan harinya, Riza penasaran dengan gadis yang ia lihat di masjid semalam. Wajah yang teduh nan tulus, terisak disudut tiang masjid. Pagi ini ia akan mengecek data diri mahasiswi di ruang administrasi.

“Maaf Teh. Apa saya boleh lihat berkas data diri mahasiswi aliyah disini?” tanyanya pada petugas tata usaha.

“boleh Gus. Ini silahkan,” sahut petugas tersebut.

Lembar demi lembar ia perhatikan dengan teliti foto-foto mahasiswi di pesantren ini, hingga akhirnya sampai di lembar terakhir, di baris paling akhir, foto gadis yang ia cari terpampang disana.

“Zubaidah Anggraini,” gerak mulutnya menghafal nama itu.

“Oke, terimakasih Teh,” ucap Riza pada petugas TU.

“Sama-sama Gus,”

Riza kembali ke Ndalem untuk menyiapkan kitab yang akan ia ajarkan hari ini.

“Bagaimana Za. Jadwalmu sudah keluar?” tanya kyai Agil.

“Sudah Bah. Kelas satu Aliyah C putri Bah,” dengan gegas ia menjawab pertanyaan abahnya lalu pamit untuk bersiap mengajar.

Melihat perubahan pada putranya, kyai Agil hanya mengerutkan dahinya tanda heran akan tingkah putranya yang bersemangat.

TAK TAK TAK

Suara sepatu Riza terdengar oleh santriwati di kelas satu aliyah C. Semua memandang Riza dengan kagum dan terkejut. Tak menyangka, putra sulung pak kyai akan mengajar di kelas mereka pagi ini.

“Gus Riza wooooi,” pekik salah satu santriwati memberikan pengumuman yang sia-sia, karena bahkan mereka sudah mendengar suara sepatu Riza sebelum benar-benar melihat Riza berada tepat di depan kelas mereka.

“Satu aliyah C?” tanya Riza memastikan.

“Iya Gus,” sahut mereka.

DEG

Hentakan dalam hati saat benar-benar melihat gadis yang ia cari pagi tadi. Bahkan debaran itu semakin menghentak begitu cepat saat Zuzu melihat kearahnya.

‘Allahu akbar,’ pekiknya dalam hati tak kuasa menahan debaran yang ia rasakan dalam pandangan Zuzu.

Riza mulai menata jantungnya, ia memulai awal mengajarnya dengan membagikan sebuah kertas pada masing-masing santri.

“Kita akan ujian Gus?” celetuk santriwati yang terkenal lucu di kelas itu.

Mereka tertawa mendengar pertanyaan konyol temannya itu, begitu juga dengan Riza yang ikut tersenyum mengikuti suasana kelas.

“Saya ingin kalian mengisi formulir ini dengan pendirian kalian masing-masing. Disini tertulis beberapa hobi atau cita-cita kalian di masa depan,” titah Riza.

Mereka semua menuruti perintah Riza dan mulai mengisi.

“Kamu pilih yang mana Zu?” tanya Limah yang duduk semeja dengannya.

“Aku pilih managemen keuangan Mah. Aku pengen kerja di bank,” kata Zuzu berbisik pada Limah.

“Aku ini Zu, industri perdagangan,” kata Limah.

“Bagus Mah,”

Semua telah mengumpulkan kertas mereka masing-masing pada Riza.

“Formulir ini akan saya ajukan pada rector universitas-universitas ternama yang pernah saya kunjungi, agar kalian bisa mendapat beasiswa dalam bidang yang kalian mau setelah lulus dari pesantren ini.

“Haaaaah?” semua terkejut. Terlebih dengan Zuzu, airmatanya langsung memenuhi mata indahnya mendengar kabar indah dari gus Riza.

“Benar Gus? Terus kita bisa kerja sesuai di bidang yang kita tulis?” tanya Zuzu antusias.

“Mmm,” jawaban singkat Riza sangat memberi harapan pada Zuzu.

‘Aku pasti berhasil!’ yakin Zuzu dalam hati. Senyumnya mengembang manis di wajahnya yang putih.

‘Bah, Ibu, Zuzu bakal kuliah Bu’ hatinya terus berbunga-bunga.

"Zubaidah Anggraini!" Tiba-tiba suara gus Riza terdengar tegas memanggil Zuzu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status