LOGINBeberapa hari berlalu tapi ternyata Damar dan Meta masih bertahan. Ibu tak bisa berbuat banyak karena bagaimanapun Meta adalah anak dari saudara tiri ibu. Mau marahpun ibu sungkan, tak marahpun ibu tak enak hati.
Sementara bapak kembali sibuk dengan proyek yang masih berjalan bahkan kini ditambah dengan pembangunan food court di sisi kelurahan yang entah bagaimana lahannya bisa dibebaskan dengan mudah. dan anehnya, ibu yang diminta untuk mengelola bahkan mendapat dua tempat sekaligus. Aku terdiam saat ibu menceritakan hal itu dengan berapi-api sore ini. Ibu terlihat bahagia bisa menyalurkan hobi memasaknya tapi tetap bisa berdekatan dengan bapak. Tanpa sadar aku hanya diam sambil mengupil. Aneh, pikirku. Aku teringat saat kami berbincang ketika sarapan bersama pagi tadi. "Masakan ibu enak!" Puji Fatih seperti biasa. "Kalau ibu buka warung, cocok ya?" Tanya ibu sambil tersenyum. Kadang ibu memang haus validasi, gumamku pelan. "Hem. Cocok. Pasti cocok!" FaPagi hari, Paman dan Tante sudah menunggu kami untuk sarapan bersama. Aku dan Fatih segera bergabung bersama mereka. Isna yang sedang menjaga Dipta bersama Bram, segera berdiri dan meraih Raina yang ada dalam gendonganku. "Gak saraoan dulu, Is?" Isna tersenyum. "Sudah Mbak. Duluan tadi sama Bram. Biar bisa gantiin Mbak Safira jagain Raina!" Aku mengangguk. Kuserahkan Raina dalam gendongan Isna. Aku dan Fatih kembali berpandangan. Ada yabg aneh pagi ini. Paman Hermawan tampak rapi meskipun terkesan santai. Sementara Tante Arini sendiri terlihat luar biasa hari ini meskipun tetap bergaya klasik seperti biasanya. a mengenakan blus sutra berwarna pastel yang elegan, rambutnya ditata rapi, dan riasannya tipis namun menawan. “Wah, Tante Arini terlihat sangat segar hari ini. Siap menemani kami keliling seharian, ya?” goda Fatih saat kami sarapan. Tante Arini tersipu malu. “Tentu saja!" Jawab Tante Arini cepat. Paman Hermawan tersenyum lembut, memberikan sepotong croissant ke pi
Paginya, kami menyampaikan kabar itu pada semua. Kakek dan Tante Arini terlihat cukup senang. "Sebenarnya, perusahaan itu kembali ke tanganmu saja. kami sudah cukup senang Safira!" Kakek menatapku haru. "Apalagi dengan profit yang besar, dan kamu berniat untuk membuka yayasan. Ini lebih bagus lagi. Jangan sampai uang yang kita hasilkan cukup berhenti di kita tapi kita gunakan untuk membantu sesama. Lebih berkah dan berpahala!" Semua manggut-manggut setuju. "Lalu, apa rencana kalian?" Tante Arini menurunkan Dipta. Anak itu sudah mulai besar sekarang, siapapun yang memangkunya, gak akan bisa lebih dari lima belas menit!"Rencana kita sih, mau mengunjungi Paman Hermawan Tante. Kasihan dia. Gak ada yang nemenin di Surabaya. Jadi kita mau main beberapa hari di sana!" Jelas Fatih. "Oh, begitu. Kapan berangkat? Biar Tante siapkan oleh-oleh untuk Paman Safira!" Aku tersenyum sambil menggeleng. "Urusan Tante kan udah kelar. Kita bisa sekalian liburan!" Tante memicingkan mata. Sepertinya tah
Setelah menidurkan Raina yang kembali rewel, aku dan Fatih menikmati kebersamaan di sofa dekat jendela. Menikmati semilir angin yang berhembus lirih. "Bagaimana urusan di Bandung. Kau bilang sehari?" Aku duduk di sisinya, bergelayut manja di pundaknya. Fatih mengangguk. Tangannya membelai lembut rambut panjangku yang terurai. "Aku. datang hanya untuk tanda tangan, masalah pertemuan ternyata bisa via daring. Jadi, aku bisa cepat pulang!" Jelasnya. "Lagi pula beberapa pertemuan ada yang di tunda beberapa hari ke depan karena masalah tekhnis!" Fatih memelukku erat. "Syukurlah!" Jawabku lega. Fatih sedikit bersandar sambil memejamkan matanya. "Bagaimana kalau kita tidur? Kita perlu istirahat cepat malam ini!" Aku segera berdiri. Menutup jendela lalu mensrik tubuh Fatih. Baru saja aku hendak merapikan selimut di ataa tubuh Fatih, ponselku bergetar di atas nakas. Aku segera beringut menggeser bobot tubuhku mendekat. "Siapa? Tumben ponselmu bunyi malam-malam begini?" Fatih hafal betul
Aku bangun dengan perlahan tanpa memganggu Raina yang kini tampak tertidur pulas. Puas rasanya bisa memejamkan mata meski sejenak. Aku menyelimuti Raina, lalu berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan melepaskan sisa ketegangan dari conference call yang cukup melelahkan tadi. Aku membiarkan air hangat mengalir di tubuhku. Pikiranku masih terbagi. Di satu sisi, aku merasa bersalah karena meninggalkan Raina saat ia sakit. Di sisi lain, aku tahu aku harus mendukung Paman Hermawan untuk memulihkan perusahaan Wiratmaja. Dan dengan semua itu, sepertinya aku harus berterima kasih pada Diana. Jika bukan karena bantuannya, aku pasti sudah kebingungan hari ini. “Diana? A-apa yang kau lakukan di sini?” Aku menajamkan telingaku. Itu suara Fatih. Bukankah Fatih akan pulang besok? Kenapa suaranya terdengar sangat jelas? Diana? Kenapa dengan Diana? Aku penasaran. Aku buru-buru memakai handuk dan berjalan keluar kamar. Aku tersenyum lebar saat Fatih berdiri di sisi sofa, tapi langkah
Pagi hari, rumah kembali repot dengan persiapan kepulangan Bapak dan Ibu. Banyak oleh-oleh yang harus mereka bawa. Siapa lagi kalau bukan Tante Arini yang menyiapkannya. Tante beralasan jika Ibu dan Bapak jarang bisa berkunjung jadi semua disiapkan hingga mobil penuh barang dan makanan. Ibu, seperti biasa, masih tak rela meninggalkanku apalagi setelah melihat gerak gerik Diana yang buat Ibu cukup membahayakan rumah tanggaku. Sayangnya Ibu gak bisa berbuat banyak dan tak bisa memaksa untuk tinggal karena Bapak juga tak mungkin kembali sendirian. Ibu memelukku lebih lama. sambil membisikkan kata-kata itu lagi. Bukan. Bukan kata-kata, peringatan lebih tepatnya. Aku mengangguk berulang kali dan berusaha menenangkannya bahwa semua tak seperti yang Ibu takutkan. "Ingat baik-baik pesan Ibu, Safira. Kamu tahu kan, Ibu dan Bapak gak bisa lama-lama di sini!" bisik Ibu. "Aku mengerti, Bu. Tenang saja. Aku akan baik-baik saja." Tangan Ibu memukul dahiku pelan, "Awas kamu!" Aku hanya meringi
Aku sedang membersamai Dipta saat Diana dan Bayu datang dari luar. Wajah mereka memang terlihat sedikit lelah. "Jadi, suka yang mana?" Bayu duduk dan mengisi gelas kosong dengan air. Diana hanya menggeleng lalu ikut duduk di sebelahku, mencoba menggoda Dipta yang sedang menyusun mobil-mobilannya. "Kayaknya lebih enak di sini, deh Bay. Lebih rame tahu gak. Kalau kita pindah, sepi. Cuman kita berdua!" Bayu membuang nafasnya, "Terus kenapa tadi gak bilang waktu aku ajak kamu lihat-lihat rumah yang lain?" Diana mengangkat bahu. “Aku merasa lebih nyaman di sini,” kata Diana tanpa merasa bersalah. Hingga saat Fatih datang dengan Raina di gendongannya.“Lagipula, Safira baru melahirkan. Aku tidak tega melihatnya bolak-balik antara mengurus bayi dan video conference Wiratmaja. Biarkan aku di sini untuk membantunya!" Diana mendekat ke arah Fatih lalu meminta Raina. Tanpa curiga, Fatih menyerahkan Raina lalu duduk di sisiku. "Lihat! Lucu kan? Mana tega ninggalin mereka, Bayu!" Diana terliha







