Share

BAB 5

Author: Icaica
last update Last Updated: 2025-11-07 07:01:11

Aku dan Angga pamit pulang dari Rumah Kediaman orang tua Angga. Udara malam mulai terasa dingin, dan jantungku berdebar tak menentu, memikirkan bagaimana aku akan pulang. Tiba-tiba, Angga berbalik menghadapku.

“Kamu mau pulang kemana, Put?” tanya Angga, suaranya terdengar lembut namun tegas, penuh perhatian yang membuatku semakin canggung.

“Saya... saya mau ke rumah sakit, Pak,” ucapku, suaraku sedikit bergetar karena rasa tidak enak.

"Mau menemani nenek saya."

Angga mengerutkan dahi, ekspresi khawatir muncul di wajah tampannya.

“Oh, Baik, saya antar kamu ke sana ya. Jangan menolak.” Ucap Angga

“Iya... terima kasih banyak, Pak,” jawabku singkat.

Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil terasa tebal dengan kecanggungan. Aku hanya diam membisu, terpaku menatap lampu-lampu jalan di luar jendela. Aku menghindari menoleh sedikitpun ke arah Angga, seolah ada medan magnet tak terlihat yang melarangku.

Angga fokus mengemudikan mobilnya, namun sesekali aku bisa merasakan tatapannya menyapu wajahku.

“Dia selalu diam dan menjaga jarak denganku. Bagaimana caranya ya agar aku bisa sedikit saja dekat dengannya, menghilangkan sekat profesional itu?” batin Angga, rasa frustrasi bercampur penasaran.

Tak lama kemudian, Angga mengambil inisiatif yang mengejutkan. Ia membelokkan mobilnya dan berhenti di sebuah minimarket yang terang benderang.

“Ayo, ikut saya turun sebentar,” Ucap Angga, mematikan mesin.

“Hah? K-kenapa, Pak?” tanyaku, terkejut.

“Sudahlah, ayo,” Angga membuka pintu mobilnya.

Dengan langkah ragu, aku mengikuti Angga memasuki minimarket. Angga segera mengambil sebuah keranjang belanjaan. Ia berbalik, menatapku dengan mata yang memancarkan ketulusan.

“Kamu di rumah sakit menjaga nenekmu kan? Pasti butuh beberapa perlengkapan dan makanan kecil. Sekarang kamu ambil semua keperluan kamu. Jangan pikirkan harga, pikirkan kebutuhanmu dan nenekmu,” Ucap Angga.

Aku menggeleng cepat, rasa tidak enakku memuncak.

“Hah... hmm, t-tidak usah, Pak. Terima kasih. Di rumah sakit saya masih ada kok persediaannya. Saya tidak mau merepotkan Bapak.” Ucapku

Angga menyandarkan tangannya di rak, tatapannya menjadi lebih intens dan sedikit mengancam.

“Kamu mau ambil sendiri, atau saya yang ambilkan semua untukmu, Put?” Ucap Angga

“Ta... tapi Pak, itu—” ucapku mencoba beralasan.

Angga tidak memberiku kesempatan. Ia bergegas meraih asal barang-barang di rak, seperti tisu, biskuit, air mineral dan tanpa melihat label, langsung memasukkannya ke keranjang.

Melihat Angga bertindak seceroboh itu, aku langsung panik! Aku tidak ingin ia membelikan terlalu banyak hal.

Reflek, aku menahan tangan Angga, menghentikan gerakannya, dan mengambil alih keranjang belanjaan itu. Jantungku berdebar kencang karena sentuhan yang tak terduga dan rasa takut merepotkan Angga.

“I...iya, Pak! Saya ambil sendiri. Tolong jangan ambil banyak-banyak begitu. Saya sungguh tidak enak,” jawabku, suaraku terdengar seperti memohon.

Angga tersenyum, senyum gemas yang jarang ia tunjukkan. Ia mundur selangkah, melepaskan keranjang.

“Lucu banget sih kamu, Put. Ekspresimu saat panik itu menggemaskan. Senang bisa sedekat ini denganmu, meski hanya karena ancaman konyol ini.” batin Angga, matanya tak lepas dariku saat aku mulai berbelanja.

Aku segera mengambil beberapa tisu basah, tisu kering, pampers, dan air mineral. Benar-benar hanya untuk keperluan nenek.

Angga melihat keranjangku yang isinya minim. Dengan wajah tak setuju, Angga mengambil lagi keranjang kosong dan mulai mengisinya dengan makanan dan minuman yang ia yakini akan kubutuhkan seperti roti, buah-buahan segar, minuman isotonik, dan berbagai macam makanan ringan.

Akhirnya, kami tiba di rumah sakit. Setelah mobil diparkir, aku segera meraih pintu mobil, ingin segera mengakhiri kecanggungan ini.

“Terima kasih banyak ya, Pak Angga. Sudah mengantarkan saya dan sudah dibelanjakan juga. Saya sangat berterima kasih,” Ucapku tulus.

“Iya, sama-sama, Put,” Ucap Angga. Ia juga keluar dari mobil.

“Hati-hati di jalan ya, Pak,” ucapku lagi, berbalik sambil membawa kantong belanjaan milik nenekku.

Tiba-tiba, Angga meraih satu lagi kantong belanjaan—yang berisi makanan dan minuman yang ia pilihkan—dari kursi belakang dan menyodorkannya kepadaku.

“Ini juga dibawa. Jangan sampai kamu kelaparan karena sibuk menjaga nenekmu,” Ucap Angga, suaranya tegas.

“Lah, ini bukannya punya Pak Angga? Saya kan sudah ambil ini,” tolakku dengan halus.

“Tidak, saya ambil ini khusus untukmu. Saya tidak mau dengar kamu sakit karena tidak makan,” Ucap Angga, nada bicaranya menunjukkan bahwa penolakan tidak diterima.

Tepat saat aku hendak mengambil kantong itu, Angga mendadak menoleh, Matanya melebar panik saat melihat sebuah mobil melaju kencang di area parkiran.

Detik berikutnya terjadi begitu cepat.

Angga langsung bergerak, menarik tubuhku dengan kuat ke dalam pelukannya, membalikkan badannya untuk melindungiku. “WOY! PELAN-PELAN KALAU BAWA MOBIL!” teriak Angga dengan amarah yang mendalam kepada pengemudi yang hampir menyambar kami.

Jantungku seperti ingin melompat keluar dari tempatnya. Napasku tercekat di dada Angga yang bidang dan kokoh. Aroma cologne Angga menyeruak, membuat semua indraku lumpuh.

Angga melepaskan pelukannya, namun ia tidak mundur jauh. Ia membungkukkan badannya sedikit, wajahnya benar-benar dekat dengan wajahku, matanya yang tajam memancarkan kekhawatiran yang sangat mendalam.

“Kamu tidak apa-apa kan, Put?” Tanya Angga, suaranya sedikit serak, matanya mencari tanda-tanda ketakutan di wajahku.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala, terdiam kaku. Wajah tampan Angga, dalam jarak sedekat ini, dengan raut khawatir yang tulus... membuat jantungku berdetak lebih cepat dan lebih keras dari sebelumnya. Darah menyerbu pipiku.

Angga tersenyum tipis, lega melihatku baik-baik saja. “Ya sudah, saya antar kamu sampai dalam ya,” Ucap Angga. Ia segera mengambil alih kantong belanjaan dari tanganku yang masih gemetar, dan tanpa kusadari, tangan Angga reflek menggandeng tanganku erat, seolah takut aku akan menghilang.

Aku hanya diam, kaku, mengikuti Angga yang menggandeng tanganku memasuki lorong rumah sakit yang dingin. Aku menatap punggung Angga dari belakang. Badannya yang tinggi, tubuhnya yang kekar, perhatiannya yang tiba-tiba melimpah, dan wajahnya yang tampan... Memang benar-benar sosok Pria Idaman sekali.

“Astaghfirullah! Sadar, Put, sadar! Dia sudah mempunyai istri!” batinku, mencambuk diriku sendiri untuk mengendalikan perasaan yang mulai liar.

Kami tiba di Lobby. Angga melepaskan genggaman tangannya dan menyodorkan kedua kantong belanjaannya kepadaku.

“Ini dibawa. Ingat, jangan sampai lupa makan,” ucap Angga.

Aku mengambil kantong itu, berusaha mengatur napasku.

“Terima kasih banyak, Pak Angga. Bapak sudah banyak membantu saya hari ini. Saya tidak tahu harus membalasnya bagaimana.” Ucapku

“Iya, sama-sama, Put,” Ucap Angga. Ia tersenyum, tatapannya lekat, seolah ingin mengatakan sesuatu yang lebih.

“Yasuddah saya balik ya, sudah malam. Jaga diri baik-baik,” Ucap Angga, mengalihkan pandangannya dari mataku.

“Hati-hati ya, Pak Angga. Semoga selamat sampai tujuan,” Ucapku, menatapnya penuh rasa terima kasih dan... entah mengapa, sedikit rasa kehilangan.

“Iya, Assalamualaikum,” pamit Angga.

“Wa’alaikumsalam,” jawabku, membiarkan pandanganku mengikuti punggung tegap Angga yang perlahan menjauh.

Bersambung…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Menjadi Istri Kedua, Ternyata Suamiku Mencintaiku   Bab 12

    Aku berjalan menuju ruang utama Masjid An Nur, langkahku terasa berat seperti dirantai. Angga sudah duduk di depan penghulu, tampak rapi dengan jas hitamnya. Angel, dengan kebaya mewahnya, duduk di samping Angga, memancarkan aura kemenangan yang dingin. Saat pandanganku menyapu ruangan, aku berhenti. Napasku tercekat. Di barisan tamu, ada sepupu bernama Imam dan di samping Imam (sepupuku), duduklah sesosok pria yang sangat kukenal. Uwa Iwan. Kakak kandung almarhum Ayahku. “Uwa Iwan!” sapaku, segera berjalan cepat menghampirinya, rasa terkejut dan haru membuat tenggorokanku tercekat. Aku langsung mencium tangannya. Tangannya hangat, menenangkan. “Putri…” Uwa Iwan menggenggam tanganku erat. Matanya menunjukkan rasa iba yang dalam. “Uwa... Uwa bisa ada di sini?” tanyaku, bingung sekaligus lega. Bagaimana Angga bisa menghubungi beliau? Angel bilang semua akan siri, tanpa wali resmi! Uwa Iwan tersenyum tipis, “Angga sudah menceritakan semuanya ke Uwa, Put. Dia datang dan menjelaskan

  • Terpaksa Menjadi Istri Kedua, Ternyata Suamiku Mencintaiku   Bab 11

    Beberapa hari keemudian,Akhirnya Nenekku sudah dibolehkan pulang kerumah. Rasa syukur yang tak terhingga membanjiri hatiku. Aku sangat senang.“Sini, Nek, pelan-pelan. Aku bantu,” ujarku lembut, memapah tubuh ringkihnya yang keluar dari TaksiSetelah Nenek duduk nyaman di sofa, aku langsung bergerak cepat. Aku merapikan semua barang-barang dari rumah sakit, membereskan sisa-sisa kekacauan di kamar.“Pokoknya Nenek harus sehat terus ya, Nek. Janji! Jangan sakit-sakit lagi. Aku cuma punya Nenek doang di dunia ini,” Ucapku, menarik Nenek ke dalam pelukan yang erat dan penuh haru. Air mataku sedikit menetes.Nenek membalas pelukanku, mengusap punggungku perlahan.“InsyaAllah Put, Nenek akan jaga kesehatan. Maaf ya, Sayang... Maaf sudah menyusahkanmu terus,” suaranya terdengar serak.Aku melepaskan pelukan, menatap mata tuanya yang penuh kasih. “Tidak, Ko Nek! Jangan pernah ngomong begitu! Dulu juga hanya Nenek yang merawatku seorang diri, banting tulang buat aku. Sekarang, ini waktunya

  • Terpaksa Menjadi Istri Kedua, Ternyata Suamiku Mencintaiku   Bab 10

    Aku dan Angga tiba di restoran yang letaknya dekat dengan tempatku bekerja. Suasana tenang, alunan musik lembut mengiringi kami menyantap hidangan yang sudah tersaji. Aku mencoba fokus pada makanan, tapi tatapan mataku selalu berakhir di wajah Angga. Jarak yang sangat dekat ini membuat sarafku tegang.Dia tampan, baik, perhatian, dan aku belum melihat kekurangan apapun yang ada di dirinya. Bahkan aura ‘suami orang’ itu samar-samar. “Tapi, kenapa dia mau menikah siri denganku? Padahal wanita jauh lebih cantik dariku banyak sekali diluaran sana ”batinku.“Mungkin dia memang benar-benar terpaksa karena istrinya yang meminta, tapi kenapa dia memerhatikanku layaknya seperti calon istri sesungguhnya? Tatapannya... itu bukan tatapan keterpaksaan,” pikiranku terus berkecamuk, mencoba mencari celah logika dari situasi ganjil ini.Angga yang sedari tadi sudah menyadari kegelisahan dan tatapan curi-curiku, akhirnya bersuara, memecah keheningan yang makin mencekam.“Kenapa, Put? Kamu enggak suka,

  • Terpaksa Menjadi Istri Kedua, Ternyata Suamiku Mencintaiku   Bab 9

    Aku sudah berada didepan kantor Angga, setelah berputar dulu mengambil KK dari kontrakan. Gedung yang megah, bertolak belakang dengan kondisi keuangan dan perasaanku saat ini. Aku masuk dengan langkah berat menuju Receptionist.Dan sesuai instruksi, Angga sudah memberitahu Receptionist jika aku datang disuruh langsung diantar ke ruangannya.Seorang karyawan wanita mengantarku ke depan pintu kayu jati besar.Tok tok tok,“Permisi Pak Angga,” Ucap karyawan itu.“Iya,” ucap Angga dari dalam.“Ibu Putri sudah datang, Pak,” Ucap karyawan tersebut.“Silahkan masuk, Bu Putri. Terima kasih,” karyawan itu mempersilakan masuk kepadaku lalu meninggalkanku.Aku melangkah masuk, ruangan Angga sangat luas, elegan, dan terasa mewah. Angga sudah berdiri di balik meja kerjanya.“Siang Pak Angga,” sapaku, jam sudah menunjukkan pukul 11 kurang sedikit.“Iya, siang juga, Putri. Silakan duduk,” Ucap Angga dengan senyuman yang terlalu manis untuk situasiku saat ini.“Bisa saya pinjam KTP dan Kartu Keluarga

  • Terpaksa Menjadi Istri Kedua, Ternyata Suamiku Mencintaiku   Bab 8

    Aku masih berada di kamar rumah sakit, di sisi ranjang Nenek Ida yang sudah terlihat segar sehabis mandi. Aroma sabun bercampur dengan bau obat-obatan, menciptakan suasana yang intim namun getir. Aku dengan telaten menyuapkan sarapan bubur hangat ke mulut Nenek dan membantu beliau merapihkan pakaian.“Put, kamu tidak kerja hari ini?” Tanya Nenek Ida, matanya yang teduh menatapku penuh perhatian.Aku menyeka sudut bibir Nenek dengan tisu. “Kerja, Nek. Tapi aku masuk siang, jam dua nanti. Sengaja aku ambil shift siang biar bisa menemani Nenek sarapan dan bersih-bersih,” jawabku sambil berusaha menyembunyikan kelelahan yang mulai menjalar di punggungku.Nenek Ida memegang tanganku yang sedang merapikan selimut. Jari-jari beliau yang keriput terasa hangat.“Ya Allah, Putriku. Pasti kamu capek sekali ya, Nak. Harus bekerja keras, lalu pulang ke kontrakan, dan balik lagi ke Rumah sakit untuk menjaga Nenek. Maafkan Nenek ya, merepotkanmu terus.”Mendengar nada kasihan itu, hatiku terasa teri

  • Terpaksa Menjadi Istri Kedua, Ternyata Suamiku Mencintaiku   Bab 7

    Pagi hari yang sangat cerah, cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela, menyinari ruang makan dengan hangat. Angel dan Angga tengah menikmati sarapan pagi mereka. Udara terasa tenang, namun ketegangan samar menyelimuti Angel yang berusaha terlihat santai.“Sayang, Gimana menurut kamu tentang Putri?” Tanya AngelAngga, yang sedang mengupas kulit pisang dengan gerakan lambat dan hati-hati, mengangkat wajahnya.“Putri? Menurutku… dia anak yang baik, Sopan. Kenapa memangnya?” Jawab Angga.“Bagus kalau begitu.”batin Angel tersenyum, senyum yang sedikit terlalu lebar. mencondongkan tubuh sedikit.“Kamu cocok kan sama dia? Maksudku, kamu nggak ada keberatan sama sekali, kan?” Ucap Angel.Angga berhenti mengupas pisang, pandangannya tertuju pada Angel. Jeda sesaat itu membuat Angel menahan napas."Iya, cocok-cocok aja sih," jawab Angga santai, melanjutkan aktivitasnya."Kenapa sih kamu kelihatan tegang banget, Sayang? Aku nggak akan menolak calon yang sudah kamu pilihkan ko" Ucap Angga.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status