"Tidaaakkkkkk...." teriak Sylvi sekuat tenaga. Dia tidak mau mati di penjara. Dia tidak mau semua usahanya gagal hari ini. Dia tidak mau mati di tangan dua dari tujuh wanita begundal sialan itu.Namun injakan kaki Markijem benar-benar membuatnya sesak dan tak bisa bergerak."Berhenti!!!"Suara Pak Sagi terdengar cukup lantang di telinga Sutiwe dan Markijem. Kaki Sutiwe yang melayang di udara dan hendak mendarat di dada Sylvi pun langsung terhenti dan membuat tubuhnya oleng. Sutiwe terjatuh di samping Sylvi yang masih memegang kaki Markijem yang berat."Kalian mau bunuh orang?" Tanya Sagi berang sambil mendorong tubuh Markijem agar Sylvi bisa terlepas dari injakan kaki wanita kejam itu.Sagi membantu Sylvi bangun dari lantai kamar mandi. Berkali-kali gadis malang itu terbatuk dengan nafas sesak. "Mba Sylvi gak apa-apa?" Tanya Sagi khawatir. Untung saja dia datang tepat waktu. Kalau tidak, bisa-bisa gadis itu sudah tinggal nama malam ini."Heh tukang sapu kerempeng, lu pikir lu siapa?
Sylvi tak dapat menggambarkan perasaannya kali ini. Terkejut sekaligus senang mendengar penjelasan Dhani, tapi dia juga bingung kenapa dia bisa dipindahkan ke sel tahanan baru itu. "Ngomong-ngomong, kamu kerja disini sekarang?" Tanya Sylvi pada Dhani yang kembali melangkah."Ya, baru hari ini. Dan seharian ini aku sibuk mengurus administrasi kepindahanku kesini. Untungnya tadi sore sempat ketemu sama Pak Sagi. Kalau tidak..." sahut Dhani terputus."Kalau tidak apa?" Tanya Sylvi penasaran. "Kalau tidak, kamu udah jadi bakwan jagung hari ini, hihihi..." sahut Dhani terkikik.Sylvi menghentikan langkahnya menyadari keberuntungannya hari ini. Benar, mukjizat itu ada. Dan malaikat penolongku datang tepat waktu. Terima kasih Pak Sagi, terima kasih Dhani. Semoga aku bisa membalas kebaikan kalian suatu saat nanti, gumamnya dalam hati.Melihat Dhani berbelok di ujung koridor, Sylvi berlari mengejar Dhani yang terus berjalan. Dhani berhe
Tepat jam 7 malam Sylvi mengajak Mery untuk makan malam di aula rumah tahanan. Mery yang belum terbiasa merasa enggan bertemu dengan narapidana lainnya di tempat itu."Tidak apa-apa. Kan ada saya, Bu Mery," bujuk Sylvi. Mery akhirnya mengikuti Sylvi yang melangkah lebih dulu. Sebenarnya dia enggan pergi ke aula, tapi karena perutnya lapar karena dia sering lupa makan belakangan ini, mau tidak mau dia mengikuti Sylvi untuk sekedar mengisi perutnya.Untung ada Sylvi, kalau tidak, aku bisa puasa lagi setahun disini, pikirnya.Saat hampir tiba di aula, Sylvi menghentikan langkahnya sambil melihat ke kiri dan ke kanan."Kamu cari siapa?" Tanya Mery bingung. "Mmm...ahh... enggak," sahut Sylvi gugup dan kembali melangkah menuju aula.Tangan Sylvi gemetar saat mengambil nasi, tahu, tempe dan sayur kangkung. Dalam hatinya dia berharap tidak bertemu lagi dengan tujuh wanita begundal itu.Mery mengikuti semua gerakan Syl
Mery seketika bangkit dari kasurnya dan memeluk tubuh kurus Sylvi yang tinggal tulang itu. Semakin erat dia memeluk, semakin dia merasakan penderitaan gadis malang yang kini satu sel dengannya.Dalam hatinya dia berjanji akan mengadukan kemalangan gadis itu pada Kyle, anak majikannya. Mery tahu Kyle mewarisi sifat Ibunya yang telah meninggal dunia. Meskipun perawakannya tampak dingin dan kejam seperti Ayahnya, tapi dia memiliki hati yang lembut. Mery dan Sylvi tidur berpelukan. Seakan memperlakukan Sylvi seperti anaknya sendiri, Mery terus menerus mengelus kepala gadis itu dengan lembut.Sylvi hening dalam pelukan wanita setengah baya yang seusai dengan Mamanya itu. Dia hanyut dalam belaian kasih sayang layaknya seorang Ibu pada Anaknya. Matanya terpejam dalam dekapan cinta yang telah lama hilang dalam sanubari nya.Mereka terbangun di pagi hari yang cerah. Semua narapidana bersiap untuk sarapan.Setelah sarapan keesokan harinya, Mery dipanggil oleh petugas karena ada tamu yang berku
Sutiwe, Markijem dan Gimbal terduduk lemas di samping tembok sel. Sementara Jamilap dan Konipah menangis terisak-isak sambil menahan lapar. Maimuncrat dan Saritem berjalan mondar mandir di dalam sel sempit yang hanya berukuran tiga kali tiga meter itu."Lu bedua mau mati? Pusing tau!!!" bentak si Gimbal sambil menatap tajam ke arah Maimuncrat dan Saritem. Mereka berdua terkesiap dan langsung duduk di samping Jamilap dan Konipah, lalu ikut menangis."Kayaknya kita sengaja dikerjain, deh," ujar Sutiwe kesal.Markijem juga merasakan hal yang sama. Dia diam sejak tadi memikirkan siapa Dhani sebenarnya. "Orang baru itu sengaja mengerjai kita? Jangan-jangan dia orang suruhan si kerempeng," ujar si gimbal dan membuat enam orang bawahannya menatapnya terkesima."Apa iya?" Tanya Sutiwe."Kayaknya sih gitu," sahut Markijem saat menyadari hal itu terjadi setelah Sylvi di pindahkan ke sel lain."Wah, cari mati dia," samba
"Bu Mery..." seru Sylvi sembari menghampiri Mery yang baru saja masuk ke dalam sel."Sylvi, saya pikir kamu sedang tidur," sahut Mery tersenyum senang melihat gadis itu menyambutnya dengan riang."Tidak, saya menunggu Bu Mery," jawab Sylvi."Sebentar lagi jam empat sore, saya juga harus olahraga," lanjut gadis itu. "Olahraga? Di lapangan itu?" sahut Mery sambil menunjuk kearah lapangan luas yang biasa digunakan oleh para narapidana untuk berolahraga dan bersenda gurau sebelum jadwal makan malam tiba."Tidak. Ditempat rahasia," jawab Sylvi berbisik sambil mengacungkan telunjuknya di depan bibir."Tempat... Tempat rahasia?" Mery pun ikut berbisik karena takut ucapannya terdengar oleh orang lain. Sylvi mengangguk sambil tersenyum."Aku akan menunjukkan tempat itu nanti,"Tepat jam empat sore Sylvi mengajak Mery ke tempat rahasia yang dia maksud. Mery yang merasa penasaran pun mengikuti langkah kaki gadis itu."Nah, ini tempatnya," ucap Sylvi setelah mereka tiba di tempat olahraga itu.
Keesokan paginya...Sylvi dan Mery terbangun sebelum jam tujuh pagi. Mereka bergegas mandi di kamar mandi umum untuk semua narapidana.Saat itu sudah banyak orang di kamar mandi dan mereka mengantri bergantian. Kamar mandi di kompleks tahanan itu berukuran cukup besar. Saat memasuki pintu besar kamar mandi, sebuah bak air berukuran dua kali dua meter terletak di tengah ruangan. Sementara itu di sisi kiri dan kanan terdapat masing-masing empat pintu kamar mandi yang tertutup dan dua pintu lagi di balik bak air besar itu.Totalnya berjumlah sepuluh kamar mandi berukuran 1x1,5 meter dengan pintu tertutup untuk semua narapidana yang berjumlah sekitar 300 orang itu.Berbeda dengan kompleks tahanan narkoba yang berada tepat di balik tembok kompleks tahanan mereka, masing-masing sel memiliki kamar mandi sendiri.Tanpa mereka ketahui, beberapa pasang mata sedang mengintai mereka dari belakang antrean.Saat Sylvi mendapat gilira
Tidak sampai 24 jam, tiga wanita gerombolan begundal itu sudah dikembalikan ke sel mereka semula. Dhani tak habis pikir karena Kepala Sipir tidak menerima penjelasannya dengan baik.Sepengetahuannya, banyak penjaga yang memantau dari kejauhan saat kejadian itu namun tidak ada satu orang pun yang mau bersaksi. Selain itu CCTV yang ternyata memang rusak sejak lama tidak bisa mendukung penjelasan nya kepada Kepala Sipir.Dhani menarik nafas berat. Jika CCTV saja tidak bisa di atasi, maka kejadian yang sama akan terulang lagi di kemudian hari. Atau memang, CCTV sengaja dibiarkan rusak agar tidak bisa mengungkap hal-hal yang janggal di sekitar rumah tahanan itu?"Selamat pagi, Pak Guntur," sapa Dhani pada petugas keamanan di ruang pemantauan CCTV.Pagi ini dia sengaja mendatangi ruangan itu untuk mencari sedikit informasi. Guntur berada di ruangan itu seorang diri karena bergantian dengan rekannya yang lain."Pagi, Dhani. Tumben datang ke sini?" tanya Guntur heran."Hehe iya nih, Pak. Ada