Setelah melalui perdebatan yang lumayan alot, Friska memasuki ruang pemeriksaan sendirian. Seorang perempuan yang mengenakan snelli menyambutnya dengan senyum ramah. “Silakan. Berbaring dulu ya, Bu!” ucap Dokter Erina. Mengangguk, Friska langsung berbaring di brankar yang berbalut seprei warna putih, senada dengan warna tembok di sekitarnya. “Kita mulai ya, Bu,” ucap Dokter Erina seraya mendekat. Pemeriksaan diawali dengan mengecek tensi darah, dilanjutkan rangkaian pemeriksaan lain. Setelah hasil normal, proses USG segera dimulai. Dengan jantung berdebar Friska menatap ke layar yang menampakkan gambar calon bayi di rahimnya. Beberapa saat kemudian, proses USG telah selesai. Azka dan Alex diizinkan masuk karena Friska tak lagi harus memamerkan bagian tubuhnya. “Bagaimana hasilnya, Dok?” tanya Azka yang sudah tak sabar. “Alhamdulillah ... semua dalam keadaan normal. Ibu dan calon bayi sama-sama sehat,” sahut Dokter Erina. “Maksudku, berapa usia kandungannya, Dok?” Azka langsun
Rendy dan Lina yang sedang berada di teras seketika menghentikan obrolan saat sebuah mobil berhenti di halaman. Mereka kompak bangkit saat melihat Naura turun dengan wajah sembab. “Naura ... kamu kenapa?” Lina menyambut anak perempuannya dengan sebuah pertanyaan. Tak menyahut, Naura justru langsung menubruk dan mendekap erat Ibunya. Tangisnya yang sudah ditahan seketika pecah dalam pelukan. Lina memilih mengelus punggung anaknya ketimbang melanjutkan pertanyaan.“Ayo kita ke dalam saja, Na!” ajak Lina setelah tangis Naura sedikit mereda. Dia mengurai pelukan lalu menggandeng anaknya ke dalam, diikuti Rendy yang sejak tadi hanya terpaku sembari menerka-nerka. “Sebenarnya ada apa, Na? Kenapa kamu datang langsung menangis?” tanya Rendy setelah mereka duduk bersama di ruang tengah. “Mas Azka, Pak!” sahut Naura. Perih kembali mendera hati setiap teringat bahtera rumah tangganya yang kerap dihantam badai. “Azka kenapa? Ada apa dengan suamimu? Apa dia sakit?” sambar Lina. Naura mengge
Sesaat Friska terlihat pias, tapi kembali tenang beberapa detik kemudian. “Buat apa. Semua sudah jelas.” “Kenapa takut? Kalau memang kamu hamil seharusnya kamu berani. Ayo ikut. Aku punya banyak kenalan dokter kandungan yang terpercaya.” Sembari tersenyum sinis, Alex terus menatap lekat wajah Friska. Hanya dengan terlihat tenang akan membuat lawan bicara mudah dipengaruhi. “Ya. Mama setuju. Kamu harus USG kembali,” imbuh Widya yang sejak tadi hanya menyimak. “Baik. Tapi kakakmu harus segera menikahiku setelah semua terbukti!” Friska menantang balik.“Tentu saja. Dia pasti akan menikahimu jika memang kamu hamil anaknya,” jawab Alex. “Alex!” Azka berseru keras. Dia protes karena adiknya sudah berani mengambil keputusan tanpa persetujuannya. Terlepas dari hamil atau tidaknya Azka tetap enggan menikahi Friska. Dia tak mau kehilangan Naura. “Kenapa, Mas! Lelaki itu memang harus bertanggung jawab. Jika dia hamil karenamu, ya kamu harus menikah. “ Bukan hanya dalam hal ini, sejak duku
“Jangan khawatir, Na! Apa pun yang terjadi, kamu tetap menantuku. Tak akan kubiarkan siapa pun merenggut kebahagiaanmu,” ucap Widya berusaha menenangkan. “Terima kasih, Ma. Tapi aku akan tetap pergi,” sahut Naura dengan suara parau.Susana hati perempuan itu sedang tak baik-baik saja. Seharusnya hari ini menjadi hari yang penuh kebahagiaan, tapi nyatanya badai datang memorak-porandakan semuanya. “Kamu mau ke mana, Sayang. Jangan pergi,” bujuk Widya. Sebagai sesama perempuan, dia tahu apa yang dirasakan menantunya saat ini. Bisa dipastikan Naura sangat terpukul oleh kabar yang dibawa Friska. “Aku mau pulang ke rumah Ibu. Aku butuh ketenangan,” jawab Naura pelan. Menghela nafas berat, Widya mencoba mengerti keadaan itu. Di saat masalah sedang melanda, keluarga menjadi tempat terbaik untuk mencari ketenangan.“Ya sudah kalau begitu. Mama enggak bisa mencegah. Biar Pak Samsul antar kamu.” “Terima kasih, Ma!” Naura menarik koper dan mulai mengayunkan langkah. Jika bukan karena memil
Perempuan yang wajahnya sembab itu kembali memasukkan pakaian ke dalam koper. Widya kebingungan melihat hal itu dan tak bisa berbuat banyak. “Kamu jangan pergi dulu, Na. Setiap rumah tangga pasti memiliki cobaan, tapi setiap masalah itu ada solusinya. Kita tunggu suamimu balik dan bicarakan baik-baik. Kamu yang tenang ya.” Tersenyum getir, Naura menertawakan jalan hidupnya. Masalah yang dihadapi bukan hal sepele. Bagaimana bisa dia tetap tenang di saat mengetahui suaminya telah menghamili perempuan lain? Namun, rasa sungkan membuatnya memilih diam ketimbang membantah nasihat sang mertua. “Enggak, Ma. Aku harus pulang sekarang. Aku sudah enggak kuat. Terima kasih selama ini Mama susah menerimaku dengan baik.” Sebentar Naura memeluk mertuanya lalu mengurai dan lekas menyeret koper meninggalkan kamar. Di belakang Naura, Widya terus mengikuti sembari membujuk. Namun, hal itu tak berarti apa-apa bagi hati yang tengah terluka. Saat mereka sampai di teras, sebuah mobil perlahan memasuki
“Itu ... itu ... “ “Itu apa, Mas? Ngomong yang jelas. Ini testpack siapa?” Naura mulai histeris. Ketakutan mendera, membuat jiwa terombang-ambing oleh keraguan. “Maafkan aku, Na!” ucap Azka perlahan. Kalimat sederhana itu berhasil membuat hati Naura remuk berkeping-keping. Istana cinta yang megah seketika runtuh diterpa kenyataan. Bukan jawaban itu yang Naura inginkan. Dia berharap Azka menyangkal atau memberi jawaban lain. Bukan permintaan maaf yang seolah mengakui kesalahan. “Kamu mengkhianatiku, Mas?” Naura menatap nanar pada lelaki yang menunduk di depannya. Hati menjerit sakit saat teringat semua janji yang pernah diucap. “Siapa perempuan itu, Mas?” lanjut Naura dengan suara serak. Sebelum sempat Azka menyahut, seorang perempuan tiba-tiba menerobos masuk tanpa permisi dan langsung membaur dengan mereka. “Aku. Itu testpack milikku. Aku memang sedang hamil anak Mas Azka. Dia akan segera menikahiku.” Friska tersenyum sinis melihat air mata membanjiri wajah Naura. Dia merasa