“Menikah denganku.”
Sepanjang malam Kanza benar-benar tak bisa memejamkan matanya, permintaan Melvin seakan terus berdengung di pikiran juga telinganya.
Hingga pagi menjelang, Kanza masih tak bisa memejamkan mata.
“Jadinya nggak tidur kan,” gumamanya sembari mendudukan tubuhnya di sofa.
Tanpa sengaja mata Kanza menatap sosok Melvin yang juga tengah menatap pada dirinya.
“Kenapa?”
“Apanya?”
“Kamu, lihatlah. Sekarang yang mirip orang sakit itu kamu dan bukan saya.”
Kanza hanya menghela nafas, ia pun segera bangkit dan memilih membersihkan diri.
Tak butuh waktu lama untuk membersihkan diri, Kanza pun segera keluar saat merasa sedikit lebih segar.
“Istri saya sudah selesai mandi, jadi anda bisa memberikan kain itu pada istri saya.” Ucap Melvin yang membuat Kanza terdiam.
Perawat pun tersenyum dan menghampiri Kanza, menyerahkan kain untuk membasuh tubuh Melvin pagi ini.
“Terima kasih.”
“Baik, kalau begitu saya permisi dulu.”
Kanza memperhatikan perawat yang keluar dari dalam kamar, lalu matanya menatap Melvin yang hanya diam menatap dirinya.
“Kenapa? Nggak bisa tidur?”
Kanza hanya diam, ia memilih fokus membasuh tubuh Melvin dengan kain di tangannya.
“Apa kamu mau mandi saja?” tawar Kanza.
“Ternyata kamu lebih suka memandikanku dari pada mengelap badan.”
Kanza gelagapan dibuatnya, bukan itu maksud dari ucapannya. Ia pun merutuki kebodohannya sekali lagi.
“Maaf, bukan itu tapi maksudnya. Saya hanya—
Kanza tak lagi bisa melanjutkan kata-katanya, kepalanya tertunduk lesu.
“Nggak usah malu, bukan kah sebentar lagi kita akan menikah?”
Terkejut, Kanza menatap Melvin tak percaya.
Ia pun berusaha menolak permintaan itu dengan berbagai alasan, namun Melvin selalu menemukan celah untuk membantah dan membuatnya terpojok.
“Jadi pada intinya kamu ingin kabur dari tanggung jawab?”
“Bukan seperti itu juga, Tuan. Saya hanya bertanya apa ada cara lain untuk saya bertanggung jawab selain pernikahan. Bagaimana dengan menjadi pelayan saja? Saya akan merawat anda sampai sembuh.” Tawarnya lagi.
“Tidak menerima negosiasi apapun.”
Kanza benar-benar kehabisan kata-kata, ia tak lagi mampu melawan kerasnya Melvin yang memaksanya menikah.
Dengan terpaksa Kanza menggerakan tangannya, membersihkan tubuh Melvin dengan kain kecil yang ada di tangannya.
Melvin menatap setiap gerakan yang dilakukan oleh Kanza, matanya tak pernah lepas dari tangan Kanza yang bergerak menari di atas tubuhnya. Hingga tiba-tiba Melvin menahan nafasnya.
“Buka matamu dan lihat apa yang sudah kamu lakukan.”
Kanza terperanjat, buru-buru ia membuka mata dan melihat posisi tangannya.
Matanya melotot tak percaya, dengan gerakan cepat ia menarik tangannya dari posisinya.
“Ma-maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud kurang ajar.” Gugupnya.
“Mulutmu saja yang menolakku, ternyata tubuhmu sebaliknya.” Sindirnya dengan begitu dingin.
Melvin merebut paksa kain yang di genggam Kanza, ia mencoba membersihkan sendiri bagian tubuh yang mampu di jangkaunya.
Kanza yang tak ingin hanya diam segera berbalik, menyiapkan sarapan juga obat untuk Melvin pagi ini.
*
Tak terasa kini sudah pukul lima sore, waktu bagi Kanza bersiap-siap untuk pergi bekerja.
Namun Kanza tak berani pergi, sebab Melvin terus memperhatikan dirinya.
“Ada apa? Kenapa menatapku seperti itu?”
“Tuan, maaf. Bolehkan saya pergi bekerja, nanti saya akan kembali kesini setelahnya.”
“Tidak.”
“Tapi, Tuan—
“Tidak ada bantahan.”
“Tuan, saya bisa dipecat jika saya tidak datang. Saya butuh pekerjaan ini,” serunya memelas. Bahkan kini Kanza sudah berdiri di samping ranjang Melvin.
Melvin mengabaikan ekspresi Kanza yang begitu menyedihkan saat ini, ia memejamkan mata saat merasakan nyeri yang tiba-tiba menyerang kakinya.
“Tuan—
“Menikah denganku dan kamu bisa kembali kuliah.”
Kanza terlihat begitu riang, gadis itu tertawa bahagia disamping sahabatnya. Begitu juga dengan Nadia, yang begitu lepas tertawa bersama Kanza.Kedua sahabat itu menikmati sisa hari mereka bersama dengan pengawalan Stella, tetap dalam pantauan penjagaan.Hingga ketiganya di kejutkan dengan kedatangan dua orang laki-laki di hadapan Kanza.“Nona Kanza?”“Siapa kalian?” Stella menyembunyikan tubuh nonanya di belakang tubuhnya, itu tak luput dari mata Nadia.“Maafkan kami mengganggu waktu nona, saya diperintahkan langsung untuk menjemput nona Kanza.”Stella tak membiarkan nona mudanya dibawa begitu saja, ia terlibat perdebatan sengit dengan dua orang asing di depannya. Tak ada yang ingin mengalah, semua mempertahankan tugasnya masing-masing.“Siapa mereka ini, dan kenapa Kanza bisa berurusan dengan mereka? Belum lagi, wanita ini yang jelas banget kayak lagi ngejagain Kanza. Ada apa ini sebenarnya?”
Sejak semalam Melvin tak dapat memejamkan matanya, ucapan Kanza terus terngiang di fikirannya.Bukan mau menyembunyikan pernikahannya, namun Melvin masih belum siap jika keluarganya tahu tentang pernikahan dirinya dengan Kanza.“Mas, aku berangkat ke kampus dulu ya. Sarapannya udah aku siapin di meja bawah.”Kanza mencium tangan suaminya sebelum keluar dari kamar, ia juga memastika jika suaminya itu benar-benar mendengarkan ucapannya.“Dari semalam nggak tidur, ya jadinya kayak zombie.” batin Kanza menatap suaminya.Selama perjalanan, Kanza hanya diam menikmati arus jalan. Tidak begitu macet seperti hari-hari biasanya, sebab mungkin karena ia berangkat lebih awal.“Nona, kita sudah sampai.” ucap Stella mengejutkan Kanza.Stella tersenyum saat menyadari jika majikannya itu sedari tadi melamun, pandangan wanita itu menyiratkan sesuatu yang ia tengah ketahui.Dari kejauhan Nadia berteriak memanggil
Hendra masih diam, tak memberi reaksi apapun setelah meninggalkan kampus miliknya. Terkejut pastinya, namun saat ini tak ada yang tahu apa yang tengah laki-laki itu fikirkan.Bahkan Wisnu pun tak berani menegurnya, asisten itu hanya bisa menatap sang majikan dari kaca spion.“Kembali ke rumah saja,” ucap Hendra tiba-tiba.“Baik, Tuan besar.”Setibanya di rumah, Hendra langsung masuk ruang kerja. Bahkan hingga langit berubah gelap, laki-laki itu masih betah diam di ruangan kerja.“Bik, dimana suami saya?”“Tuan sejak pulang tadi ada di ruang kerja, Nyonya.”Arumi berjalan menghampiri sang suami, terasa begitu aneh suaminya itu tak mencari dirinya seharian ini.Hendra adalah suami yang sangat mencintai istrinya, jika sedang tak bersama ia akan terus menghubungi istrinya hanya untuk menanyakan kegiatan atau bahkan mendengar suaranya saja.Namun tidak dengan hari ini, Arumi sampai di buat heran
Pagi ini Kanza begitu senang, sebab ia sudah bisa aktif lagi di kampus. Sempat ragu, sebab ia masih teringat dengan skors yang diterimanya beberapa hari yang lalu.“Za, hari ini ada pengawal baru buat kamu. Dia yang akan bertugas mengantar jemput kamu kalau aku tidak bisa.”“Ya.”Saat menuruni tangga, Kanza dapat melihat seorang wanita yang terlihat dewasa tengah berdiri di ujung tangga. Pakaian yang di gunakan begitu formal berwarna hitam, rambut panjangnya di kucir kuda.“Selamat pagi, Tuan, Nyonya.”“Hm, tugasmu menjaga istriku. Jangan sampai dia terluka,” ucap Melvin dengan begitu tegas.Keduanya tak sempat sarapan pagi, Melvin sudah harus ke kantor karena ada meeting sedang Kanza ada kelas pagi.Keduanya berpisah dengan mobil masing-masing.Di perjalanan, Kanza merasa tak tenang juga was-was kembali ke kampusnya. Ia belum siap jika harus bertemu dengan rektor juga teman-teman yang sudah memfitnahnya.“Ada yang, Nyonya sedang fikirkan?”“Tidak. Siapa namamu?”“Helen, Nyonya.”Kanz
Melvin tiba di rumah ketika jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam.Ia naik ke lantai dua kamarnya, namun disana tak menemukan sosok sang istri kecil di atas ranjang.“Kemana dia?”Melangkah ke dalam, Melvin mendengar suara-suara berisik dari dalam ruang ganti pribadi.“Apa yang kamu lakukan?”Brak.Tumpukan kardus itu jatuh, tanpa sengaja mengenai tangan Kanza yang tengah terluka.“Ach,” erangnya menahan sakit.“Udah dibilang jangan banyak tingkah. Bisa nggak dengerin apa kata suami, gini kan jadinya kalau.”Melvin membawa Kanza ke kamar, meminta istrinya itu untuk duduk di atas ranjang.“Sakit,” keluhnya.Mata Melvin meliriknya tajam, rasanya ia begitu kesal dengan istri kecilnya.“Ini akibat kalau nggak nurut sama suami.”Tangannya di bolak balik dengan begitu hati-hati, seperti tengah menjaga kaca yang mudah retak.Namun tiba-tiba terdengar isak tangis seseorang. Dahinya berkerut, menatap Kanza yang saat ini menangis di de
Tari terus menatap lembar foto yang menampakkan dirinya dengan seorang pria tua. Jelas itu memang dirinya dan ia tahu siapa laki-laki yang tengah bersama dengannya.Namun semuanya tidak seperti yang tertulis di foto itu, Tari tidak sedang menjajakan tubuhnya pada laki-laki tua seperti yang tertulis dibalik foto.Matanya bergantian menatap tulisan juga layar laptop, disana jelas terpampang wajah laki-laki tampan yang begitu menarik perhatian.“Aku harus bisa mendekatinya. Selain bisa menyelamatkan usaha mama, aku juga bisa hidup tenang bersamanya. Nggak akan ada seorang pun yang bakal berani menggangguku, tidak seorang pun bahkan jika itu orang tuaku.”“Atau?”Tari tersenyum smirk, “Endi Pramuwira, nama yang sangat elegan. Sesuai dengan wajah tampannya.”Tari kembali mencari semua informasi terkait Endi, ia tidak ingin salah langkah dan gagal dalam rencananya kali ini.Tari akan melakukan apapun asal bisa lebih dekat dengan laki-laki tersebut, bahkan jika ia harus membuang rasa malu ju