LOGINMelvin perlahan membuka matanya, ia mulai membiasakan matanya dengan cahaya.
Tenggorokannya benar-benar kering, ia begitu kehausan.
Berkali-kali ia meminta minum, namun Kanza yang takut malah berdiri jauh dari tempat Melvin berada.
“Air, haus sekali,” gumamnya terbata-bata.
Dengan perasaan was-was, Kanza mulai mendekatinya. Mengarahkan sedotan itu ke bibir Melvin.
“Siapa ... kamu?”
Kanza membeku, ia tak tahu harus menjawab apa saat ini.
“Em, saya panggil dokter dulu. Kamu harus segera diperiksa,” serunya berlari keluar, sebab dokter tak kunjung datang.
Melvin mengerutkan dahinya, kepalanya terasa begitu pusing efek dari kecelakaan yang menimpanya.
Ia pun perlahan mengingat kejadian itu.
“Gadis itu?”
Rasa kesal dan marah mulai menyelimuti diri Melvin, ia pun belum menyadari sudah berapa lama ia berada di rumah sakit itu.
Tiba-tiba seorang dokter masuk diikuti dengan seorang suster di belakangnya, dan paling belakang ada Kanza yang juga terpaksa kembali masuk ke sana.
“Semuanya baik-baik saja, hanya tinggal pemulihan. Tidak ada efek serius dari benturan, jadi suami Anda tidak perlu menjalani tes ulang.”
“Ba-baik, Dok. Terima kasih,” ucapnya begitu gugup. Terlebih disaat dokter mengatakan kata ‘suami’ dan ia harus mengiyakannya, di sana tatapan tajam Melvin menghunus jantungnya.
“Kemari,” titah Melvin saat melihat Kanza berjalan keluar mengikuti dokter.
“Saya bilang kemari, jangan membuat saya mengulangi,” perintahnya. Pria itu masih terbaring lemah, tetapi ucapan dan nada bicaranya begitu mengintimidasi.
Kanza terperanjat, ia pun buru-buru berbalik dan menghampirinya.
Kanza secara spontan segera meminta maaf, ia tahu kesalahannya begitu besar bahkan hampir menghilangnya nyawa orang. Ia terus mengatupkan telapak tangannya, memohon pada Melvin untuk memaafkan dirinya.
“Jadi kamu sudah sadar dengan kesalahanmu itu?”
“Iya.” Tertunduk dengan derai air mata bersalah.
“Dan kamu tahu betapa bahayanya kecerobohan kamu itu, bukan? Beruntung saya masih hidup dan kamu tidak di penjara.”
“Maaf, “ cicitnya memelas.
“Lalu kenapa bisa dokter mengira kamu istri saya?”
“Itu- itu—
“Jawab.”
“Karena aku tidak menemukan identitasmu, makanya aku mengisi prosedur rawat inapnya dengan identitas palsu dan hubungan palsu.”
“Oh, astaga.”
Melvin pun tak punya tenaga untuk berdebat dengan Kanza saat ini, ia pun menghemat energinya yang masih sangat sedikit itu.
Kepalanya yang kembali berdenyut membutnya mengerang kesakitan.
Kanza panik, ia pun mendekat dan membantu Melvin kembali berbaring.
Saat ingin menekan tombol darurat, Melvin mencekal tangannya.
“Kenapa?”
“Saya hanya butuh istirahat.”
Kanza pun mengurungkan niatnya saat Melvin melepas cengkramannya.
“Kalau begitu istirahatlah, saya akan disini menunggu. Saya tidak akan kabur,” ujarnya.
“Sudah semestinya begitu, saya begini juga karena ulahmu,” balas Melvin dengan mata terpejam.
“Maafkan saya,” sesalnya seraya menundukkan kepala.
Tak butuh waktu lama, Melvin kembali tertidur.
Dan setelah memastikan Melvin benar-benar tidur, seperti biasa ia akan pergi meninggalkannya untuk bekerja.
“Maaf, tapi saya tidak akan lama. Setelah pekerjaan selesai, saya akan segera kembali kesini,” lirih Kanza.
**
Tepat pukul sebelas malam, Kanza kembali ke rumah sakit.
Namun saat tiba, ia dikejutkan dengan Melvin yang tengah bersandar di ranjang.
“Dari mana saja kamu?”
“Oh astaga.” Kanza memegangi dadanya.
Perlahan Kanza mendekat, meletakan tas miliknya di kursi tak jauh dari ranjang Melvin.
“Saya bertanya, dari mana saja kamu sampai malam baru kembali,” tanyanya begitu datar.
Kanza menghela nafas. “Saya baru pulang bekerja, kenapa belum tidur? Ini sudah malam.”
“Kamu tahu ini sudah malam, lalu kenapa malah baru pulang bekerja?”
“Maaf, tapi jam kerja saya baru selesai.”
“Kerja apa sampai jam segini baru selesai?”
Kanza mengernyitkan dahinya, laki-laki di depannya itu terlalu janggal untuknya saat ini.
Terlalu banyak bertanya, terkesan posesif tak jelas bahkan seperti seorang kekasih yang tengah mencemaskan pujaan hatinya.
“Maaf, beberapa hari ini saya mengambil shift malam.”
Melvin tak puas dengan jawaban itu, ia terus mendesak Kanza untuk memberitahunya tentang pekerjaannya itu.
Namun Kanza terus menghindarinya, bahkan wanita itu mengabaikannya dan meninggalkannya pergi ke kamar mandi. Kanza tentu tidak ingin menjawab pertanyaan yang sifatnya personal seperti itu, tetapi situasinya juga membuatnya tetap harus berada di sini dan berhadapan dengan pria itu.
Kanza yang hendak keluar dari dalam kamar mandi berdoa, “Semoga dia sudah tidur, aku benar-benar takut.”
Namun saat baru melangkah, ia malah sudah disuguhi tatapan tajam Melvin padanya.
“Tutup pintunya dan segera ke sini, kita harus bicara.”
Kanza hanya bisa menghela nafas, berjalan lunglai menuju ke tempatnya.
“Saya ingin kita bicara serius.”
“Ya, bicaralah. Saya akan mendengarkannya,” ucapnya begitu lembut
“Saya mau kamu bertanggung jawab atas apa yang sudah menimpaku saat ini. Ini semua kesalahan dari kecerobohanmu hingga mengakibatkan orang lain celaka.”
“Maaf, saya akan bertanggung jawab. Tapi saya sudah merawatmu selama ini, bahkan saya juga membiayai pengobatanmu,” cicit Kanza takut.
“Tapi saya tidak butuh semua itu.”
“Lalu saya harus bertanggung jawab seperti apa? Apa harus saya melukai kepalaku hingga sama dengan lukamu? Atau saya harus mematahkan kakiku agar sama dengan kakimu, atau—
“Menikah denganku.”
Pagi yang sangat cerah untuk Nadia, langkah kakinya terasa begitu ringan berayun menepis angin.Senyum di wajahnya tak pernah luntur, gadis itu tersenyum senang entah dengan alasan apa.Namun Nadia berbeda, gadis yang dulu nampak santai dan cantik natural kini berubah menjadi wanita dewasa dengan riasa bold di wajahnya.Pakaian minim dengan paduan both fashion menjadi sorotan warga kampus pagi itu. Bukannya risih, Nadia merasa senang karena berfikir berhasil menjadi pusat perhatian.“Nadia yang dulu sudah mati, sekarang hanya ada Nadia yang kuat.” gumam Nadia.Reno mendengar desas desus nya, sedikit banyak ia mendengar jelas tentang perubahan Nadia yang dirasa begitu drastis dan mendadak.“Apa benar sampai merubah penampilan?” batin Reno penasaran.Namun jelas terlihat jika sama sekali tak ada ketertarikan Reno pada Nadia, baginya Nadia hanya sekedar teman Kanza. Tidak ada lebih bahkan banyak kurangnya.Reno acuh, ia sibuk dengan gebetan barunya. Tentu saja bukan wanita yang di temu
Hinaan juga cacian Nadia masih terus terngiang di telingan dan menusuk dalam ke hatinya. Kanza menangis pilu dalam pelukan suaminya, menyalurkan semua rasa sakit juga luka lama yang kembali di buka secara paksa.Bayangan kelam itu perlahan datang kembali, sakitnya kehilangan juga siksaan menjadi satu dalam sebuah trauma.Trauma yang beberapa tahun ini coba Kanza tahan dan lupa kan, namun hari ini secara paksa menariknya masuk kembali.Kanza belum benar-benar keluar dari traumanya, tapi kini ia di tarik paksa masuk dan seakan terkuci di dalamnya.“Kanza?”Melvin panik, tangis istrinya sudah tak lagi terdengar bahkan pergerakannya pun tak ada.Melonggarkan pelukannya, Melvin benar-benar terkejut saat menyadari Kanza pingsan.“Helen, panggil dokter.” teriaknya sembari membaringkan tubuh Kanza di atas ranjang.Wajah cantik itu nampak sangat pucat, keringat dingin mulai membanjiri keningnya.Dan disini Melvin meli
Arumi pagi ini tengah berkeliling di beberapa usaha butiknya, salah satunya yang berada di mall megah di kotanya.Awalnya semua nampak biasa saja, berjalan seperti biasa layaknya butik yang penuh dengan pembeli.“Tolong siapkan semua data keuangan, saya mau cek hari ini.” ucapnya pada kepala toko disana.Namun ketika ia akan melangkah masuk ke dalam ruangan, ia mendengar suara keributan. Suara teriakan, cacian bahkan hinaan yang di tujukan kepada salah satu karyawan nya.Arumi tak terima, ia pun berbalik dan menghampiri asal keributan.“Kalian nggak tahu siapa saya ya? Saya ini orang terkenal di aplikasi Tik-tik, masa gitu aja nggak tahu.” omelnya.“Maaf, tapi apapun itu disini semua pembelian harus melakukan pembayaran dengan nilai rupiah tidak bisa dengan iklan yang anda tawarkan tadi.”“Heh gila! itu bukan sekedar iklan murahan, ini tuh iklan terkenal langsung dari saya.”“Ada apa ini?&r
Melvin menikmati sarapan dengan begitu tenang, begitu juga dengan Kanza yang diam menghabiskan sarapannya.“Nona, mobil sudah siap.” ucap Helen dari arah belakang sisi Melvin.“Mas, hari ini aku boleh ijin pulang telat?”Meneguk segelas air putih, tanda jika laki-laki itu sudah selesai dengan makanannya.“Mau kemana?”“Aku ada sedikit masalah dengan teman, jadi rencananya aku mau selesain hari ini.”“Masalah apa?”“Ehm, bukan masalah besar.”Melvin hanya menganggukan kepala, ia merasa bukan hal besar yang akan di hadapi oleh istrinya. Ia pun mengijinkannya, namun ia meminta Kanza untuk tidak lebih dari satu jam waktu keterlambatannya kembali.Dan dengan patuh Kanza pun mengiyakan, sebab ia hanya butuh waktu sebentar untuk menyelesaikan masalah dengan Reno juga Nadia.“Oh iya mas, ini semua bekal kamu untuk makan siang. Aku udah siapin dari makanan rin
Kemarahan Nadia benar-benar sudah tak bisa di bendung, tak cukup satu foto yang dibakarnya kini ia mengambil satu album kenangan mereka dan melemparnya ke dalam bara api.“Sekarang, semua sudah lenyap. Nggak ada lagi persahabatan diantara kita, dan semua karena keserakahan lo.” serunya berapi-api.Berbalik pergi, Nadia meninggalkan api itu melahap habis kenangannya bersama dengan Kanza selama ini.Semua kenangan yang telah mereka rangkai selama ini nyatanya hilang dalam sekejab saja. Dan semua hanya karena rasa iri, rasa dendam juga rasa marah yang terus dipendam hingga kini berubah menjadi rasa sakit tanpa bisa tersampaikan.Dengan mata merah menahan air mata, Nadia membuang semua bingkai foto hingga barang-barang yang berkaitan dengan Kanza. “Sorry, Za. Tapi gue udah nggak bisa lagi. Gue udah capek dengan keegoisan lo selama ini.”Rasa sakit yang Nadia rasakan benar sudah menutup semua pintu hati juga pikirannya. Sedang ditempat lain, nampak Kanza tengah menikmati makan malamnya d
Dengan sisa tenanganya, Melvin bangkit mengikuti langkah sang asisten.Namun ketika separuh tubuhnya hampir keluar dari ruangan, ia pun berhenti dan berbalik menatap Kanza si istri.“Kita pulang sama-sama.”“Jangan pernah keluar dari ruangan ini tanpa ijin dariku,” lanjutnya yang kemudian menghilang dibalik pintu yang tertutup.Kanza pun hanya bisa menghela nafasnya, menatap sekitar ruangan yang dinilainya sangat mewah untuk ukuran pegawai.“Lumayan mewah untuk ukuran karyawan biasa.”Ia pun menyandarkan punggungnya pada sofa, mengeluarkan ponselnya dan mulai berselancar di media sosial.Baru saja ingin membuka satu aplikasi sosmed, ponsel itu berdering dengan nama Nadia di layar nya.---Obrolan Telpon---“Iya Nad, kenapa?”“Kenapa lo bilang, gila sih lo.” dengan nada kesal.“Kenapa sih, kok lo ketus gitu sama gue ngomongnya.”“Za, kan kita ada janji di mall sama Reno tadi dan kenapa lo nggak datang?”“Lah, gimana? Kan tadi lo sendiri yang minta gue buat nggak datang karena pengen ber







