Share

3.

last update Last Updated: 2025-02-27 23:18:42

Melvin perlahan membuka matanya, ia mulai membiasakan matanya dengan cahaya.

Tenggorokannya benar-benar kering, ia begitu kehausan.

Berkali-kali ia meminta minum, namun Kanza yang takut malah berdiri jauh dari tempat Melvin berada.

“Air, haus sekali,” gumamnya terbata-bata.

Dengan perasaan was-was, Kanza mulai mendekatinya. Mengarahkan sedotan itu ke bibir Melvin.

“Siapa ... kamu?”

Kanza membeku, ia tak tahu harus menjawab apa saat ini.

“Em, saya panggil dokter dulu. Kamu harus segera diperiksa,” serunya berlari keluar, sebab dokter tak kunjung datang.

Melvin mengerutkan dahinya, kepalanya terasa begitu pusing efek dari kecelakaan yang menimpanya.

Ia pun perlahan mengingat kejadian itu.

“Gadis itu?”

Rasa kesal dan marah mulai menyelimuti diri Melvin, ia pun belum menyadari sudah berapa lama ia berada di rumah sakit itu.

Tiba-tiba seorang dokter masuk diikuti dengan seorang suster di belakangnya, dan paling belakang ada Kanza yang juga terpaksa kembali masuk ke sana.

“Semuanya baik-baik saja, hanya tinggal pemulihan. Tidak ada efek serius dari benturan, jadi suami Anda tidak perlu menjalani tes ulang.”

“Ba-baik, Dok. Terima kasih,” ucapnya begitu gugup. Terlebih disaat dokter mengatakan kata ‘suami’ dan ia harus mengiyakannya, di sana tatapan tajam Melvin menghunus jantungnya.

“Kemari,” titah Melvin saat melihat Kanza berjalan keluar mengikuti dokter.

“Saya bilang kemari, jangan membuat saya mengulangi,” perintahnya. Pria itu masih terbaring lemah, tetapi ucapan dan nada bicaranya begitu mengintimidasi.

Kanza terperanjat, ia pun buru-buru berbalik dan menghampirinya.

Kanza secara spontan segera meminta maaf, ia tahu kesalahannya begitu besar bahkan hampir menghilangnya nyawa orang. Ia terus mengatupkan telapak tangannya, memohon pada Melvin untuk memaafkan dirinya.

“Jadi kamu sudah sadar dengan kesalahanmu itu?”

“Iya.” Tertunduk dengan derai air mata bersalah.

“Dan kamu tahu betapa bahayanya kecerobohan kamu itu, bukan? Beruntung saya masih hidup dan kamu tidak di penjara.”

“Maaf, “ cicitnya memelas.

“Lalu kenapa bisa dokter mengira kamu istri saya?”

“Itu- itu—

“Jawab.”

“Karena aku tidak menemukan identitasmu, makanya aku mengisi prosedur rawat inapnya dengan identitas palsu dan hubungan palsu.”

“Oh, astaga.”

Melvin pun tak punya tenaga untuk berdebat dengan Kanza saat ini, ia pun menghemat energinya yang masih sangat sedikit itu.

Kepalanya yang kembali berdenyut membutnya mengerang kesakitan.

Kanza panik, ia pun mendekat dan membantu Melvin kembali berbaring.

Saat ingin menekan tombol darurat, Melvin mencekal tangannya.

“Kenapa?”

“Saya hanya butuh istirahat.”

Kanza pun mengurungkan niatnya saat Melvin melepas cengkramannya.

“Kalau begitu istirahatlah, saya akan disini menunggu. Saya tidak akan kabur,” ujarnya.

“Sudah semestinya begitu, saya begini juga karena ulahmu,” balas Melvin dengan mata terpejam.

“Maafkan saya,” sesalnya seraya menundukkan kepala.

Tak butuh waktu lama, Melvin kembali tertidur.

Dan setelah memastikan Melvin benar-benar tidur, seperti biasa ia akan pergi meninggalkannya untuk bekerja.

“Maaf, tapi saya tidak akan lama. Setelah pekerjaan selesai, saya akan segera kembali kesini,” lirih Kanza.

**

Tepat pukul sebelas malam, Kanza kembali ke rumah sakit.

Namun saat tiba, ia dikejutkan dengan Melvin yang tengah bersandar di ranjang.

“Dari mana saja kamu?”

“Oh astaga.” Kanza memegangi dadanya.

Perlahan Kanza mendekat, meletakan tas miliknya di kursi tak jauh dari ranjang Melvin.

“Saya bertanya, dari mana saja kamu sampai malam baru kembali,” tanyanya begitu datar.

Kanza menghela nafas. “Saya baru pulang bekerja, kenapa belum tidur? Ini sudah malam.”

“Kamu tahu ini sudah malam, lalu kenapa malah baru pulang bekerja?”

“Maaf, tapi jam kerja saya baru selesai.”

“Kerja apa sampai jam segini baru selesai?”

Kanza mengernyitkan dahinya, laki-laki di depannya itu terlalu janggal untuknya saat ini.

Terlalu banyak bertanya, terkesan posesif tak jelas bahkan seperti seorang kekasih yang tengah mencemaskan pujaan hatinya.

“Maaf, beberapa hari ini saya mengambil shift malam.”

Melvin tak puas dengan jawaban itu, ia terus mendesak Kanza untuk memberitahunya tentang pekerjaannya itu.

Namun Kanza terus menghindarinya, bahkan wanita itu mengabaikannya dan meninggalkannya pergi ke kamar mandi. Kanza tentu tidak ingin menjawab pertanyaan yang sifatnya personal seperti itu, tetapi situasinya juga membuatnya tetap harus berada di sini dan berhadapan dengan pria itu.

Kanza yang hendak keluar dari dalam kamar mandi berdoa, “Semoga dia sudah tidur, aku benar-benar takut.”

Namun saat baru melangkah, ia malah sudah disuguhi tatapan tajam Melvin padanya.

“Tutup pintunya dan segera ke sini, kita harus bicara.”

Kanza hanya bisa menghela nafas, berjalan lunglai menuju ke tempatnya.

“Saya ingin kita bicara serius.”

“Ya, bicaralah. Saya  akan mendengarkannya,” ucapnya begitu lembut

“Saya mau kamu bertanggung jawab atas apa yang sudah menimpaku saat ini. Ini semua kesalahan dari kecerobohanmu hingga mengakibatkan orang lain celaka.”

“Maaf, saya akan bertanggung jawab. Tapi saya sudah merawatmu selama ini, bahkan saya juga membiayai pengobatanmu,” cicit Kanza takut.

“Tapi saya tidak butuh semua itu.”

“Lalu saya harus bertanggung jawab seperti apa? Apa harus saya melukai kepalaku hingga sama dengan lukamu? Atau saya harus mematahkan kakiku agar sama dengan kakimu, atau—

“Menikah denganku.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Istri Presdir Dingin   17.

    Melvin memesan puding juga es krim untuk dirinya juga Kanza. Namun saat hendak kembali ia merasakan perutnya melilit, dengan buru-buru ia mencari toilet di sekitarnya.Namun saat di toilet, ia mendengar suara orang di luar yang tengah mengobrol.Samar-samar ia mendengar jika orang tersebut tengah menceritakan pertengkaran di area restoran.“Kayak nggak ada tempat lain aja, malu-malu in.” Selorohnya.“Cukup Tar, lo udah kelewatan.” Sentak Kanza pada akhirnya. Ia sudah lelah dengan teriakan juga caci maki dari Tari.“Haha.”Plak.Kanza terkejut, begitu juga beberapa orang yang tengah menatap pada keduanya.“Tamparan itu bahkan nggak sebanding dengan kejahatan lo sama gue.”Mengibaskan rambutnya, Kanza menatap kesal pada Tari yang sudah mulai di luar kendali.Gadis itu begitu kesetanan menyerangnya, ia pun sampai bertanya-tanya apa lagi kesalahannya.

  • Terpaksa Jadi Istri Presdir Dingin   16.

    Masih di balkon kamar, dua anak manusia saling mendengarkan dan mencerna. Lebih tepatnya Melvin yang tengah mendengarkan istrinya, tentang rasa sedih dan luka yang lagi dan lagi terbuka.“Aku bahkan nggak ngerti dengan apa yang mereka bicarakan. Tapi ibu itu malah terus menuduhku, memaksa rektor untuk mengeluarkanku dengan ancamannya.”“Dia mengancam apa?”“Jika pihak kampus tidak mengeluarkanku, maka dia akan mencabut semua bantuan untuk kampus.”Telinganya dengan seksama mendengar, matanya dengan teduh menatap juga tangannya yang selalu sigap menghapus air mata.Melvin benar-benar manis pagi ini. Bahkan di tengah rasa sedihnya, Kanza masih bisa berdebar dengan perlakuan manis tersebut.“Gimana nanti kalau saya benar-benar di keluarkan, Tuan?”Tangannya terulur, menyelipkan anak rambut yang menutupi indah wajah sang istri.“Apa kamu lupa dengan apa yang saya katakan sehari

  • Terpaksa Jadi Istri Presdir Dingin   15.

    Kanza terbangun karena kantong kemihnya terasa begitu penuh, ingin ia segera bangkit dan membuang semuanya.Namun tidak semudah itu, sesuatu kini tengah membelit tubuhnya.“Astaga, sejak kapan?” menatap tangan kokoh yang saat ini memeluknya dengan posesif.Kanza begerak dengan begitu pelan, berusaha menyingkirkan tangan kokoh itu dengan sangat pelan.“Jangan bangun ya, maaf. Maaf ya, tidur lagi.” Gumamnya.Jantungnya seakan berhenti saat melihat suaminya menggeliat dan berpindah posisi.Nyatanya Melvin tak terbangun, ia hanya mengubah posisi atau mungkin tengah mencari posisi nyamannya.Melihat itu membuat Kanza segera berlari menghindar, menuntaskan apa yang sudah seharusnya di lakukannya pagi itu.Keluar dengan wajah segar, Kanza memilih duduk di balkon kamar.Semilir angin menemaninya menikmati pagi, menerbangkan rambut yang basah terkena air.Pikiran nya melayang, mengingat tentang huku

  • Terpaksa Jadi Istri Presdir Dingin   14.

    Kanza begitu lahap menyantap makan malamnya, hanya makanan sederhana namun nampak sangat nikmat.Melvin mengikuti jejak istrinya, ia juga ikut menikmati makan malam yang sebenarnya sudah sangat kemalaman itu.Bagaimana tidak jika mereka baru merasa lapar ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah satu malam.Dan disinilah keduanya, sebuah warung pinggir jalan yang nampak ramai dengan pengunjungnya.Walau sederhana namun Melvin begitu menikmatinya.Entah memang karena makanan yang sesuai dengan seleranya, atau karena ada Kanza bersamanya.Sesekali Melvin melirik dengan penasaran, namun sebisa mungkin di tahannya.Ia tak ingin istrinya kehilangan selera makan.Kanza melirik minuman milik suaminya, ia pun dengan tanggap memberikan minuman miliknya.“Minum ini, nanti seret.”Begitu patuh, Melvin meneguk minuman langsung dari botolnya.Mata Kanza membola, tak percaya.“Tuan, itu kenapa

  • Terpaksa Jadi Istri Presdir Dingin   13.

    Nadia menunggu dengan cemas di depan ruang rektor, berkali-kali ia mencoba mengintip lewat jendela namun tak satupun yang dapat dilihatnya.Dan tak lama pintu terbuka, Kanza keluar dengan wajah sendu.“Gimana? Apa kata rektor?” cecar Nadia cemas.Kanza menghela nafas, ia pun menatap Nadia dengan tatapan iba.“Jangan bikin panik deh, cepat jawab.”Tiba-tiba saja ibunya Dewi keluar dengan wajah bersungut-sungut.Sempat berhenti sejenak di dekat Kanza sebelum akhirnya pergi membawa kemarahannya.“Za?”Kanza melangkah pergi, diikuti Nadia yang masih penasaran dengan hasil di ruang rektor.Bukan hal biasa saat ia bisa melihat sahabatnya keluar dari ruang rektor dengan baik-baik saja.Memilih duduk di kelas, Kanza menyibukkan dirinya dengan buku-buku pelajaran.“Za, lo belum kasih tahu gue apa hasilnya?” cecarnya.Melirik sekilas, “Gue di skors satu min

  • Terpaksa Jadi Istri Presdir Dingin   12.

    Pagi kembali menyapa, namun hangat sinyarnya tertutup oleh dingin sikap Melvin.Kanza hanya bisa menatap suaminya dari jarak aman, jarak dimana ia masih bisa melihat kegiatan Melvin tanpa harus menampakkan diri.Ia tahu suaminya sedang marah, namun ia tak tahu jika dirinya lah penyebabnya.Melvin melangkah keluar kamar, mengabaikan Kanza yang masih menunggu di sudut ruang.“Kenapa marahnya lama banget sih?” gumamnya.Namun tiba-tiba Melvin kembali lagi, berjalan melewati Kanza masuk ke dalam ruang ganti.“Tuan, anda mau kemana?”Mata Kanza tak lepas dari koper yang ada di tangan Melvin, menyisakan tanda tanya akan diamnya sang suami.“Tuan, saya bertanya.”“Dinas.”Singkat, lalu berjalan pergi meninggalkan Kanza yang masih tak mengerti dengan sikap suaminya.Pagi itu menjadi pagi terakhir keduanya bertemu.Sudah lebih dari dua hari Melvin meninggalkan rumah, bahkan tak satu pun kabar ia berikan pada Kanza.Endi berulang kali menegurnya, meminta Melvin untuk bisa menghargai Kanza sebag

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status