“Bagaimana keadaannya?” tanya Morgan pada dokter Bram dengan nada yang kurang bersahabat.
Namun, siapa pun yang berhubungan dengan Morgan selama ini pasti sudah sangat hafal dengan sikap dan ucapannya itu. Jadi, mereka tidak akan muda tersinggung dengan apa yang dikatakan oleh Morgan atau pun dengan sikapnya yang memang terkenal sangat kejam itu.
“Nona Muda ini hampir saja kehilangan nyawanya dan ia juga mengalami dehidrasi, Tuan,” jawab Bram yang baru saja selesai memeriksa keadaan sang wanita.
“Siapa yang menyuruhmu memanggilnya dengan sebutan Nona Muda? Apa kau pikir di aini istriku?” tanya Morgan kasar.
“Ma-maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud seperti itu.” Suara Bram terdengar gemetar menjawab pertanyaan Morgan.
“Lalu apa? Kau tidak berpikir bahwa dia pantas untukku?” tanya Morgan lagi dan sontak membuat Leo dan Bram memandangnya dengan tatapan heran.
Morgan sendiri tidak mengerti mengapa ia menjadi orang yang tidak memiliki pendirian seperti ini. Di satu sisi ia sangat tidak ingin melihat wajah wanita yang sedang terbaring tak sadarkan diri di ranjangnya itu. Selang infus terpasang pada punggung tangan kanannya dan ada balutan perban yang memperlihatkan bercak darah di pergelangan tangan kirinya.
Menyadari bahwa sikap dan ucapannya menyebabkan kebingungan pada Leo dan Bram, akhirnya Morgan mengalihkan pandangannya pada wanita bernam Vallencia Zang itu. ia menatap wanita yang hampir mati itu dengan pandangan yang tak bisa diartikan oleh Bram, bahkan oleh Leo yang sudah di sisinya selama sepuluh tahun belakangan ini.
“Leo! Antarkan Bram ke ruangan tamu untuk istirahat!” titah Morgan pada Leo dan membuat Bram cukup terkejut.
“Baik, Tuan Muda.” Leo menjawab dengan patuh.
“Morgan! Apa-apaan ini? Aku tidak bisa tinggal di sini sekarang, ada pasien yang harus menjalani operasi setengah jam lagi dan aku harus menanganinya sendiri!” ucap Bram dengan suara lantang, mencoba untuk menolak titah Morgan.
Bram adalah sahabat baik Morgan sejak mereka masih berusia lima tahun. Orang tua mereka terlibat persaingan bisnis dan sampai saat ini masih saja bermusuhan. Untungnya, itu semua tidak merusak persahabatan Morgan dan Bram. Itu sebabnya Bram berani membantah ucapan Morgan, meski ia tahu apa yang dikatakan Morgan adalah sesuatu yang mutlak dan tidak akan bisa berubah dengan mudahnya.
Morgan melirik ke arah Bram dan bola matanya seakan tajam menusuk hingga masuk ke bola mata Bram dan membuat pria muda yang berprofesi sebagai ahli bedah itu tidak dapat berkata apa-apa lagi setelah menundukkan pandangannya.
“Baik lah. Apa yang tidak bisa kulakukan untuk Tuan Muda kaya raya dan tak terjamah seperti dirimu?” tanya Bram saat ia berusaha menyeret langkahnya dengan terpaksa menjauh dari ranjang tempat Vallen sedang terbaring.
“Jangan mengatakan sesuatu yang tidak kusenangi atau kau akan berakhir di pedalaman Papua!” ancam Morgan dan tentu saja itu tidak hanya sekedar ancaman belaka. Morgan selalu serius dengan apa yang dikatakannya dan tidak perduli pada siapa ia mengucapkannya.
“Oke … oke … antar aku ke kamarku, Leo! Aku harus bersiap siaga menunggu perintah dari Tuan Mudamu yang bujang lapuk ini. Dan kurasa kau juga akan tertular penyakitnya itu, Leo.” Bram berkata seraya berjalan meninggalkan Morgan yang masih berdiri tak berkutik di depan tubuh wanita yang ia tatap dengan penuh kebencian itu.
Morgan masih mendengar apa yang dikatakan oleh Bram, akan tetapi ia tidak menggubrisnya karena memang sudah biasa Bram mengata-ngatainya di belakang. Namun, Morgan memang tidak pernah menganggap serius candaan dan gurauan Bram padanya itu.
Bram dan Leo keluar dari kamar Morgan dan menutup pintu dengan rapat. Memang tidak ada yang bisa membantah apa pun yang dikatakan oleh Morgan selama pria itu sudah mengeluarkan titahnya dengan nada tegas dan ekspresi yang sangat serius. Bram sengaja menyindir Morgan yang memang belum menikah di usianya yang sudah menginjak tiga puluh lima tahun. Sementara Bram sendiri sudah memiliki sepasang putra dan putri yang berusia tiga dan lima tahun saat ini.
“Di mana aku sekarang?” tanya wanita yang sedang berusaha menggerakkan tubuhnya dan memandang ke sekeliling kamar yang sekarang menjadi tempatny beristirahat.
“Kau ada di kamarku! Apa kau senang bahwa sekarang kau masih hidup? Aku menyelamatkan nyawamu lagi kali ini!" jawab Morgan dengan suara yang mampu membuat binatang buas pun akan menjadi patuh dan menurut padanya.
“Kenapa kau menyelamatkanku? Aku lebih baik mati dari pada harus menjadi tawananmu!” pekik Vallen dengan sekuat tenaganya.
“Aku tidak akan membiarkan kau mati dengan mudah, Vallen! Setelah apa yang telah kau lakukan dalam hidupku, kau pikir semudah itu untuk mati? Jangan bermimpi!”
“Aku tidak pernah melakukan apa pun padamu dan aku bahkan tidak pernah mengenalmu!”
“Jangan membohongiku, Vallen! Kau tahu seperti apa jika setan kemarahan dalam diriku sudah bangit, hem?” tanya Morgan sambil mencengkram rahang Vallen dengan keras.
Hal itu membuat Vallen meringis kesakitan, dan Morgan tentu saja melihat perubahan ekspresi Vallen dengan sangat jelas. Wajahnya yang masih sangat pucat karena baru saja kehilangan banyak darah membuat ekspresi kesakitan di wajah mungil itu terlihat sangat menyedihkan. Namun, berbeda dengan Morgan yang justru merasa sangat puas setelah melihat Vallen meringis kesakitan seperti itu.
“Lepaskan aku dan biarkan aku kembali pada keluargaku!” pinta Vallen dengan nada lemah. Berbeda dengan nada yang tadi ia keluarkan saat berusaha melawan Morgan.
“Keluargamu? Keluarga yang mana yang sedang kau bicarakan? Keluarga Zang yang sudah membuangmu dan mencampakkanmu seperti sampah? Dan kau masih menaganggap mereka keluarga?” tanya Morgan dengan suara tinggi dan menggertakkan giginya dengan geram.
“Jangan mengatakan hal buruk tentang keluargaku. Mereka yang selama ini sudah merawatku dengan baik,” bantah Vallen dengan tegas.
“Bangun lah dari mimpimu, Vallen. Sadar lah siapa dirimu saat ini dan ingat lah semua yang telah mereka lakukan padamu,” ucap Morgan seperti sedang mencoba mengingatkan Vallen pada sesuatu.
Vallen tidak mengerti dengan semua yang terjadi pada dirinya hari ini. Awalnya ia hanya sedang berjalan-jalan setelah bertahun-tahun hidup di sebuah pulau terpencil. Itu karena keluargany berkata bahwa ia sedang disembunyikan dari seorang mafia yang mengincar nyawanya. Namun, saat ini mafia itu sudah melupakan tentangnya dan Vallen bisa kembali menjalani kehidupan normal di kota kelahirannya.
Tanpa diduga sekelompok orang malah menculiknya dan membawanya ke rumah pria yang memang tidak pernah ia kenali itu. Dan yang lebih membuat Vallen heran, pria itu mengenalnya dan seperti menyimpan sebuah dendam besar padanya.
“Aku tidak pernah mengenalmu, Tuan. Banyak wanita bernama Vallen di dunia ini dan kurasa kau sudah salah mengenali orang. Sebaiknya, lepaskan aku sekarang juga. Putriku pasti sangat mencemaskan diriku saat ini,” ucap Vallen dengan nada memohon pada Morgan.
Namun, hal itu justru membuat rahang Morgan mengeras karena mendengar kalimat terakhir yang dikatakan oleh Vallen.
“Putri?” tanya Morgan dengan emosi yang berusaha ia redam.
“Ayo, Crish! Mami sudah siap berkemas, lebih baik pergi sekarang juga. Sebelum ayahmu pulang dan membuat semua rencana kita berantakan,” ajak Diana kepada Cristian.“Sabar, Mom. Aku sedang mengerjakan sesuatu,” sahut Cristian dan masih asik dengan ponselnya.“Ayolah! Nanti saja kau urus ponselmu dan game itu! Kau selalu saja tidak pernah bisa diandalkan! Saat seperti ini pun kami masih sibuk bermain game,” ketus Diana dan tidak lupa sedikit kata umpatan pada anak laki-lakinya itu.Cristian sebenarnya hanya sedang mengulur waktu karena ia tidak ingin Diana benar-benar pergi saat ini. Cristian juga masih punya hati dan tidak tega jika harus mengorbankan nyawa ibunya demi menyelamatkan nyawa Lara. Jadi, sejak tadi dia berusaha untuk menyusun rencana agar bisa menyelamatkan Lara dan juga Diana dalam waktu bersamaan.Namun, ternyata semua itu terlalu sulit untuk bisa dia lakukan. Pada akhirnya alarm peringatan dari Morgan pun datang. Ia tidak bisa lagi mengelak saat ini untuk membawa Diana
Di kediamannya, Diana merasa takut karena ia sudah mendengar tentang dirinya yang sedang dalam pencarian Morgan. Sebenarnya, ia tidak perlu terlalu takut saat ini andai itu hanya Morgan saja. Diana memang sudah memutuskan untuk membunuh Vallen dan ia ternyata salah sasaran. Ia menduga gadis yang dibawa oleh Leo di dalam mobilnya itu adalah Vallen.Mereka melukai gadis itu dan kemudian Diana baru menyadari bahwa ternyata itu adalah Cleo – putri semata wayang Vallen dan Morgan. Namun, lagi-lagi tembakannya salah sasaran karena Leo dengan beraninya memberikan tubuhnya sebagai perisai dalam melindungi Cleo dari tembakannya yang brutal itu tadi.“Bukannya aku sudah bilang pada Mami untuk tidak lagi pernah menganggunya! Tapi kenapa Mami masih tetap tidak mau mendengarkan aku?” tanya Cristian dengan sangat geram pada Diana yang bersembunyi di dalam kamarnya.“Diam lah kau, Anak durhaka! Kau bahkan tidak bisa aku andalkan dalam semua hal ini. Padahal, aku melakukan semua ini tentu adalah demi
“Jangan bercanda, Sweety! Kau tidak bisa membohongiku dalam hal seperti ini! Leo tidak mungkin bisa terluka apalagi sampai harus dioperasi seperti itu. Dia tidak akan berani mati sebelum aku menyuruhnya untuk mati.” Morgan berkata dengan nada tidak percaya atas apa yang baru saja diucapkan oleh putrinya itu.“Kau harus memeriksanya ke sana sekarang juga!” titah Vallen yang merasa bahwa semua itu pasti lah benar adanya.“Aku akan menelponnya dulu untuk memastikan.” Morgan berkata lagi sambil mengeluarkan ponsel dari sakunya dan kemdudian menekan tombol panggil di samping nama Leo.Tuuutt … tuuutt ….Tidak ada jawaban dari sana meski sudah beberapa kali Morgan mencoba untuk menghubungi Leo. Memang tidak seperti biasanya, karena Leo tidak pernah membuat Morgan menunggu meski hanya di panggilan kedua kali.Leo adalah kaki tangan kepercayaannya dan tidak pernah membuatnya kecewa selama ini. Mana mungkin Morgan membiarkan Leo pergi begitu saja tanpa pamit. Morgan mendecak kesal dan kemudian
Cleo sudah sampai dengan selamat di rumah sakit berkat perjuangan Leo dan juga pengorbanannya. Ia tidak akan pernah bisa sampai di tempat ini dan bertemu orang tuanya jika saja Leo tidak pasang badan dalam melindunginya dari tembakan orang tidak dikenal saat dalam perjalanan tadi.Saat sampai di rumah sakit, Morgan segera memeluk putrinya itu dengan rasa bahagia dan haru. Meski tetap saja awalnya ia mendapatkan penolakan dari Cleo dan itu tidak mengapa bagi Morgan. Ia mengerti karena Cleo masih dalam keadaan marah padanya perihal kondisi Vallen saat ini.“Tuan … maafkan aku kalau tidak bisa menjaganya dengan maksimal. Nona kecil terluka di lengannya karena pecahan kaca mobil,” ucap Leo saat menghantarkan Cleo ke dalam ruangan perawatan Vallen.“Kau! Kenapa bisa putriku terluka?” tanya Morgan dengan marah dan melayangkan satu pukulan keras pada perut Leo.“Daddy! Stop! Paman Leo sedang terluka!” teriak Cleo dengan sangat keras dan membuat rencana hantaman Morgan terhenti.“Itu sudah me
“Sayang … kapan kau akan bangun? Sudah empat jam kau belum juga membuka mata. Apa kau memang tidak ingin lagi bertemu denganku? Bagaimana dengan kejutan yang sudah aku persiapkan untukmu? Apa kau sama sekali tidak ingin menunggunya datang? Dia pasti akan sangat sedih jika kau tidak menyambut kedatangannya nanti,” ungkap Morgan dengan untaian pertanyaan yang ia lemparkan kepada Vallen.Tubuh wanita itu masih tergelatak di atas ranjang rumah sakit dan belum ada tanda-tanda dia merespon setiap yang dikatakan oleh Morgan. Sejak Morgan menemaninya di dalam ruangan ini, tidak sebentar pun Morgan berhenti mengajak berbicara.Ia masih terus berharap bahwa Vallen bisa membuka matanya sebelum Cleo datang. Ia tahu bahwa Cleo akan mencecarnya dengan makian nanti karena sudah membuat Vallen seperti sekarang ini. Cleo sudah terlalu lama memendam rasa rindunya kepada Vallen. Namun, sekarang ketika mereka akan bertemu kejadian tak terduga ini terjadi.“Selamat siang, Tuan Muda. Kami ingin memeriksa k
Tiga jam sudah berlalu sejak Vallen berada di ruang perawatan dengan semua jenis alat medis yang menempel pada tubuhnya. Morgan merasa sangat teriris ketika melihat hal itu dan dia bahkan terus menangis menyalahkan dirinya.Sesekali ia akan mengelus perut buncit Vallen dan kemudian mengecupnya dengan sangat lembut. Vallen sudah melewati masa-masa kriti, tapi masih dalam masa observasi karena dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk ia bisa kembali sadar dari pingsannya.“Sayang … buka matamu sekarang. Apa kau tidak ingin melihat kejutan yang sudah aku persiapkan untukmu? Aku rasa, sudah waktunya kau untuk tahu hal itu dan maafkan aku jika selama ini harus membuatmu menderita. Semua itu demi kebaikan dirimu dan juga putri kita – Cleo!” ungkap Morgan dengan suara yang sangat lembut seperti berbisik kepada Vallen yang masih memejamkan matanya.Morgan mengeluarkan ponselnya dan kemudian menghubungi Leo yang tadi ia perintahkan untuk menjemput seseorang dan sampai saat ini belum juga sampai