Bab 7: Kenangan yang Tak Pernah Pergi

Langkah Randy mendekat perlahan, setiap langkahnya seolah menggema dalam kepala Alea. Ia ingin berpaling, menghindar dari tatapan itu, tetapi tubuhnya seperti membeku. Rasa cemas, gugup, dan emosi lain yang tak bisa ia pahami bercampur menjadi satu.

Cinta, yang masih berdiri di sampingnya, tampak bingung melihat perubahan ekspresi Alea. “Alea, itu Randy ‘kan?” tanya Cinta dengan suara pelan, tetapi tidak mendapatkan jawaban.

Ketika Randy akhirnya berhenti di depan mereka, Alea menahan napas. Mata coklat pria itu menatap langsung ke dalam matanya, seolah mencari sesuatu yang hilang.

“Alea,” panggil Randy, suaranya lembut, sedikit ragu. Senyuman kecil masih menghiasi wajahnya, tetapi ada keraguan yang tersirat di balik tatapannya. “Lama nggak ketemu.”

Hati Alea terasa seperti diremas. Suara itu, meskipun sederhana, membawa ia kembali ke masa lalu. Ke masa di mana Randy adalah pusat dunianya. Dengan susah payah, ia mengumpulkan keberanian untuk menjawab. “Iya, lama nggak ketemu.”

Randy mengangguk pelan, pandangannya tetap tidak lepas dari Alea. “Aku nggak nyangka kamu datang ke reuni ini.”

Alea tersenyum kecil, mencoba terdengar santai meskipun hatinya terasa berat. “Aku juga nggak nyangka akan ketemu kamu di sini.”

Cinta, yang merasa situasinya semakin canggung, tersenyum kikuk sambil berkata, “Kayaknya aku harus ke meja snack dulu, ya. Kalian ngobrol aja.” Sebelum Alea sempat mencegah, Cinta sudah melangkah pergi.

Kini hanya tinggal Alea dan Randy, berdiri berhadapan di tengah aula yang dipenuhi keramaian, tetapi anehnya terasa begitu sunyi.

“Kamu kelihatan berbeda,” ujar Randy, memecah keheningan. “Tapi kamu tetap … kamu.”

Alea tertawa kecil, meskipun hatinya masih bergejolak. “Berbeda gimana? Jangan bilang aku kelihatan terlalu serius sekarang.”

Randy menggeleng pelan, tatapannya lembut. “Bukan serius. Kamu terlihat … lebih tenang. Tapi, aku rasa di balik itu ada cerita yang panjang.”

Kata-kata itu menghentikan Alea. Seolah-olah Randy mampu menembus dinding yang selama ini ia bangun. Ia ingin menyangkal, ingin berkata bahwa ia baik-baik saja, tetapi apa gunanya? Hanya ada kebohongan yang tersisa di ujung lidahnya.

Akhirnya, ia hanya tersenyum kecil, mencoba mengalihkan pembicaraan, meskipun hatinya terasa bergetar.

“Jadi,” Randy melanjutkan, mencoba mencairkan suasana dengan senyum yang ia kenakan seperti dulu, “Kamu sekarang tinggal di mana? Banyak yang berubah sejak terakhir kita ketemu.”

Alea menelan ludah, seolah pertanyaan sederhana itu adalah beban yang harus ia pikul. “Aku tinggal dekat sini. Aku ... ibu rumah tangga biasa. Hidupku ... ya, begitulah.” Jawabannya terdengar datar, nyaris tanpa emosi, tetapi ia berharap Randy tidak bertanya lebih jauh.

Randy mengangguk pelan, matanya tidak lepas dari wajah Alea. “Masih suka melukis?”

Alea tersenyum tipis, seperti refleks. “Tentu saja.”

Ada jeda sejenak. Namun, Randy adalah Randy—pria yang selalu tahu kapan harus membaca antara kata-kata. Tatapannya tajam, penuh perhatian, seperti sedang mencari sesuatu yang hilang dalam diri Alea.

“Alea, apa kamu baik-baik aja?” tanyanya, suaranya lebih pelan, tetapi langsung menghantam hatinya.

Pertanyaan itu seperti menghancurkan tembok pertahanan Alea, tetapi ia tidak bisa membiarkan semuanya runtuh begitu saja.

Ia ingin menjawab ‘ya’, ingin mengatakan bahwa ia baik-baik saja, tetapi kebohongan itu terlalu sulit untuk diucapkan. Tenggorokannya tercekat, dan kata-kata yang ia coba bentuk terasa menolak keluar.

Namun, sebelum ia sempat memberikan jawaban, suara mikrofon dari panggung utama mengumumkan bahwa acara utama akan segera dimulai.

“Sepertinya kita harus duduk,” kata Alea cepat, mencoba memutus percakapan. Tatapannya menghindar dari Randy, dan ia melangkah menjauh tanpa menunggu jawaban.

Tapi langkahnya terasa berat, seperti setiap kenangan yang dulu ia coba kubur kini kembali menyeruak, menyelimuti dirinya dalam kabut yang menyesakkan.

Hari itu, cinta pertamanya kembali hadir, membawa bersamanya semua rasa yang pernah ia rasakan. Namun, bersamaan dengan itu, ada ketakutan yang tak terdefinisikan—takut bahwa pertemuan ini akan membuka luka lama yang bahkan belum sempat sepenuhnya sembuh.

Alea duduk di salah satu meja bundar yang telah diatur untuk tamu reuni, pandangannya terpaku pada panggung di depan aula. Namun, pikirannya melayang jauh dari keramaian yang berlangsung. Semua suara, tawa, dan sorak-sorai teman-teman lamanya terasa seperti gema jauh yang sulit dijangkau.

Randy memilih tempat duduk tidak jauh dari Alea, tetapi ia tetap menjaga jarak. Namun, kehadirannya terasa begitu nyata, seperti gravitasi yang terus menarik perhatian Alea.

Setelah acara utama selesai, Alea memutuskan untuk pergi lebih awal. Ia merasa terlalu lelah untuk tetap bertahan di tengah keramaian yang menyimpan begitu banyak kenangan.

Ketika ia melangkah keluar aula menuju tempat parkir, udara malam menyentuh kulitnya, membawa serta aroma hujan yang baru saja reda. Ia menarik napas panjang, berharap bisa menenangkan detak jantungnya yang masih kacau.

Namun, langkahnya terhenti ketika suara lembut yang akrab memanggil namanya. "Alea."

Ia berbalik perlahan, dan Randy berdiri beberapa langkah darinya. Tatapan pria itu penuh perhatian, seperti sedang membaca semua emosi yang Alea coba sembunyikan.

"Kamu udah mau pulang?" tanyanya, suaranya tetap hangat seperti dulu.

"Iya," jawab Alea singkat, menghindari tatapannya.

"Aku anter, ya?" tawar Randy. Ia melihat Alea membawa tas kecil dan kunci mobil di tangannya, tetapi tetap bersikeras. "Malam udah mulai larut. Biar aku pastikan kamu aman sampai rumah."

Alea ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. "Oke, terima kasih."

Mereka berjalan menuju mobil Randy yang terparkir di dekat pintu keluar. Sepanjang perjalanan, mereka berbicara ringan tentang teman-teman lama dan kenangan sekolah, tetapi hati Alea terus digelayuti kecemasan yang tak beralasan.

Ketika mobil mulai melaju di jalanan Bandung yang basah, keheningan melingkupi mereka. Randy, seperti biasa, menjadi orang pertama yang memecah keheningan.

"Alea," panggilnya pelan, matanya sesekali melirik ke arah Alea. "Apa kamu benar-benar bahagia sekarang?"

Alea terkejut dengan pertanyaan itu, tetapi ia menahannya dalam hati. Ia menoleh ke luar jendela, menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di matanya. "Aku baik-baik saja, Randy."

Namun, baik Randy maupun dirinya tahu bahwa jawaban itu jauh dari kebenaran.

Ketika mobil berhenti di depan rumah Alea, Randy menatapnya dengan sorot mata penuh keraguan. "Kalau kamu butuh seseorang untuk mendengarkan, kamu boleh cerita sama aku, Alea."

Alea menelan ludah, mencoba tersenyum meskipun bibirnya bergetar. "Terima kasih, Randy."

Saat Alea keluar dari mobil dan melangkah menuju pintu rumah, sebuah mobil lain melaju perlahan di ujung jalan. Di dalamnya, Arka duduk di balik kemudi, menatap pemandangan itu dengan mata yang menyipit tajam.

Hatinya bergetar, tetapi bukan karena cinta. Melainkan karena ego dan cemburu.

Apa yang baru saja ia lihat?