Home / Rumah Tangga / Ranjang yang Bukan Milikku / Bab 8: Luka yang Tak Tertahan

Share

Bab 8: Luka yang Tak Tertahan

Author: Duvessa
last update Last Updated: 2024-11-27 22:56:27

Alea berdiri di depan pintu rumah, tubuhnya gemetar saat ia mencoba mencari kunci di dalam tas kecilnya. Malam itu begitu sunyi, hanya suara serangga malam yang terdengar samar. Dari kejauhan, lampu mobil Randy masih menyala, memberikan penerangan lembut di depan rumah.

Randy duduk di balik kemudi, matanya tidak lepas dari Alea. Ia memastikan perempuan itu benar-benar masuk ke rumah dengan aman. Saat pintu rumah terbuka, Alea menoleh, mengangguk kecil sebagai tanda terima kasih. Randy membalas dengan senyuman tipis sebelum menghidupkan mesin mobil dan pergi.

Namun, hanya beberapa detik setelah Randy berlalu, suara mobil lain mendekat dengan kecepatan yang terasa mengintimidasi. Alea menoleh, dan dadanya langsung terasa berat saat melihat mobil Arka berhenti tepat di depan rumah.

Arka keluar dengan langkah cepat, membawa tas kerja di satu tangan. Wajahnya menunjukkan kelelahan, tetapi matanya … tatapan itu bukan sekadar lelah. Ada sesuatu yang mengintai di sana—amarah, kecurigaan, atau mungkin ego yang terluka.

“Mas, baru pulang?” Alea mencoba memecah keheningan, suaranya pelan tetapi sarat dengan kegugupan.

Arka hanya mengangguk singkat, melewati Alea tanpa sepatah kata. Udara dingin yang terbawa gerakannya terasa menusuk, lebih tajam dari angin malam. Alea mengikuti di belakangnya, mencoba mencari celah untuk berbicara.

“Mas,” Alea memberanikan diri memulai lagi. “Aku baru pulang dari reuni SMA.”

Langkah Arka terhenti di depan pintu ruang tamu. Ia menoleh perlahan, wajahnya datar tetapi sorot matanya tajam.

“Reuni?” ulangnya, nadanya tidak ramah. “Kamu nggak bilang.”

Alea menghela napas pelan, berusaha tetap tenang. “Aku sudah bilang kemarin, Mas. Cinta juga ikut. Aku nggak lama di sana, langsung pulang begitu selesai.”

Arka menyipitkan matanya, menatap Alea seolah mencari kebohongan di setiap kata-katanya. “Kamu pulang sendiri?”

Alea merasa napasnya tercekat, tetapi ia mencoba terlihat santai. “Nggak. Aku pulang sama teman lama.”

“Teman lama?” Arka mendekat, langkahnya berat tetapi terukur. “Siapa?”

“Itu nggak penting, Mas,” jawab Alea cepat, suaranya sedikit bergetar. “Aku sudah di rumah sekarang. Bukankah itu yang penting?”

Namun, Arka tidak puas. Ia berdiri lebih dekat, menatap Alea dengan tajam. “Aku tanya siapa teman lama itu, Alea.”

Alea merasa darahnya berdesir. Amarah dan luka yang selama ini ia pendam perlahan mendidih. “Kenapa kamu harus tahu, Mas? Aku pulang baik-baik, aku nggak ngelakuin apa-apa. Apa itu nggak cukup buat kamu?”

“Cukup?” Arka tertawa pendek, tetapi tawanya penuh sinisme. “Alea, aku punya hak buat tahu. Aku suami kamu.”

Kata-kata itu menghantam Alea seperti tamparan keras.

“Suami?” ulang Alea dengan nada getir. “Mas, aku nggak pernah bertanya kamu pulang malam kenapa, sama siapa. Aku percaya kamu. Tapi kamu? Kamu bahkan nggak pernah mengizinkan aku punya sedikit ruang untuk diriku sendiri.”

“Karena aku nggak mau orang lain berpikir yang macam-macam tentang kamu,” bentak Arka, suaranya mulai meninggi. “Kamu nggak tahu apa yang orang lain bisa pikirkan kalau kamu pulang sama pria lain!”

Alea tertawa kecil, tetapi air matanya mulai menggenang.

“Pria lain?” katanya, nadanya bergetar. “Mas, apa kamu lupa? Kamu yang selalu bilang aku harus tahu batasanku. Kamu yang bilang aku jangan ikut campur urusan kamu. Tapi kenapa, Mas? Kenapa sekarang kamu yang merasa punya hak atas semuanya?”

Arka terdiam sejenak, tetapi rahangnya mengeras. “Kalau kamu nggak suka, kita akhiri saja di sini,” katanya dingin.

Kata-kata itu seperti ledakan di kepala Alea. Ia menatap Arka, matanya penuh dengan emosi yang tidak lagi bisa ia tahan. “Akhiri? Mas, kamu selalu mengancam dengan kata-kata itu, seolah-olah aku ini bukan siapa-siapa. Apa itu cara kamu mencintaiku?”

Arka mendekatkan wajahnya sedikit, nadanya tetap dingin. “Alea, aku capek. Aku nggak mau berdebat malam ini. Kalau kamu mau marah, silahkan. Tapi aku sudah bilang, aku nggak mau ada orang lain ikut campur dalam hubungan kita.”

Alea menggigit bibirnya, menahan isak yang hampir pecah. “Hubungan kita? Mas, hubungan apa? Apa ini masih pantas disebut hubungan?”

Namun, Arka tidak menjawab. Ia hanya memalingkan wajahnya, mengambil tas kerja yang tadi ia letakkan di meja, dan melangkah ke arah kamar. Alea berdiri mematung, air mata jatuh tanpa ia sadari.

“Mas,” katanya pelan, tetapi Arka tidak berhenti. Tidak ada satu pun kata yang tersisa untuknya malam itu.

Alea berdiri di ruang tamu, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, berusaha menahan gemetar yang semakin menjadi. Air mata mengalir tanpa henti, membasahi pipi yang mulai memerah karena campuran emosi—marah, terluka, dan hampa.

Ruangan itu sepi, hanya ditemani suara jam dinding yang berdetak pelan, seolah mengejeknya atas waktu yang terus berjalan tanpa solusi.

Alea memandang sekeliling, sofa yang dulu menjadi tempat mereka berbagi tawa, meja makan tempat mereka merencanakan masa depan, dan foto-foto keluarga yang tergantung di dinding. Semuanya tampak seperti sisa-sisa kehidupan yang pernah ada, tapi kini hanya tinggal bayangan.

Hatinya bertanya dengan getir, “Apa ini masih layak disebut rumah? Atau aku hanya bertahan demi kenangan yang sudah lama hilang?”

Ia memejamkan matanya, mencoba menenangkan diri dengan menarik napas panjang. Namun, setiap hembusan terasa berat, seperti membawa beban yang tidak lagi mampu ia pikul. Perasaan hampa itu semakin nyata, membungkus dirinya dalam kesepian yang memekakkan.

Alea duduk di sofa, tubuhnya terasa lunglai, seolah semua kekuatan telah terkuras habis. Tangannya terulur, menyentuh bingkai foto pernikahan mereka yang terletak di meja kecil di samping sofa.

Dalam gambar itu, Arka tersenyum lebar, memeluknya erat dengan cinta yang dulu terasa nyata. Alea memandangi dirinya sendiri dalam foto itu, mengenang betapa bahagianya ia saat itu. Namun kini, bayangan di cermin hanya menunjukkan sosok wanita yang lelah, penuh luka yang tidak pernah sembuh.

"Apa yang aku perjuangkan selama ini?" pikirnya, air mata kembali jatuh. Ia merasa seperti seorang pelaut yang terus mengemudikan kapal yang sudah tenggelam, berharap ada keajaiban yang menyelamatkannya.

Malam itu, ruangan yang sepi menjadi saksi pergolakan batinnya. Pertanyaan itu terus menghantui, seperti bisikan yang tak pernah mereda:

"Apa aku ini cuma pilihan yang dia sesali?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ranjang yang Bukan Milikku   BAB 171: Akhir Kisah

    Arka baru saja keluar dari ruang pemeriksaan, berdiri hanya beberapa langkah dari Alea. Mata hitamnya tajam, menusuk tanpa perlu banyak kata. Sorotnya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kehadiran, sebuah peringatan yang tak perlu diucapkan.Randy mengerti pesan itu. Ia bisa merasakannya, bisa melihatnya dalam ekspresi Arka yang dingin dan penuh penguasaan.Dan entah kenapa, hal itu menusuknya lebih dalam daripada yang seharusnya.Di hadapannya, ada Alea, wanita yang ia cintai dengan sepenuh hati. Tetapi di sampingnya, berdiri pria yang memiliki ikatan lebih kuat dengannya. Ikatan yang tak bisa ia lawan, tak peduli seberapa besar keinginannya untuk tetap berada di sisi Alea.Ada perbedaan mendasar di antara mereka.Jika Alea terluka, Randy akan selalu datang untuknya. Tetapi Arka? Arka adalah luka itu sendiri. Luka yang menyakitkan, yang merobek, tetapi pada akhirnya, luka itu juga yang mengajarkan Alea cara untuk bertahan.Randy menelan ludah, lalu perlahan menundukkan k

  • Ranjang yang Bukan Milikku   BAB 170: Kehilangan dan Penyadaran

    Hari-hari berlalu, tetapi keheningan yang mencekik sejak perpisahannya dengan Randy masih mengurung Alea dalam kesedihan yang tak berujung. Ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan terbaik, tetapi hatinya tetap terasa hampa. Luka yang tak terlihat itu tetap ada, menyelimuti dadanya dengan perasaan kehilangan yang sulit diungkapkan.Namun, di tengah kekalutan itu, hidup kembali memberinya ujian yang lebih besar.Saat sedang berada di pusat terapi seni, ia merasakan ponselnya bergetar di atas meja. Awalnya, ia enggan mengangkatnya, tetapi ketika melihat nama sebuah rumah sakit yang muncul di layar, detak jantungnya langsung berdebar keras.Dengan tangan sedikit gemetar, ia menekan tombol jawab."Halo?""Apakah ini ibu dari Raka Wicaksana?" Suara seorang perawat terdengar di seberang sana.Jantung Alea mencelos. "Iya, saya ibunya. Ada apa dengan Raka?""Putra Anda mengalami kecelakaan. Kami membawanya ke rumah sakit dalam kondisi kritis. Anda harus segera datang."Dunia Alea seke

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 169: Perpisahan

    Alea berdiri di depan cermin panjang di sudut galeri, menatap bayangannya sendiri seperti melihat seseorang yang tak lagi ia kenali.Cahaya lampu galeri yang temaram membentuk siluetnya, tubuh yang dulu ia banggakan kini tampak begitu rapuh. Matanya sembab, kelopak merah, jejak tangis yang terlalu lama ditahan membuat wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara memenuhi paru-parunya, seolah itu bisa menguatkannya.‘Ini yang terbaik,’ ia berbisik dalam hati. Ini yang seharusnya terjadi.Suara-suara itu masih menggema di telinganya."Dia janda, Randy. Dan dia punya anak. Apa kamu benar-benar sudah memikirkan ini?""Cinta saja tidak cukup."Alea menggigit bibir, mencoba menghalau perih yang tiba-tiba menyusup ke dadanya. Ia tahu sejak awal bahwa menjalin hubungan dengan Randy tidak akan mudah. Ia sadar ada batas yang mungkin tidak bisa mereka langkahi. Namun tetap saja, kata-kata itu terasa seperti palu yang menghantam hatinya berkali-kali.L

  • Ranjang yang Bukan Milikku   BAB 168: Pilihan

    Di tengah keramaian pameran, Alea sibuk menjelaskan sebuah lukisan kepada beberapa pengunjung. Cahaya hangat dari lampu-lampu galeri memantulkan bayangan samar di lantai marmer, menciptakan atmosfer elegan yang kontras dengan kegelisahan yang perlahan menyusup ke dalam dirinya.Di sudut ruangan, Randy berdiri diam, memperhatikan Alea dengan senyum bangga. Ia kagum melihat bagaimana perempuan itu mampu menguasai ruangan, berbicara dengan percaya diri, dan membuat orang-orang terpukau dengan caranya bercerita tentang seni.Namun, suasana yang tenang itu berubah seketika saat dari arah pintu masuk, sepasang suami istri berpenampilan elegan melangkah masuk. Mereka tampak mencari seseorang, tatapan mereka menyapu ruangan dengan penuh tujuan.“Randy!” panggil wanita itu dengan nada ramah tetapi tegas.Randy menoleh. Wajahnya seketika berubah. Ada keterkejutan dalam matanya, diikuti dengan ketegangan halus yang sulit disembunyikan.“Ma, Pa?”Alea yang baru saja menyelesaikan penjelasannya ke

  • Ranjang yang Bukan Milikku   BAB 167: Bertemu Kembali

    Arka menatapnya, matanya tajam seperti biasanya. “Perusahaan kami adalah salah satu sponsor acara ini,” jawabnya singkat, nada dinginnya terasa menusuk.“Dan kamu? Apa alasanmu ada di sini?”Randy mengangguk ringan, berusaha menjaga ketenangannya. “Aku datang untuk mendukung Alea,” jawabnya jujur, meskipun ia bisa merasakan atmosfir di antara mereka berubah tegang.Arka mengangkat alisnya sedikit, sebuah gerakan kecil yang menunjukkan ketidakpuasannya.“Mendukung Alea?” tanyanya, meskipun sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. “Kamu sepertinya cukup sering ada di dekatnya akhir-akhir ini.”Randy tersenyum kecil, meskipun ia tahu ada pertanyaan terselubung di balik kata-kata itu. “Iya, aku memang sering di dekatnya. Karena aku peduli sama dia. Sama Raka juga.”Arka mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha mengendalikan emosi yang mulai muncul.“Raka?” ulangnya, nada suaranya semakin rendah. “Jadi, kamu pikir kamu cukup peduli untuk ada di kehidupan mereka?”Randy menatap Arka dengan

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 166: Di Balik Kanvas

    Alea menggeleng sambil tertawa kecil. “Jangan lebay.”“Tapi itu kenyataannya,” Randy bersikeras dengan senyum lebar. “Aku nggak bakal melewatkan momen penting dalam hidup kamu.”“Dan aku juga berharap dapat panduan khusus dari kamu. Siapa tahu ada cerita menarik di balik karya-karya itu.”Alea tertawa kecil. “Aku nggak bisa janji cerita semuanya. Banyak yang terlalu pribadi.”“Fair enough,” Randy mengangkat bahu sambil tersenyum. “Aku tetap nggak sabar buat datang dan lihat kamu bersinar di tempat kerja kamu.”Alea terdiam sejenak, memandangi Randy dengan rasa terima kasih yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. “Makasih, Randy. Aku… aku senang kamu mau datang.”“Selalu, Alea,” jawab Randy lembut. “Aku di sini buat kamu dan Raka, kapan pun kamu butuh.”Malam itu berlanjut dengan percakapan ringan tentang pameran, tentang Raka, dan tentang seni yang membantu orang-orang menemukan diri mereka. Suasana apartemen Alea yang hangat, ditambah perhatian tulus dari Randy, membuat malam itu t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status