Helena tersenyum kecut ketika menyaksikan Topan dan Hani berdansa bersama sambil berpelukan. Tidak lupa dengan sorak para tamu yang mendukung hubungan keduanya.
Helena kembali tersadar, jika pesta mewah dengan biaya besar ini bukan untuknya, tetapi untuk Hani. Yang lebih menyakitkan, pakaian mereka bahkan terlihat mirip dari segi model. Seorang wanita lain mendekati Helena dengan minuman di tangan kanannya. Ia seperti mengejek nasib buruk Helena yang tidak bisa mendapatkan Topan meski dengan pernikahan. “Kalau aku jadi kamu, lebih baik tinggal di rumah dan menghabiskan waktu dengan kekayaan,” ejeknya, “ternyata meski kau orang kaya, mendapatkan hati Topan tidak bisa,” sambungnya sambil tertawa mengejek. “Lebih baik pikirkan saja nasibmu, aku tahu selama ini kau berdiri di depan toko untuk menghitung seberapa banyak uang untuk sepotong gaun,” sindir Helena kemudian. Wanita tadi mengepalkan tangan, ia segera pergi sebelum terjadi kekacauan akibat ulah Helena yang terlalu sombong. “Masih miskin, tapi berani mengatakan dengan seenaknya.” Helena duduk dengan anggun, menyesap minumannya seraya menyaksikan bagaimana keromantisan Topan dan Hani. “Sepertinya aku membuang banyak waktu di sini.” Helena meletakkan gelas minumannya dan meraih tas miliknya. Ia melenggang melewati Topan dan Hani yang baru selesai menampilkan keromantisan mereka. “Kau mau kemana?” cegah Topan menghentikan langkah istrinya. Semua tamu saling berbisik, “Lihatlah, bahkan gaun yang Hani pakai sama dengan yang Helena punya,” kata mereka, “Hani memang tidak mau kalah, ia dengan berani menyaingi ketenaran Helena.” Mendengar orang-orang bergosip untuknya, Hani segera melaporkan itu pada Topan, “Sayang, orang-orang mengatakan aku mengikuti gaya pakaian Helena, aku sudah bilang, kan. Tidak suka disamakan.” Helena tersenyum miris, melihat tingkah Hani yang seolah sengaja menempelkan badannya pada Topan makin membuatnya muak. “Siapa yang memintamu meninggalkan tempat?” Topan mendengus dengan tatapan datar. “Aku ingin ke toilet,” katanya dengan malas. “Sayang, biarkan saja dia pergi. Kenapa harus kau bawa dia?” Hani semakin mengeratkan pelukan di lengan Topan. “Sayang, tenanglah!” seru Topan, “selama ibuku belum sehat, aku tidak bisa menyingkirkan dia.” Helena tidak mengatakan apa pun atas ucapan Topan, perutnya terasa mual seolah menahan sesuatu di dalamnya, “Masih bergantung dengan uangku saja masih bisa bersikap sok. Jika bukan karena ibu, aku sendiri yang akan bercerai darimu.” “Kau!” geram Topan dengan rahang mengeras, “jangan berpikir akan lepas dariku selama aku belum memintanya,” pungkasnya dengan tatapan tajam. “Kau gila!” pekik Helena. Mendengus kesal, Helena menatap sepasang kekasih itu bergantian, “aku sudah tidak peduli dengan kalian. Aku tahu, tujuan kamu mengadakan pesta ini hanya ingin membuatku sakit, hati,” kata Helena, “tapi sayangnya aku tidak akan sebodoh itu lagi.” Helena merasakan pundaknya sakit saat Hani mendorongnya keras. “Jangan berlagak seperti itu, ya. Aku tahu, kamu sakit hati melihat kami bersama.” Tertawa dengan rendah, Helena menatap Topan yang tetap tenang meski dirinya mendapat perlakuan tidak baik. “Jangan khawatir, ibu Dewi tidak akan tahu bagaimana putra tersayangnya di luar. Nikmatilah pesta kalian.” Setelah mengatakan itu, Helena meninggalkan pesta dengan hati yang hancur. Ia berjalan gontai, memaki kebodohannya yang selama ini masih bertahan karena tidak tega dengan kondisi Dewi—mertuanya. Kakinya terus membawanya berjalan ke depan, hingga beberapa kakinya tak sengaja menginjak sesuatu dan menyebabkannya terjatuh. Helena meringis, ia merasa kakinya terkilir dan susah untuk dibawa berdiri. “Hai cantik.” Seorang pria berdiri di depannya dengan tatapan nakal, apalagi gaun yang Helena kenakan memang begitu seksi. “Pergi atau aku berteriak!” ancamnya mencoba untuk berdiri menahan sakit di kakinya. Pria tadi tertawa, ia berjalan mendekati Helena yang mencoba menghindar, “Jangan jual mahal, Nona. Aku mendengar di pesta tadi, bahwa suamimu tidak memperdulikanmu,” tukasnya sambil tertawa puas, “kemarilah, aku yang akan memberikan kehangatan untukmu.” Helena membulatkan mata, ia begitu takut apalagi tidak ada satu pun orang yang berada di sana selain mereka berdua. “Menjauh atau atau panggil polisi.” Helena mencoba menekan ketakutan si pria, tetapi sayangnya pria itu segera meraih ponselnya dan melemparnya hingga hancur. “Kemarilah! Jangan jual mahal.” Tubuh Helena ditarik dan dipaksa untuk mengikutinya. Istri Topan itu bahkan sudah mengeluarkan semua tenaganya untuk berteriak, tetapi tidak satu pun yang datang menolong. “Tolong. Topan!” teriak Helena lagi dengan air mata mulai mengalir deras. “Lepaskan dia.” Suara seseorang menghentikan langkah si pelaku. Sementara pria itu, menatap Helena cukup dalam, seolah sedang memastikan sesuatu. “Menyingkirlah! Jangan ikut campur urusan kami.” Pria itu mendengus dengan tatapan remeh ke arah pria yang menghadapang mereka. Helena mengangkat wajah, menatap dengan tatapan memohon pada pria yang baru datang agar segera diselamatkan. “Lepaskan dia dan hadapi aku.” Dia Reygan Bramasta, Ceo dari perusahaan BMS yang paling maju di seluruh kota. “Tuan, tolong selamatkan aku.” Helena mencoba melepas diri dari cekalan di pria tadi. “Lepaskan dia atau aku buat kau tidak bisa berjalan.” Reygan mendekat dengan langkah pasti, menarik menendang perut si pria dengan keras dan membawa Helena dalam gendongannya. “Si-alan,” katanya seraya memasang aba-aba untuk membalas, tetapi kalah cepat dari Reygan yang langsung menghajarnya tanpa menurunkan Helena dalam gendongan. “Aku akan membalasmu nanti,” katanya berusaha berdiri dan kabur dengan langkah tertatih, ia gagal menjalankan tugas dengan bonus tubuhnya remuk. Reygan meletakkan Helena di pinggir ranjang dengan hati-hati, kemudian berjongkok dan memeriksa kaki istri dari Topan itu. “Tahan, ini tidak akan sakit.” Dengan sekali putar, Reygan menyelesaikan pekerjaannya. Ia mendongak dan tersenyum lembut. “Sekarang kakimu sudah tidak sakit lagi. Pergilah!” Helena mengangguk, ia berdiri, tetapi sialnya ia justru menginjak ujung gaunnya terjatuh bersama Reygan yang bajunya ditarik. Helena menelan ludah kasar, ia merasakan sensasi aneh yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. “Ma-maaf,” ucap Helena gugup. Reygan tersenyum lembut, ia menatap wajah cantik Helena yang begitu alami, “Kau ternyata sangat cantik dan aku suka tahi lalat di bagian bawah mata ini.” Helena memejamkan mata tatkala kulitnya disentuh, ia mencoba untuk tetap sadar dengan situasi yang begitu menegangkan. Reygan sekali lagi tersenyum kecil, ia memajukan wajahnya dan mengecup pelan bibir merah muda yang terbuka. Tidak ada penolakan dan itu semakin membakar semangat Reygan untuk terus melakukannya. “Baru pertama kali?” tanya Reygan lembut. Helena mengangguk pelan, ia mengulurkan tangan pada wajah tampan Reygan dan berkata. “Kalau begitu ajari aku agar bisa sehebat dirimu.” Tanpa penolakan, Reygan dengan senang hati melakukannya dengan hati-hati. Mereka tidak hanya sekedar berbagi ciuman, tetapi mengambil langkah untuk terbang bersama. Malam panas antara Reygan dan Helena terjadi di tengah tawa Topan dan Hani. "Jadi, apakah rencana berhasil?"“Jangan berani menyentuhku!" Helena mendorong keras tubuh Topan menjauh darinya, ia segera meraih pakaiannya yang sempat ditarik dan menghindar, tetapi sebelum dia berhasil mendekati pintu, Topan kembali menangkapnya. “Mau kemana, hah!’ Topan menarik tubuh itu dan kembali melemparnya ke atas ranjang, ia melangkah seperti, apalagi ketika sebagian tubuh istrinya terlihat. “Jangan berani mendekat Topan, atau aku berteriak!” “Hahaha,” tawanya, ia menarik tangan Helena dan mencengkramnya kuat. “Bukankah ini yang kau inginkan? Kita memiliki anak dan–” “Jangan bermimpi.” Helena melepas tangannya paksa dan berdiri kembali. Ia menatap Topan dengan tajam. “Jangan bermuka dua, Helena. Aku tahu, kau sangat ingin bersamaku, dua tahun tak disentuh seharusnya kau senang?” Topan meraih tangan Helena lagi dan mencoba menciumnya, tetapi lagi-lagi wanita itu menjauh darinya. “Simpan semua khayalanmu, Topan. Benar jika aku pernah mencintaimu selama bertahun, tapi itu dulu,’ kata Helena, ‘sekarang,
Helena duduk seorang diri, menyaksikan para tamu undangan yang terlihat mencari muka satu sama lain. “Ch, aku tahu, mereka semua hanya berdusta,” gumamnya menatap malas lada semuanya. Tatapannya tertuju ke arah Topan—suaminya yang tampan dan berkarisma. Pria itu, adalah cinta pertamanya, tetapi dia bukan cinta pertama bagi Topan. “Sangat miris sekali,” desahnya memikirkan nasibnya yang malang. Helena menyesap pelan minuman di tangannya ketika Hani datang mendekatinya dengan wajah palsu. “Selamat malam, Nyonya,” sapanya, “jika tidak keberatan, aku bisa menemanimu di sini.” “Jangan pura-pura baik padaku, Hani. Pergilah, wangi parfummu membuatku mual.” “Kau!” Hani memejamkan mata, ia mendekat ke arah Helena dan duduk di sebelahnya. “Dengar, ya. Topan itu tidak mencintaimu, jadi tolong sadar diri dan bercerai saja darinya,” bisik Hani mencoba terlihat tenang di antara banyak tamu. Ia menatap Helena lagi, tatapan wanita itu tetap sama—datar dan tidak berperasaan padanya, “Jangan ki
Helena terbangun dengan rasa nyeri di kepala. “Di mana aku?” Ia terpaku, ketika mendengar suara napas seseorang masuk ke dalam telinganya. Helena menoleh pelan dan menemukan seorang pria tanpa baju tertidur di sebelahnya. “Ya ampun, apa yang terjadi?” Helena membeku, ia menatap dirinya ragu dan yang ditakutkan terjadi. “Ba-bagaimana ini terjadi? Aku ti-tidur dengan pria lain?” Helena tergagap, setelah dua tahun menikah, ia melepas diri untuk pria asing. Perlahan, ia menurunkan kaki dan memungut pakaiannya yang entah bagaimana bisa tercecer di atas lantai. “Bagaimana mungkin minum dua gelas bisa lupa diri.” Helena mengenakan pakaiannya dengan cepat, setelah itu keluar terburu menahan sakit yang didera. Saat itulah, Reygan membuka mata dan melihat ke arah tempat tidur Helena yang meninggalkan jejak merah. “Dia benar-benar pemula yang manis.” Reygan meraih ponselnya dan menelepon seseorang untuk mengantar pakaian untuknya. __________ Sampai di rumah, Helena masuk dengan cara meng
Helena tersenyum kecut ketika menyaksikan Topan dan Hani berdansa bersama sambil berpelukan. Tidak lupa dengan sorak para tamu yang mendukung hubungan keduanya. Helena kembali tersadar, jika pesta mewah dengan biaya besar ini bukan untuknya, tetapi untuk Hani. Yang lebih menyakitkan, pakaian mereka bahkan terlihat mirip dari segi model. Seorang wanita lain mendekati Helena dengan minuman di tangan kanannya. Ia seperti mengejek nasib buruk Helena yang tidak bisa mendapatkan Topan meski dengan pernikahan. “Kalau aku jadi kamu, lebih baik tinggal di rumah dan menghabiskan waktu dengan kekayaan,” ejeknya, “ternyata meski kau orang kaya, mendapatkan hati Topan tidak bisa,” sambungnya sambil tertawa mengejek. “Lebih baik pikirkan saja nasibmu, aku tahu selama ini kau berdiri di depan toko untuk menghitung seberapa banyak uang untuk sepotong gaun,” sindir Helena kemudian. Wanita tadi mengepalkan tangan, ia segera pergi sebelum terjadi kekacauan akibat ulah Helena yang terlalu sombong.
“Itu pakaianmu!” Topan melempar kotak berwarna merah dengan merek ternama ke atas ranjang. Wanita dengan piyama berbahan sutra itu menoleh ke samping dan mengangguk pelan. “Untuk apa?” Tidak terima dengan pertanyaan Helena yang terkesan tidak menghargainya, Topan mendekat dan mencengkram dagu istrinya kuat. “Jangan banyak tanya. Nanti malam, supir akan menjemputmu. Ingat jangan ada alasan untuk tidak menghadirinya.” “Lepaskan!” Helena menyingkirkan tangan Topan dan berdiri, ia mendengus dan mengusap dagunya yang terasa panas. Dengan tangan berada di kantong, Topan menatap malas pada wanita di hadapannya, “Andai saja buka ibu yang memaksa untuk mempertahankan pernikahan ini, aku tidak tersiksa melihatmu berkeliaran di rumahku,” makinya sinis. “Topan, aku ini istrimu tidak bisakah kau bersikap sedikit lembut padaku?” kesal Helena selalu saja dianggap tidak penting. Mereka telah menikah selama dua tahun, tetapi Topan tidak sekalipun menjadikannya istrinya, bahkan di malam pert