Langit mendung sore itu menyatu dengan awan kelabu di hati Amelia. Ia berdiri di sisi sebuah café tersembunyi, mengenakan dress sederhana dan jaket tipis. Matanya terus melirik jam tangan. Sudah lewat lima belas menit. Tapi ia tahu pria itu akan datang.
Dan ia datang.Langkah maskulin pria bernama Davin menyapu masuk ke dalam pandangannya. Tinggi, gagah, dengan rambut sedikit acak dan pandangan tajam yang tak pernah berubah sejak dulu. Tatapan yang membuat Amelia selalu goyah.“Maaf telat,” katanya, suaranya dalam, menenangkan.Amelia mengangguk, tidak bicara. Mereka masuk ke dalam mobil Davin—SUV hitam yang langsung menyamankan tubuh dan hati Amelia.Tak ada percakapan panjang.Hanya tatapan, lalu ciuman yang meledak dari segala penahanan.**Davin mendorong tubuh Amelia perlahan ke jok belakang. Udara di dalam mobil mendadak sesak oleh napas terburu-buru dan desir gairah yang tak tertahankan.“Sudah berapa lama kamu menunggu ini?” bisik Davin, tSuara notifikasi masuk bertubi-tubi di ponsel Adrian. Ia meraihnya, membuka layar, dan wajahnya mengeras. “Amelia mulai nyentuh kampus.”Callista yang tadinya masih duduk di sofa, menegakkan punggung. “Maksudnya?”Adrian meletakkan ponselnya di meja, layarnya menampilkan beberapa screenshot pesan dari dosen dan staf yang ia kenal. Semua berisi potongan kalimat yang mirip: ada rapat mendadak soal reputasi lembaga dan hubungan personal dosen.“Dia nyerang dari dalam,” ujar Adrian datar. “Pake orang-orang yang masih punya pengaruh di sana.”Callista mengambil ponsel itu, membacanya cepat. Beberapa pesan bahkan menyebut namanya secara langsung, menuduhnya sebagai pemicu ‘masalah moral’ yang merusak citra kampus. “Cepet banget dia ngelempar ini ke jalur resmi…”“Karena dia tahu, kalau kampus ikut turun tangan, kita harus main di ranah yang lebih sempit.”Gadis itu mengembuskan napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya. “Kita
Adrian memindahkan map yang tadi mereka bawa dari meja ke laci, lalu menguncinya. “Kita simpan ini. Nggak semua kartu harus dibuka sekarang.”Callista masih duduk di kursinya, memutar bolpoin di jari. “Tapi beberapa harus kita sodorin sedikit… biar dia tau kita nggak kosong.”Adrian berjalan mendekat, bersandar di sisi meja. “Kita kasih umpan. Biar dia pikir itu semua yang kita punya.”“Dan yang sebenarnya?”“Disimpan sampai waktunya,” jawabnya singkat.Callista mengangguk pelan. “Kalau gitu, kita butuh satu orang yang bisa jadi jembatan informasi—nggak terlalu dekat sama kita, tapi cukup kenal kita.”Adrian memandangnya dengan tatapan ‘aku sudah punya nama’. “Ada. Dan dia utang budi besar sama aku.”Gadis itu membalas tatapan itu, separuh penasaran, separuh waspada. “Kamu yakin dia nggak akan bocorin semua ke Amelia?”“Kalau dia mau, dia udah lakukan dari dulu.” Adrian mencondongkan tubuh sedikit. “Percayalah,
Adrian memutar gagang pintu perlahan. Callista berdiri di sampingnya, jemarinya mengait di tangan pria itu—erat, bukan karena takut, tapi karena ingin memastikan mereka melangkah sejajar.Begitu pintu terbuka, aroma parfum Amelia langsung menyambut, tipis tapi menusuk. Ia sudah duduk di kursi ujung meja, punggung tegak, kaki bersilang, tatapannya dingin dan penuh hitung-hitungan.“Cepat juga kalian datang,” ucapnya tanpa senyum.“Kamu yang undang,” jawab Adrian datar, menarik kursi di sisi meja. Callista duduk di sebelahnya, tidak sedikit pun membiarkan jarak yang bisa dibaca sebagai celah.Amelia memandang mereka berdua bergantian. “Aku nggak akan basa-basi. Aku mau kalian berhenti. Putus. Dan masing-masing kembali ke hidup masing-masing sebelum semua ini makin kotor.”Callista tak bergeming, hanya menatap balik. “Kotor menurut siapa?”“Menurut semua orang yang sekarang lagi ngomongin kalian,” sahut Amelia cepat. “Kalian pikir k
Pintu berat itu tertutup rapat di belakang mereka. Callista melepas jaket, menggantungnya di kursi, lalu berjalan ke tengah ruangan. Ia tidak langsung duduk—matanya menelusuri setiap sudut seolah mencari pegangan di tengah pusaran pikiran yang belum reda.Adrian menaruh kunci di meja, melepas jam tangan, dan menatapnya. “Kamu mau minum dulu?”Gadis itu menggeleng. “Kalau aku minum sekarang, rasanya cuma akan bikin tenggorokanku kering.”Adrian mendekat, menghentikan langkah di hadapan Callista. Ia menyentuh pipinya, jempolnya mengusap lembut di sana. “Kamu masih kepikiran pesan Amelia?”“Bukan cuma itu,” jawab Callista pelan. “Aku lagi mikirin… apa yang dia rencanain setelah kita ketemu. Karena Amelia nggak akan buang tenaga kalau nggak ada yang besar di baliknya.”Adrian mengangguk pelan. “Makanya kita datang dengan kepala dingin. Kita nggak boleh bikin dia lihat kita goyah.”Callista menatapnya lekat-lekat. “Kamu yakin ini ngga
“Aku nggak mau kita masuk ke pertemuan itu dalam keadaan marah,” kata Adrian, nada suaranya tegas tapi tenang.Callista duduk di kursi seberang, jemarinya saling menggenggam erat di pangkuan. “Kalau kita ketemu Amelia, kamu yakin dia cuma mau bicara?”Adrian menggeleng pelan. “Dia mau tunjukin kalau dia masih punya kuasa. Dan dia mau kita merasakannya.”Gadis itu mengangkat pandangan. “Kalau dia sengaja lempar tuduhan di depan kamu, aku nggak akan diem.”“Aku tahu,” Adrian mencondongkan tubuh sedikit, meraih tangannya. “Tapi jangan kasih dia senjata. Dia pengen lihat kita kehilangan kendali. Kita nggak akan kasih itu.”Keheningan singkat melintas, tapi bukan hening canggung. Lebih seperti jeda sebelum melangkah ke medan yang mereka tahu penuh jebakan.Di meja di antara mereka, map tebal tergeletak. Isinya bukti-bukti yang selama ini mereka simpan rapi—foto, rekaman, dan transkrip yang bisa membalik keadaan jika Amelia melangkah t
Mobil melaju dalam keheningan. Lampu-lampu jalan bergeser cepat di kaca depan, tapi di dalam kabin, tidak ada suara selain dengung mesin dan napas yang kadang terdengar lebih berat dari biasanya.Adrian memegang setir dengan satu tangan, sementara tangan satunya masih menggenggam tangan Callista di pangkuannya. Genggaman itu tidak sekadar penghubung—itu pernyataan bahwa apa pun yang menunggu di depan, mereka akan menembusnya bersama.Callista memandangi jalan yang seolah tak ada ujung. “Dia nggak bohong waktu bilang nggak akan main setengah-setengah.”“Aku tahu,” jawab Adrian tanpa menoleh. “Dan itu artinya kita juga nggak bisa lagi cuma bertahan. Kita harus nyerang.”Gadis itu menoleh ke arahnya. “Kamu udah punya rencana?”Adrian mengangguk tipis. “Aku udah tahu lubang paling besar di dinding pertahanannya. Tapi butuh waktu buat ngedorongnya sampai runtuh.”“Dan selama itu, dia akan coba bikin kita jatuh duluan,” timpal Callista