Share

Terperangkap Dekap Hangat CEO (Sok Dingin)
Terperangkap Dekap Hangat CEO (Sok Dingin)
Penulis: Si Mendhut

Aku Ditampar

PLAKK!

Suara tamparan keras membuat semua orang yang ada di depan toko kue yang baru buka tersebut terkejut.

"Issh," desis gadis yang wajahnya memerah akibat tamparan tersebut.

"Kamu kan yang namanya Arumi?" tanya wanita yang baru saja melayangkan tamparan tersebut dengan nada tinggi.

Plakk! Sebuah balasan pun langsung disuguhkan oleh Arumi.

"Enak?"

"Kurang ajar!" teriak wanita tersebut sembari ingin kembali membalas.

Namun Arumi dengan cepat mengelak, hingga membuat wanita tersebut hampir terjungkal karenanya.

"Hahaha!" Tawa pun menggema di tempat itu.

Kemudian dengan cepat langsung saja Arumi mencengkeram kerah baju wanita yang baru saja bermain tampar-tamparan dengannya itu.

"Siapa kamu?" tanyanya sengit.

"Aku ...," ujar wanita tersebut sembari meneteskan air matanya.

'Apa dia stres?' pikir Arumi karena merasa aneh dengan tingkah wanita yang tak dikenalnya sama sekali tersebut. 'Eh, tapi dia tahu namaku, jadi seharusnya bukan orang stres kan?'

Sesaat kemudian ....

Ssst! Sebuah motor matic lain berhenti di depan toko kue tersebut.

"Hentikan!" teriak laki-laki yang baru saja turun dari motor matic tersebut sembari berjalan dengan cepat ke arah Arumi. Dan ketika sudah sampai di dekat Arumi, dengan kasar laki-laki tersebut menepis tangan Arumi hingga membuat cengkeramannya terlepas.

Apa Arumi terkejut? Tentu saja.

"Kamu kenal dia, Mas?" tanya Arumi sambil menunjuk ke arah wanita yang kini bersembunyi di belakang laki-laki yang dipanggilnya dengan sebutan Mas itu.

"Kenal."

Seketika Arumi langsung mengerutkan kening mendengar jawaban tersebut. "Dia siapa?" tanya Arumi lagi karena mencium ada sesuatu yang tidak benar antara kekasihnya dan wanita yang beberapa saat lalu menamparnya

"Tidak penting dia siapa. Yang penting itu, apa yang ingin kamu lakukan pada dia?"

"Dia menamparku Mas," adu wanita tersebut dengan suara terisak sembari memegangi pipinya.

"Dia yang menamparku duluan," tukas Arumi. "Saksinya mereka semua," imbuhnya sembari menunjuk orang-orang yang saat ini sedang berada di teras toko kue.

Namun bukannya percaya, kekasih Arumi yang bernama Nizam itu justru mengangkat tangannya dan menunjuk tepat di depan wajah Arumi.

"Jangan bohong Ar! Dia tidak mungkin melakukan hal itu, dia ini gadis yang lembut tidak seperti—"

"Seperti aku?" sahut Arumi dengan senyum miris di wajahnya.

Lalu dari arah lain terlihat seorang gadis sedang berlari ke arah Arumi sambil berkata, "Mas, Mbak ini memang datang dan tiba-tiba saja nampar Arumi. Kamu itu harusnya perca—"

"Nit, sudah." Arumi memotong kalimat gadis yang sedang membelanya itu.

"Tapi Ar, si Nizam ini harus tahu yang ben—"

"Nit, sudah. Jika dia tidak percaya, menjelaskan juga percuma," ucap Arumi dengan mata yang mulai memerah.

"Ar, aku—"

"Mas, aku ingin bekerja. Bawa wanitamu pergi dan obati lukanya, aku bisa mengobati pipiku sendiri," sela Arumi lalu berpaling dan melenggang ke arah lain.

"Ar!" panggil Nizam sembari ingin melangkah ke arah Arumi, tapi dengan cepat lengannya dicekal oleh wanita tadi.

"Mas, kepalaku pusing," ucap si wanita sembari memegangi kepalanya.

Nizam pun langsung mengurungkan niatnya untuk mengikuti Arumi dan langsung memperhatikan wanita di dekatnya itu.

Lima menit berlalu dan Arumi masih saja duduk di belakang toko sambil menatap bunga mawar putih yang ada di sana.

"Ar," panggil gadis yang membela Arumi tadi dengan lembut.

"Sudah pergi?" tanya Arumi sambil menoleh ke arahnya.

"Sudah," jawabnya lalu menghela napas. "Aku nggak habis pikir, bisa-bisanya si Nizam itu membela wanita tadi, bikin kesel banget cowokmu itu."

Kalimat berapi-api itu langsung membuat Arumi menghela napas panjang. "Aku juga nggak tahu, Nit."

"Sudah Ar, putusin saja dia," saran Nita, sahabat sekaligus pemilik toko kue tempat Arumi bekerja saat ini.

"Kalau aku putus dari dia, terus aku pacaran dengan siapa?" tanya Arumi dengan suara serak sembari mengusap bekas air mata di wajahnya. "Kamu?"

Thak! jitakan yang cukup kuat diberikan oleh Nita untuk menanggapi pertanyaan sahabatnya itu.

"Au!" pekik Arumi.

"Syukurin," seloroh Nita sembari duduk di dekat Arumi. "Mikir tuh yang lurus."

"Iya-iya," sahut Arumi sembari menyenderkan kepalanya di pundak Nita.

"Ar, kamu terima saja tawaran dari sepupuku."

Nita membicarakan sepupunya yang memang tertarik dan sudah beberapa kali menyatakan cinta pada Arumi, tapi selalu saja ditolak.

"Huff ...." Arumi menghembus napas panjang.

"Kenapa, memang apa kurangnya dia? Ganteng, iya. Punya kerjaan, iya. Perhatian, iya." Nita mempromosikan sepupunya.

"Apa dia mau menikah dengan janda?"

Nita mengernyit. "Janda? Kamu janda?"

"Bukan."

"Lah, tak pikir kamu yang janda. Batinku, sejak kapan kamu nikah. Aku aja nggak pernah dengar kamu—"

"Aku nggak perawan," pungkas Arumi.

Seketika suasana di sekitar terasa sunyi, bahkan senyap. Hingga ....

TERRRRTTT! Suara bising kenalpot motor Viz-R yang melaju kencang di jalan raya depan toko membuat kami berdua tersentak kaget.

"Eh, buset!" teriak Nita sambil bangun dan berjalan masuk ke dalam toko.

"Hah, mau bagaimana lagi," gumam Arumi sembari bangun dari kursi yang didudukinya selama beberapa menit itu.

Kemudian ia pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam toko karena sudah waktunya bekerja. Namun ketika baru saja masuk, tiba-tiba sebuah pelukan menyambutnya.

"Jangan sedih Ar, aku di sini," ujar Nita sambil mengusap-usap punggung Arumi pelan.

Kalimat dan pelukan itu membuat mata Arumi menghangat dan sekali lagi menumpahkan air matanya. "Aku dijual, Nit," adunya seperti anak kecil yang sedang mengadu pada ibunya.

"Sabar Ar, sabar," sahut Nita.

Dan ketika Arumi terlihat lebih tenang, sebuah pertanyaan puj kembali muncul dari bibir Nita. "Siapa yang melakukan itu, Ar?"

"Ibuk," jawab Arumi lirih.

Seketika mata Nita membulat. Apa dia kaget? Ya, tentu saja dia kaget, justru aneh kalau saja dia tidak kaget seperti sekarang ini.

"Kamu yakin? Kok bisa?" tanya Nita seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Entahlah Nit, yang jelas tadi pagi aku ...." Arumi terdengar enggan melanjutkan kalimatnya.

'Keterlaluan sekali. Dia memang mucikari, tapi Arumi kan anaknya,' batin Nita sembari menatap sahabatnya yang tengah menundukkan kepalanya.

"Ya sudah, jangan dipikirkan lagi masalah itu. Yang terpenting sekarang kamu harus segera pergi dari sana. Kalau mau, kamu bisa pindah ke rumahku," tawarnya yang benar-benar merasa kasihan pada sahabatnya itu.

"Ah, nggak Nit. Kalau aku tinggal di rumahmu itu sama saja bohong," tukasku.

"Bohong kenapa? Aku kan tinggal sendirian, bilang saja sama ibukmu kalau kamu pindah ke tempatku karena kerjaan di toko banyak. Nah, habis itu kita pikirkan lagi cara supaya kamu bisa lepas selamanya dari dia."

Ide dari Nita ini membuat Arumi langsung tersenyum kecut. 'Kalau aku tinggal di rumahnya, pasti tetangganya pada pada heboh. Apa dia nggak mikir,' batinnya.

"Kenapa Ar, apa kamu nggak suka tinggal di tempatku?"

"Ngawur," jawab Arumi dengan cepat. "Sudah, aku itu nggak mau rumah kamu jadi sasaran. Secepatnya aku akan pindah, aku janji."

"Ya sudah, terserah kamu. Pokoknya kalau kamu butuh tempat, rumahku selalu welcome," ujar Nita sembari mencubit gemas pipi sahabatnya itu.

"Welcome, keset maksud kamu?" kelakar Arumi lalu terkekeh.

"Keset mbahmu!" Cubit Nita sekali lagi yang kemudian tertawa bersama.

**

Beberapa jam berlalu dengan penuh kesibukan, hingga akhirnya waktu istirahat pun tiba. Arumi pun tersenyum puas menatap kue pesanan yang sudah tertata rapi di atas meja dan hanya tinggal memasukkannya ke dalam wadah yang berlogokan nama toko kue sahabatnya ini.

"Nit, akhir bulan aku harus dapat bonus," ucap Arumi sembari melirik ke arah Nita yang saat ini sedang memasang wajah di depan kipas angin karena merasa kepanasan.

"Tenang saja, itu gampang asal kamu bisa mencapai target penjualan bulanan," sahut Nita lalu menyeruput es teh milik Arumi dengan santainya..

Segera saja Arumi melempar lap yang dipegangnya ke kepala sahabatnya itu. "Mok pikir aku SPG rokok," protesnya.

"SPG roti, hahaha!"

Tawa mereka pun menggema di dalam ruangan yang tak begitu luas itu. Sejenak, Arumi melupakan nasib buruk yang menimpanya akhir-akhir ini.

"Huff ... sudah, rasanya mau copot igaku gara-gara kamu," seloroh Arumi sembari mengusap bulir air mata yang sempat menetes di pipinya karena terlalu banyak tertawa.

"Kalau copot tinggal ganti saja pakai iga sap—"

Triing! Dering ponsel menggema di ruangan itu.

"Siapa," gumam Arumi yang menyadari kalau itu dering ponselnya. Ia pun dengan cepat mengambil ponselnya yang ada di dalam saku celananya.

"Siapa lagi ini," gumamnya sambil mengangkat panggilan tersebut.

"Siapa, Ar?" tanya Nita.

Namun Arumi hanya mengangkat bahunya untuk menanggapi pertanyaan dari sahabatnya itu.

*

"Halo," sapa Arumi karena selama beberapa detik tak terdengar suara dari dalam panggilan tersebut.

"Kamu wanita semalam kan?" tanya seorang laki-laki di dalam panggilan tersebut

Arumi mengerutkan dahi ketika merasa sangat asing dengan suara laki-laki di dalam panggilan itu. "Kamu siapa?" tanyanya untuk memastikan.

"Aku orang yang semalam."

'Semalam yang mana?' pikir Arumi karena semalam ia sempat pergi ke rumah pak RT dan bertemu banyak orang, sebelum akhirnya mengalami nasib sialnya.

"Semalam aku tidak memberi tip yang pantas karena aku dalam posisi sulit. Apa aku bisa bertemu kamu atau ada nomor yang bisa aku transfer untuk mengganti kerugian kamu," ucapnya lagi.

"Eh, kamu si Kampret semalam!" teriak Arumi tiba-tiba.

"Kampret?"

"Kamu semalam membeliku dari siapa?" Arumi meledak-ledak.

"Aku tidak membeli kamu. Maka dari itu, aku ingin—"

"Setan sialan!" selaku. "Dengar! Aku tidak menjual tubuhku. Ambil uangmu untuk membayar dirimu sendiri! Dasar gigolo bangsat!" maki Arumi yang kemudian langsung memutus panggilan tersebut.

"Ck-ck-ck, memang sahabatku," komentar Nita sembari menggeleng pelan.

"Sialan banget itu orang, memangnya dia pikir dia—"

Brakk! Suara gebrakan dari arah depan toko.

"Siapa Ar, jangan-jangan preman kemarin," ujar Nita sembari bangun dari tempatnya.

"Kamu duduk aja, biar aku yang nanganin," sahut Arumi sembari mengambil loyang kue di dekatnya.

"Lah, kok loyang," celetuk Nita.

"Kalau macam-macam, tak gampar mereka pakai ini," sahut Arumi sembari melangkah ke ruangan depan dengan berani.

Namun ketika sampai di ruang depan, tiba-tiba ...

"Loh, siapa kalian?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status