Bu Nuri terdiam, ia tidak tahu berapa gaji yang diberikan untuk asisten seperti ini.
"Menurutku, kau bisa bertanya langsung dengan Pak Galih soal gaji itu. Saya sungguh tidak tahu. Kau juga bisa bernegosiasi langsung dengannya. Oke?"Aziya mengangguk, ia akan mencoba negoisasi terbaik esok hari.Keesokan harinya, Aziya benar-benar berpakaian santai tanpa riasan. Iapun menuju lantai dimana atasannya berada.Sudah hampir dua tahun, Aziya bekerja di perusahaan Hans GL. Akan tetapi tak pernah sekalipun ia menginjakkan kaki di lantai dua puluh milik Galih Purnama, seorang CEO sekaligus pewaris perusahaan multinasional itu.Rumor mengatakan, Galih Purnama adalah seorang pria yang sangat tegas dan tanpa kompromi.Panas dingin hawa yang keluar dari tengkuknya, apalagi di tangannya kini mengeluarkan keringat dingin semakin banyak, memikirkan seperti apa sosok pak Galih yang kontroversial itu.Ia sudah memakai setelan kasual, wajah polos tanpa make up dan tas kecil berwarna hitam menyilang di pundaknya.Sesampainya di lantai dua puluh, Aziya dengan ragu mengetuk pintu.Tok tok tok!Tak lama kemudian seorang pria membukakan pintu untuknya."Saya Aziya, Bu Nuri mengatakan....""Masuk," kata pria itu mempersilahkan masuk. "Pak Galih sudah menunggumu."Aziya melangkah, memasuki ruangan besar dengan suhu yang lebih rendah. Dingin dan sunyi, itu biasa terjadi di lantai atas yang jauh dari keramaian jalan raya. Suhu AC ruangan itu bisa dipastikan mencapai hampir 16° Celcius. Ini sangat menusuk kulitnya, sedikit sesak. Apakah setiap hari seperti ini? batin Aziya.Di sudut sana, seorang pria berpostur tegap menatap laptop dengan serius. Tidak terusik dengan kehadiran Aziya yang mendekat.Ragu Aziya berdiri dengan canggung hendak menyapa. Bibirnya tak juga membuka untuk membuat pria itu melihat ke arahnya."Aku akan melihatmu, tunggu sebentar," kata pria itu tanpa menoleh, apalagi memintanya untuk duduk di kursi yang ada di hadapannya.Aziya mengangguk, menunggu pria itu dengan tenang. Akan tetapi lama sekali pria itu hanya diam dengan kesibukannya. Aziya melihat pria itu dengan gelisah. Ia tak berani bertanya, apa dia bisa duduk saja sekarang ini, sementara kakinyasudah pegal karenanya."Jangan melihatku seperti itu, itu tidak sopan," suara itu kembali membuatnya terkejut. "Kamu pasti sudah tahu etika bergaul dengan atasan kamu," katanya lagi, kali ini Galih membalas tatapan Aziya."Eh, tentu, Pak," gugupnya."Bagus. Sekarang bersihkan ruangan ini, ganti alas sofa dan juga bersihkan ruang di sebelah sana," perintah Galih membuat Aziya bingung."Tapi Pak...""Kenapa? Bukannya kau bilang pada Bu Nuri kau bisa melakukan pekerjaan apapun?""Eh, anu pak...ehmm...iya, baik Pak.""Bagus. Kerjakan saja pekerjaan itu."Aziya beringsut pergi, melihat-lihat keadaan ruangan besar itu."Hanya begitu?" desisnya. "Aku beneran dalam karir yang hancur ya..." gumamnya lagi sembari mengenakan apron maroon dan mengambil penyedot debu di sudut ruangan. Memikirkan ternyata tidak perlu ada wawancara dengan Galih di bidang pekerjaan ini. Tapi apa tidak ada negoisasi semacam gaji atau apa?Beberapa saat kemudian Aziya mematut dirinya di cermin, mengikat rambutnya ke belakang, lalu kembali dengan pekerjaannya membersihkan ruangan. Lalu ia memasuki ruangan besar seperti sebuah hunian kecil, sebuah kamar tidur berornamen putih bersih, jendela yang besar dan sebuah foto besar seorang wanita cantik dan seksi. Aziya sempat memandangi dan berdecak kagum."Dia sangat cantik, pastilah seorang wanita dengan karir cemerlang dan beruntung," lirihnya. Bagaimana dengan dirinya?Memikirkan kehidupan rumah tangganya yang berantakan, bahkan dalam beberapa tahun saja, karirnya juga sudah nyaris tak ada kejelasan, sungguh tak beruntung sekali, desahnya. Sekarang ia harus menerima pekerjaan sebagai tukang sapu, atau asisten pribadi yang nggak jelas, entah kenapa ia begitu bodoh untuk bertahan di perusahaan ini? sesalnya dalam hati.Selesai dalam ruangan itu, iapun keluar untuk menemui Galih.Galih melihatnya dengan tatapan tajam dan menelisik penampilan Aziya."Apa kau sungguh Aziya?" suara rendah Galih tapi sangat jelas pertanyaan itu seolah seseorang yang sudah dikenalnya."Maaf?""Tidak, tolong buatkan aku kopi mix. Setelah itu, ada pekerjaan yang harus kamu lakukan," kata pria itu lagi."Baik, Pak."Galih tak melihat ke arahnya, pria itu memalingkan wajahnya setelah memerintahkan Aziya membuat kopi. Aziya tak perduli, ia merasa pekerjaan itu juga tidak buruk, karena semakin atasannya cuek, semakin aman keadaannya.Ia menyeduh kopi dan menimbang-nimbang, apakah mungkin ia sudah diterima dalam pekerjaan ini?Lalu ia membawa kopi itu, meletakkan di hadapan Galih."Aku tak bisa menerima kamu di pekerjaan ini," kata Galih dengan suara dingin."Hah? Ma-af?""Kamu tidak cocok pada pekerjaan sebagai asisten pribadiku. Kamu cantik, menggoda dan juga...""Tapi Pak...ini...""Percayalah padaku. Kau pikir pekerjaan ini akan membuat kamu keluar dari masalah hidupmu. Akan tetapi sebenarnya, ini adalah masalah yang sebenarnya," kata pria itu masih dengan memalingkan wajahnya ke arah lain."Pak...saya minta tolong...saya butuh pekerjaan ini, Pak."Galih diam mematung di sisi dinding kaca besar, membisu dalam tatapan kosong jauh ke depan. Ada sesuatu yang sulit ia katakan, ia tak sanggup untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan. Akan tetapi ia merasa iba dengan wanita di belakangnya ini jika ia terlibat dalam kehidupannya nanti, ia takut tak bisa menahan diri untuk membalas dendam. Akan tetapi bukankah ini adalah tujuannya selama ini? Lalu kenapa ia menjadi ragu saat melihat langsung wanita ini?"Ada apa denganku sebenarnya? Kenapa aku melewatkan kesempatan baik ini?" desisnya."Pak, saya tidak akan memakai kosmetik, berpenampilan menarik atau menggoda Pak Galih. Saya tahu batas karena saya juga punya suami, punya anak. Tapi...""Alasan kamu menghindari menjadi bawahan Reza...apa tidak ada maksud lain?"Bah! Seharusnya ia bertanya pada dirinya sendiri, batin Galih.Aziya menunduk dalam, sebutir air matanya hampir keluar di sudut matanya."Masalah ini...""Ini terlalu beresiko. Kau berpenampilan cukup buruk seperti ini, apa tidak mengganggumu?"Dalam hati Galih tertawa lebar, selama ini ia menantikan saat melihat wanita ini terlihat sangat buruk.Aziya menggelengkan kepalanya, "Tidak, Pak.""Baik, terserah kalau begitu. Besok, berangkat lebih awal, menghafal password apartemen dan juga pergi ke binatu. Siang harinya, ikutlah denganku untuk menyiapkan perlengkapan rapat dengan kolega dari Turki. Tugasmu hanya membersihkan ruangan dan menyiapkan peralatan, mengerti?""Siap, Pak. Apakah saya harus memakai pakaian khusus untuk pertemuan itu, Pak?" tanya Aziya pol
Sejenak setelah ia mengusap air matanya, Aziya mendongak ke arah orang yang baru saja datang memasuki rumah. Aziya mengedip tak percaya, apa maksud dengan kehadiran Davina diantara mereka? Sungguh perkembangan yang sangat cepat, batin Aziya."Ziya, menangis nggak akan menyelesaikan masalah bukan? Toh keadaan masih tidak berubah. Mas Reza membawaku bersama dengan kalian karena merasa perlu untuk mengenal kedua anaknya. Ini juga bukan kemauanku," kata gadis itu sambil melempar tas selempang miliknya, lalu menghempaskan dirinya di sofa. Seperti sudah di rumahnya sendiri saja."Emangnya kenapa? Aku juga tidak akan menyelesaikan masalah dengan mengemis pada seorang suami bejat, aku yakin kalian pasti akan mendapatkan karma dari perbuatan kalian," kata Aziya, kali ini Aziya membalas sambil menutup cuping putrinya dengan tangannya erat."Nggak usah sembunyi dari anak-anak, toh Humaira sudah besar. Dia akan mengerti kehidupan ayahnya yang telah berbeda."Lalu Davina berkata pada Humaira."Hum
Sesampainya di apartemen, Aziya bertemu ibu Nuri yang sudah menunggunya."Bu, apakah ini kediaman...?""Ini adalah tempat perawatan khusus untuk adik lelakinya. Pria itu telah koma selama tiga tahun dan tidak terbangun samasekali. Dan perlu kamu ketahui, bahwa pak Galih memintaku untuk memberitahu kepadamu inilah pekerjaan yang harus kau lakukan selanjutnya."Tak ada jawaban, karena Aziya sepenuhnya tak mengerti dan cenderung menurut saja apapun jenis pekerjaannya."Setiap hari, inilah tempatmu bekerja.""Disini?" Bu Nuri hanya mengangguk.Aziya merenung, karena ia merasa apartemen ini sangat jauh dari pusat kota. Apa ia akan sanggup melakukannya?Bu Nuri membawa Aziya semakin ke dalam, hingga ia diberi tahu soal penghuni tempat tersebut, di mana seorang pria terbaring lemah di sana dan ada sebuah tempat tidur lain yang ada di sampingnya yang terbaring seorang wanita cantik dan pucat pasi."Siapa dia?" lalu Aziya bertanya karena penasaran."Sssttt, jangan pernah bertanya soal siapa wa
Sikap Galih sedikit aneh. Pria itu berkomentar soal kaos tipis yang ia kenakan. Ia mulai meneliti penampilannya yang berantakan, lalu lekukan dadanya yang sedikit kentara."Apa dia mesum?" lirih Aziya panik.Setelah Galih benar-benar pergi, Aziya mendekati pria bernama Guntur di tempat tidurnya. Sudah jelas pria itu berusia jauh lebih muda dari Galih. Dia tampan, dan sangat mirip dengan Galih. Pantas saja Galih terlihat sangat menyayangi Guntur.Aziya menatap pada wajah yang tertidur pulas itu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dari kehidupan ini, ia tak melihat bagaimana manusia yang hidup sebenarnya terlihat lebih menyedihkan daripada seorang pria yang hanya bisa memejamkan matanya, batin Aziya."Ada apa denganmu sebenarnya? Kamu terlihat tenang di pembaringan ini. Kamu memiliki kakak yang sangat memperhatikanmu...," bisik Aziya sembari merapikan sisi pembaringan Guntur, lalu mulai mengelap wajahnya dengan kompres hangat."Kau tau...itu bukti kau sangat beruntung, meskipun kau tak be
Sikap dingin Galih membuatnya bertanya-tanya.Selama ini ia tak mengenal siapa pemilik perusahaan besar ini. Tidak pernah tahu kehidupan pribadinya ataupun hubungannya dengan orang lain.Akan tetapi apa haknya tahu lebih banyak urusan orang lain? Hanya menambah beban pikirannya saja. Ia segera mengambil penyedot debu dan membersihkan karpet di ruangan tersebut. Sesekali ia bisa menangkap siluet Galih yang menatap serius pada layar laptop di hadapannya. Hingga dering telepon mengusiknya, lalu ia mengangkat dengan hati-hati.["Bu, ini Humaira. Kapan ibu pulang? Humaira dan Farhan ada di rumah sendirian, tidak ada nenek dan Bibi Davina yang menjaga kami Bu," kata suara kecil di seberang sana, mengeluh karena berada di rumah sendirian saja bersama sang adik.]["Sayang, ibu sedang bekerja. Bagaimana kalau Humaira tunggu sebentar? Ibu mau telepon Tante Widi buat temani kalian, hmm?"]["Cepat ya, Bu. Humaira takut," kata gadis itu.]["Sayang
Di sebuah rumah sakit dimana kedua bocah itu dirawat, Reza berjalan cepat menyusuri lorong untuk mencari keberadaan Humaira dan juga Farhan.Saat melihat Aziya sudah berada di tempat tersebut di salah satu lorong rumah sakit, pria itu berjalan cepat dan mengatur napasnya yang terengah-engah mendekati wanita itu.Lalu Reza melihat dimana Ia harus menghampiri Humaira dengan melirik sebentar ke arah Aziya. Pria itu mungkinkah merasa bersalah karena teledor kepada kedua anaknya? batin Aziya."Syukurlah kalian tak apa-apa. Bagaimana bisa bocah ini tidak mengerti cara mematikan kompor?" cicit nya menyalahkan Humaira. Gadis itu hanya bisa menunduk sedih, ia merasa ayahnya sedang menyudutkannya saat ini atas kejadian kebakaran yang menimpa mereka."Mas Reza, kamu bicara apa? Mana oleh-oleh buat Humaira dan Farhan? Apa begini caramu bergaul dengan anakmu sendiri? Ah, aku lupa kalau kamu memang anak yang salah asuhan dari kedua orang tua mu sehingga tidak peka terhadap perasaan seorang anak," o
Pagi hari itu Galih mendatangi ruangan Reza di lantai dua. Menurutnya, permainan ini semakin mengasyikkan saja. Terutama saat ia memindahkan Davina menggantikan posisi Aziya dahulu.' Bagaimana denganmu, Aziya.Aku berharap aroma penderitaan di matamu semakin indah,' batinnya.Sejak awal sejak Galih melihatnya ada di perusahaan miliknya, ia menjadi sangat bersemangat. Bagi Galih dan ia tidak perlu bersusah payah untuk mencari keberadaan wanita itu.Kali ini ia akan memastikan bahwa Davina berada di posisi yang seharusnya.Di sudut sana, Reza sedang bersiap untuk seorang pegawai baru yang dinyatakan lolos seleksi sebagai pengganti Aziya di bagian administrasi. Ia bersyukur Davina bisa diterima di perusahaan berada dalam satu divisi dengannya. Meskipun untuk saat ini ia hanya perlu merahasiakan hubungan mereka diantara teman sejawatnya. Akan tetapi setelah perceraian antara dirinya dengan Aziya selesai, maka ia akan secara terbuka mengakui hubun
Aziya dibuat melongo dengan catatan yang begitu banyak.Membayangkan bagaimana nanti ia akan dibuat sibuk dengan berbagai macam barang, tentu saja ia jadi pengen menggerutu."Ya Tuhan, ini ... kenapa seperti orang pindahan? Apa dia shopaholic?" desisnya saat melihat banyaknya perabot yang harus dibeli.Akan tetapi demi keamanan ia tidak harus protes dan mengkritik keinginan atasannya itu.Ia mulai menyalakan mesin dan melaju di jalanan padat pagi itu.Sebenarnya ia mulai sedikit pusing karena tadi belum sempat sarapan. Dalam hati ia berencana membeli roti di supermarket untuk sarapan. Beberapa kali matanya menangkap berbagai macam makanan yang dijual di pinggir jalan yang membuatnya menelan ludah."Berhenti!" tiba-tiba Galih memintanya berhenti di sebuah toko Roti dengan brand terkenal. Aziya segera berhenti dan melihat pria itu memang turun dan berjalan masuk toko roti tersebut."Huft, syukurlah...bos pengertian banget nih,