Setelah merasa lega dan kembali menuju pulang dengan motor miliknya, iapun teringat bahwa dompet miliknya tertinggal di kantor. Bagaimanapun ia harus mengambil dompet tersebut malam ini juga atau besok akan semakin kesusahan, karena tentu saja banyak hal penting di dalamnya.
Lalu ia melaju pelan, dan begitu juga air matanya terkadang masih merembes keluar tak bisa ditahan lagi. Ia menangis pilu sambil kembali berkendara dengan motornya di tengah malam yang dingin.Suasana kantor sudah sangat sepi karena hanya beberapa staff saja yang masih lembur di sana, termasuk dirinya, hanya saja ia membatalkan niatnya sampai pagi.Aziya memasuki kantornya langsung menuju meja kerjanya. Akan tetapi ia tak menyangka seseorang telah berada di sana."Kacau sekali," gerutu pria itu yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Sepertinya dia adalah orang yang memeriksa hasil laporan Aziya."Permisi, maaf...saya...""Heh, ini meja kerjamu? Apa nggak bisa rapi sedikit? Lihat, laporan kamu berantakan dan meja kerja kamu juga berantakan! Ada serpihan makanan di sana sini, kamu kira ini kafe?!" gertak pria itu garang.Aziya bengong, masalah apa lagi yang menimpanya malam ini? Siapa pria ini? Sepertinya tidak asing baginya."Laporan ini harus selesai malam ini juga, kenapa masih juga santai?! Oh ya, lain kali jangan makan cemilan sembarangan ya, carilah cemilan yang tidak bikin kotor tempat kerja!"Aziya tertunduk, ia tak lagi ingin beralasan karena suasana hatinya sangat buruk.Ia membiarkan dirinya habis dimaki saja, mungkin bisa sedikit mengurangi rasa sakit yang berlebihan sebelumnya.Setelah pria itu pergi, Fahita mendekati Aziya perlahan."Katanya izin, kenapa balik lagi?""Nggak tau, lagi apes banget aku malam ini. Habis liat setan alas sekarang malah dimaki orang asing," keluh Aziya serius, ia bahkan menitikkan air mata tanpa sadar. Tadinya ia mau bersiap pulang, tapi melihat situasi perusahaan masih genting, ia tak bisa mengabaikan begitu saja, setidaknya ia harus melupakan masalah pribadinya di saat seperti ini."Ssst, dia bukan orang asing, Zi," kata Fahita berusaha mengingatkan."Aah, masa bodo. Sekarang aku sakit banget rasanya, siapapun dia, hidupku makin buruk malam ini," desahnya kemudian sambil bersikap tak perduli apapun yang dikatakan Fahita.Fahita melihat Aziya keheranan, sebab tak biasanya Aziya terlihat sangat serius dan murung seolah memikul beban yang sangat berat."Kamu beneran nggak lagi sakit, Zi?" tanya Fahita sekali lagi. "Kalau sakit ya udah pulang aja, aku yang akan tanggung jawab pekerjaan kamu."Aziya melihat Fahita dengan termangu. Ingin rasanya ia menumpahkan beban pikirannya sekarang ini, akan tetapi apakah ia bisa? Selama ini Fahita melihat mereka sebagai pasangan yang paling serasi di kalangan teman-temannya, apa jadinya kalau semua tahu bahwa ia diselingkuhi seorang bajingan? Oh, betapa malangnya kamu, Aziya!"Enggak Fa, enggak perlu. Aku mau selesaikan saja kerjaanku dan mungkin mau cuti beberapa hari ke depan. Aku capek.""Cuti? Tumben...," Fahita tak melanjutkan ucapannya. Ia bisa melihat Aziya bersikap dingin dan aneh, iapun akhirnya hanya bisa mengangguk dan beringsut pergi.Pukul dua malam, pekerjaan Aziya selesai juga akhirnya. Begitu juga Fahita yang berjalan ke arahnya dengan wajah yang kelelahan."Zi, aku pulang duluan ya. Gimana Reza, jam berapa dia jemput kamu?""Uhmm, aku pulang pagi kayaknya. Sekaligus mau persiapan cuti, jadi aku mau beresan meja kerjaku. Ya udah gih, pulang duluan sana.""Hmm, oke kalau gitu. Bye." Fahita berpamitan, dan Aziya hanya melemparkan senyum tipis.Suasana menjadi hening setelah beberapa lama kemudian. Aziya berpikir pastilah hanya tinggal dirinya yang berada di ruangan besar divisi administrasi saat ini. Iapun melepaskan blazer dan sepatu miliknya, merendahkan sandaran kursi sehingga ia bisa sedikit rebah di sana.Sesaat kemudian pikirannya melayang pada kejadian di kamar kost Davina, dadanya seakan sesak karenanya.Sebagai istri yang mendampingi Reza selama hampir sepuluh tahun, apakah ini pada akhirnya? batin Aziya sedih.Dikhianati, diselingkuhi saat sudah memiliki dua orang anak, apakah yang harus ia lakukan? Apakah berpisah adalah satu-satunya jalan untuk semua permasalahan ini? Ia bahkan rela menikah muda demi kemauan mereka, dan ini balasannya?Aziya mulai mengeluarkan air matanya, sampai akhirnya ia benar-benar terisak menyesali kejadian tersebut, menyesali bagaimana peristiwa dramatis menghampiri hidupnya saat ini.Aziya tak menyadari, seseorang telah di sana melihat apa yang ia lakukan."Aku baru tahu kalau tempat kerja bisa jadi tempat pelarian orang frustasi," kata sebuah suara dari arah belakangnya.Aziya terkejut, dari suaranya ia tahu kalau pria itu adalah pria yang mengritisi meja kantornya tadi.Selagi mengusap air matanya, Aziya menatapnya kesal."Dari tadi kau terlalu ikut campur. Apa sih maumu?" kali ini Aziya bersuara sedikit geram karena marah."Hoho, tapi sebenarnya aku memang berhak ikut campur dengan semua urusan di sini. Termasuk menegur karyawan yang cuma tiduran dan pergi semaunya pada jam kerja. Oh ya, ini sudah malam, sebaiknya kamu pulang dulu, bukankah kau punya keluarga?"Aziya makin kesal saja."Terserah aku! Pergi sana, dan jangan terlalu ikut campur dengan urusanku!"Pria itu tersenyum miring, ia tak menyangka mendapatkan perlawanan keras dari Aziya, tapi sebenarnya dia hanya akan mengalah saja. Sengaja, karena apa yang ia lakukan saat ini adalah sesuatu yang ia nantikan. Ia mencari saat yang tepat untuk terlibat dengan wanita ini."Kenapa nggak pergi? Bukannya pergi malah melotot begitu?" cerca Aziya lagi. Suasana hatinya benar-benar buruk."Begini, tadi aku meletakkan dompet di situ, jadi di mana kamu menyimpannya? Apa kau mengambilnya?"Mengambilnya? Apa itu tuduhan untuknya. Dengan kesal Aziya bangkit dan melihat-lihat, tapi tak ada dompet di mejanya.Dan ternyata ia melihatnya ada di bawah meja."Tuh, ada di situ. Ambil sana sendiri dan cepat pergi dariku!" sergahnya."Baiklah tuan putri, tak masalah aku mengalah saat ini, tapi suatu hari nanti kita akan impas," jawab pria itu lalu mengambil dompet di bawah meja."Impas?"Pagi harinya, seseorang menggerakkan bahu Aziya sedikit mengguncang. Aziya tertidur pulas menelungkup di atas meja karena capek menangis, wajahnya bahkan sudah kacau tak karuan."Zi, bangun. Ada pelantikan bos baru pagi ini, cepat persiapan," ujar seorang lelaki yang merupakan teman sejawat Aziya."Hah, apa?" Aziya bangun, tapi belum sadar sepenuhnya. Iapun melihat ke sekelilingnya yang sudah terang benderang. Beberapa teman sekantornya melihatnya dengan senyum-senyum, sedang Aziya menatap linglung."Bangun Zi, kamu nggak pulang semalam?" tanya Roni sambil menumpuk beberapa berkas di hadapannya. "Ngapain aja? Mentang-mentang mau jadi istri orkay," sindir pria itu.Aziya menggaruk tengkuknya, mengingat apa yang terjadi, bahkan ia tak perduli soal sindiran Roni."Astaga, apa ini sudah jam kerja?" katanya sambil melihat arlojinya. "Ah, gimana ini, aku belum mandi," desis Aziya kebingungan."Buat apa mandi, toh yang bakal naik pangkat suami kamu sendiri," cicit Anggara yang juga menonton
Aziya meringis menahan perih di pipinya. Ia menatap marah pada Reza."Sudah kubilang jangan pernah menyentuhku, gila kamu ya!" pekik Aziya, ia benci karena sentuhan Reza di kulitnya disisi kelakuan pria itu."Siapa bilang aku menyentuh kamu, aku menampar mulut ember jebol kamu biar tau rasa!"Saat itu, seseorang nekat mendekati dan melerai mereka."Ssstt, berhentilah bertengkar. Pak Arthur sudah meminta kita untuk berkumpul di ruang rapat utama. Ayo cepat!"Kalau saja bukan karena situasi itu, mungkin saja pertengkaran Aziya dengan Reza masih terjadi, maka Reza segera beranjak pergi.Pria itu terlihat bangga dengan jabatan barunya. Berbeda dengan Aziya yang sudah tak sanggup lagi untuk mengikuti rapat sehingga ia berbalik arah untuk pulang saja. Tak perduli jika pada hari itu ia harus dipecat, ia sudah tak perduli!Aziya meninggalkan aula rapat untuk pulang. Toh ia sudah biasa pulang sendiri karena Reza biasanya tidak akan pulang bersamanya meskipun mereka punya jadwal waktu yang sam
Mendengar suara Mama Reza di luar kamar, hati Aziya menjadi lega, ia sangat terganggu dengan gedoran pintu oleh Reza yang sangat kasar. Setidaknya meskipun ia tidak yakin dengan sikap Nurlela ibu Reza, setidaknya akan menghalangi kekerasan yang mungkin dilakukan putranya itu."Aziya! Ini mama, ayo buka pintunya!" Nurlela memanggil Aziya dan sempat melihat ke arah Reza yang pucat pasi."Mama dengar kamu naik jabatan, mama baru saja mau kasih ucapan selamat, tapi mama terkejut saat mendengar Aziya menelpon mama untuk menyelesaikan masalah rumah tangga kalian. Kenapa kalian bertengkar sehingga Aziya mau bercerai?""Huh, memangnya kenapa dia harus bawa-bawa orang tua segala? Masalah kami bisa kami selesaikan sendiri, Ma. Mama nggak usah ikut campur. Sebaiknya mama dan papa cepat pulang saja dan jangan percaya dengan ocehan gila Aziya," kata Reza dengan penuh emosional."Mama tidak suka ikut campur urusan rumah tangga kalian, hanya saja Aziya bilang kalau hari ini dia ingin bercerai dengan
Baiklah, sepertinya ini memang harus diperjelas di hadapan mama Reza supaya tidak ada lagi yang tersembunyi, batinnya.Aziya menegakkan kepalanya, menatap ke arah Reza lalu bergantian menatap mama Reza yang sedang menunggu penjelasannya."Kamu itu pasti sudah nidurin Davina, mas, iya kan? Coba ngaku sama mama, Mas. Jangan hanya aku yang dianggap membangkang, dianggap jahat. Sebenarnya aku begini karena kamu bukan?" cibir Aziya."Apa? Apa maksudmu? Reza nidurin Davina?" kata Nurlela terkejut dengan ucapan Aziya, apa Aziya sedang memfitnah putranya? "Apa kau sungguh melihatnya langsung?" tanya wanita itu lagi.Tak ada jawaban dari mulut Aziya. Ia malah disibukkan dengan bayangan menakutkan kejadian tadi malam. Begitu juga Reza yang hanya terdiam sementara ibunya menatapnya seolah menunggu pengakuan dari putranya.Selagi kebingungan, sekarang orang tua Aziya telah sampai di rumah mereka dan menghampiri. Kebetulan mereka memang sedang ada di Jakarta karena ada urusan keluarga di sana."Az
"Tidak mungkin!" kecam Aziya yang begitu kesal. Tidak seharusnya Reza mengambil dan mengganggu kedua anaknya yang sudah bisa adaptasi dengan baik di rumah neneknya. "Aku tidak akan menyerahkan kedua anakku pada kalian selamanya!""Aziya...kalau kamu tidak ingin berpisah dengan anak-anak, sebaiknya kamu kembali ke rumah ini dan batalkan saja gugatan cerai kamu, dengan begitu kalian bisa berkumpul lagi. Bagaimana?" kata mertua Aziya. Wanita itu berjalan santai ke sisi jendela besar dan membuka jendela rumah lebar - lebar, memberikan celah udara segar dari kebun kesayangan Aziya. Yah, setidaknya hal itu mengganti dan mengisi udara ruangan mereka tersebut yang mulai memanas.Bersyukur rasanya dulu Aziya rajin merawat bunga. Dia sungguh butuh banyak oksigen untuk bisa bernapas saat ini.Membayangkan kembali pada Reza sama saja kembali ke neraka mengerikan, itu tidak ada dan terjadi lagi dalam kamus hidupnya."Ma, aku tidak akan kembali sama mas Reza selamanya. Dia berselingkuh dengan sepup
Perkataan Aziya soal keluarganya yang abnormal, memang tidak sepenuhnya salah. Ia begitu tersinggung dengan tuduhan itu, tapi begitulah adanya, bahwa ayahnya, dia dan juga kakak lelakinya punya perilaku yang mirip. Hanya perempuan sial saja yang akan bertahan di dalam mendampingi pria keluarganya."Sial! Kenapa aku harus perduli dengan omong kosong Aziya?!" desisnya.Intinya kedua anaknya harus bersamanya tak perduli bagaimana pun kelakuan keluarganya! TITIK!Sementara mereka saling melemparkan pandangan tajam, Aziya juga tidak akan menyerah begitu saja. Ia sangat kuatir kalau kedua anaknya berada dalam lingkungan tak terdidik.Seperti rencananya semula, Aziya melangkah menuju ruang HRD dan bertemu dengan Ibu Nuri, wanita berperawakan tinggi dan sedikit antagonis. Wanita itu segera bertanya soal tujuan Aziya menemuinya di ruangannya.Aziya menjelaskan semuanya, termasuk rencana bercerai dengan Reza. "Pindah posisi? Bukankah posisi kamu sudah cukup bagus?" "Benar, tapi saya tidak men
Bu Nuri terdiam, ia tidak tahu berapa gaji yang diberikan untuk asisten seperti ini."Menurutku, kau bisa bertanya langsung dengan Pak Galih soal gaji itu. Saya sungguh tidak tahu. Kau juga bisa bernegosiasi langsung dengannya. Oke?"Aziya mengangguk, ia akan mencoba negoisasi terbaik esok hari.Keesokan harinya, Aziya benar-benar berpakaian santai tanpa riasan. Iapun menuju lantai dimana atasannya berada.Sudah hampir dua tahun, Aziya bekerja di perusahaan Hans GL. Akan tetapi tak pernah sekalipun ia menginjakkan kaki di lantai dua puluh milik Galih Purnama, seorang CEO sekaligus pewaris perusahaan multinasional itu.Rumor mengatakan, Galih Purnama adalah seorang pria yang sangat tegas dan tanpa kompromi.Panas dingin hawa yang keluar dari tengkuknya, apalagi di tangannya kini mengeluarkan keringat dingin semakin banyak, memikirkan seperti apa sosok pak Galih yang kontroversial itu.Ia sudah memakai setelan kasual, wajah polos tanpa make up dan tas kecil berwarna hitam menyilang di p
"Pak, saya tidak akan memakai kosmetik, berpenampilan menarik atau menggoda Pak Galih. Saya tahu batas karena saya juga punya suami, punya anak. Tapi...""Alasan kamu menghindari menjadi bawahan Reza...apa tidak ada maksud lain?"Bah! Seharusnya ia bertanya pada dirinya sendiri, batin Galih.Aziya menunduk dalam, sebutir air matanya hampir keluar di sudut matanya."Masalah ini...""Ini terlalu beresiko. Kau berpenampilan cukup buruk seperti ini, apa tidak mengganggumu?"Dalam hati Galih tertawa lebar, selama ini ia menantikan saat melihat wanita ini terlihat sangat buruk.Aziya menggelengkan kepalanya, "Tidak, Pak.""Baik, terserah kalau begitu. Besok, berangkat lebih awal, menghafal password apartemen dan juga pergi ke binatu. Siang harinya, ikutlah denganku untuk menyiapkan perlengkapan rapat dengan kolega dari Turki. Tugasmu hanya membersihkan ruangan dan menyiapkan peralatan, mengerti?""Siap, Pak. Apakah saya harus memakai pakaian khusus untuk pertemuan itu, Pak?" tanya Aziya pol