Share

Pengkhianat

Makian tidak akan menyelesaikan masalah. Tamparan hanya sedikit memberikan pelajaran. Tapi apa yang harus ia lakukan untuk mengobati rasa sakit ini? batin Aziya saat menatap dua makhluk keji itu di hadapannya.

Aziya melihat, mereka berdua telah pasrah karena ketahuan selingkuh, mereka pasti menunggu apa yang akan diputuskan Aziya.

Lalu iapun berinisiatif mengirimkan pesan untuk orang tua Davina.

["Paman, Bibi, datang ke kost Davina sekarang juga. Sepertinya Davina sakit keras!"] Terkirim...

Sesaat kemudian ia menatap Davina dengan tatapan benci dan muak.

"Bagaimana denganmu Davina, sudah sejauh ini, apakah hidupmu baik-baik saja? Disaat menjadi orang munafik di hadapanku?" ujar Aziya.

"Kau bahkan saudara sepupuku, aku sungguh tidak habis fikir!"

Davina, gadis bersurai panjang itu hanya meremas jarinya, duduk di sebuah kursi plastik di sudut ruangan. Tentu saja ia sangat malu, karena Reza ketahuan mengunjungi kamarnya di malam hari.

"Bagaimana denganmu, Mas Reza? Apa yang harus kukatakan kepada kedua anakku nanti jika suatu saat mereka melihat kenyataan bahwa kelakuan ayahnya seperti ini?

Baiklah, kuharap besok pagi kita sudah menyelesaikan semua masalah ini. Aku ingin kau menjelaskan kepada kedua anakku apa sebabnya kita berpisah, kau bisa melakukannya bukan?"

Aziya berdiri, ia melepaskan pakaian Davina dan menggantinya dengan seragam kerjanya sendiri. Bagaimanapun suasana hatinya, ia hanya harus bersikap tenang saat ini. Ia masih harus menyembunyikan kelakuan Reza dan bibinya yang menjijikkan sampai waktu yang dibutuhkan.

Terbayang di pelupuk matanya gadis kecil sepuluh tahun dan putra kecilnya yang berusia delapan tahun itu, bagaimana ia bisa menjelaskan rasa sakit ini, ataukah ia akan tetap bungkam dan terlihat baik-baik saja?

Rasanya ia ingin menjerit dan menampar-nampar kedua orang itu, akan tetapi ia tak akan lagi menyentuh sedikitpun barang kotor di hadapannya ini. Ia harus bisa menganggap keduanya barang tak berguna lagi. Sampah!

"Sudah sejauh apa kalian, Mas? Jujurlah kepadaku," akhirnya Aziya memberanikan diri untuk berbicara lebih keras. "Jika kau berbohong, kau sama saja menyakiti aku untuk kedua kalinya," katanya lagi, kali ini dengan suara datar.

"Aziya... tidak terjadi apa-apa diantara kami...kami cuma...ah..." Reza gugup dan berusaha berkelit.

Aziya bangkit menuju kamar mandi Davina. Ia sempat mengorek isi sampah itu dan melihat sesuatu di sana. Dengan cepat Aziya mengangkat kotak sampah kecil itu dan menumpahkan isinya di hadapan mereka berdua.

"Apa itu, Davina? Apakah kamu menggunakan kontrasepsi pria? Sudahlah... jangan berkelit lagi, semuanya sudah berakhir. Akan tetapi, perlu kamu ketahui, Davina, kamu harus menanggung malu! Dan itu adalah pilihan!" hardik Aziya keras.

Davina mengangkat kepalanya, menatap marah pada Aziya. "Mas Reza yang merayuku, dia bilang Mbak Ziya tidak bisa memuaskan!" bantahnya dengan muka jahat.

Aziya mengernyit, alasan klasik yang biasa ia dengar dari cerita skandal perempuan penggoda suami orang, ia juga tak mengira punya adik sepupu akhlak bejat seperti ini.

"Benar, sekarang Mas Reza sudah mendapatkan kepuasan darimu, jadi jangan harap sekalipun untuk merasa tidak puas dengan keputusanku. Aku akan membuka kelakuan kalian di hadapan keluarga, dan semoga semua itu bisa memuaskan kalian!"

Sedetik setelah itu, dua orang tua Davina datang tergopoh-gopoh. Mereka menatap bingung pada semua orang yang ada di situ.

"Ada apa ini? Bukankah... bukankah tadi katanya Davina sakit keras?" tanya wanita dengan balutan dress ketat berwarna keperakan di gawang kamar kost Davina.

Ia melihat ke arah putrinya yang baik-baik saja.

"Dia sakit jiwa, Tante. Tolong ajari supaya tidak jadi pelakor," jawab Aziya santai.

"Apa maksudmu, Aziya?"

Bukan menjawab, Aziya hanya tersenyum pahit.

Aziya masih bisa duduk dengan tenang, meninggikan dagu kepalanya dan berbicara dengan santai. Iapun mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.

["Halo, Fahita. Tolong sampaikan pada Pak Arthur kalau aku nggak enak badan, jadi aku izin malam ini ya,"] ujarnya dengan sedikit mengulas senyum.

Suasana masih tegang, sementara Reza menunduk dalam sambil memijat pelipisnya. Sepertinya masalah ke depannya tidak lagi sederhana, batinnya. Ditambah lagi kedua orang tua Davina ada di tempat ini.

Setelah panggilan telepon, Aziya mengenakan high heels miliknya. Iapun masih bersikap elegan saat berdiri dengan sebuah hand bag berwarna hitam keemasan di tangannya. Menatap sejenak kedua manusia yang hanya bisa terdiam. Seharusnya ia bisa mencabik-cabik saja suasana itu dengan mencakar wajah mereka, tapi tidak, sekali lagi ia akan menahan diri dari bersikap melelahkan.

"Aku akan pulang, aku sangat kecewa, tapi aku hanya perlu menerima semua ini. Tanpa penyesalan! Dasar pengkhianat!"

Tiba-tiba Reza berdiri menghadang Aziya.

"Aziya! Kau sudah keterlaluan! Kita mau bicarakan ini baik-baik, dan semua ini memang salahku, tapi tidak perlu kamu bersikap merasa paling benar. Aziya, tidak perlu bawa-bawa Davina untuk masalah keluarga kita."

'Dasar otak kosong! Sudah salah masih juga saling membela!' ingin rasanya Aziya melontarkan semua kata-kata itu. Akan tetapi ini bukan ranah perdebatan, bukan ajang negoisasi.

Aziya hanya tersenyum miring, menerabas tubuh Reza hingga pria itu mundur selangkah, lalu iapun pergi tanpa permisi meninggalkan mereka di sana.

Aziya melangkah menguatkan langkahnya yang gemetaran. Rasa ngilu merambat dengan cepat ke relung dadanya. Iapun menepuk-nepuk dadanya dengan tangan kanannya untuk meredam rasa sakit yang menusuk.

"Hancur sudah...habis sudah... apakah aku kuat menjalaninya?" lirih Aziya dalam kepiluan saat berlalu dari hadapan mereka. Iapun berhenti dalam kegelapan untuk mengusap air matanya yang sejak tadi tertahan. Ia sangat berusaha keras untuk tidak terlihat lemah di hadapan kedua insan yang berkhianat itu.

Brakk!

Sayup terdengar keributan di sana, seperti seseorang telah mendapatkan hantaman keras. Tapi Aziya tak perduli lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status