Makian tidak akan menyelesaikan masalah. Tamparan hanya sedikit memberikan pelajaran. Tapi apa yang harus ia lakukan untuk mengobati rasa sakit ini? batin Aziya saat menatap dua makhluk keji itu di hadapannya.
Aziya melihat, mereka berdua telah pasrah karena ketahuan selingkuh, mereka pasti menunggu apa yang akan diputuskan Aziya.Lalu iapun berinisiatif mengirimkan pesan untuk orang tua Davina.["Paman, Bibi, datang ke kost Davina sekarang juga. Sepertinya Davina sakit keras!"] Terkirim...Sesaat kemudian ia menatap Davina dengan tatapan benci dan muak."Bagaimana denganmu Davina, sudah sejauh ini, apakah hidupmu baik-baik saja? Disaat menjadi orang munafik di hadapanku?" ujar Aziya."Kau bahkan saudara sepupuku, aku sungguh tidak habis fikir!"Davina, gadis bersurai panjang itu hanya meremas jarinya, duduk di sebuah kursi plastik di sudut ruangan. Tentu saja ia sangat malu, karena Reza ketahuan mengunjungi kamarnya di malam hari."Bagaimana denganmu, Mas Reza? Apa yang harus kukatakan kepada kedua anakku nanti jika suatu saat mereka melihat kenyataan bahwa kelakuan ayahnya seperti ini?Baiklah, kuharap besok pagi kita sudah menyelesaikan semua masalah ini. Aku ingin kau menjelaskan kepada kedua anakku apa sebabnya kita berpisah, kau bisa melakukannya bukan?"Aziya berdiri, ia melepaskan pakaian Davina dan menggantinya dengan seragam kerjanya sendiri. Bagaimanapun suasana hatinya, ia hanya harus bersikap tenang saat ini. Ia masih harus menyembunyikan kelakuan Reza dan bibinya yang menjijikkan sampai waktu yang dibutuhkan.Terbayang di pelupuk matanya gadis kecil sepuluh tahun dan putra kecilnya yang berusia delapan tahun itu, bagaimana ia bisa menjelaskan rasa sakit ini, ataukah ia akan tetap bungkam dan terlihat baik-baik saja?Rasanya ia ingin menjerit dan menampar-nampar kedua orang itu, akan tetapi ia tak akan lagi menyentuh sedikitpun barang kotor di hadapannya ini. Ia harus bisa menganggap keduanya barang tak berguna lagi. Sampah!"Sudah sejauh apa kalian, Mas? Jujurlah kepadaku," akhirnya Aziya memberanikan diri untuk berbicara lebih keras. "Jika kau berbohong, kau sama saja menyakiti aku untuk kedua kalinya," katanya lagi, kali ini dengan suara datar."Aziya... tidak terjadi apa-apa diantara kami...kami cuma...ah..." Reza gugup dan berusaha berkelit.Aziya bangkit menuju kamar mandi Davina. Ia sempat mengorek isi sampah itu dan melihat sesuatu di sana. Dengan cepat Aziya mengangkat kotak sampah kecil itu dan menumpahkan isinya di hadapan mereka berdua."Apa itu, Davina? Apakah kamu menggunakan kontrasepsi pria? Sudahlah... jangan berkelit lagi, semuanya sudah berakhir. Akan tetapi, perlu kamu ketahui, Davina, kamu harus menanggung malu! Dan itu adalah pilihan!" hardik Aziya keras.Davina mengangkat kepalanya, menatap marah pada Aziya. "Mas Reza yang merayuku, dia bilang Mbak Ziya tidak bisa memuaskan!" bantahnya dengan muka jahat.Aziya mengernyit, alasan klasik yang biasa ia dengar dari cerita skandal perempuan penggoda suami orang, ia juga tak mengira punya adik sepupu akhlak bejat seperti ini."Benar, sekarang Mas Reza sudah mendapatkan kepuasan darimu, jadi jangan harap sekalipun untuk merasa tidak puas dengan keputusanku. Aku akan membuka kelakuan kalian di hadapan keluarga, dan semoga semua itu bisa memuaskan kalian!"Sedetik setelah itu, dua orang tua Davina datang tergopoh-gopoh. Mereka menatap bingung pada semua orang yang ada di situ."Ada apa ini? Bukankah... bukankah tadi katanya Davina sakit keras?" tanya wanita dengan balutan dress ketat berwarna keperakan di gawang kamar kost Davina.Ia melihat ke arah putrinya yang baik-baik saja."Dia sakit jiwa, Tante. Tolong ajari supaya tidak jadi pelakor," jawab Aziya santai."Apa maksudmu, Aziya?"Bukan menjawab, Aziya hanya tersenyum pahit.Aziya masih bisa duduk dengan tenang, meninggikan dagu kepalanya dan berbicara dengan santai. Iapun mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.["Halo, Fahita. Tolong sampaikan pada Pak Arthur kalau aku nggak enak badan, jadi aku izin malam ini ya,"] ujarnya dengan sedikit mengulas senyum.Suasana masih tegang, sementara Reza menunduk dalam sambil memijat pelipisnya. Sepertinya masalah ke depannya tidak lagi sederhana, batinnya. Ditambah lagi kedua orang tua Davina ada di tempat ini.Setelah panggilan telepon, Aziya mengenakan high heels miliknya. Iapun masih bersikap elegan saat berdiri dengan sebuah hand bag berwarna hitam keemasan di tangannya. Menatap sejenak kedua manusia yang hanya bisa terdiam. Seharusnya ia bisa mencabik-cabik saja suasana itu dengan mencakar wajah mereka, tapi tidak, sekali lagi ia akan menahan diri dari bersikap melelahkan."Aku akan pulang, aku sangat kecewa, tapi aku hanya perlu menerima semua ini. Tanpa penyesalan! Dasar pengkhianat!"Tiba-tiba Reza berdiri menghadang Aziya."Aziya! Kau sudah keterlaluan! Kita mau bicarakan ini baik-baik, dan semua ini memang salahku, tapi tidak perlu kamu bersikap merasa paling benar. Aziya, tidak perlu bawa-bawa Davina untuk masalah keluarga kita."'Dasar otak kosong! Sudah salah masih juga saling membela!' ingin rasanya Aziya melontarkan semua kata-kata itu. Akan tetapi ini bukan ranah perdebatan, bukan ajang negoisasi.Aziya hanya tersenyum miring, menerabas tubuh Reza hingga pria itu mundur selangkah, lalu iapun pergi tanpa permisi meninggalkan mereka di sana.Aziya melangkah menguatkan langkahnya yang gemetaran. Rasa ngilu merambat dengan cepat ke relung dadanya. Iapun menepuk-nepuk dadanya dengan tangan kanannya untuk meredam rasa sakit yang menusuk."Hancur sudah...habis sudah... apakah aku kuat menjalaninya?" lirih Aziya dalam kepiluan saat berlalu dari hadapan mereka. Iapun berhenti dalam kegelapan untuk mengusap air matanya yang sejak tadi tertahan. Ia sangat berusaha keras untuk tidak terlihat lemah di hadapan kedua insan yang berkhianat itu.Brakk!Sayup terdengar keributan di sana, seperti seseorang telah mendapatkan hantaman keras. Tapi Aziya tak perduli lagi.Setelah merasa lega dan kembali menuju pulang dengan motor miliknya, iapun teringat bahwa dompet miliknya tertinggal di kantor. Bagaimanapun ia harus mengambil dompet tersebut malam ini juga atau besok akan semakin kesusahan, karena tentu saja banyak hal penting di dalamnya.Lalu ia melaju pelan, dan begitu juga air matanya terkadang masih merembes keluar tak bisa ditahan lagi. Ia menangis pilu sambil kembali berkendara dengan motornya di tengah malam yang dingin.Suasana kantor sudah sangat sepi karena hanya beberapa staff saja yang masih lembur di sana, termasuk dirinya, hanya saja ia membatalkan niatnya sampai pagi.Aziya memasuki kantornya langsung menuju meja kerjanya. Akan tetapi ia tak menyangka seseorang telah berada di sana."Kacau sekali," gerutu pria itu yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Sepertinya dia adalah orang yang memeriksa hasil laporan Aziya."Permisi, maaf...saya...""Heh, ini meja kerjamu? Apa nggak bisa rapi sedikit? Lihat, laporan kamu berantakan dan meja ke
Pagi harinya, seseorang menggerakkan bahu Aziya sedikit mengguncang. Aziya tertidur pulas menelungkup di atas meja karena capek menangis, wajahnya bahkan sudah kacau tak karuan."Zi, bangun. Ada pelantikan bos baru pagi ini, cepat persiapan," ujar seorang lelaki yang merupakan teman sejawat Aziya."Hah, apa?" Aziya bangun, tapi belum sadar sepenuhnya. Iapun melihat ke sekelilingnya yang sudah terang benderang. Beberapa teman sekantornya melihatnya dengan senyum-senyum, sedang Aziya menatap linglung."Bangun Zi, kamu nggak pulang semalam?" tanya Roni sambil menumpuk beberapa berkas di hadapannya. "Ngapain aja? Mentang-mentang mau jadi istri orkay," sindir pria itu.Aziya menggaruk tengkuknya, mengingat apa yang terjadi, bahkan ia tak perduli soal sindiran Roni."Astaga, apa ini sudah jam kerja?" katanya sambil melihat arlojinya. "Ah, gimana ini, aku belum mandi," desis Aziya kebingungan."Buat apa mandi, toh yang bakal naik pangkat suami kamu sendiri," cicit Anggara yang juga menonton
Aziya meringis menahan perih di pipinya. Ia menatap marah pada Reza."Sudah kubilang jangan pernah menyentuhku, gila kamu ya!" pekik Aziya, ia benci karena sentuhan Reza di kulitnya disisi kelakuan pria itu."Siapa bilang aku menyentuh kamu, aku menampar mulut ember jebol kamu biar tau rasa!"Saat itu, seseorang nekat mendekati dan melerai mereka."Ssstt, berhentilah bertengkar. Pak Arthur sudah meminta kita untuk berkumpul di ruang rapat utama. Ayo cepat!"Kalau saja bukan karena situasi itu, mungkin saja pertengkaran Aziya dengan Reza masih terjadi, maka Reza segera beranjak pergi.Pria itu terlihat bangga dengan jabatan barunya. Berbeda dengan Aziya yang sudah tak sanggup lagi untuk mengikuti rapat sehingga ia berbalik arah untuk pulang saja. Tak perduli jika pada hari itu ia harus dipecat, ia sudah tak perduli!Aziya meninggalkan aula rapat untuk pulang. Toh ia sudah biasa pulang sendiri karena Reza biasanya tidak akan pulang bersamanya meskipun mereka punya jadwal waktu yang sam
Mendengar suara Mama Reza di luar kamar, hati Aziya menjadi lega, ia sangat terganggu dengan gedoran pintu oleh Reza yang sangat kasar. Setidaknya meskipun ia tidak yakin dengan sikap Nurlela ibu Reza, setidaknya akan menghalangi kekerasan yang mungkin dilakukan putranya itu."Aziya! Ini mama, ayo buka pintunya!" Nurlela memanggil Aziya dan sempat melihat ke arah Reza yang pucat pasi."Mama dengar kamu naik jabatan, mama baru saja mau kasih ucapan selamat, tapi mama terkejut saat mendengar Aziya menelpon mama untuk menyelesaikan masalah rumah tangga kalian. Kenapa kalian bertengkar sehingga Aziya mau bercerai?""Huh, memangnya kenapa dia harus bawa-bawa orang tua segala? Masalah kami bisa kami selesaikan sendiri, Ma. Mama nggak usah ikut campur. Sebaiknya mama dan papa cepat pulang saja dan jangan percaya dengan ocehan gila Aziya," kata Reza dengan penuh emosional."Mama tidak suka ikut campur urusan rumah tangga kalian, hanya saja Aziya bilang kalau hari ini dia ingin bercerai dengan
Baiklah, sepertinya ini memang harus diperjelas di hadapan mama Reza supaya tidak ada lagi yang tersembunyi, batinnya.Aziya menegakkan kepalanya, menatap ke arah Reza lalu bergantian menatap mama Reza yang sedang menunggu penjelasannya."Kamu itu pasti sudah nidurin Davina, mas, iya kan? Coba ngaku sama mama, Mas. Jangan hanya aku yang dianggap membangkang, dianggap jahat. Sebenarnya aku begini karena kamu bukan?" cibir Aziya."Apa? Apa maksudmu? Reza nidurin Davina?" kata Nurlela terkejut dengan ucapan Aziya, apa Aziya sedang memfitnah putranya? "Apa kau sungguh melihatnya langsung?" tanya wanita itu lagi.Tak ada jawaban dari mulut Aziya. Ia malah disibukkan dengan bayangan menakutkan kejadian tadi malam. Begitu juga Reza yang hanya terdiam sementara ibunya menatapnya seolah menunggu pengakuan dari putranya.Selagi kebingungan, sekarang orang tua Aziya telah sampai di rumah mereka dan menghampiri. Kebetulan mereka memang sedang ada di Jakarta karena ada urusan keluarga di sana."Az
"Tidak mungkin!" kecam Aziya yang begitu kesal. Tidak seharusnya Reza mengambil dan mengganggu kedua anaknya yang sudah bisa adaptasi dengan baik di rumah neneknya. "Aku tidak akan menyerahkan kedua anakku pada kalian selamanya!""Aziya...kalau kamu tidak ingin berpisah dengan anak-anak, sebaiknya kamu kembali ke rumah ini dan batalkan saja gugatan cerai kamu, dengan begitu kalian bisa berkumpul lagi. Bagaimana?" kata mertua Aziya. Wanita itu berjalan santai ke sisi jendela besar dan membuka jendela rumah lebar - lebar, memberikan celah udara segar dari kebun kesayangan Aziya. Yah, setidaknya hal itu mengganti dan mengisi udara ruangan mereka tersebut yang mulai memanas.Bersyukur rasanya dulu Aziya rajin merawat bunga. Dia sungguh butuh banyak oksigen untuk bisa bernapas saat ini.Membayangkan kembali pada Reza sama saja kembali ke neraka mengerikan, itu tidak ada dan terjadi lagi dalam kamus hidupnya."Ma, aku tidak akan kembali sama mas Reza selamanya. Dia berselingkuh dengan sepup
Perkataan Aziya soal keluarganya yang abnormal, memang tidak sepenuhnya salah. Ia begitu tersinggung dengan tuduhan itu, tapi begitulah adanya, bahwa ayahnya, dia dan juga kakak lelakinya punya perilaku yang mirip. Hanya perempuan sial saja yang akan bertahan di dalam mendampingi pria keluarganya."Sial! Kenapa aku harus perduli dengan omong kosong Aziya?!" desisnya.Intinya kedua anaknya harus bersamanya tak perduli bagaimana pun kelakuan keluarganya! TITIK!Sementara mereka saling melemparkan pandangan tajam, Aziya juga tidak akan menyerah begitu saja. Ia sangat kuatir kalau kedua anaknya berada dalam lingkungan tak terdidik.Seperti rencananya semula, Aziya melangkah menuju ruang HRD dan bertemu dengan Ibu Nuri, wanita berperawakan tinggi dan sedikit antagonis. Wanita itu segera bertanya soal tujuan Aziya menemuinya di ruangannya.Aziya menjelaskan semuanya, termasuk rencana bercerai dengan Reza. "Pindah posisi? Bukankah posisi kamu sudah cukup bagus?" "Benar, tapi saya tidak men
Bu Nuri terdiam, ia tidak tahu berapa gaji yang diberikan untuk asisten seperti ini."Menurutku, kau bisa bertanya langsung dengan Pak Galih soal gaji itu. Saya sungguh tidak tahu. Kau juga bisa bernegosiasi langsung dengannya. Oke?"Aziya mengangguk, ia akan mencoba negoisasi terbaik esok hari.Keesokan harinya, Aziya benar-benar berpakaian santai tanpa riasan. Iapun menuju lantai dimana atasannya berada.Sudah hampir dua tahun, Aziya bekerja di perusahaan Hans GL. Akan tetapi tak pernah sekalipun ia menginjakkan kaki di lantai dua puluh milik Galih Purnama, seorang CEO sekaligus pewaris perusahaan multinasional itu.Rumor mengatakan, Galih Purnama adalah seorang pria yang sangat tegas dan tanpa kompromi.Panas dingin hawa yang keluar dari tengkuknya, apalagi di tangannya kini mengeluarkan keringat dingin semakin banyak, memikirkan seperti apa sosok pak Galih yang kontroversial itu.Ia sudah memakai setelan kasual, wajah polos tanpa make up dan tas kecil berwarna hitam menyilang di p