Atas pertanyaanku itu, Richard hanya tertawa terbahak-bahak tanpa memberiku jawaban yang kuinginkan, penampilannya yang tampan terlihat menakutkan saat menertawakanku seperti itu.
"Kamu... kamu bisa-bisanya menculikku saat aku sedang tidur! Ini tidak adil, Rich!" teriakku, putus asa."Menculik? Sayang, aku tidak menculikmu, tapi aku MENANGKAPMU," ralat Richard dengan tersenyum sinis, mencengkeram pipiku sehingga aku meringis kesakitan."M-menangkap?"Richard yang begitu menakutkan itu tertawa melihat pekatnya ekspresi ketakutan di wajahku."Ya, Jeany. Kamu pasti telah berpikir sudah berhasil lepas dari genggamanku, kan? Sayang sekali, kamu salah. Dari awal pelarianmu sampai sini, aku tepat berada di belakangmu, Sayang," jawabnya, tertawa meremehkan dan mengambil sebuah tablet dan menunjukkan layarnya padaku."Lihat ini. Kamu pasti langsung tahu, bahwa hidupmu sekarang ada di genggamanku, kan?"Richard berkata dengan suara penuh percaya diri, menunjukkan bagaimana seluruh kegiatan pelarianku selama semalam penuh ini, benar-benar di pantau olehnya lewat kamera yang entah dia pasang di mana saja dan sejak kapan.Aku benar-benar seperti seekor hamster yang berlarian di roda dalam kandang.Mantanku tercinta ini, sepertinya sudah benar-benar sudah menyiapkan aksi balas dendam sejak lama!"Kamu, kamu.... "Aku langsung tak bisa berkata-kata. Bagaimana tidak. Mantanku, dia sangat menakutkan sekarang!!"Aku benar-benar serius waktu bilang padamu kalau tujuan hidupku hanyalah kamu, Jeany."Richard mengatakan itu dengan tatapan sungguh-sungguh dan membelai pipiku dengan jarinya yang panjang, sedangkan aku, mendesah dengan helaan napas berat."Itu... itu tidak terdengar manis sama sekali, Rich," sahutku, menutup wajah dengan kedua tangan dan menyingkirkan tangannya dari pipiku.Aku sangat ingin menangis dengan keras saat ini, tapi bahkan air mataku sudah kering!"Tentu. Siapa yang mengatakan itu adalah hal manis? Asal kamu tahu, tujuan akhirku adalah merobek dan memotong-motong tubuhmu yang cantik itu menjadi bagian-bagian kecil, Sayang. Kamu mungkin tidak tahu, tapi di rumahku, telah kubangun sebuah ruang bawah tanah khusus, yang aku persembahkan untuk tubuhmu," jawabnya, dengan ekspresi tenang."Ugh, Rich. Aku... aku minta maaf atas kesalahanku di masa lalu. Bisakah kamu memaafkannya dan kita berdamai saja, Rich? Tolong, tolong jangan bunuh aku," mohonku dengan suara bergetar.Richard tertawa sinis, lalu menjawab."Membunuhmu secara langsung tidak akan sangat menyenangkan, Jeany. Apa gunanya aku tersiksa bertahun-tahun kalau aku langsung menghilangkan nyawamu, Sayang?"Mendengar bagaimana berbahayanya ucapan Richard, tubuhku seketika bergetar ketakutan."Tidak! Kamu tidak boleh menyiksaku, Rich!! Sungguh, aku takut sekali dengan rasa sakit! Jadikan saja aku budakmu atau apa, tapi jangan sakiti tubuhku, Rich! Pleaseee?"Ku satukan kedua tangan, memohon padanya dengan mata ketakutan."Bahkan air matamu ini, air mata palsu, Jeany," ejeknya, saat mengulurkan tangan dan mengusap pipiku yang basah dengan ujung jari jempolnya."Tidak! Aku benar-benar ketakutan sekarang. Ini bukan akting, Rich. Please, jangan bunuh aku atau membuat tubuhku menjadi eksperimen mengerikan! Aku minta maaf, Rich! Sungguh! Aku bersedia menebus kesalahan itu dengan melakukan apa pun, tapi tolong, tolong jangan sakiti tubuhku!" seruku, menangkap tangannya dengan pandangan putus asa."Kalau hatimu?"Richard tiba-tiba menanyakan sesuatu, seperti di luar konteks."M-maksudnya, Rich?" tanyaku, kebingungan."Kalau aku menyakiti hatimu. Bagaimana?" ulangnya, tersenyum dengan wajah yang terlihat jahat.Meski begitu, melihat bagaimana ada sedikit celah bagiku untuk tidak mati dalam keadaan tersiksa di tangan Richard, segera menyahut dengan cepat."Tidak apa-apa. Selama itu bukan sakit fisik, aku akan menanggungnya! Aku bersedia menebus kesalahanku dengan mengalami apa yang dulu kamu alami dan membuat dirimu menderita, Rich! Kirimkan aku ke pria yang akan membuatku patah hati dan memohon-mohon di kakinya seperti yang dulu kamu lakukan padaku. Aku bersedia mengalami semua itu sekarang! Sungguh!" seruku penuh semangatApa pun. Asalkan tidak mengalami penyiksaan yang menyakitkan, aku bersedia.Namun, aneh. Bukannya terlihat senang dengan ucapan penuh tekadku, Richard malah memandangku dengan mata memicing. Terlihat jelas dia sedang sangat marah sekarang."Jeany, beraninya kamu menyebut laki-laki lain di depanku?" desisnya, mencengkeram kedua pipiku dengan kuat. Matanya menyiratkan kemarahan yang begitu dalam, sehingga aku hanya bisa menatap dirinya dengan kebingungan."A-apa... apa maksudmu? Kamu ingin aku mengalami yang dulu kamu alami, kan? Lalu, bukankah yang paling benar adalah mengirimku ke seorang pria untuk—""Jeany, jangan memancing kesabaranku!" bentaknya, keras.Tubuhku seketika menyusut ketakutan melihat kemarahan yang semakin membara di wajah Richard.Aku benar-benar tak mengerti! Apa sebenarnya yang dia inginkan?? Dia ingin hatiku tersiksa, kan?? Jadi, apa yang salah dari ucapanku???"R-Rich, aku minta maaf. Lalu... lalu apa yang kamu inginkan?"Hati-hati, dengan jantung berdebar kencang karena rasa takut yang begitu hebat, aku bertanya."Tidak ada laki-laki lain! Tidak, Jeany!"Richard kembali berteriak, mencengkeram pipiku dengan lebih erat.Melihat bagaimana dia sangat marah gara-gara pembahasan tentang laki-laki lain, aku segera menyahut dengan tergesa-gesa."Oke, oke. Aku tidak akan menyebutkan hal seperti itu lagi. Maafkan aku, Rich. Maaf.... ""Kalau ada pria yang harus membuat dirimu patah hati dan memohon-mohon di bawah kakinya, maka pria itu harus aku, Jeany. HARUS AKU," tegasnya, penuh penekanan.Mataku bergetar mendengar ucapan Richard yang penuh kontradiksi."B-bukannya kamu, kamu benci dan jijik melihat wajahku, Rich? Lalu kenapa.... "Aku benar-benar bingung dengan pria ini. Sungguh!Dia benci aku, kan? Lalu kenapa tidak boleh ada laki-laki lain? Apa sih sebenarnya yang dia inginkan??"Ya. Aku sangat benci sama kamu. Sangat! Karena bahkan setelah bertahun-tahun, satu-satunya wanita yang ada di mimpiku cuma kamu, Jeany. Cuma kamu. Kamu pasti bisa membayangkan bagaimana jijiknya aku padamu, kan?" sahut Richard. Wajahnya yang penuh kebencian saat menatapku, membuat aku menunduk dan hanya bisa menggumamkan kata maaf."M-maaf.... ""Aku akan menyiksamu dengan siksaan yang tidak bisa kamu bayangkan, karena itu, besok, kita menikah," ucapnya, tegas. Yang membuat aku seketika mendongak ke arahnya dengan kebingungan."APA??? MENIKAH??"Apalagi ini, ya Tuhan??!Dia benci aku, tapi mengajakku menikah???Orang sinting mana yang melakukan semua kegilaan ini?!"Kenapa? Oh, kamu pasti sangat tersiksa karena harus tiba-tiba menikah denganku, kan? Ya. Itulah tujuanku, Jeany."Richard yang sepertinya salah memahami reaksiku, tersenyum sinis. Terlihat sangat puas seakan-akan tebakannya benar.Aku tentu saja langsung menggeleng dan mencoba memberi tahu kebingunganku."Tidak. Bukan begitu.... Rich, kamu bilang kamu jijik padaku, kamu benci sekali padaku. Lalu... lalu kenapa kita harus menikah?"Aku bertanya, dengan sangat hati-hati."Kenapa? Tentu saja karena aku berniat membuatmu merasakan jatuh cinta berkali-kali padaku dan patah hati berkali-kali juga. Barulah setelah itu, kita berdua impas," jawabnya, penuh percaya diri.Tak tahu harus berkata apa, aku hanya menatap dirinya dalam diam.Jujur.Aku benar-benar tak tahu apa maksudnya, tapi, bukankah ini jauh lebih baik daripada dibunuh atau dikurung di ruang bawah tanah dan dijadikan subyek eksperimen mengerikan?Melihat bahwa ini mungkin pilihan yang sangat positif, aku segera mengangguk dengan semangat."Baiklah!! Rich, aku bersedia menikah denganmu. Aku juga bersedia jatuh cinta berkali-kali padamu dan bahkan patah hati berkali-kali padamu juga! Aku benar-benar tulus ingin menebus semua dosaku padamu, Rich!" ucapku dengan wajah sumringah, yang langsung disambut tawa sinis oleh Richard."Jeany, betapa percaya dirinya. Kamu belum merasakan apa itu cinta dan patah hati, kan?""Eh, itu... itu.... "Aku tak bisa menjawab, karena memang, tebakannya benar.Aku hanya pernah pacaran satu kali, yaitu dengan seorang pria bernama Dante Richardo, itu pun dengan tujuan mengeruk harta orangtuanya. Jadi, aku benar-benar tak tahu apa itu jatuh cinta. Aku terlalu sibuk bertahan hidup karena aku sangat miskin. Jadi mana mungkin ada waktu untuk jatuh cinta?"Patah hati bahkan lebih mengerikan daripada kehilangan nyawamu, Jeany. Kamu terlalu meremehkan hal-hal seperti itu," ejek Richard dengan tawa seakan-akan menganggap aku menjijikkan."Aku... tidak apa-apa! Demi menebus kesalahanku, aku bersedia mengalami semua penderitaan itu, Rich!! Aku sungguh-sungguh," jawabku, yang masih yakin bahwa menikah dengan Richard jauh lebih baik daripada dikurung di ruang bawah tanah dan tubuhku dipotong sedikit demi sedikit.Bukankah begitu??!Sayangnya, Richard tak menanggapi positif jawabanku, dengan sinis dia berkata."Hm. Baiklah. Mari kita lihat, Jeany. Aku ingin kamu menunjukkan padaku, bagaimana kamu jatuh cinta dan patah hati karena aku. Lalu kalau semua tindakanmu tidak memuaskanku, maka.... "Richard seperti sengaja berhenti bicara di saat yang paling penting."Maka?" kejarku, tak sabar."Maka tentu saja, leher cantik ini akan kupotong sehingga terpisah dari tubuhmu, Sayang."Richard menjawab sambil mengelus leherku, yang membuat aku segera berteriak panik sambil memegangi leherku."T-tidak!! Jangan lakukan itu, Rich! Aku... aku berjanji akan memuaskanmu! Sungguh!"Richard tiba-tiba tertawa, memegang wajahku dengan kedua tangannya yang besar, lalu mendesah."Oh, Jeany. Bahkan saat seperti ini, kamu masih sangat cantik.... "Suaranya terdengar sarat oleh rasa sakit."T-terima kasih...."Gugup, aku menjawab.Richard lantas memandangku tanpa bicara, kemudian dia menelusuri lekuk wajahku dengan ujung jarinya dan berkata dengan ekspresi merenung."Aku tidak sabar, melihat air matamu jatuh karena aku dan wajah cantik ini terluka saat menatapku. Aku benar-benar menunggu moment itu, Jeany. Agar mimpi buruk yang selama bertahun-tahun ini menghimpitku, akhirnya meninggalkanku," ucapnya, seperti berbisik."Kamu, kamu ingin melihat aku menangis, kan, Rich? Aku bersedia menangis untukmu kapan saja!" seruku, penuh antisipasi.Asal jangan ambil nyawaku!Aku melanjutkan dalam hati.Namun, Richard malah menggeleng."Tidak. Itu omong kosong. Aku tidak ingin melihat tangisan aktingmu, Jeany. Aku ingin melihat air matamu yang mengalir deras ke pipi, dengan tatapan penuh kesakitan, karena menangisi diriku," tolaknya, dengan gelengan tegas."Aku... aku janji akan melakukan yang terbaik. Aku akan sungguh-sungguh mencintaimu dan bersungguh-sungguh patah hati serta terluka karena kamu. Tapi, tolong berjanjilah untuk tidak membunuhku. Oke?" pintaku, sungguh-sungguh."Berapa kali kubilang? Aku tidak tertarik membunuhmu secepat itu, Sayang.""S-syukurlah," jawabku, menghela napas lega.Kami saling bertatapan. Mantanku, yang sekarang menjadi seorang dokter muda, tampak sangat tampan. Namun, juga menakutkan.Aku secara tak sadar mengalihkan pandangan, tak sanggup bertatapan dengan Richard terlalu lama. Auranya sangat mengintimidasi sehingga badanku gemetar tanpa sadar."Jeany. Oh, Sayang.... "Richard kembali membelai sisi wajahku dengan lembut. Secara mengejutkan, bibirnya mendekat ke arah bibirku, sehingga aku memejamkan mata secara refleks.Wajahnya begitu dekat dengan wajahku sekarang, sampai embusan napasnya terasa lembut menerpa bibirku.Kupikir, kami akan benar-benar berciuman.Namun, saat kami sudah hampir berciuman dan jarak bibir kami sudah sangat dekat, Richard secara tak terduga tiba-tiba menjauhkan bibirnya dariku."Kita sedekat ini, tapi hatimu bahkan terasa sangat jauh," bisiknya, sebelum dengan cepat berbalik pergi dan berjalan meninggalkanku, setelah mendorong tubuhku menjauh dengan kasar.Saat melihat punggungnya yang menjauh, aku tertegun.Tunggu.Tatapan apa tadi yang sekilas kurasakan dari dokter psikopat itu?Seperti seseorang yang sedang menanggung kesakitan yang teramat sangat?Dia... sebenarnya kesakitan karena terlalu membenciku, atau sebaliknya?Pagi berikutnya, langit masih kelabu ketika Jupiter berjalan menuju kedai kopi dekat hotel. Ia butuh waktu sendiri. Setelah malam yang rumit dengan Lyodra, dan perasaan yang tak kunjung padam, pikirannya semakin bising. Ia tahu batasnya—Lyodra bukan miliknya. Tapi rasa itu, seperti luka kecil yang terus menganga, tak kunjung sembuh. Ia duduk di pojok ruangan, menyendok buih kopinya dengan sendok kayu saat seseorang menarik kursi di hadapannya. Seorang wanita dengan rambut sebahu yang lurus sempurna, lipstik merah menyala, dan aura percaya diri yang tajam seperti silet. “Jupiter, kan?” sapa wanita itu tanpa basa-basi. “Kita belum pernah bertemu, tapi aku sudah cukup tahu tentang kamu.” Jupiter mengangkat alis. “Kita kenal?” Wanita itu menyunggingkan senyum kecil. “Belum. Tapi kamu kenal Lyodra. Dan itu membuat kita… punya kepentingan yang sama.” Jupiter menatapnya curiga. “Kamu siapa?” “Shane,” jawabnya singkat, menyilangkan kaki. “Kita nggak perlu basa-basi, Jupiter. Aku di sini
Malam merayap pelan ke dalam dinding hotel, membawa hawa yang lebih sunyi dibanding biasanya. Lampu-lampu lobi sudah menyala lembut, mengubah suasana menjadi lebih hangat, namun hati Lyodra tetap tak sepenuhnya tenang. Ia tidak tahu, tepat di balik kaca, pria yang paling ingin ia lindungi dari kesalahpahaman justru sedang menatapnya dari jauh—diam-diam, dengan tatapan penuh bara yang dikendalikan dengan dingin.Jamie baru tiba dari kunjungan luar kota yang panjang dan penuh tekanan, tapi rasa lelah itu mendadak menguap saat layar ponselnya menampilkan foto-foto Lyodra… bersama pria lain.Pria itu bukan siapa-siapa, bukan siapa-siapa seharusnya.Namun senyum Lyodra, caranya menunduk saat pria itu bicara, bahkan sorot matanya yang menyiratkan kenyamanan dan kehangatan—semuanya terasa terlalu familiar. Terlalu intim. Dan itu membuat napas Jamie berdesir tak nyaman, entah karena marah atau takut kehilangan.Seketika, pintu putar lobi bergerak.Lyodra masuk dengan langkah ringan, masih ter
Mall itu tidak begitu ramai. Lampu-lampu terang menggantung dari langit-langit, memantulkan bayangan mereka di lantai mengilap. Jupiter memarkir motor dan melepas helm Lyodra dengan hati-hati. Dia masih berusaha tersenyum, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang sulit dijelaskan, itu karena pandangannya terganggu pada cincin cantik di jari manis Lyodra. Dia menghela napas dalam-dalam dan berusaha bersikap biasa kepada Lyodra. “Yuk, cepat selesaiin belanjanya. Biar bisa balik ke hotel sebelum sore,” ucap Jupiter, berjalan di samping Lyodra yang kini sibuk membuka catatan belanja dari Pak Alex.“Kita harus beli... kertas undangan, bunga meja, pita-pita dekorasi, lilin aromaterapi, dan… oh, kostum pasangan untuk maskot acara,” gumam Lyodra, memicingkan mata membaca daftar panjang yang terasa mengerikan itu.“Kostum pasangan?” Jupiter mengangkat alis. “Kayak… maskot yang saling gandengan gitu?”Lyodra mengangguk pelan. “Iya. Konsep acaranya kan ‘Romantic Night’. Jadi harus bikin suasana
"Nggak bakal ada yang aneh-aneh setelah ini, kan? Kenapa rasanya aku malah gugup kalau semuanya selancar ini? Apakah nanti pernikahanku dengan Jamie juga akan berjalan semudah ini?" Lyodra tidak bisa begitu saja mengusir rasa cemasnya, sebab ia sudah terbiasa—jika sesuatu terasa terlalu lancar, maka biasanya akan ada badai yang menyusul. Ia gelisah tanpa alasan yang jelas, tetapi tetap mencoba menepis segala pikiran buruk. "Semua akan baik-baik saja," gumam Lyodra, menenangkan dirinya sendiri. --- Setelah libur selama tiga hari, Lyodra akhirnya kembali ke kantor. Baru saja tiba, ia langsung disambut dengan omelan dari Jupiter. “Kamu ini bisa profesional nggak, sih? Kok bisa-bisanya kamu cuti tanpa keterangan selama tiga hari, justru di saat genting seperti ini!” Sebagai atasan, Jupiter menegurnya dengan keras. Lyodra sudah berusaha menjelaskan bahwa situasinya sangat mendadak dan ia telah mendapat izin langsung dari pusat, namun Jupiter tetap melanjutkan kemarahannya, membuat
Hati Lyodra seperti tenggelam saat Jamie menanyakan hal itu, dia merasa bersalah karena membuat Jamie yang tak tahu apa-apa jadi terbebani dan berpikir kalau pernikahan ini memberatkan Lyodra. Oleh karena itu, Lyodra segera menggeleng tegas dan menatap Jamie sambil menjawab kalau itu bukan karena pernikahan mereka. "Tapi kamu nggak bakal mau bilang kan alasan kenapa kamu terlihat lesu hari ini, Ly?" Seakan tahu bahwa Lyodra tak akan jujur jika dia terus bertanya, Jamie mengatakan hal itu dengan tatapan sendu. "Ah, itu.... " Alih-alih langsung menjawab, Lyodra malah menggigit bibir bawahnya dengan ekspresi bermasalah. Dia tahu ini bukan hal yang bisa dengan mudah untuk langsung memberi tahu Jamie, karena Lyodra sendiri memikirkan bagaimana dampak hubungan Luke dan Jamie jika dia mengatakan yang sebenarnya. "Kamu masih belum terlalu percaya aku, Ly?" tanya Jamie dengan lembut saat melihat Lyodra yang masih diam dan tak menceritakan alasan dia murung meski Jamie sudah membujuknya
Malam tiba, menjemput langit dengan kelembutan jingga yang perlahan larut dalam kelam. Seperti janjinya, Jamie datang menjemput Lyodra tepat pukul delapan.Mobil hitam milik pria itu berhenti dengan elegan di depan tempat tinggal Lyodra. Suara klakson yang lembut menyadarkannya dari lamunan, dan dengan nafas yang ditahan, Lyodra melangkah keluar, mengenakan dress sederhana berwarna nude yang membungkus tubuhnya dengan keanggunan yang tidak dibuat-buat.Jamie keluar dari mobil, tersenyum lebar sambil menghampirinya. “Gila, kamu cantik banget malam ini, Ly," ucapnya pelan, seolah tak ingin mengganggu malam yang sudah terlampau sempurna.Lyodra tersipu, membalas senyuman itu dengan anggukan kecil. “Kamu juga... kelihatan beda malam ini. Lebih... serius.”“Ya iyalah, ini malam penting,” katanya, lalu membuka pintu mobil untuk Lyodra seperti seorang pria sejati yang ingin meyakinkan gadisnya bahwa malam ini akan baik-baik saja.Di jari manis mereka masing-masing melingkar cincin couple,