Home / Romansa / Terperangkap Gairah Paman Tampan / Bab 4. Pertunangan Karin dan Alex.

Share

Bab 4. Pertunangan Karin dan Alex.

Author: Queenby
last update Huling Na-update: 2025-09-20 21:12:33

“Tunggu, Karin! Aku… aku ingin membuat perjanjian denganmu.”

Langkah Karin terhenti. Bibirnya tersungging tipis.” Inilah yang aku tunggu. Alex tidak akan melepaskanku begitu saja,” batinnya. Ia berbalik, lalu kembali duduk di kursinya.

“Perjanjian apa?” tanyanya datar.

Alex menarik napas, menatap Karin penuh kesungguhan yang terkesan dipaksakan.

“Kita… bertunangan pura-pura saja. Demi membuat kakek-kakek kita bahagia. Tapi kita bebas memiliki hubungan dengan orang lain. Setelah aku mendapatkan bagian saham di perusahaan kakekku, kita berpisah. Bagaimana?”

Karin mendengus pelan, matanya menyipit.

“Itu hanya menguntungkanmu, Alex. Apa untungnya untukku?”

Alex terlihat panik. “Aku… aku bisa membayarmu.”

Karin menyilangkan tangan di dada, menatapnya dingin.

“Kamu pikir aku kekurangan uang?”

Alex terdiam, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.

“Lalu… apa yang harus kulakukan agar kamu setuju?” suaranya melemah.

Karin mencondongkan tubuhnya, lalu berbisik pelan namun penuh tekanan:

“10 miliar. Kalau kamu berani bayar 10 miliar, aku akan setuju dengan pertunangan palsu ini.”

Alex terperangah, tapi kemudian mengangguk cepat. Dia tidak punya pilihan lain.

“Deal! Aku beri kamu 10 miliar, secara bertahap. Tapi syaratnya, jangan ikut campur dalam urusanku dengan Fiona. Itu urusan pribadiku.”

Karin tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangan. “Deal.”

Keduanya pun berjabat tangan.

Di balik senyum dinginnya, Karin tertawa puas dalam hati. “Akhirnya, aku tidak perlu pusing lagi soal uang. Kakek boleh saja memblokir semua kartu kredit dan ATM-ku, tapi sekarang… aku punya cara untuk tetap hidup enak setelah keluar dari rumah.”

*

*

*

Hari pertunangan itu akhirnya tiba. Tidak ada pesta megah, hanya sebuah acara sederhana di rumah besar keluarga Sanjaya. Suasana terasa hangat sekaligus menegangkan.

Di ruang rias, Karin duduk tenang sementara perias terakhir kali merapikan polesan di wajahnya. Kakek Andi duduk di kursi dekatnya, menatap cucunya dengan senyum yang penuh kasih sayang.

“Nak,” suara kakek Andi bergetar lembut, “terima kasih sudah menerima perjodohan ini. Kamu telah membantu kakek mewujudkan impian mendiang nenekmu… juga neneknya Alex. Dulu, mereka bersahabat dekat, sudah seperti saudara sendiri. Waktu kamu lahir, neneknya Alex begitu antusias. Dia bilang, akhirnya ada keturunan perempuan di keluarga Sanjaya, jadi bisa dijodohkan dengan cucu keluarga Kusuma. Maafkan kakek kalau sudah terlalu memaksamu.”

Karin menoleh, bibirnya melengkung tipis. “Tidak apa-apa, Kek. Karin ngerti kok…” jawabnya pelan.

Kakek Andi tersenyum lega lalu memeluk cucunya. Pelukan hangat itu justru menyesakkan dada Karin.

“Maafkan Karin, Kek. Karin tidak bermaksud berbohong. Tapi… aku dan Alex sama sekali tidak saling mencintai,”batinnya perih.

Tak lama kemudian, suara mobil terdengar di halaman depan. Keluarga Kusuma akhirnya tiba. Karin bersama kakek Andi segera menyambut mereka dengan penuh hormat.

Pertunangan itu pun berlangsung. Tanpa pesta mewah, tanpa sorotan kamera yang berlebihan. Hanya keluarga inti dan beberapa kerabat dekat yang hadir.

Di hadapan semua orang, Karin dan Alex duduk berdampingan, jari mereka berpegangan sekilas untuk prosesi tukar cincin. Dari luar, keduanya tampak serasi, tapi di dalam hati masing-masing, mereka menyimpan rahasia dan kepura-puraan yang tak seorang pun boleh tahu.

*

*

*

Setelah prosesi pertunangan selesai, acara berlanjut dengan makan malam bersama. Suasana meja dipenuhi obrolan ringan, hingga tiba-tiba kakek Andi membuka percakapan serius.

“Alex, apa di perusahaanmu masih ada lowongan untuk pegawai baru?”sambil melirik ke arah Karin.

Alex menoleh, sedikit bingung. “Untuk siapa, Kek?”

“Untuk Karin. Dia bilang ingin mencari pekerjaan,” jawab kakek Andi dengan tenang.

Karin yang tengah menyesap minumannya langsung kaget. “Akh, nggak perlu, Lex. Aku bisa cari pekerjaan di perusahaan lain,” ujarnya cepat, menolak halus.

“Kenapa kamu mau repot-repot kerja di perusahaan lain, Rin?” sela kakek Dodi penasaran. “Kenapa nggak di perusahaan Sanjaya saja?”

“Itulah, Dod,” kakek Andi tersenyum getir, “cucuku ini keras kepala. Katanya ingin mandiri, ingin merasakan hidup bebas di luar. Jadi dia maunya mencari pekerjaan sendiri.”

Ucapan itu membuat Pak Heru, ayah Alex, terkekeh kecil. “Anak zaman sekarang memang aneh-aneh keinginannya. Lex, bagaimana kalau kamu jadikan saja Karin sebagai asistenmu di kantor?” ucapnya ringan.

Alex langsung terperanjat, matanya membelalak. “Tidak bisa, Pa! Aku sudah punya asisten.”

Kakek Dodi mendengus pelan, menahan amarah. Dia tahu betul siapa asisten yang dimaksud Alex—Fiona.

“Tapi kamu bisa menggantinya, kan?” tekan kakek Dodi dengan nada tajam.

Alex menggeleng keras. “Tidak mungkin, Kek. Aku nggak bisa seenaknya mengganti asistenku, apalagi kerjaannya bagus.”

Karin buru-buru menengahi, tak ingin keributan terjadi. “Sudah, Kek. Tidak usah. Aku memang ingin mulai bekerja dari bawah, biar tahu rasanya jadi pegawai biasa.”

Alex menarik napas lega. “Kalau begitu, bagus. Aku bisa menempatkanmu di bagian keuangan atau pemasaran. Sesuai yang kamu mau.”

Karin tersenyum tipis. “Baiklah, aku tidak keberatan.”

“Bagus. Besok kamu datang saja ke kantorku. Aku akan bilang pada manajer HRD untuk mengurusnya,” ucap Alex, menutup percakapan itu dengan nada resmi.

*

*

*

Tiga hari setelah pertunangannya, Karin resmi pindah ke apartemen milik pribadinya. Begitu selesai membereskan barang-barang miliknya, dia duduk di ruang tamu yang luas tapi sepi. Karin pun langsung menjatuhkan diri di sofa empuk.

“Hah… akhirnya! Hidupku bisa bebas juga seperti orang lain!” pekiknya puas, menatap langit-langit dengan senyum lega.

Namun, setelah euforia itu mereda, Karin mendengus bingung. “Sekarang… apa yang harus aku lakukan ya?” gumamnya sambil memainkan ujung rambut.

Tiba-tiba perutnya berbunyi nyaring. Krukkk…

“Aduh, aku lapar!” Karin berdiri, lalu berteriak lantang, “Mbak! Tolong ambilin makan dong!”

Sunyi. Tak ada sahutan.

Karin mengedarkan pandangan ke sekeliling apartemen, lalu menepuk jidatnya sendiri. “Astaga… aku lupa. Sekarang aku hidup sendiri!”

Dia berjalan gontai ke dapur, membuka kulkas yang kosong melompong. “Mau makan apa coba? Aku bahkan belum belanja…” keluhnya.

Akhirnya, dengan wajah malas, ia mengeluarkan ponselnya. “Pesan online aja deh. Untung ada uang dari Alex. Kalau nggak, bisa mati kelaparan aku.”

Ia teringat pada keputusan kakeknya—seluruh ATM dan kartu kreditnya dibekukan, hanya diberi uang tunai sepuluh juta untuk mencari kos-kosan. Untungnya, mendiang mamanya pernah menghadiahkan apartemen ini saat ulang tahunnya yang ketujuh, diam-diam tanpa sepengetahuan kakek Andi.

Karin tersenyum tipis sambil menatap dinding apartemen yang kini jadi miliknya. “Makasih, Ma… kalau bukan karena apartemen ini, mungkin aku sudah tidur di kos-kosan sempit.”

*

*

*

Keesokan paginya, Karin berangkat kerja dengan semangat baru. Rambutnya dibiarkan tergerai rapi, blazer sederhana melekat di tubuhnya, membuatnya terlihat lebih dewasa dari biasanya. Sesampainya di lobi megah Kusuma Group, ia sempat mendongak menatap gedung kaca itu.

“Mulai hari ini… aku resmi jadi pegawai disini. Semangat!!” gumamnya, berusaha menyemangati dirinya sendiri.

Seorang manager HRD kemudian menjemput dan mengantarnya ke lantai tiga, menuju divisi pemasaran. Sesampainya di sana, pria itu menunjuk sebuah meja kosong.

“Silahkan, nona Karin. Ini tempat kerja barumu. Semoga cepat beradaptasi.”

“Iya, terima kasih, Pak,” jawab Karin sambil tersenyum sopan.

Ia menaruh tasnya di kursi, lalu berdiri memperkenalkan diri.

“Halo, nama saya Karin. Mohon bimbingannya ya.”

Beberapa orang hanya mengangguk dingin. Ada pula yang melirik sekilas dengan tatapan penuh tanda tanya—seolah kehadirannya membawa aroma permusuhan. Karin bisa merasakan udara sinis yang menusuk, tapi ia memilih tetap tersenyum.

Tiba-tiba terdengar suara terkejut memanggil namanya.

“Karin?!”

Refleks Karin menoleh. Matanya membesar, lalu bibirnya tertarik senyum lebar.

“Rasti!”

Ia segera berlari kecil dan memeluk wanita itu. Rasti adalah sahabat Karin semasa kuliah—seseorang yang dulu sering menemani hari-harinya di kampus.

“Kamu kerja di sini juga?” tanya Karin antusias.

“Iya, dan ternyata… kamu pegawai baru yang dimaksud HRD itu?” Rasti balik bertanya sambil terkekeh.

Karin mengangguk. “Ya ampun, aku nggak nyangka kita bisa kerja sekantor!”

“Aku juga seneng banget,” balas Rasti. “Setidaknya ada temen ngobrol.”

Keduanya tertawa kecil, lalu buru-buru kembali ke meja masing-masing karena jam kerja sudah dimulai. Karin menatap layar komputernya, hatinya berdebar.

“Baiklah… Aku siap.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Terperangkap Gairah Paman Tampan   BAB. 14

    "Alex, sayang, kamu di mana?"Suara Fiona di ujung telepon terdengar lelah namun hangat, menggema di tempat parkir yang sepi itu. Senja mulai merayap, melukis langit Jakarta dengan jingga dan ungu."Di cafe, Sayang. Lagi ketemu temen lama aku, Rendra. Kamu kenal kan, yang dari Bandung itu?" balas Alex, suaranya riang. Di latar, terdengar gemericik gelas dan suara obrolan ramai.Fiona menghela napas pendek. "Oh iya, ingat. Aku masih di kantor, ini baru mau pulang. Capek banget hari ini. Banyak kerjaan."“Kamu nyusul aja kesini sayang. Aku kenalin kamu sama dia. Sekalian makan malam, daripada kamu masak sendiri," ajak Alex bersemangat. Suara Rendra yang dalam terdengar menyela, "Iya, Fiona. Nanti habis makan sekalian kita mampir ke club malam baru, milik temanku."Fiona tersenyum kecil. Lelahnya seketika terasa lebih ringan. "Baiklah, aku akan menyusul ke sana. Kirimin lokasinya ya.""Oke, hati-hati di jalan, Sayang," sahut Alex sebelum telepon mati.***Parkiran kantor sudah sepi. Ha

  • Terperangkap Gairah Paman Tampan   Bab 13

    Dengan punggung tangan kanan yang memerah dan berdenyut, dia mengangkat tangan kiri yang memegang cangkir kopi, dan mengetuk pintu."Masuk," suara datar dari dalam ruangan terdengar.Karin membuka pintu, siap menghadapi bosnya yang menakutkan, dia sudah siap menerima hukuman dari sang CEO. Karin memasuki ruangan dengan hati berdebar, cangkir kopi di genggamannya terasa lebih berat dari biasanya. "Kamu telat, Nona Karin," ucap Rafael tanpa mengangkat kepala dari dokumen yang dibacanya. Suaranya dingin, memotong udara. "Sudah lebih dari sepuluh menit kamu baru datang.""Maaf, Tuan," jawab Karin, suaranya sedikit bergetar. "Saya telat tadi... ada sedikit insiden yang terjadi.""Insidens?" Kali itu Rafael menatapnya, alisnya berkerut. "Apa yang terjadi?""Hanya insiden kecil, Tuan," jawab Karin berusaha meremehkan, sambil berjalan mendekat dan meletakkan cangkir kopi di atas meja kerjanya dengan hati-hati.“Akh…!”Tanpa sengaja,punggung tangan kanannya yang melepuh menyenggol sudut taja

  • Terperangkap Gairah Paman Tampan   Bab 12

    Pagi ini, hari pertama Karin menjadi sekretaris CEO. Suara ketukan pintu yang ragu-ragu memecah kesunyian ruang kerja yang mewah itu. "Selamat pagi, Tuan Kusuma."Rafael Kusuma, yang sedang memandang keluar jendela dari kursi kerjanya yang tinggi, tidak segera menoleh. Suara itu tidak asing, dia selalu terngiang- ngiang dengan suara lembut nan merdu itu. Suara itu adalah milik sekretaris barunya, Karin.Setelah dipersilahkan, tak lama masuklah seorang wanita muda dengan setelan formal yang rapi. Wajahnya masih memancarkan nuansa fresh graduate, namun matanya berusaha tampil percaya diri. "Saya Karin Sanjaya, sekretaris baru Anda," ucapnya memperkenalkan diri sekali lagi, seolah mereka belum pernah bertemu sebelumnya.Barulah kemudian, dengan gerakan lambat dan penuh kendali, kursi Rafael berputar perlahan. Dia kini menghadap langsung kepada Karin. Sorot matanya tajam, mengamati setiap detail dari calon tangan kanannya yang baru."Selamat pagi, Nona Sanjaya," suaranya rendah dan datar.

  • Terperangkap Gairah Paman Tampan   Bab. 11

    Kakek Dodi dengan bangga mengantarkan Rafael ke ruangan yang megah, ruang kerja CEO. Dinding kaca, perabotan kayu mahogany berkilau, dan pemandangan kota yang mempesona dari lantai tertinggi. "Selamat datang, Nak," ucap Kakek Dodi, suaranya hangat penuh kebanggaan. "Mulai sekarang, ini adalah ruanganmu. Kamu bisa mengubahnya sesuai keinginanmu." Rafael hanya mengangguk, matanya menyapu setiap sudut ruangan, seakan ingin menilai dan menganalisis segala sesuatu di dalamnya. "Oh ya, kenalkan ini Bagas," kata Kakek Dodi sambil menunjuk seorang pria muda yang berdiri dengan postur tegap dan raut wajah loyal. "Dia adalah orang kepercayaanku. Dan ia sekarang akan menjadi asistenmu." Bagas segera memberi hormat. "Selamat datang di Perusahaan Kusuma, Tuan." "Terima kasih. Ke depannya, mohon bantuannya," balas Rafael dengan sopan, namun tetap menjaga jarak profesional. "Tentu, Tuan. Saya akan sangat senang bisa membantu Anda," jawab Bagas dengan tulus. Kakek Dodi lalu menurunkan su

  • Terperangkap Gairah Paman Tampan    Bab. 10

    “Apartemen yang bagus," komentar Rafael, matanya menyapu ruang tamu dan sekeliling apartemen Karin."Silahkan duduk dulu, Om. Saya ambilkan minum." Karin hendak menuju ke dapur, namun langkahnya terhenti. "Oh ya, Om Rafael mau minum apa?""Air mineral saja," jawabnya sambil duduk di sofa, memperhatikan dekorasi ruangan yang mencerminkan kepribadian Karin.Tak lama, Karin kembali dengan sebotol air dingin. Rafael meneguknya sedikit, lalu menatap Karin."Aku dengar kamu juga bekerja di Perusahaan Kusuma?""Iya, aku masih jadi pegawai magang di bagian pemasaran."Rafael mengerutkan kening. "Bukankah kamu lulusan S2 Manajemen Bisnis? Kenapa kamu mau ditempatkan jadi karyawan magang di bagian pemasaran? Setidaknya kamu bisa langsung jadi manager di sana.""Aku ingin memulai karirku dari bawah, Om. Aku tidak mau memanfaatkan nama keluargaku untuk mendapatkan posisi yang tinggi," jawab Karin dengan tegas.Merasa percakapan sudah cukup dan waktunya tidak tepat, Karin berdiri. "Ini sudah malam

  • Terperangkap Gairah Paman Tampan   Bab 9

    Ruangan luas di rumah keluarga Kusuma bergetar oleh gemuruh suara dan tawa. Aroma anggur dan parfum mewah membaur di udara, menandai sebuah acara keluarga yang tampak harmonis. Di tengah kerumunan, Kakek Dodi, berdiri dengan tegap. Suasana seketika hening. "Perhatian, semua!" suaranya lantang dan berwibawa. Semua mata tertuju padanya. "Perkenalkan, ini adalah Rafael Kusuma, anak bungsuku yang sejak kecil tinggal di London, tinggal bersama ibunya.”Sorotan lampu seakan berpindah kepada seorang pria tampan dengan balutan jas yang sempurna. Senyumnya hangat namun mengandung sepercik keragu-raguan yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang jeli."Sekarang," lanjut Kakek Dodi dengan bangga, "dia pulang kesini untuk memimpin Perusahaan Kusuma."Gemuruh sambutan dan tepuk tangan riuh menyambut pengumuman itu. Senyum mengembang dari semua tamu. Namun, di balik topeng keramahan itu, tersimpan dua pasang mata yang memancarkan sinisme tajam.Pak Heru, suami kakak Rafael, dan Alex, putra mereka,

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status