Karina Leticia duduk di depan sebuah minimarket sembari termenung. Uangnya hanya cukup membeli sebuah minuman kaleng dan snack. Akhir bulan ini, ia harus menghemat uangnya untuk membayar sewa apartemen.
Wanita itu menghela napas panjang. Tahun ini tidak ada yang spesial. Ia masih menyandang status lajang di usia yang sudah menginjak 29 tahun dan hanya seorang pegawai biasa di sebuah perusahaan kecil. Entah sampai kapan, ia akan hidup seperti ini?
Tring!
Ponsel Karina berbunyi. Segera, ia merogoh ponselnya dan membaca email yang baru saja masuk.
[ Selamat anda diterima menjadi staff administrasi Delux Corp. Selamat bergabung dengan kami. Untuk informasi selengkapnya, silakan lihat di dokumen yang kami lampirkan. ]
“Beneran? Aku diterima?” tanya Karina pada dirinya sendiri. Delux bukan lagi perusahaan berkembang. Delux merupakan perusahan besar yang berpusat di Amerika. Hanya dengan menjadi staff biasa, gaji yang akan didapatkan adalah lima kali lipat dari kantor sebelumnya.
“Aku diterima!” Karina meloncat sangat gembira.
Ia tertawa dengan sangat bahagia tanpa menyadari bahwa seorang pria tengah menatap kertas lamaran miliknya sembari tersenyum tipis. “Karina, selamat datang di Neraka.”
~~
Harapan tak sesuai kenyataan. Itulah yang terjadi pada Karina.
Wanita itu sebelumnya berpikir bila bekerja di perusahaan besar, seperti Delux Corp akan menyenangkan karena para pegawai telah diseleksi ketat untuk fokus memberikan yang terbaik pada perusahaan.
Sayangnya, senioritas di Delux Corp masih berlaku, terutama untuk karyawan magang sepertinya. Sudah sebulan Karina bekerja, tetapi ia masih kesusahan untuk beradaptasi karena para staff wanita di bagian Administrasi, seolah tidak menerimanya dengan tangan yang terbuka.
Bahkan, hampir seminggu ini pula, Karina hanya disuruh-suruh melakukan pekerjaan yang tidak jelas.
“CEO akan datang mengecek satu per satu devisi. Kau yang bertugas mengepel,” kata Raisa, sang Kepala Devisi Administrasi, sembari menaruh alat-alat kebersihan di meja Karina. “Maaf, Bu. Bukankah ada petugas kebersihan untuk tugas ini?” ucap Karina berusaha sopan meski sungguh lelah.Pekerjaannya saja belum selesai. Apakah harus ditambah pekerjaan tambahan mengepel lantai?
Namun, ia malah ditatap tajam oleh Raisa.
“Petugas kebersihan hanya membersihkan sekali. Setidaknya, ruangan ini harus dibersihkan 3 kali sebelum CEO ke sini.”
“Apa, kamu tidak mau, Karina?”
Mendengar pertanyaan menusuk itu, Karina memejamkan mata sebentar, sebelum akhirnya mengangguk. “Saya mau, Bu.”
Ditatapnya alat pel yang diberikan dan segera mengepel lantai satu kali.
Namun, Raisa merasa lantai masih kurang bersih. Alhasil, Karina mengepel lantai sekali lagi.
Ia mendorong pelan alat pel sambil membawa ember, sementara staff administrasi lain melakukan pekerjaan mereka masing-masing.
Memang, Karina belum memiliki tugas tetap. Oleh karena itu, Raisa sangat leluasa menyiksanya.
Karina berhenti sebentar—menyeka keringatnya. Namun, sebuah senggolan dari Raisa tiba-tiba mengenai bahunya, sehingga Karina oleng.
BRUGH!
Tubuh Karina terjatuh dan membentur ember yang berisi air kotor perasan pel. Rok yang digunakan Karina seketika basah.
Belum sempat memproses semua, Karina merasa tangannya dicengkram keras dan ditarik bangun.
“Maaf, Pak. Anda seharusnya tidak melihat kejadian ini,” ucap Raisa memberi alasan, “dia masih pegawai magang.”
Karina hanya terdiam dan tidak bisa membela diri atas tuduhan atasannya itu. Padahal, jelas sekali jika Raisa yang sengaja menyenggolnya, hingga terjatuh.
Karina pun berusaha menenangkan diri meski dengan penampilan berantakan.
Ia menunduk, tidak berani mendongak dan hanya melihat ujung sepatu pria yang sepertinya CEO perusahaan.
Ada yang bilang, pria itu sangat tinggi dan tampan, seperti pangeran berkuda putih. Sesungguhnya, ia penasaran. Namun, kejadian ini membuat Karina tidak berani menatapnya meski sudah berhadapan langsung.
“Saya tidak ingin ada kejadian seperti ini terulang lagi,” ucap sang CEO terdengar dingin.
“Kamu?” Terdengar suara yang berbeda. “Pegawai magang, kan?”
Karina pun mendongak karena merasa dirinya yang sedang ditunjuk.
“Nama kamu siapa?” tanya pria yang diketahui Karina menjabat sebagai kepala HRD.
“Saya Karina, Pak.”
“Apa kamu sudah tahu siapa pemimpin perusahaan ini?” tanya pria itu terlihat sangat arogan, “kenapa kau hanya menunduk?”
Tangan Karina mengepal.
Bagaimana bisa seseorang seperti itu bisa mendampingi pemimpin perusahaan?
Namun, alih-alih mengkonfrontasi, Karina hanya bisa menggeleng lemah.
Hidup Karina sudah sulit dan menderita. Ia tidak mungkin mencari perkara dengan jujur mengatakan bahwa ia tak sempat mencari tahu siapa pemimpin perusahaan.
“Dasar wanita bodoh,” umpat Bram pelan walau masih terdengar.
Lagi—Karina harus menyiapkan telinga dan hatinya menerima hinaan dan cacian orang lain padanya.
Rasanya, ia ingin mengamuk, tetapi ia tahan. Ia masih butuh pekerjaan ini.
“Biarkan aku saja memperkenalkan diri.” Pria berjas rapi yang menggunakan jam tangan seharga ratusan juta itu menatap Karina yang tak berani menatapnya. “Aku Saka Ravindra, CEO Delux Corp cabang Indonesia.”
Deg!
Jantung Karina serasa berhenti mendengar nama itu. Ia pun segera mendongak dan menatap pria di depannya dengan sangat terkejut.
Wajahnya seketika pucat pasi.
Apakah ini benar-benar Saka yang dulunya hanyalah laki-laki culun yang menjadi mainannya?
Entah bagaimana nasibnya selanjutnya di perusahaan ini?
Namun, Saka hanya menatap Karina datar. “Aku jarang ke perusahaan. Mungkin, itulah kenapa banyak pegawai yang tidak tahu.”
Salah satu tangannya di masukkan ke dalam saku, seolah tidak terjadi apa-apa.
Karina sontak membeku. Ia tak tahu apakah Saka masih mengenalnya. Yang jelas, pria itu berubah menjadi sangat berbeda.
Saka yang dulu terlihat polos kini berubah menjadi pria yang penuh wibawa. Sorot matanya penuh intimidasi. Dari penampilan dan caranya bersikap, Saka sangat cocok menjadi pemimpin.
“Ekhem.”
“Maafkan saya. Saya akan lebih berhati-hati,” ucap Karina tersadar dari lamunan.
Saka lagi-lagi hanya berdehem sebagai jawaban.
Ia berbalik—berjalan keluar dari ruangan Divisi Administrasi, meninggalkan Karina yang terdiam dan menatap punggungnya.
“Aw!” rintih Karina kala merasakan sebuah tarikan di rambutnya.
"Melihat apa? Kau ingin menggoda pak Saka?” tanya Raisa dengan emosi.
Karina segera menggeleng lemah. Sekuat tenaga, ia membela diri. “Tidak, Bu.”
Namun, Raisa dan yang lain hanya tersenyum sinis pada Karina.
“Pak Saka itu katanya sudah punya istri.” Raisa mendorong kening Karina menggunakan telunjuknya. “Jangan berharap bisa menggoda pria beristri. Kau tidak ada apa-apanya dibandingkan istrinya pak Saka.”
“Baik, Bu,” balas Karina yang langsung memilih diam dan tidak membalas apapun lagi agar Raisa segera melepaskannya.
Benar saja, Karina pun akhirnya bisa membereskan alat-alat kebersihan. Setelah itu, ia pergi ke toilet dan masuk ke dalam salah satu bilik.
Begitu duduk di atas toilet, Karina mulai menangis.
Sekuat tenaga, ia menutup bibirnya rapat agar tidak mengeluarkan suara. Semuanya terasa sangat berat.
Karina merasa takut tidak punya siapapun ataupun tempat untuk berkeluh kesah. Dia hanya bisa meluapkan emosinya di toilet ini.
Ketika Karina sudah selesai, ia bersiap untuk keluar.
Namun, sebuah suara menghentikan niatnya.
“Udah ketemu sama pegawai baru Administrasi? Katanya suka menggoda laki-laki.”
“Belum sih. Tapi katanya mukanya kayak lonte,” balas suara lain.
“Hadeeh. Katanya banyak pria di kantor yang suka sama dia.”
Ucapan para penggosip menusuk Karina. Ia tak mengerti mengapa dirinya diperlakukan seperti aib yang seru sekali untuk diperbincangkan.
Karina bersandar. Ia menyeka air matanya kembali, kemudian keluar dari bilik toilet–melewati wanita-wanita penggosip itu.
“Apapun yang terjadi. Aku harus bertahan.” Karina menghela nafas dalam dan berjalan dengan percaya diri, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
~~
Setelah bekerja selama 9 jam menahan luka batin, Karina sampai juga di Apartemennya kala gelap.
Namun, begitu membuka pintu, ia menghela nafas melihat sang ibu dalam keadaan berantakan. Bahkan, ada berbagai botol minuman beralkohol yang berserakan di dekatnya.
“Apa lihat-lihat?!” teriak Rita menatap tajam Karina.
Dalam keadaan sudah mabuk, emosinya meningkat hanya karena Karina yang tidak berhenti menatapnya.
Karina menarik napas dalam sebelum akhirnya mendekat. “Ma, tolong berhenti minum,” pintanya lembut.
“APA URUSANMU?!” Rita mengangkat tangannya lalu menarik rambut Karina sekuat tenaga. “JIKA AYAHMU YANG BODOH ITU TIDAK KORUPSI, HIDUPKU TIDAK AKAN BERANTAKAN.”
“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud