“Jika tidak sanggup pergi saja.”
Karina menoleh mendengar ucapan seseorang dan segera menghapus air matanya. Padahal, jam istirahat siang ia memilih pergi ke minimarket yang lumayan jauh dari Kantor untuk menyendiri. Namun, entah mengapa, ia masih dikenali seseorang di tempat ini.
“Mumpung kamu belum tanda tangan kontrak. Nanti, akan sulit pergi bila sudah tanda tangan,” imbuh wanita yang segera dikenali Karina sebagai Adel. Wanita yang terlihat selalu cuek dan acuh pada sekitarnya itu kembali berbicara padanya, “Jujur aku kasihan. Aku tidak sanggup melihatmu terus-terusan dibuli Raisa.”
Karina terdiam. Ia menatap bingung Adel yang duduk di depannya. “Aku butuh uang. Aku tidak bisa berhenti. Aku yakin setelah aku menjadi pegawai tetap, Raisa tidak akan bersikap semena-mena lagi padaku.”
Adel tiba-tiba merogoh dokumen di dalam tasnya dan memberikannya pada Karina. “Aku akan segera mengundurkan diri. Ini untukmu. Terserah mau kau apakan.”
“Ini apa?” tanya Karina bingung, tetapi Adel hanya mengedikkan bahu.
Wanita itu lalu berdiri dan berjalan meninggalkan Karina begitu saja.
Meski bingung, Karina pun membuka dokumen itu perlahan.
Ia mempelajari isinya dengan teliti.
"Hah?"
Dibacanya sekali lagi. Ternyata, ada sebuah bukti transaksi yang mencurigakan di rekening Raisa. Ada begitu banyak catatan cuti dan pergi dinas. Namun, dilakukan di Puncak Bogor dan Hotel menggunakan anggaran perusahaan. Jumlahnya terlalu banyak untuk ukuran dinas sekali ataupun dua kali menginap!
"Lalu apa yang haru kulakukan?" lirih Karina bingung, "Bila mengadu pun, harus pada siapa? Aku hanya anak magang."
Tiba-tiba, wajah Saka terlintas di kepala Karina. Segera, perempuan itu menggelengkan kepalanya cepat. Mana mungkin ia berani! Karina bahkan tidak ingin bertemu dengan Saka. Entah pria itu menyadari dirinya atau tidak....~~
Hampir semua lampu di kantor telah dimatikan.
Karina keluar dari dalam ruangannya. Lagi-lagi, harinya penuh dengan tekanan.
Seperti biasa, ia selalu menjadi yang terakhir dan pulang telat karena terlalu banyak mengerjakan pekerjaan yang diberikan Raisa.
Karina pun berjalan pelan. Namun, ia terkejut melihat Saka yang baru saja keluar dari lobi.
Karina seketika menatap tasnya dan teringat pada dokumen pemberian Adel.
“Permisi, Pak. Saya ingin berbicara sebentar.” Karina memberanikan diri menyusul Saka yang akan masuk ke dalam mobil.
Saka dan asistennya seketika berhenti.
“Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya asisten pria itu memandang Karina.
“Ada yang ingin saya sampaikan.” Karina meremas tasnya dengan gugup.
“Katakan di sini,” ucap Saka akhirnya--dengan raut datar.
“Saya menemukan sebuah kejanggalan transaksi yang dilakukan oleh kepala Divisi Administrasi.”
Saka sontak mengernyit. “Kau ikut denganku.”
Perlahan, Karina pun ikut Saka masuk ke mobil.
Ia duduk di samping Saka, tetapi
tidak bisa berhenti meremas tepian roknya. Jantungnya berdetak dengan cepat.Sampai saat ini, Karina masih berharap semoga Saka melupakan dirinya. Semoga Saka tidak mengingatnya.
Karena kekhawatirannya, Karina bahkan tak sadar bila keduanya telah tiba di sebuah restoran yang tampak tertutup.
Lagi-lagi, ia hanya bisa mengikuti langkah Saka. Barulah setelah duduk, Karina memberikan dokumen dari Adel kepada pria itu. “Di sini semua bukti transaksi tercatat. Ada begitu banyak yang janggal. Anda bisa memeriksanya sendiri.”
Saka pun mengambil dokumen itu. Ia membaca dokumen itu sebentar. Kemudian, ia menaruh kembali ke atas meja dengan kasar.
“Aku sudah tahu.” Saka menatap lurus ke arah Karina yang kecantikannya tak berubah sejak 13 tahun yang lalu. Hanya saja, tubuh Karina tampak semampai dan ara pakaian perempuan itu yang lebih dewasa.
Karina tampaknya kini lebih suka menggunakan rok span pendek dan kemeja.
Namun, Saka seketika tersenyum miring melihat Karina yang tampak menggigil.
Pria itu tak menyadari bahwa selain dinginnya ruangan, Karina merasa takut dan terintimidasi pada dirinya.
“Jika sudah tahu, kenapa anda membawa saya ke sini?” cicit Karina pelan.
Saka pun menyeringai. “Kau tahu aku?”
Deg!
Jantung Karina rasanya berhenti. Pertanyaan itu mengisyarakan jika dari awal Saka memang mengenalinya. “A-a ku—”
“Karina Leticia," ucapnya, "Seorang primadona sekolah yang berpacaran dengan laki-laki culun bernama Saka. Karina, si dewi yang hanya memanfaatkan si culun untuk mengejar nilai bagus."
"Perempuan yang suka sekali mempermainkan, menghina dan membuat orang lain hancur.”Karina segera memejamkan mata mendengar ucapan pria di hadapannya.
Semua itu memang kesalahannya.
Karina mengakui jika dirinya dulu sangat menjijikkan. Dirinya yang suka membuli dan menghina orang lain karena dimanja dalam kekayaan.
Mungkin, itulah kenapa keadaannya sekarang terbalik: Karina yang dibuli dan dicaci habis-habisan oleh orang lain.
“Maaf,” sesal Karina. “Aku telah menyakiti banyak orang. Maaf, karena baru bisa mengatakannya sekarang.”
"Haha." Saka tertawa sinis. Ia lalu bersandar sambil bersidekap. “Waah. Kau pintar berakting juga ternyata. Tapi, maafmu tidak berarti apapun. Bagaimana sekarang rasanya dihina dan dibuli?”
Karina mengepalkan kedua tangannya di bawah sana. “Aku memang salah, tapi aku berusaha berubah lebih baik.”
Menjaga harga diri yang tersisa, Karina pun berdiri dari kursinya. “Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk mendengarkan saya.”
“Cih.” Saka berdecih pelan, "kabur?"
Karina pun berhenti. Ia berbalik sembari menghela nafas dalam. “Aku sudah minta maaf, Saka. Apa lagi yang kau inginkan?”
Saka mendekat lalu menunduk—menatap Karina yang hanya sebatas lehernya saja. “Aku ingin kau hancur.”
Kini, Karina yang tertawa. “Aku sudah hancur sejak lama, Saka. Tidak ada lagi yang tersisa. Kau tidak perlu repot-repot menghancurkanku,” lirihnya miris.
Namun, rahang Saka justru mengeras. Pria itu tidak suka melihat tawa Karina yang entah mengapa terasa menghina dirinya. “Jangan beraninya mentertawakanku.”
Karina memijit kepalanya pening sebelum akhinya menyatukan kedua tangannya.
Ditatapnya Saka dengan tulus sembari berbicara, “Aku minta maaf. Aku dulu menyakitimu. Aku dulu tidak pernah berpikir tindakanku banyak menyakiti orang lain.”
“Maaf tidak akan cukup,” desis Saka kesal.
“Lalu kau ingin aku apa?” Karina mendongak, frustasi.
“Aku ingin kau terus hidup di Neraka.” Saka menarik pinggang Karina hingga menabrak tubuhnya. Jemarinya dengan lancang menelusuri wajah cantik Karina. “Aku bisa melakukan apapun padamu sekarang, Karina.”
“Lepaskan aku.” Karina memberontak.
Hanya saja, pinggangnya justru dicengkram jemari Saka semakin erat.
Deru nafas mereka saling menyentuh. Karina bahkan bisa mencium aroma parfum Saka yang beraroma maskulin. Entah apa yang akan terjadi padanya....
~~
“Ada 5 orang yang dipecat, Kepala Devisi Administrasi, Manajer Pemasaran, Kepala HRD, dua staff pembukuan di bagian Keuangan,” jelas Adel membuyarkan lamunan Karina yang masih terbayang kejadian semalam, “mereka melakukannya sudah satu tahun. Pantas saja, Pak Saka sangat marah.”
“Aku bisa pergi dengan tenang, saat orang-orang baj1ngan itu dipecat.” Adel berbicara dengan senyum kemenangan.
“Kenapa mengundurkan diri?” tanya Karina pada akhirnya.
Adel hanya mengedikkan bahu. “Hanya ingin berhenti dari dunia yang menyesakkan ini. Aku berencana akan keliling ASIA. Aku akan pergi ke Thailand, Vietnam, Singapore, Jepang, Korea… masih banyak lagi. Aku sudah tidak sabar,” ucap Adel sangat bersemangat.
Karina pun terkekeh melihat kelakuan perempuan itu, sebelum ucapan Adel membuatnya terdiam.
“Katanya, Pak Saka sedang mencari sekretaris baru. Kau tidak ingin mencoba?”
"Aku?!"“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud