Amira yang lelah dan lemah benar-benar tidur dengan pulas. Dia tidak terbangun meskipun hari sudah terang. Bibi yang sibuk di dapur pun tidak membangunkan wanita yang baru saja selesai melahirkan itu.
Semua anggota keluarga sudah berada di ruang makan untuk menikmati sarapan. Tidak ada yang ingat apalagi peduli pada Amira yang memamg sudah diusir dari rumah mereka.
“Dika, apa berkas untuk perceraian sudah siap?” tanya Marni.
“Sudah, Ma,” jawab Andika.
“Apa kita bisa makan dengan tenang dan tidak membahas apa pun?” Handoko menatap tajam pada Marni.
“Aku hanya mengingatkan Andika agar dia mempercepat proses perceraian dengan wanita lemah itu. Melahirkan satu bayi saja tidak mampu. Menghabiskan uang selama program,” kesal Marni.
“Ah, Ibu pasti masih tidur.” Bibi ragu untuk pergi ke kamar Amira karena dia masih harus menunggu semua orang selesai makan.
“Semalam aku mendengar keributan. Apa yang terjadi?” Handoko menyelesaikan sarapannya. Pria itu mengeringkan mulutnya dengan tisu.
“Menantu sialan itu kembali ke rumah ini. Kenapa dia tidak menjadi gembel saja di jalanan saja,” ucap Marni.
“Apa? Kenapa kamu sangat jahat? Dia itu baru saja selesai melahirkan,” ucap Handoko.
“Biarkan dia pulih terlebih dulu,” lanjut pria itu.
“Tidak. Hari ini, Amira harus keluar dari rumah dan Andika segera mencari istri baru. Aku akan memilih wanita dari kalangan atas. Anak pengusaha atau pembisnis,” tegas Marni.
“Itu bisa mengembangkan bisnis keluarga kita juga. Cari calon keluarga dari lingkungan yang sama bukan seperti Amira yang yatim piatu dan tidak jelas asalnya,” lanjut Marni.
“Papa benar, Ma. Tunggu Amira pulih saja. Kasian dia masih lemah,” ucap Andika.
“Tidak usah kasian. Itu akan membuat dia melunjak. Ingat! Marni itu lemah dan penyakitan. Tidak subur. Kamu ceraikan dia dan akan dengan mudah mendapatkan istri yang lebih cantik serta sehat sehingga bisa dengan cepat memberikan kami cucu,” jelas Marni dengan nada tinggi dan menatap tajam pada putra sematawayangnya.
“Dari awal Mama sudah tidak setuju kamu menikah dengannya. Lihat buktinya, wanita itu benar-benar pembawa sial.” Marni beranjak dari kursi.
“Pasti sekarang dia lagi enak-enakan tidur di kamar tamu.” Marni berjalan menuju kamar tamu di maan Amira sedang tidur.
“Hey, wanita sialan bangun!” Marni membuka dan membanting pintu dengan kasar. Dia melihat Amira yang masih meringkuk di balik selimut tebal. Wanita itu demam.
“Hm.” Amira kesulitan membuka matanya yang bengkak karena terlalu lama menangis. Seluruh tubuhnya sakit.
“Ma.” Amira memegang kepala yang pusing. Dia benar-benar lemah. Perut kosong sehingga rasa lapar semakin membuatnya tidak bertenaga.
“Keluar dari rumah ini segera!” Marni menarik selimut yang menutupi tubuh Amira.
“Dingin, Ma.” Amira memeluk tubuhnya.
“Tidak usah pura-pura. Lebih baik kamu cepat keluar dari rumah ini agar perceraian kalian juga segera diputuskan.” Marni mencengkram tangan Amira dan menarik wanita itu turun dari kasur.
“Aarrhh!” Amira terjatuh di lantai.
“Dasar perempuan lemah,” bentak Marni.
“Ma.” Handoko dan Andika berdiri di pintu. Mereka melihat Amira yang terbaring di lantai dengan wajah pucat dan mata bengkak.
“Cepat, Dika. Usir wanita sialan ini dari rumah. Mama tidak mau melihatnya lagi.” Marni menyeret tubuh Amira keluar dari kamar.
“Cukup, Marni.” Handoko memegang tangan Marni agar tidak menyiksa menantunya yang lemah itu.
“Kenapa? Apa kamu mau membela wanita ini? Jangan-jangan kamu menyukainya.” Marni menatap tajam pada Handoko.
“Apa?” Handoko terkejut dengan tuduhan istrinya.
“Jika tidak. Jangan pernah untuk ikut campur apalagi membelanya!” Marni terus menarik tangan Amira keluar dari kamar.
“Ma, sakit.” Amira hanya bisa pasrah. Dia benar-benar sangat lemah dan tidak berdaya.
“Ma, tolong lepaskan.” Amira merintih. Marni semakin menggila. Dia menjambak rambut panjang menantunya.
“Ma. Kasian Amira.” Andika tidak tega melihat Amira yang kesakitan.
“Jika tidak mau melihat Mama menyakitinya. Cepat bawa wanita ini pergi dan buang di jalanan. Setelah itu kita langsung pergi ke pengadilan agama.” Marni mendorong tubuh Amira ke lantai.
“Hiks hiks.” Amira hanya bisa menangis sesegukan. Dia tidak punya kekuatan untuk melawan.
“Ayo, Pa.” Marni menarik tangan Handoko pergi meninggalkan Amira dan Andika.
“Pak, Ibu pasti lapar,” ucap bibi membawa sepiring nasi untuk Amira. Wanita itu takut-takut untuk memberikan makanan kepada istri Andika.
“Ayo, Amira. Kita keluar dulu. Kamu bisa makan.” Andika mengangkat tubuh Amira dari lantai. Wanita itu hanya menurut dan mengikuti suaminya keluar dari rumah.
“Bibi temani Amira. Aku akan mengambil koper.” Andika masuk ke rumah. Amira duduk di kursi taman dekat dari mobil suaminya.
“Ayo makan, Bu. Biar punya tenaga. Ibu harus sehat dan kuat. Lalu bangkit lagi.” Bibi menyuapi nasi ke mulut Amira yang hanya melamun dengan mata terus basah.
“Mm.” Amira mengunyah nasi dengan terpaksa. Dirinya memang harus bangkit dan berjuang dari awal seperti dulu. Hidup sendiri di perantauan dengan keberanian dan nekat untuk bisa sukses di kota.
“Amira, kamu akan pergi kemana?” tanya Andika pada Amira yang hanya diam. Wanita itu mengunyak nasi yang terasa hambar dengan lauk air matanya.“Amira, aku akan mengantarkan kamu sebelum mama datang.” Andika menatap Amira.
“Kemana aku akan pergi? Aku tidak punya rumah dan tidak memiliki keluarga kecuali kamu,” ucap Amira menatap kosong pada Andika. Dia tidak bisa melihat dengan jelas wajah suami yang akan menceraikan dirinya dan mengusir dari rumah. Matanya tertutup kabut air mata.
“Ke kosan dekat Perusahaan ujung saja, Pak. Di sana murah. Ada bangunan baru yang sedang dipromosikan,” ucap bibi yang sangat peduli dengan Amira. Dia benar-benar kasian pada wanita itu.
“Andai Bibi punya rumah,” gumam bibi pelan.
“Aku antar kamu ke sana saja.” Andika memasukan koper ke dalam mobil. Dia dan bibi membantu Amira.
“Ibu harus sehat ya. Bibi tidak akan pernah melupakan Ibu,” bisik bibi. Wanita itu masih sempat menyelipkan uang di tas Amira.
“Terima kasih, Bi.” Amira terus menangis. Dia memeluk erat tubuh bibi hingga sesegukan.
“Hati-hati, Bu.” Bibi melepaskan pelukan. Dia melambaikan tangan pada Amira yang duduk di kursi barisan kedua.
“Amira, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bisa memilih antara kamu dan mama,” jelas Andika melihat Amira dari cermin dasbor.
“Aku akan tetap mengirimkan uang ke rekening pribadi kamu,” ucap Andika dan Amira hanya bisa diam.
“Kamu tahukan. Semua bisnis yang aku jalani sekarang ini adalah warisan dari keluarga mama. Papa saja tidak berani membantah,” lanjut Andika.
“Aku masih cinta dan sayang kamu, Amira. Hanya saja kita tidak bisa bersama lagi. Aku harus menikah dengan wanita pilihan mama agar cepat mendapatkan keturunan dengan mudah dan tidak perlu program seperti dengan kamu.” Andika terus bicara. Dia tidak sadar telah melukai hari wanita yang dicintainya.
“Cukup, Dika. Kamu tidak perlu bicara lagi. Kita memang sudah selesai,” tegas Amira menghapus air matanya.
“Terima kasih untuk kebersamaan kita yang manis dan berakhir dengan rasa pahit yang pekat,” ucap Amira menatap tajam pada Andika.
“Hm.” Andika hanya diam. Dia tidak bisa berkomentar lagi.
Pernikahan mereka benar-benar hanya sebentar. Kebahagiaan itu hanya selama pacaran saja. Ketika pernikahan terjadi begitu banyak tekanan dari keluarga Andika. Amira yang harus berhenti bekerja dan melakukan program kehamilan dengan segera karena dia yang tidak langsung hamil setelah satu bulan pernikahan. Dianggap lemah dan penyakitan.
“Kita sampai.” Andika turun dari mobil dan mengeluarkan koper milik Amira.
“Aku akan menanyakan kosan kosong untuk kamu. Tempat ini masih dibuka untuk umum.” Andika menemui bagian administrasi. Dia berbicara sebentar dan setuju untuk mengambil satu unit rumah petak.
“Aku sudah membayar untuk satu bulan ke depan,” ucap Andika memberikan kartu rumah kepada Amira.
“Terima kasih.” Amira mengambil kartu tanpa melihat wajah Andika. Dia berlalu begitu saja dengan menarik kopernya. Mengikuti petugas yang mengantarkannya ke rumah kosan yang sempit.
Amira masuk ke dalam rumah. Dia menutup dan mengunci pintu. Menghempaskan tubuh di atas kasur. Menangis dalam diam. Hatinya sakit. Jiwanya hancur. Rasa cinta dan kasih sayang diantar dirinya dan Andika telah sirna. Luka yang begitu dalam ditorehkan.
“Aku adalah wanita mandiri. Aku bisa bangkit sendiri.” Amira meremas ujung bantal.
“Aku harus memulihkan diri dan sembuh. Aku akan melamar pekerjaan di sini.” Amira duduk. Dia melihat berkas yang diberikan pihak perumahan. Di sana tertulis lowongan pekerjaan untuk sekretaris pribadi dari Wijaya Kusuma. Pemilik Perusahaan yang baru saja dibangun di Kawasan perumahan elit dan sederhana.“Aku tidak akan percaya lagi pada cinta laki-laki. Semuanya bohong. Tidak ada cinta sejati yang setia sampai mati.” Amira menatap kertas di tangannya.
“Aku masih punya sedikit Tabungan sisa program kehamilan. Ini cukup untuk dua bulan ke depan setelah masa nifas sebelum aku mendapatkan pekerjaan.” Amira beranjak dari kasur. Dia membuka dan membongkar isi koper.
“Syukurlah. Andika memasukan semua berkas penting milikku.” Amira tersenyum melihat sertifika dan ijazah miliknya. Dia juga punya surat pengalaman kerja dan menjadi karyawati terbaik.
Ada banyak perusahaan yang mau menerima wanita cantik dan seksi serta memiliki kemampuan. Cerdas dan menarik. Itu dambaan semua orang. Amira memiliki segalanya. Sempurna secara fisik dan bertalenta.
Wijaya selalu memantau kegiatan dua putranya. Dia tahu bahwa dua lelaki mudanya sedang menghancurkan keluarga Andika.“Lakukan saja apa pun yang kalian mau.” Wijaya tersenyum mendengarkan laporan dari Leon.“Tidak masalah. Biarkan mereka bersenang-senang,” ucap Wijaya.“Baik, Tuan. Dua tuan muda tidak perlu bantuan kita. Mereka jauh lebih hebat dengan ilmu yang dimiliki sehingga bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan,” jelas Leon.“Aku tahu itu.” Wijaya melihat layar computer yang menampilkan Perusahaan Andika bangkrut. Mereka bahkan harus menjual rumah untuk bisa bertahan hidup dan membeli rumah lain yang lebih kecil dan murah.Andika dan kedua orang tuanya sudah pindah ke rumah baru yang berada di daerah terpencil. Jauh dari pusat kota.“Bagaimana ini bisa terjadi?” Andika menghempas tubuhnya di sofa.“Bukankah Devano sudah mengancam kita. Apa ini atas perintah Amira?” tanya Marni marah.“Aku rasa ini memang balas dendam dari Devano karena kita sudah menyiksa Amira di masa lalu,
Devano dan Keano duduk berdampingan di sofa. Mereka menghadap Andika. Seorang pelayan tua datang menyajikan minuman dan cemilan.“Silakan.” Wanita itu melihat pada Devano. Bayangan wajah Amira terlihat jelas.“Den Devano.” Bibi tersenyum.“Ya.” Devano menatap pada wanita yang tidak muda lagi itu.“Bagaimana kabar Non Amira?” tanya bibi dengan mata berkaca-kaca.“Mama baik,” jawab Devano.“Masuklah, Bik!” Andika tidak suka melihat bibi dekat dengan Devano.“Baik. Permisi.” Bibi menghapus air mata yang jatuh dan kembali ke dapur.“Devano, apa kamu tahu bahwa aku adalah papa kandung kamu?” tanya Andika.“Apa Anda layak?” Devano menatap tajam pada Andika.“Apa?” Andika terkejut. “Devano, kamu tahukan siapa yang membuat kita semua berpisah? Itu adalah ulah Cantika yang tergila-gila kepada papa. Dia menukar kamu dengan bayi yang sudah meninggal,” jelas Andika.“Itu bukan alasan Anda untuk mengusir mamaku dari rumah ini dan membiarkannya terlantung-lantung di jalanan,” tegas Devano.“Untung
Luna tertahan lagi di Amerika. Dia tidak bisa lagi meninggalkan negera itu. Ibu kandung Keano dikunci putranya sendiri sehingga tidak bisa lagi melakukan penerbangan kemana pun.“Apa Wijaya yang melakukan ini? Aku terkurung kembali di Amerika.” Luna harus mengurus lagi kewarganegaannya agar bisa menetap di Amerika.“Ma, aku mau pulang ke Indonesia,” ucap Luciana.“Kita tidak bisa kemana-mana,” tegas Luna kesal.“Kenapa Wijaya melakukan ini? Apa dia sudah tahu bahwa aku mendekati Keano? Tidak ada yang bisa lepas dari pria itu.” Luna meremas jari-jarinya.“Apa yang harus aku lakukan? Apa Keano mau memaafkanku dan menerimaku sebagai ibu kandungnya dan melepaskan Amira. Mama butuh kamu, Keano.” Luna benar-benar gelisah. Dia tersiksa karena tidak akan pernah bisa punya anak lagi untuk selama-lamanya begitu juga dengan Andika. Dua orang yang telah menerima hukuman dari alam atas kejahatan mereka.Keano dan Devano hidup tenang dengan cinta serta kasih sayang yang utuh dari kedua orang tua mer
Masalah terselesaikan. Kedua anak bisa menerima kenyataan bahwa mereka berasal dari ayah dan ibu berbeda, tetapi tidak mengubah rasa cinta dan sayang diantara keduanya. Tumbuh bersama dan adil dari kecil membuat hubungan tanpa darah pun tetap layaknya saudara kandung.“Sayang, itu artinya Laura adalah Luna,” ucap Amira pada Wijaya. Keduanya telah berada di dalam kamar mereka. Wanita itu memegang tangan suaminya. Dia terlihat khawatir.“Kenapa, Sayang? Apa kamu takut pada Luna?” tanya Wijaya.“Tidak. Aku kasian kepadanya. Dia sudah melihat Keano. Pasti ada rindu di hati Luna sehingga dia terus mengikuti kita,” jawab Amira.“Kamu terlalu baik, Amira.” Wijaya menyentuh dagu Amira.“Sayang, aku juga seorang ibu. Tentu saja memahami perasaanya,” ucap Amira.“Baiklah. Apa yang kamu inginkan sekarang. Aku akan memenuhinya.” Wijaya tersenyum. Dia tahu, istrinya tidak pernah berubah. Berhati lembut dan selalu baik kepada siapa saja.“Tidak ada. Luna sudah menerima hukuman. Biarkan Keano memilih
Amira menatap pada Wijaya yang hanya diam saja. Kedua anaknya terlihat tidak baik-baik saja. Keano yang cemberut dan Devano yang serius. “Ada apa ini, Sayang? Kenapa anak-anak kita terlihat tegang?” tanya Amira bingung.“Apa yang ingin dijelaskan? Mama bingung dan khawatir.” Amira menatap pada Wijaya. “Keano, kamu mau bicara duluan atau Devano dengan buktinya?” tanya Wijaya.“Aku tidak ingin melanjutkan ini semua,” tegas Keano.“Tidak boleh lari dari kenyataan. Kebenaran yang menyakitkan lebih baik dari pada kebohongan yang membuat kamu tidak tenang menjalani kehidupan. Rahasia ini dijaga agar kalian berdua tidak seperti ini, tetapi kamu sendiri yang menemukannya,” tegas Wijaya yang mulai kesal dengan sikap Keano. Pria itu tidak akan sesabar Amira, tetapi dia sadar Keano adalah dirinya sendiri hanya beda dalam pengasuhan saja. Putranya lebih memiliki kasih sayang dan cinta yang cukup dari dirinya sert Amira.“Kamu adalah pria.” Wijaya memegang lengan Keano. “Sayang, ada apa ini?” Am
Wijaya membeku. Dia mendapatkan tatapan teduh dari mata Devano yang sangat mirip dengan Amira. Begitu lembut dan lebih tenang.“Pa.” Devano memegang tangan Wijaya. Dia tahu bahwa papanya sedang gelisah untuk menjawab pertanyaannya. “Devano.” Wijaya memeluk Devano. Pria itu merasa rapuh di depan putranya.“Kamu benar-benar mirip Amira. Begitu lembut dan sabar.” Wijaya menatap Devano.“Apa bisa menunggu jawaban ini ketika ada mama?” tanya Wijaya.“Ya. Sekarang kita tidur saja, Pa.” Devano naik ke tempat tidur.“Apa Papa boleh tidur dengan kamu?” tanya Wijaya.“Ya, Pa.” Devano tersenyum.“Terima kasih.” Wijaya naik ke tempat tidur. Dia memeluk Devano. Pelukan yang sudah jarang diberikan kepada anaknya.Mereka benar-benar bertukar anak. Amira bersama Keano dan Devao dengan Wijaya. Melewati malam dengan hati yang gelisah.Amira membuka mata dan melihat Keano masih terlelap. Wanita itu mencium dahi putrinya dan turun dari kasur. Dia pergi ke kamar Devano dan melihat sang anak tidur bersama