Bibi memperhatikan Amira yang masih duduk diam di kursi. Wanita itu ragu untuk pergi ke kamar dan menemui suaminya. Dia benar-benar tidak punya apa pun lagi.
“Mari saya antar ke kamar Anda, Bu.” Bibi mengulurkan tangan pada Amira.
“Terima kasih. Aku bisa sendiri.” Amira beranjak dari tangan. Dia mengenakan tas di atas pundak kiri.
“Ahh.” Amira hampir saja jatuh karena kelelahan dan kakinya lemah.
“Hati-hati, Bu.” Bibi memegang tangan Amira.
“Ada apa ribut-ribut?” Marni menuruni tangga. Wanita paruh baya yang tidak lain adalah mertua Amira.
“Mama,” sapa Amira.“Kenapa kamu pulang ke rumah ini?” tanya Marni mendekati Amira. Wanita itu menatap tajam pada menantunya.
“Karena ini rumah kita,” jawab Amira bingung. Dia memaksa diri tersenyum.
“Ini bukan lagi rumah kamu,” tegas Marni.
“Apa? Kenapa?” tanya Amira gemetar.
“Karena kamu dan Andika akan segera bercerai,” jawab Marni tersenyum sinis.
“Apa? Kenapa kamu bercerai?” tanya Amira dengan mata yang mulai basah.
“Karena kamu sudah membuat cucuku meninggal. Wanita lemah. Melahirkan secara normal saja tidak kuat hingga pingsan.” Marni mendorong tubuh Amira jatuh ke sofa. “Ibu.” Bibi terkejut dengan sikap Marni yang kasar kepada Amira.“Aku juga sedih, Ma. Aku tidak pernah berharap anakku meninggal,” ucap Amira menatap pada Marni.
“Besok, Andika akan mengurus perceraian kalian. Sebaiknya kamu keluar dari rumah ini segera,” tegas Marni.
“Apa? Apa karena anak kami meninggal aku harus diceraikan? Aku mau bicara dengan Andika,” ucap Amira.“Kami masih bisa program anak lagi,” lanjut Amira.
“Wanita penyakitan dan lemah seperti kamu hanya akan menghabiskan uang keluarga kami saja. Kami tidak butuh menantu yang merugikan dan tidak memberikan keuntungan apa pun,” ketus Marni tersenyum sinis.
“Apa? Aku rela berhenti bekerja agar bisa hamil dan melahirkan.” Amira benar-benar tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh mertuanya. Dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk bisa menuruti semua keinginan keluarga suaminya.
“Kamu akan sulit hamil sehingga Andika harus mencari istri baru yang sehat dan kuat,” tegar Marni.
“Ma!” teriak Amira terkejut mendengar ucapan mentuanya.
“Plak! Plak! Pla!” Amira mendapatkan tamparan yang kuat dan berkali-kali dari Mirna. Pipi yang putih itu menjadi merah dan bibirnya pecah.
“Sebaiknya kamu segera keluar dari rumah ini!” bentak Marni.
“Aku mau bicara dengan Andika,” ucap Amira menyentuh bibirnya yang berdarah karena tamparan dari mama mertua.
“Kamu tidak perlu bicara lagi dengan Andika. Dia sudah setuju untuk menikah lagi,” tegas Marni.
“Mama benar. Aku tidak bisa bersama kamu lagi, Mira.” Andika berdiri di samping mamanya.
“Sayang.” Amira melihat pada Andika yang menatapnya tanpa ekspresi.
“Kita sudah selesai. Kamu telah gagal menjadi istri. Uang dan waktu yang aku korbankan agar kita punya anak terbuang sia-sia,” jelas Andika.
“Aku hanya bisa mencari pengganti kamu agar bisa memberikan anak yang sehat tanpa harus program kehamilan dan menghabiskan banyak uang,” lanjut Andika.
“Program kehamilan ini menggunakan uang aku sendiri. Tabunganku selama masih bekerja,” ucap Amira.
“Itu sudah sewajarnya. Uang Tabungan kamu digunakan untuk diri sendiri agar suami bahagia,” tegas Marni.
“Andika. Usir wanita penyakitan dan tidak berguna ini keluar dari rumah. Mama tidak mau melihatnya lagi.” Marni menatap sinis pada Amira.“Sayang.” Amira hanya bisa menangis. Dia berharap Andika akan mempertahankan dirinya.
“Tidurlah di kamar tamu. Besok, aku akan mengatarkan kamu ke tempat baru.” Andika melihat pada Amira.
“Kenapa tidak malam ini saja? Aku tidak mau dia mencuri barang berharga di rumah ini sebelum keluar.” Marni menatap tajam pada Amira.
“Kasian ni Amira untuk malam ini saja, Ma. Aku akan menjaganya.” Andika masih sangat menyayangi istrinya, tetapi dia tidak bisa membantah perintah orang tuanya yang meminta dirinya untuk menceraikan Amira.
“Terserah kamu saja. Ingat untuk segera melayangkan gugatan cerai ke pengadilan.” Marni meninggalkan Amira dan Andika. Bibi hanya bisa menjadi penonton dalam diam tanpa berani berkomentar dan menolong.
“Apa kamu benar-benar akan menceraikan aku?” tanya Amira sesegukan.
“Maafkan aku, Mira. Kita tidak bisa bersama lagi,” jawab Andika menatap Amira. Wanita yang cantik itu terlihat pucat dan berantakan. Pipi merah karena tamparan mama mertua dan bibirnya pecah.
“Bibi, antarkan Amira ke kamar tamu,” ucap Andika.
“Baik, Pak.” Bibi memegang tangan Amira untuk membantu wanita itu beranjak dari sofa.“Apa kamu tidak mau membantuku?” tanya Amira yang sudah berdiri menatap pada Andika. Wanita itu bertopang pada tubuh bibi. Dia benar-benar lemah. Jiwa dan raganya telah hancur.
“Aku akan membereskan barang-barang kamu.” Andika meninggalkan Amira dan bibi. Pria itu menaiki tangga menuju kamar mereka.“Hiks hiks.” Amira hanya bisa menangis. Hati dan jiwanya begitu sakit. Luka dan perih menusuk jantung. Rasanya dia ingin mati saja menyusul putranya.
“Ayo, Bu.” Bibi membawa Amira ke kamar tamu.“Saya akan ambilkan pakaian ganti untuk ibu.” Bibi meninggalkan Amira yang duduk di tepi kasur. Wanita itu hanya bisa menangis dalam diam. Dadanya begitu sesak dan sakit.
Ditinggalkan anak, diusir mertua dan diceraikan sang suami tercinta. Hidup Amira benar-benar hancur. Dia harus menguatkan dirinya untuk bisa bertahan hidup di dunia yang kejam.
“Kenapa Tuhan begitu jahat padaku?” Amira meremas ujung seprai. Air matanya terus mengalir memasahi wajah yang merah. Rasa perih dan pedih telah bercampur dengan luka di dalam jiwa.
“Tuhan telah mengambil anakku sehingga aku diceraikan dan diusir dari rumah ini. Penderitaan apa lagi yang harus aku alami? Lebih baik aku mati saja. Tidak ada gunanya hidup di dunia ini.” Amira menghapus air matanya.
“Apa aku harus mati atau bangkit dan balas dendam?” Amira menatap jendela kamar yang terbuka. Dia beranjak dari kasur dan berjalan menuju jendela. Mendongakkan kepala dan melihat pada langit malam yang mendung. Awan hitam menggantung dan petir pun mulai menyambar.
Air hujan mulai turun bersama dengan kilat dan Guntur. Angin pun bertiup cukup kencang hingga mambasahi tubuh Amira yang lemah. Wanita itu membiarkan air hujan menyatu dengan air matanya yang terus mengalir membasahi wajahnya yang masih sakit.
“Ibu.” Bibi masuk ke kamar dengan membawa koper milik Amira.
Andika benar-benar telah memberekan semua pakaian Amira. Berkas penting milik wanita itu pun dimasukan ke dalam koper yang cukup besar. Pria itu harus melepaskan wanita yang dicintainya agar tetap bisa bersama keluarga dengan harta dan tahta.
“Ibu jangan di situ.” Bibi melepaskan koper. Dia menarik tubuh Amira menjauh dari jendela. Wanita itu menutup kaca jendela dan gorden.
“Nanti, Ibu sakit.” Bibi mengambil handuk dan mengeringkan rambut dan wajah Amira yang sudah basah.
“Lebih baik aku mati saja. Aku tidak tahu harus pergi kemana?” Amira meracau dengan air mata yang terus mengalir.“Ibu harus kuat. Ibu pasti bisa bertahan. Bukankah Ibu punya pengalaman kerja yang bagus?” Bibi menatap Amira.
“Sekarang, Ibu ganti baju dan tidur agar besok bisa bangun dengan segar.” Bibi menghapus air mata Amira. Wanita itu benar-benar sedih melihat nasib yang menimpa istri Andika.
“Semua berkas penting Ibu ada di koper. Pasti akan bermanfaat. Ibu baru selesai melahirkan, jadi harus banyak istirahat.” Bibi sudah menganggap Amira sebagai anaknya sendiri karena wanita itu sangat baik.“Terima kasih, Bi.” Amira mengangguk.
“Ayo, Bibi bantu ganti baju.” Bibi membuka piyama yang dikenakan Amira.
Amira merebahkan tubuh di atas kasur. Dia memejamkan mata yang terus basah. Tubuhnya benar-benar kedinginan dan mengigil. Bibi memberikan obat hingga wanita itu pun bisa tertidur dengan pulas hingga pagi yang mengerikan datang.
Wijaya selalu memantau kegiatan dua putranya. Dia tahu bahwa dua lelaki mudanya sedang menghancurkan keluarga Andika.“Lakukan saja apa pun yang kalian mau.” Wijaya tersenyum mendengarkan laporan dari Leon.“Tidak masalah. Biarkan mereka bersenang-senang,” ucap Wijaya.“Baik, Tuan. Dua tuan muda tidak perlu bantuan kita. Mereka jauh lebih hebat dengan ilmu yang dimiliki sehingga bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan,” jelas Leon.“Aku tahu itu.” Wijaya melihat layar computer yang menampilkan Perusahaan Andika bangkrut. Mereka bahkan harus menjual rumah untuk bisa bertahan hidup dan membeli rumah lain yang lebih kecil dan murah.Andika dan kedua orang tuanya sudah pindah ke rumah baru yang berada di daerah terpencil. Jauh dari pusat kota.“Bagaimana ini bisa terjadi?” Andika menghempas tubuhnya di sofa.“Bukankah Devano sudah mengancam kita. Apa ini atas perintah Amira?” tanya Marni marah.“Aku rasa ini memang balas dendam dari Devano karena kita sudah menyiksa Amira di masa lalu,
Devano dan Keano duduk berdampingan di sofa. Mereka menghadap Andika. Seorang pelayan tua datang menyajikan minuman dan cemilan.“Silakan.” Wanita itu melihat pada Devano. Bayangan wajah Amira terlihat jelas.“Den Devano.” Bibi tersenyum.“Ya.” Devano menatap pada wanita yang tidak muda lagi itu.“Bagaimana kabar Non Amira?” tanya bibi dengan mata berkaca-kaca.“Mama baik,” jawab Devano.“Masuklah, Bik!” Andika tidak suka melihat bibi dekat dengan Devano.“Baik. Permisi.” Bibi menghapus air mata yang jatuh dan kembali ke dapur.“Devano, apa kamu tahu bahwa aku adalah papa kandung kamu?” tanya Andika.“Apa Anda layak?” Devano menatap tajam pada Andika.“Apa?” Andika terkejut. “Devano, kamu tahukan siapa yang membuat kita semua berpisah? Itu adalah ulah Cantika yang tergila-gila kepada papa. Dia menukar kamu dengan bayi yang sudah meninggal,” jelas Andika.“Itu bukan alasan Anda untuk mengusir mamaku dari rumah ini dan membiarkannya terlantung-lantung di jalanan,” tegas Devano.“Untung
Luna tertahan lagi di Amerika. Dia tidak bisa lagi meninggalkan negera itu. Ibu kandung Keano dikunci putranya sendiri sehingga tidak bisa lagi melakukan penerbangan kemana pun.“Apa Wijaya yang melakukan ini? Aku terkurung kembali di Amerika.” Luna harus mengurus lagi kewarganegaannya agar bisa menetap di Amerika.“Ma, aku mau pulang ke Indonesia,” ucap Luciana.“Kita tidak bisa kemana-mana,” tegas Luna kesal.“Kenapa Wijaya melakukan ini? Apa dia sudah tahu bahwa aku mendekati Keano? Tidak ada yang bisa lepas dari pria itu.” Luna meremas jari-jarinya.“Apa yang harus aku lakukan? Apa Keano mau memaafkanku dan menerimaku sebagai ibu kandungnya dan melepaskan Amira. Mama butuh kamu, Keano.” Luna benar-benar gelisah. Dia tersiksa karena tidak akan pernah bisa punya anak lagi untuk selama-lamanya begitu juga dengan Andika. Dua orang yang telah menerima hukuman dari alam atas kejahatan mereka.Keano dan Devano hidup tenang dengan cinta serta kasih sayang yang utuh dari kedua orang tua mer
Masalah terselesaikan. Kedua anak bisa menerima kenyataan bahwa mereka berasal dari ayah dan ibu berbeda, tetapi tidak mengubah rasa cinta dan sayang diantara keduanya. Tumbuh bersama dan adil dari kecil membuat hubungan tanpa darah pun tetap layaknya saudara kandung.“Sayang, itu artinya Laura adalah Luna,” ucap Amira pada Wijaya. Keduanya telah berada di dalam kamar mereka. Wanita itu memegang tangan suaminya. Dia terlihat khawatir.“Kenapa, Sayang? Apa kamu takut pada Luna?” tanya Wijaya.“Tidak. Aku kasian kepadanya. Dia sudah melihat Keano. Pasti ada rindu di hati Luna sehingga dia terus mengikuti kita,” jawab Amira.“Kamu terlalu baik, Amira.” Wijaya menyentuh dagu Amira.“Sayang, aku juga seorang ibu. Tentu saja memahami perasaanya,” ucap Amira.“Baiklah. Apa yang kamu inginkan sekarang. Aku akan memenuhinya.” Wijaya tersenyum. Dia tahu, istrinya tidak pernah berubah. Berhati lembut dan selalu baik kepada siapa saja.“Tidak ada. Luna sudah menerima hukuman. Biarkan Keano memilih
Amira menatap pada Wijaya yang hanya diam saja. Kedua anaknya terlihat tidak baik-baik saja. Keano yang cemberut dan Devano yang serius. “Ada apa ini, Sayang? Kenapa anak-anak kita terlihat tegang?” tanya Amira bingung.“Apa yang ingin dijelaskan? Mama bingung dan khawatir.” Amira menatap pada Wijaya. “Keano, kamu mau bicara duluan atau Devano dengan buktinya?” tanya Wijaya.“Aku tidak ingin melanjutkan ini semua,” tegas Keano.“Tidak boleh lari dari kenyataan. Kebenaran yang menyakitkan lebih baik dari pada kebohongan yang membuat kamu tidak tenang menjalani kehidupan. Rahasia ini dijaga agar kalian berdua tidak seperti ini, tetapi kamu sendiri yang menemukannya,” tegas Wijaya yang mulai kesal dengan sikap Keano. Pria itu tidak akan sesabar Amira, tetapi dia sadar Keano adalah dirinya sendiri hanya beda dalam pengasuhan saja. Putranya lebih memiliki kasih sayang dan cinta yang cukup dari dirinya sert Amira.“Kamu adalah pria.” Wijaya memegang lengan Keano. “Sayang, ada apa ini?” Am
Wijaya membeku. Dia mendapatkan tatapan teduh dari mata Devano yang sangat mirip dengan Amira. Begitu lembut dan lebih tenang.“Pa.” Devano memegang tangan Wijaya. Dia tahu bahwa papanya sedang gelisah untuk menjawab pertanyaannya. “Devano.” Wijaya memeluk Devano. Pria itu merasa rapuh di depan putranya.“Kamu benar-benar mirip Amira. Begitu lembut dan sabar.” Wijaya menatap Devano.“Apa bisa menunggu jawaban ini ketika ada mama?” tanya Wijaya.“Ya. Sekarang kita tidur saja, Pa.” Devano naik ke tempat tidur.“Apa Papa boleh tidur dengan kamu?” tanya Wijaya.“Ya, Pa.” Devano tersenyum.“Terima kasih.” Wijaya naik ke tempat tidur. Dia memeluk Devano. Pelukan yang sudah jarang diberikan kepada anaknya.Mereka benar-benar bertukar anak. Amira bersama Keano dan Devao dengan Wijaya. Melewati malam dengan hati yang gelisah.Amira membuka mata dan melihat Keano masih terlelap. Wanita itu mencium dahi putrinya dan turun dari kasur. Dia pergi ke kamar Devano dan melihat sang anak tidur bersama