Wijaya Kusuma terkejut melihat Luna yang duduk di sofa. Wanita itu terlihat sehat dengan cepat. Dia merapikan rambut dan bajunya. Berdandan dengan perlengkapan make yang ada di tas. Di sampingnya telah berdiri seorang asisten.
“Apa yang kamu lakukan?” Wijaya Kusuma melihat pada ranjang bayinya. Putra kecil yang masih terlelap dalam tidur.“Aku sudah melaksanakan perintah kamu. Hamil dan melahirkan,” jawab Luna.
“Kamu masih harus memberi asi untuk putra kita,” tegas Wijaya Kusuma.“Asi aku tidak keluar. Lihatlah dadaku yang hampir kempis ini. Aku benar-benar harus melakukan perawatan segera. Aku juga sudah menghubungi dokter kecantikan langgananku,” jelas Luna.
“Hah! Aku benar-benar harus membuat perut ini kembali rata.” Luna berdiri di depan cermin.
“Kapan kita pulang?” tanya Luna.
“Kamu bisa pulang sekarang,” jawab Wijaya berjalan mendekati putranya.
“Benarkah?” Luna melihat pada asisten pribadinya yang siap sedia membantu wanita itu dalam segala hal.
“Pulanglah,” tegas Wijaya.
“Baiklah.” Luna benar-benar tidak menyentuh putranya sama sekali. Wanita itu bersiap untuk pulang ke rumah.
“Ayo kita pulang, Dira,” ajak Luna pada asisten pribadinya.
“Baik, Bu.” Dira segera membereskan barang-barang milik Luna. “Apa kamu tidak merasa sakit?” tanya Wijaya pada Luna.“Tentu saja aku sakit, tetapi aku tidak mau berada di rumah sakit ini. Aku mau dirawat di rumah,” jawab Luna.
“Baiklah. Aku akan mengurus semuanya. Kamu pulanglah dulu.” Wijaya menatap tajam pada Luna. Dia tidak menyangka wanita itu akan pulang tanpa membawa anak mereka.
“Kamu siapkan juga baby sister untuk anak kita karena aku tidak akan bisa merawatnya sendiri. Aku pulang dulu, Sayang.” Luna tersenyum. Dia mencium pipi Wijaya Kusuma dan tersenyum. Wanita itu percaya suaminya akan menuruti semua keinginannya setelah melahirkan seorang putra untuk pria itu.
“Hm.” Wijaya hanya mengepalkan tangannya. Dia tidak bisa marah kepada Luna karena sesuai perjanjian wanita itu hanya akan melahirkan saja dan tidak akan merawat langsung putra mereka.“Kamu sudah janji, Sayang.” Luna tersenyum penuh kebahagiaan karena Wijaya berjanji akan mengizinkan istrinya untuk kembali berkarier di dunia hiburan. Pria itu juga akan mendukung sepenuhnya bahkan dengan uangnya agar sang istri kembali popular.
“Aku harap dia mau merawat Keano.” Wijaya Kusuma menyentuh pipi putranya yang merah.“Kamu tampan seperti Papa.” Wijaya Kusuma tersenyum.
“Jaya.” Dokter Ibra masuk ke ruangan bayi.
“Ya.” Wijaya menoleh pada sumber suara yang tidak lain adalah temannya sendiri.
“Perawat mengatakan bahwa Luna sudah pulang,” ucap Ibra.
“Ya. Dia adalah wanita yang kuat dan sangat sehat. Perawatan yang baik benar-benar bisa menjaga kondisi tubunya menjadi sangat bertenaga dan pulih dengan cepat,” jelas Wijaya Kusuma yang lebih banyak bicara dengan teman dekatnya.
“Kamu benar. Perawatan memang sangat dibutuhkan oleh seorang wanita. Kalian sangat beruntung. Saling mencintai dan saling mendukung satu sala lain.” Dokter Ibra mendekati Wijaya yang terus memperhatikan putrnya.
“Anak kamu benar-benar pendiam. Dia juga tidak cengeng,” ucap dokter Ibra.
“Apa dia tidak lapar?” tanya Wijaya Kusuma.
“Dia sudah mendapatkan susu, tetapi hanya sedikit. Sepertinya anak kamu tidak terlalu suka dengan susu formula. Cobalah untuk meminta Luna memberikan asi. Itu akan membuat tarikan untuk menghasilkan asi dari Luna,” jelas Ibra.
“Ya.” Wijaya Kusuma mengangguk.
“Luna belum boleh beraktivitas berat seteleh melahirkan. Dia tetap harus merawat dirinya dan anak kalian di rumah,” jelas Ibra.
“Ingat masa nifas itu empat puluh hari. Apa kamu mengerti?” Dokter Ibra memukul lengan kekar Wijaya Kusuma.
“Mm.” Wijaya Kusuma tersenyum tipis. Pria itu sangat jarang berhubungan badan dengan istrinya. Apalagi selama hamil. Wanita itu juga sangat sibuk bekerja dan sering melakukan perjalanan ke luar untuk syuting dan pemotretan
Luna adalah wanita yang sangat popular. Jadi, wajar saja dia bisa menikah dengan seorang Wijaya Kusuma yang juga menjadi idola semua wanita. Pertemuan bisnis membuat keduanya sering bertemu hingga jatuh cinta dan menikah. Mereka selalu dijodohkan dari awal oleh public karena ketampanan dan kecantikan serta kekayaan yang dimiliki keduanya.
Wijaya Kusuma pulang ke rumah bersama putrnya. Dia benar-benar pandai menggendong bayi kecil yang baru lahir itu. Para pelayan sudah menunggu di depan pintu untuk menyambut kedatangan pewaris keluarga Kusuma.
“Selamat datang.” Para pelayan memberikan senyuma hangat kepada Wijaya Kusuma dan Keano.“Kamar sudah disiapkan, Tuan.” Kepala pelayan mengantarkan Wijaya ke kamar khusus bayi yang dibuat tepat di samping ruangan pribadi pria itu.
“Mm.” Wijaya Kusuma membaringkan Keano di atas kasur bayi dengan ranjang terbuat dari kayu terbaik.
“Di maan Luna?” tanya Wijaya pada kepala pelayan.
“Nyonya berada di dalam kamar, Tuan,” jawab kepala pelayan.
“Bagaimana dengan baby sister?” Wijawa Kusuma menatap tajam pada kepala pelayan yang tidak muda lagi itu. Wanita yang telah mengurus majikannya dari kecil.
“Semua sudah siap dan berkumpul di ruang tengah samping taman,” jawab kepala pelayan.
“Aku percaya kepada Bibi,” ucap Wijaya Kusuma.
“Terima kasih, Tuan.” Bibi menunduk.
“Aku akan tinggalkan Keano. Pastikan mereka bekerja dengan baik dan tidak ada kesalahan,” tegas Wijaya.
“Apa Anda tidak mau menemui para baby sister?” tanya bibi.
“Aku akan melihat mereka sekarang,” ucap Wijaya.
“Baik.” Bibi memanggil asistennya untuk menjaga Keano sebelum para baby sister mendapatkan persetujuan dari Wijaya untuk mulai mengurus bayi.
Wijaya berjalan menuju ruang tengah samping taman. Pria itu melihat para wanita muda, cantik, rapi dan bersih sudah berbaris menunnggu perintah dari pemilik rumah.
“Ya Tuhan. Tuan Wijaya Kusuma benar-benar tampan.” Dua orang wanita mencuri pandang untuk melihat wajah tampan Wijaya Kusuma.
“Mereka dipilih dari agensi terbaik, Tuan. Semua data dan latar belakang sudah diperiksa. Keluarga dan tempat tinggal jelas,” ucap bibi meletakkan berkas di atas meja.
“Mm.” Wijaya Kusuma memperhatikan wanita itu satu persatu dari atas hingga bawah.
“Mereka bisa mulai bekerja. Bibi jelaskan saja tugas masing-masing.” Wijaya Kusuma pergi begitu saja. Dia harus segera bekerja karena sudah dua hari berada di rumah sakit untuk menemani Luna melahirnya.
“Baik, Tuan.” Bibi membungkung.
“Saya akan mengulangi tugas dan kewajibab kalian,” ucap bibi.
“Tuan Wijaya tidak akan memaafkan kesalahan sekecil apa pun. Kalian bertanggung jawab atas bayi dan semuanya. Jangan ikut campur dengan urusan Tuan besar. Tidak perlu bicara atau bertanya langsung kepada Tuan Wijaya karena itu tidak penting,” tegas bibi.
“Jika kalian melakukan kesalahan. Bukan hanya dipecat, tetapi nama kalian akan masuk daftar hitam sehingga sulit untuk melanjutkan kehidupan di luar sana,” jelas bibi.
“Jadi berhati-hatilah dan teliti. Jangan sampai melakukan kesalahan sekecil apa pun,” lanjut bibi.
“Apa kalian mengerti?” tanya bibi dengan tegas dan elegan.
“Mengerti,” jawab dua orang wanita.
“Kalian harus saling bekerja sama dan bukan saling iri dalam bekerja,” tegas bibi.
“Baik, Bu.” Dua wanita itu saling pandang.
“Jangan pernah berpikir untuk menjadi penggoda di rumah ini karena tidak akan berhasil.” Bibi menatap tajam pada dua wanita itu.
“Kalian bisa masuk kamar tuan muda Keano. Pastikan tidak bertemu dengan Tuan besar Wijaya,” tegas bibi.
“Berusaha untuk menjauh dan menghindar ketika Tuan besar masuk ke kamar bayi,” lanjut bibi.
“Baik, Bu,” ucap dua wanita itu kompak.
“Ini jadwal yang harus kalian ikuti. Tuan sudah membuatnya agar tidak terjadi kesalahan.” Bibi memberikan masing-masing satu kertas kepada dua wanita itu.
“Terima kasih,” ucap mereka berdua.
“Kalian punya waktu satu jam untuk belajar dan memahami perkerjaan yang berharga ini. Silakan kembali ke kamar kalian.” Bibi terus memperhatikan dua orang itu.
“Baik, Bu.” Dua wanita itu pergi ke kamar mereka yang berada di belakang taman yang memang dijadikan tempat tinggal para pekerja.
“Wah, kamar kita nyaman sekali,” ucap Lili membuka pintu kamarnya lengkap dengan kamar mandi dan ruang tamu.
“Benar.” Lena pun masuk ke kamarnya yang bersebelahan dengan Lili.
“Ada taman dan di sana ruang makan khusus asisten rumah tangga.” Lena menunjukan gazebo khusus mereka.
“Luar biasa. Kita tidak boleh berkeliaran di depan Tuan besar dan Nyonya,” jelas Lili.
“Benar. Aku tidak mau membuat masalah. Pekerjaan ini sangat penting untukku. Apalagi gajinya besar,” ucap Lena.
“Ya. Ayo kita masuk kamar masing-masing.” Lili masuk kamar dan menutup pintu. Dia membaca aturan ketika berada di rumah Wijaya Kusuma dan jadwal kerjanya dalam mengurus bayi serta membersihkan ruangan anak dari Luna dan suaminya.
Wijaya Kusuma mengirimkan pesan pada asisten pribadinya untuk menanyakan persiapan penerimaan karyawan baru di beberapa bagian cabang Perusahaan mereka yang baru dibuka. Perumahan dan juga supermarket terbesar di kota. Pria itu sudah mempersiapkan banyak warisan untuk putranya Keano.Amira menatap pada Wijaya yang hanya diam saja. Kedua anaknya terlihat tidak baik-baik saja. Keano yang cemberut dan Devano yang serius. “Ada apa ini, Sayang? Kenapa anak-anak kita terlihat tegang?” tanya Amira bingung.“Apa yang ingin dijelaskan? Mama bingung dan khawatir.” Amira menatap pada Wijaya. “Keano, kamu mau bicara duluan atau Devano dengan buktinya?” tanya Wijaya.“Aku tidak ingin melanjutkan ini semua,” tegas Keano.“Tidak boleh lari dari kenyataan. Kebenaran yang menyakitkan lebih baik dari pada kebohongan yang membuat kamu tidak tenang menjalani kehidupan. Rahasia ini dijaga agar kalian berdua tidak seperti ini, tetapi kamu sendiri yang menemukannya,” tegas Wijaya yang mulai kesal dengan sikap Keano. Pria itu tidak akan sesabar Amira, tetapi dia sadar Keano adalah dirinya sendiri hanya beda dalam pengasuhan saja. Putranya lebih memiliki kasih sayang dan cinta yang cukup dari dirinya sert Amira.“Kamu adalah pria.” Wijaya memegang lengan Keano. “Sayang, ada apa ini?” Am
Wijaya membeku. Dia mendapatkan tatapan teduh dari mata Devano yang sangat mirip dengan Amira. Begitu lembut dan lebih tenang.“Pa.” Devano memegang tangan Wijaya. Dia tahu bahwa papanya sedang gelisah untuk menjawab pertanyaannya. “Devano.” Wijaya memeluk Devano. Pria itu merasa rapuh di depan putranya.“Kamu benar-benar mirip Amira. Begitu lembut dan sabar.” Wijaya menatap Devano.“Apa bisa menunggu jawaban ini ketika ada mama?” tanya Wijaya.“Ya. Sekarang kita tidur saja, Pa.” Devano naik ke tempat tidur.“Apa Papa boleh tidur dengan kamu?” tanya Wijaya.“Ya, Pa.” Devano tersenyum.“Terima kasih.” Wijaya naik ke tempat tidur. Dia memeluk Devano. Pelukan yang sudah jarang diberikan kepada anaknya.Mereka benar-benar bertukar anak. Amira bersama Keano dan Devao dengan Wijaya. Melewati malam dengan hati yang gelisah.Amira membuka mata dan melihat Keano masih terlelap. Wanita itu mencium dahi putrinya dan turun dari kasur. Dia pergi ke kamar Devano dan melihat sang anak tidur bersama
Keano menyusupkan virus robot ke dalam ponsel Luna. Remaja yang hampir lulus SMP itu benar-benar berani. Dia terlalu penasaran kepada Luna yang terus mengikuti dirinya dari jauh. Putra Wijaya itu tidak sadar bahwa dirinya akan terluka.“Apa?” Keano yang mencoba penemuan barunya benar-benar terkejut dengan isi ponsel Luna. Semua tentang dirinya ada di sana. Foto dari kecil hingga besar. “Kenapa wanita ini mengikuti ku dari kecil? Siapa dia sebenarnya?” Rasa penasaran Keano semakin kuat hingga dia tidak tidur. Mencari dan menggali informasi tentang Laura.“Tidak! Tidak!” Keano menggelengkan kepalanya. Semakin jauh dia masuk semakin membuat dirinya tidak mengerti. Laura masih menyimpan foto-foto kebersamaan dengan Wijaya, tetapi wajah yang berbeda.“Dia operasi wajah,” ucap Keano.“Luna Margaret. Seorang model dan pernah menjadi istri Wijaya Kusuma. Hamil dan melahirkan seorang putra bernama Keano.” Jari-jari Keano gemetar. Tubuhnya lemah. Dia bahkan hampir jatuh dari kursinya. “Tidak!”
Keluarga Wijaya pergi ke lokasi perlombaan dengan mobil. Wiliam dan Wilona ikut serta. Dua anak itu tidak sulit untuk diurus. Bibi pun selalu bersama. Leon dan tim mengawas dari jarak aman.Kursi untuk keluarga peserta dan penonton telah disiapkan. Mereka harus membayar mahal untuk bisa menyaksikan langsung kompetisi Tingkat dunia itu. Devano dan Keano telah berada di tempat mereka. Bersiap untuk bertanding dengan tema penemuan terbaru di dunia teknologi canggih dan bermanfaat bagi dunia.“Hadirin. Ini adalah sepuluh peserta terpilih dari seluruh dunia. Mereka akan memamerkan hasil kerja keras kepada kita semua,” ucap pembawa acara.“Tahun ini pertama kalinya negara Indonesia mengirim peserta dan langsung dua anak. Luar biasanya mereka berdua ini adalah saudara kembar. Kami perkenalkan Keano dan Devano yang datang dari Indonesia.” Tepuk tangan meriah menyambut Keano dan Devano.Tirai terbuka memperlihatkan dua anak remaja yang tampan. Mereka duduk tenang di kursi masing-masing. “Wah
Pesawat pribadi milik Wijaya Kusuma telah berada di langit menuju belahan bumi lain yaitu Amerika. Mengantarkan putra kesayangan untuk bertanding dalam dunia teknologi. Mereka benar-benar sudah terbiasa melakukan perjalanan jauh dengan pesawat terbang. Tidur nyenyak dengan tenang.Keluarga Wijaya Kusuma telah tiba di sebuah vila mewah. Bibi selalu ikut untuk membantu Amira mengurus bayi kembar.“Selamat datang, Tuan.” Para pelayan villa menyambut kedatangan Wijaya dan keluarga.“Terima kasih.” Amira masuk bersama anak-anaknya. Mereka memilih kamar masing-masing.Villa yang luas dan mewah telah disiapkan oleh Wijaya untuk kenyamanan keluarganya. Datang ke Amerika untuk menemani Keano dan Devano mengikuti perlombaan sekaligus liburan.Keano dan Devano berada di dalam kamar mereka masing-masing. Dua remaja itu mempersiapkan diri untuk kompetisi. Tidak ada yang mengganggu.“Hm.” Keano menemukan Luna yang juga datang ke Amerika. Dia selalu mencurigai wanita itu karena sering terlihat diseki
Amira merapikan pakaian kedua anaknya ke dalam koper. Wanita itu tidak ingin dibantu pelayan.“Ma, kenapa harus repot?” tanya Devano.“Mama mau memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal.” Amira tersenyum. Dia dengan senang hati mempersiapkan segala kebutuhan kedua putranya yang akan pergi ke Amerika.“Apa Mama ikut?” tanya Keano menatap Amira.“Keano maunya Mama ikut atau tidak?” Amira mendekati Keano yang duduk di tepi kasur.“Aku mau Mama ikut, tetapi pasti tidak dibolehkan papa,” ucap Keano merebahkan kepalanya di pangkuan Amira.“Kita akan pergi semua.” Wijaya berdiri di depan pintu. Dia melihat Devano merapikan koper sedangkan Keano berbaring di pangkuan Amira.“Anak ini.” Wijaya menggelengkan kepalanya. Keano benar-benar lebih manja kepada Amira dari pada Devano. Sang kakak beda beberapa hari itu memang terlihat lebih mandiri dan dewasa. Dia juga pengertian.“Semua sudah beres,” ucap Devano menarik dua koper ke samping lemari.“Benarkah?” Keano segera duduk. Dia melihat Wijaya.