Share

Terperangkap Pernikahan Kontrak
Terperangkap Pernikahan Kontrak
Author: Vivy Yu

Bab 1

Author: Vivy Yu
last update Last Updated: 2025-04-29 12:27:24

Restoran itu berdiri megah di jantung kota Jakarta, terpancar dari kemewahan eksteriornya yang didominasi oleh arsitektur klasik dan sentuhan modern. Lampu-lampu temaram dengan warna keemasan menghiasi setiap sudut bangunan, memancarkan kilau yang elegan namun hangat. Langit-langitnya yang tinggi dihiasi lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya lembut, menciptakan suasana yang anggun dan eksklusif.

Begitu memasuki restoran, pengunjung akan disambut oleh lantai marmer berkilauan dan deretan meja yang tertata rapi dengan taplak putih dan piring porselen berkelas. Musik jazz yang halus mengalun pelan di latar belakang, menambah nuansa intim. Para pelayan berpakaian rapi dengan seragam hitam putih, gesit dan sopan dalam melayani, siap memberi rekomendasi anggur terbaik untuk melengkapi sajian.

Restoran ini memiliki dinding kaca besar yang memperlihatkan pemandangan gemerlap kota Jakarta di malam hari, memberi sensasi makan malam yang romantis dan berkelas. Di bagian sudut, terdapat bar yang elegan dengan berbagai macam koleksi anggur dan minuman dari seluruh dunia, lengkap dengan bartender yang handal dalam meracik cocktail spesial. Aroma steak yang dipanggang sempurna bercampur dengan wangi truffle dan rempah, mengisi udara dengan kelezatan yang menggugah selera.

Setiap sudut restoran ini memang dirancang untuk menciptakan pengalaman bersantap yang tak terlupakan, tempat di mana percakapan mendalam, bisnis kelas atas, hingga momen romantis banyak terjadi. Para tamu, yang sebagian besar berpakaian formal, terlihat menikmati malam mereka dengan tenang, membawa kesan glamor yang seolah menjadikan tempat ini sebuah oasis mewah di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta.

Seorang pelayan wanita tengah berjalan cepat namun anggun, melangkah di antara meja-meja dengan penuh percaya diri. Sosoknya yang tinggi dan anggun menarik perhatian, terutama dengan rambut panjangnya yang tergerai rapi. Di bawah cahaya hangat lampu restoran, kulit putihnya tampak berkilau, memberi kesan profesional namun tetap bersahabat. Malam itu, ia terlihat sibuk melayani tamu yang memenuhi restoran, senyumnya tak pernah pudar meski langkahnya cepat.

Ketika ia menuju dapur untuk mengambil pesanan berikutnya, seorang pelayan laki-laki mendekatinya dengan nampan berisi hidangan yang sudah siap disajikan. Pelayan pria itu berusia sebaya, ramah dan sangat menghormati rekan kerjanya.

“Meja nomor tujuh, kamu handle, kan?” katanya sambil memberikan isyarat ke meja yang dimaksud, di mana dua tamu tengah menunggu dengan sabar.

Wanita itu mengangguk cepat, menerima nampan dari tangan rekannya dengan cekatan. "Iya, mereka pesan filet mignon dengan saus truffle. Kamu mau ambil yang meja sembilan?”

"Okey," jawab rekannya sambil tersenyum. "Aku kesana, ya."

Ia mengangguk lagi, kali ini sambil tersenyum tulus. “Thanks! Sukses malam ini, kita hampir penuh.”

Mereka bertukar pandang penuh pengertian sebelum berpisah, masing-masing membawa makanan ke meja tamu. Begitu sampai di meja nomor tujuh, pelayan wanita itu meletakkan nampan dan mulai menyajikan hidangan dengan sangat hati-hati, menjaga agar tidak ada percikan atau kesalahan.

"Selamat malam, Pak, Bu," sapaannya terdengar ramah dan sopan. "Ini filet mignon dengan saus truffle untuk Anda, dan untuk Ibu, risotto dengan udang panggang. Saya harap Anda menikmati hidangannya. Apakah ada yang bisa saya bantu lagi?"

Salah satu tamu, pria dengan setelan jas rapi, mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Terima kasih. Ternyata pelayanan di sini sebagus yang saya dengar."

Wanita itu tersenyum, dengan lembut menanggapi pujian tersebut. "Kami berusaha memberikan yang terbaik, Pak. Kalau ada yang Bapak dan Ibu perlukan, silakan panggil saya, ya. Saya akan senang membantu."

Wanita yang duduk di samping pria itu pun menambahkan, "Apa kamu punya rekomendasi anggur yang cocok untuk hidangan ini?"

Dengan sikap profesional yang tak terbantahkan, pelayan itu menjelaskan beberapa pilihan anggur yang akan melengkapi hidangan mereka, mulai dari anggur merah dengan rasa berry hingga anggur putih dengan aroma citrus. "Kami memiliki beberapa pilihan yang cocok, Bu. Saya bisa membawa daftar anggurnya, atau jika Ibu ingin mencoba rekomendasi chef kami, saya bisa langsung siapkan satu botol."

Si tamu wanita terlihat puas. "Baik, saya akan mencoba rekomendasi dari chef. Terima kasih ya, Mbak."

“Dengan senang hati, Bu. Saya akan segera kembali dengan anggurnya,” ujarnya sebelum kembali ke dapur dengan senyum yang tak pernah luntur.

Meski padat, ia tetap terlihat tenang dan profesional, selalu ramah pada setiap tamu yang ditemuinya. Interaksi kecil namun hangat dengan tamu-tamu itu membuat suasana terasa lebih akrab, menciptakan kesan bahwa di balik semua kemewahan restoran itu, ada sentuhan pribadi yang benar-benar diperhatikan.

Tiara, nama pelayan wanita itu, sudah hampir tiga tahun bekerja di restoran mewah ini. Di usia 26 tahun, ia telah menjadi salah satu pelayan terbaik yang dimiliki restoran itu. Dengan pengalamannya, Tiara sudah sangat terbiasa menghadapi berbagai tipe tamu—mulai dari yang hangat dan ramah hingga yang dingin dan menuntut. Ia sudah hafal standar pelayanan yang diharapkan di tempat ini, dan bahkan kadang menjadi andalan bagi rekan-rekannya untuk menangani tamu-tamu penting.

Setelah kembali dari meja tamu dengan anggur yang diminta, Tiara menghampiri meja lain yang baru saja diduduki oleh sekelompok eksekutif muda. Mereka tampak menikmati suasana santai setelah hari yang panjang. Salah satu pria di antara mereka mengangkat tangannya untuk memanggil Tiara.

"Selamat malam, Mbak Tiara!" sapanya dengan nada ceria setelah membaca nama di pin kecil di dadanya. “Boleh minta rekomendasi untuk makanan yang cocok disantap beramai-ramai?”

Tiara tersenyum hangat. “Selamat malam, Pak. Untuk makanan yang bisa dinikmati bersama, kami punya beberapa pilihan platter yang lengkap. Salah satunya ada ‘chef’s special platter’ dengan berbagai jenis daging panggang, sosis, dan beberapa saus khas. Ini biasanya jadi favorit tamu-tamu kami untuk berbagi.”

Pria itu dan rekan-rekannya saling melirik, tampak antusias. "Wah, itu menarik. Sepertinya bisa kita coba. Tambahkan juga beberapa botol anggur yang kira-kira cocok, ya."

Tiara mengangguk mantap, mencatat pesanan sambil sesekali menatap tamu-tamu itu untuk memastikan tidak ada yang terlewat. “Baik, Pak. Saya akan siapkan segera.”

Tiara kembali ke dapur, meletakkan catatan pesanan dan berbicara singkat dengan koki. Koki mengangguk sambil tersenyum, sudah tahu Tiara selalu memberi rekomendasi yang tepat untuk tamu-tamu spesial. Begitu hidangan mereka siap, Tiara dan rekan kerjanya bekerja sama membawa piring besar berisi platter spesial dan botol-botol anggur yang sudah dipilihkan.

Sesampainya di meja, Tiara memaparkan hidangan dengan senyum khasnya yang hangat. "Ini adalah chef’s special platter, lengkap dengan daging panggang, sosis, dan saus yang telah dipilihkan khusus. Silakan dinikmati, dan semoga cocok dengan selera Bapak dan Ibu sekalian."

Para tamu itu terlihat puas, bahkan salah satu dari mereka tampak mengambil foto hidangan sebelum mulai menyantapnya. "Terima kasih, Mbak Tiara. Pelayanannya benar-benar prima,” ucap salah satu dari mereka.

Tiara tersenyum sopan, menanggapi dengan nada tulus, “Terima kasih kembali, Pak. Saya senang bisa membantu. Kalau ada kebutuhan lain, silakan panggil saya kapan saja.”

Melanjutkan pekerjaannya di malam itu, Tiara tetap ramah dan penuh perhatian kepada setiap tamu, memberikan pengalaman bersantap yang nyaman dan berkesan. Bagi Tiara, pekerjaan ini bukan sekadar pekerjaan biasa. Bertahun-tahun berada di restoran ini telah membentuknya menjadi sosok yang kuat, tenang, dan selalu profesional.

Saat malam semakin larut dan restoran mulai sepi, Tiara dan rekan-rekannya bergerak cepat untuk membereskan meja-meja dan merapikan peralatan makan. Begitu semua tugas selesai, Tiara bergegas ke ruang ganti, melepas seragamnya dan berganti dengan pakaian kasual. Ia merasa lelah namun puas dengan pekerjaannya malam itu, terutama karena para tamu tampak puas.

Sambil menghela napas lega, Tiara keluar dari ruang ganti, namun begitu ia membuka pintu dan melangkah ke luar, ia terkejut melihat beberapa rekan kerjanya sudah menunggu di sana dengan senyum lebar. Di tangan mereka, ada kue kecil yang dihiasi lilin angka "26", dan mereka serempak berseru, "Selamat ulang tahun, Tiara!"

Mata Tiara membulat, kaget sekaligus terharu. Ia tidak menyangka teman-temannya akan ingat hari ulang tahunnya, terlebih di tengah kesibukan mereka. Ia menutup mulutnya, tak mampu menahan senyum lebar dan sedikit tawa malu.

"Serius, kalian ingat?" tanyanya, suaranya terdengar gemetar karena rasa haru.

"Ya iyalah, masa enggak?" salah satu rekannya, Rina, berkata sambil tersenyum. "Kita tahu kamu selalu sibuk dan nggak pernah minta dirayain, tapi kali ini kami nggak bisa biarkan kamu pulang tanpa perayaan."

Rekan-rekan lainnya tertawa dan bertepuk tangan, menyemangati Tiara yang tampak sangat bahagia. Tiara pun diminta meniup lilin, dan ia memejamkan mata sejenak, membuat permohonan sebelum meniup lilin tersebut.

“Terima kasih banyak, teman-teman!” katanya sambil tersenyum lebar setelah meniup lilin. "Aku benar-benar nggak nyangka kalian akan merencanakan ini semua."

“Kita nggak bisa biarin hari ulang tahunmu lewat begitu aja, Tiara,” kata Andre, salah satu pelayan yang akrab dengannya. "Kamu kan udah seperti keluarga di sini."

Mereka semua menikmati kue sederhana yang dibawa rekan-rekannya, sambil berbincang ringan dan saling tertawa. Malam itu terasa hangat dan akrab, berbeda dengan rutinitas formal yang biasanya mereka jalani di restoran. Tiara merasa sangat dihargai dan diperhatikan. Di tengah kesibukan dan tantangan pekerjaan mereka, momen seperti ini membuat segalanya terasa lebih berarti.

Setelah perayaan kecil itu, Tiara berterima kasih berkali-kali kepada teman-temannya. Baginya, kejutan ini bukan hanya tentang merayakan ulang tahun, tetapi juga tentang rasa kebersamaan dan persahabatan yang ia bangun selama hampir tiga tahun bekerja di sana. Perasaan itu membuatnya semakin bersyukur dan bersemangat menghadapi hari-hari ke depan di restoran yang telah menjadi seperti rumah kedua baginya.

-----

Suasana itu sangat berbanding terbalik dengan suasana di sebuah ruang makan yang luas dan mewah, suasana makan malam yang seharusnya hangat dan menyenangkan justru terasa tegang dan canggung. Lampu gantung kristal yang indah berkilauan di atas meja panjang, memantulkan cahaya ke piring-piring porselen dan peralatan makan perak yang tertata rapi. Di atas meja, hidangan-hidangan mewah telah disiapkan oleh koki pribadi keluarga, dari daging panggang, hidangan laut, hingga dessert yang menggoda selera. Namun, semua kelezatan itu tampak tak cukup untuk mencairkan suasana.

Di ujung meja, duduk seorang wanita muda bernama Clarisa. Ia mengenakan gaun sederhana namun anggun, rambutnya ditata rapi. Namun, raut wajahnya menunjukkan ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan. Di sampingnya duduk suaminya, Adrian, yang terlihat mencoba mengalihkan perhatian dengan menyantap makanan di hadapannya tanpa berkata-kata, seolah menghindari percakapan yang akan muncul.

Keduanya ditemani oleh orang tua Adrian, yang duduk di seberang meja. Sang ibu, wanita yang selalu tampil elegan dan penuh wibawa, menatap Clarisa dengan pandangan penuh harap, tetapi sedikit tajam. Percakapan ringan yang sempat terjadi tadi mulai menghilang, hingga akhirnya, dengan nada suara yang terdengar tenang namun penuh tekanan, ibu Adrian membuka pembicaraan.

"Clarisa, sayang," katanya sambil tersenyum tipis. "Kapan ya kira-kira kami bisa punya cucu? Sudah empat tahun kalian menikah, dan kamu tahu kami sudah sangat ingin menggendong cucu pertama kami."

Clarisa merasakan dadanya berdebar, ia menundukkan kepala, menyembunyikan perasaan tertekan yang ia rasakan. Pertanyaan ini bukan kali pertama ia dengar. Bahkan, mungkin ini sudah menjadi pertanyaan keseribu kalinya sejak ia dan Adrian menikah. Setiap kali bertemu dengan keluarga suaminya, topik yang sama selalu muncul, seolah-olah tak ada hal lain yang bisa mereka bicarakan.

Clarisa menghela napas dalam, mencoba menjawab dengan tenang, walaupun suaranya terdengar sedikit gemetar. "Kami juga berharap begitu, Mama... Kami... sudah berusaha, hanya saja... mungkin masih belum waktunya."

Raut wajah ibu Adrian berubah sedikit, namun ia tak menunjukkan tanda-tanda untuk berhenti. "Berusaha, ya? Apa kalian sudah konsultasi ke dokter? Zaman sekarang, banyak cara, Clarisa. Teknologi medis sudah canggih, dan kalau benar-benar serius, seharusnya kalian bisa menemukan solusi," ujarnya, nadanya terdengar seolah sedang menegur.

Adrian, yang sejak tadi berdiam diri, akhirnya angkat bicara. Ia meletakkan garpunya dan menatap ibunya dengan tegas. "Ma, ini bukan topik yang mudah buat kami. Kami juga sedang menjalani proses ini dengan usaha terbaik yang bisa kami lakukan."

Namun, ibunya hanya mengangguk pelan, seolah-olah tak begitu peduli dengan keberatan Adrian. Ia mengarahkan pandangan pada Clarisa lagi, yang masih menunduk, berusaha menyembunyikan perasaan kecewa dan sakit hatinya. Sementara itu, ayah Adrian hanya diam, menatap ke arah makanan, seolah tidak ingin terlibat dalam percakapan ini.

"Kalau memang perlu, mungkin Mama bisa rekomendasikan dokter spesialis yang bagus," tambah ibunya lagi, tak memperhatikan raut wajah Clarisa yang semakin murung. "Mama benar-benar ingin kalian segera memberi kami cucu."

Clarisa menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang hampir menetes. Ia tahu mereka sudah berusaha, bahkan ia dan Adrian sudah berkonsultasi ke beberapa dokter, tetapi hasilnya memang belum seperti yang diharapkan. Tekanan yang datang, terutama dari ibu mertuanya, hanya membuat beban yang dirasakannya semakin berat. Clarisa merasa ingin segera meninggalkan meja makan, namun ia tahu bahwa melakukannya hanya akan membuat suasana semakin buruk.

Adrian meletakkan tangannya di atas tangan Clarisa, memberikan isyarat dukungan dan pengertian. "Ma, tolong beri kami waktu. Ini bukan hal yang bisa dipaksakan. Kami butuh ketenangan dalam menghadapi ini."

Untuk sesaat, hening menyelimuti ruangan. Ibu Adrian akhirnya menutup mulutnya, walau ekspresi wajahnya menunjukkan kekecewaan. Suasana makan malam itu tetap dingin dan tegang, seolah-olah setiap kata dan ekspresi membawa kepedihan tersendiri. Di dalam hati, Clarisa berdoa semoga suatu saat tekanan ini akan berkurang, agar ia dan Adrian bisa menikmati pernikahan mereka tanpa terbebani oleh ekspektasi yang menghimpit.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 48

    Clarisa menggulir layar ponselnya dengan serius, matanya fokus pada berbagai pilihan yang muncul. Di sebelahnya, Tiara duduk dengan tenang, memperhatikan tanpa banyak bicara. Sementara itu, Indah, yang ikut membantu, sesekali mengangguk atau memberi masukan.Clarisa lalu mengarahkan ponselnya ke Indah, meminta pendapatnya soal warna dan tekstur dari perut palsu yang hendak dibeli. "Ini kayaknya mirip banget sama kulit manusia, kan?" tanyanya, memastikan.Indah mengamati layar sebelum mengangguk. "Iya, Bu, ini kelihatannya paling realistis."Tiara tetap diam, tapi ia sudah bisa menebak apa yang Clarisa lakukan. Ketika Indah mengambil meteran dan mulai mengukur perutnya atas permintaan Clarisa, Tiara hanya menarik napas pelan. Ia tahu ini semua adalah bagian dari rencana Clarisa.Clarisa menyerahkan ponselnya kepada Indah setelah memastikan pilihan yang diinginkannya. Ia menyuruh Indah untuk segera memesankan perut kehamilan palsu itu dan mengatur agar pembayarannya dilakukan secara COD

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 47

    Saat sarapan pagi itu, suasana terasa canggung di antara Adrian dan Clarisa. Mereka duduk berhadapan di meja makan yang tertata rapi, hanya ditemani suara dentingan sendok dan garpu. Tidak ada percakapan, tidak ada basa-basi. Clarisa masih kesal dengan suaminya itu, tetapi ia memilih untuk diam. Tiara tidak ikut, ia bilang sarapan nanti dulu karena sudah makan bubur yang dibelikan Bi Susi sebelumnya.Adrian juga tidak berusaha memulai pembicaraan. Ia hanya menikmati makanannya dengan tenang, seolah tidak ada yang terjadi. Iya tidak ingin bertengkar dengan Clarisa, membiarkan istrinya itu agar lebih tenang sehingga hilang sendiri kemarahannya.Hingga akhirnya, pandangan Clarisa jatuh ke pipi kanan Adrian yang tampak lebam. Dahinya berkerut, jelas heran dan sedikit terkejut."Apa itu?" tanyanya akhirnya, suaranya datar tapi cukup tajam.Adrian berhenti mengunyah, sedikit mengangkat alisnya. "Apa?""Pipimu," Clarisa mengarahkan pandangannya ke lebam di wajah Adrian. "Kenapa bisa begitu?"

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 46

    Saat mobil Adrian memasuki halaman rumah, Tiara segera membuka sabuk pengamannya. Ia sedikit lelah setelah hari yang panjang, dan ia ingin segera masuk ke kamarnya untuk beristirahat.Adrian pun turun dari mobil dan berjalan masuk bersama Tiara. Seperti biasa, rumah terasa tenang, hanya ada suara samar dari aquarium ikan di ruang keluarga.Tiara langsung menuju kamarnya, sementara Adrian juga menaiki tangga menuju kamarnya sendiri. Ia berencana untuk mengganti pakaian dan mungkin beristirahat sebentar sebelum makan malam. Namun, begitu membuka pintu kamar, ia langsung terhenti.Clarisa sudah ada di sana, duduk di tepi ranjang dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya menunjukkan ekspresi kesal yang sulit disembunyikan. Matanya menatap tajam ke arah Adrian begitu pria itu masuk ke kamar.Adrian mengerutkan kening. Ia tidak menyangka Clarisa sudah pulang. Biasanya, istrinya belum di rumah jam segini. "Kamu sudah pulang?" tanyanya pelan, mencoba membaca situasi.Clarisa tidak langsung men

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 45

    Setelah beberapa meter berkendara, Adrian membelokkan mobilnya ke pinggir jalan yang tenang, jauh dari keramaian. Ia mematikan mesin, lalu menoleh ke arah Tiara.Tiara masih menunduk, bahunya sedikit bergetar, matanya menatap kosong ke pangkuannya.Tanpa berkata apa-apa, Adrian meraih Tiara dan menariknya ke dalam pelukannya. Tiara tidak menolak. Justru saat itu juga pertahanannya runtuh. Ia kembali menangis di dekapan Adrian.Adrian mengusap punggungnya perlahan, membiarkan Tiara meluapkan segalanya. Ia tidak bicara, hanya memeluk erat, memberi kehangatan dan perlindungan.Setelah beberapa saat, isak tangis Tiara mulai mereda. Napasnya masih tersengal sedikit, tapi ia berusaha menguasai dirinya. Adrian tetap diam, memberinya waktu, membiarkan Tiara menangis tanpa tergesa-gesa. Ia hanya menggenggam tangannya erat, sebagai bentuk dukungan tanpa kata-kata.Setelah cukup tenang, Adrian menatap wajah Tiara dengan lembut. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya pelan.Tiara menggeleng tanpa suara.

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 44

    Malam ini, sesuai rencana, Tiara pergi ke dokter kandungan untuk pemeriksaan rutinnya. Sejak pagi, Adrian sudah memutuskan bahwa ia tidak peduli jika Clarisa marah atau kesal. Baginya, yang terpenting adalah memastikan Tiara dan bayinya baik-baik saja. Lagipula, ia hanya akan menunggu di dalam mobil, tidak akan ikut masuk ke ruangan dokter. Itu sudah cukup baginya, atau setidaknya, ia mencoba meyakinkan dirinya begitu.Di dalam perjalanan, Tiara duduk diam di kursi penumpang, sesekali melirik Adrian yang fokus menyetir. Ia tahu Clarisa akan tidak suka jika tahu suaminya tetap mengantarnya, ia pun sudah sempat menolaknya sebelum berangkat ke sini, namun Adrian cukup keras kepala. Jadi, ia memilih untuk tidak membahasnya.Setibanya di klinik, Adrian memarkir mobil di sudut parkiran yang tidak terlalu mencolok, seperti beberapa bulan lalu Tiara melepas sabuk pengamannya, lalu menoleh ke Adrian. "Mas, aku masuk dulu."Adrian mengangguk. "Iya, Tiara, kamu hati-hati ya."Tiara mengangguk pe

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 43

    Siang itu, Clarisa memutuskan untuk mengunjungi kantor Adrian. Sudah lama ia tidak mampir ke sana, dan hari ini, karena tidak ada jadwal syuting di sore hari, ia merasa ini waktu yang tepat. Dengan langkah santai, ia memasuki gedung perkantoran yang sudah tak asing lagi baginya. Beberapa karyawan langsung menyapa dengan sopan.“Selamat siang, Ibu Clarisa,” ucap salah satu resepsionis dengan senyuman ramah.Clarisa membalas senyum itu. “Selamat siang. Pak Adrian ada di ruangannya, kan?” tanyanya sambil berjalan menuju lift.“Seharusnya ada, Bu,” jawab resepsionis itu sebelum Clarisa melangkah masuk ke lift.Saat tiba di lantai tempat Adrian bekerja, Clarisa menuju ruang kerja suaminya. Namun, begitu pintu terbuka, ia mendapati ruangan itu kosong. Tidak ada Adrian di sana.Ia berdiri sejenak, mencoba menghubungi Adrian melalui ponselnya, tetapi panggilan itu tidak diangkat. Dengan sedikit rasa penasaran yang bercampur kesal, Clarisa keluar dari ruangan Adrian dan melangkah menuju ruanga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status