Satu per satu, teman-teman Tiara berpamitan sambil saling tersenyum lelah namun puas. Ada yang beranjak naik motor, dan ada juga yang memilih berjalan kaki pulang ke rumah atau ke kost mereka. Mereka sempat melambaikan tangan pada Tiara, yang masih berdiri di depan restoran dengan senyum bahagia. Malam itu bukan hanya hari ulang tahunnya, tapi juga momen penuh perhatian yang membuatnya merasa dihargai.
Tak lama kemudian, Tiara melihat cahaya lampu motor yang ia kenali dengan baik mendekat ke arah restoran. Senyumnya makin lebar ketika sebuah motor berwarna merah itu berhenti di depannya. Rendra, kekasihnya, turun dari motor dengan helm merah yang senada, lalu membuka helmnya, memperlihatkan wajahnya yang tampan dan kulitnya yang bersih. Ia tersenyum hangat, tatapan matanya penuh kasih.
"Selamat ulang tahun, Sayang," katanya lembut begitu ia mendekat, suaranya membuat hati Tiara terasa hangat.
Tiara tersenyum sambil mengangguk, matanya berbinar. "Terima kasih, Mas, atas ucapannya."
Rendra membalas senyumnya sambil mengulurkan helm cadangan untuk Tiara. “Malam ini khusus buat kamu. Yuk, jalan-jalan.”
Setelah memasang helm, Tiara duduk di belakang Rendra, tangannya memegang pinggangnya erat. Rendra menyalakan motornya, dan mereka pun meluncur menyusuri jalanan Jakarta malam itu.
Kota Jakarta tampak berkilauan dalam keheningan malam, dipenuhi lampu-lampu jalan yang memancar indah. Bangunan-bangunan tinggi di sekitar Sudirman dan Thamrin dihiasi dengan cahaya warna-warni, menciptakan suasana kota yang megah. Mereka melewati beberapa landmark terkenal, seperti Bundaran HI, yang air mancurnya bersinar keemasan di bawah sorotan lampu.
Di sepanjang perjalanan, Rendra sesekali menengok ke belakang untuk memastikan Tiara baik-baik saja. Tiara membalasnya dengan senyuman cerah yang terlihat di balik kaca helmnya, wajahnya penuh kebahagiaan. Rendra membawa motornya melewati area Monas yang berdiri megah dengan cahaya yang menerangi puncaknya. Monumen itu tampak indah, simbol kota yang seolah ikut merayakan malam istimewa Tiara.
Ketika mereka berhenti sejenak di sebuah taman kota yang lengang, Tiara membuka helmnya, menatap ke arah Rendra sambil tersenyum lebar.
"Jakarta terlihat lebih indah malam ini," kata Tiara sambil tertawa kecil.
Rendra mengangguk, membalas senyuman hangatnya. “Iya, tapi masih kalah indah sama yang lagi ulang tahun, nih.”
Mereka berdua tertawa, merasa bahagia dalam kebersamaan. Sambil duduk di atas motor, mereka menikmati momen sederhana itu, hanya berbagi senyum dan percakapan hangat, dalam dinginnya angin malam Jakarta yang menemani perjalanan istimewa mereka.
Setelah beberapa waktu berkeliling menikmati kota, Rendra menepi dan bertanya, “Gimana kalau kita mampir ke kafe sebentar buat makan, Sayang? Udah pasti kamu lapar, kan?”
Tiara menggeleng sambil tersenyum kecil. "Nggak usah, Mas. Ini udah malam, nanti aku malah dimarahin Ayah kalau pulang terlalu larut."
Rendra tersenyum memaklumi, lalu mengangguk. "Baiklah, kalau begitu kita cari tempat duduk di taman, ya."
Mereka menemukan sebuah taman kecil yang cukup sepi, dengan bangku-bangku yang menghadap ke arah kolam air mancur yang tenang. Setelah memarkir motor, mereka berjalan menuju bangku di bawah pohon yang rindang. Suasana malam terasa tenang, dengan lampu-lampu taman yang redup dan angin malam yang sejuk menghembus.
Setelah duduk, Rendra merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah. Ia menyodorkannya kepada Tiara dengan senyum hangat. “Selamat ulang tahun, Sayang. Ini ada sedikit hadiah buat kamu.”
Tiara terkejut dan tersentuh melihat kotak kecil itu. Tangannya gemetar sedikit saat menerimanya. "Mas, ini apa? Bersama kamu saja aku udah senang banget."
Rendra tersenyum, meminta Tiara untuk membuka kotaknya. Begitu dibuka, terlihat sebuah kalung emas yang berkilauan dengan liontin kecil berbentuk hati yang sederhana namun elegan.
"Mas, ini… cantik sekali. Terima kasih banyak," ujar Tiara, matanya berkaca-kaca karena bahagia dan terharu.
Tanpa berkata-kata, Rendra mengambil kalung itu dan dengan lembut memakaikannya ke leher Tiara. Ketika selesai, ia menatap wajah Tiara yang tampak bersemu merah dan penuh rasa syukur. Ia lalu mendekat, mencium kedua pipi Tiara dengan penuh kasih sayang.
“Semoga kamu suka, dan semoga tahun ini membawa banyak kebahagiaan buat kamu, Sayang,” ucap Rendra lembut.
Tiara tersenyum bahagia, tangannya menyentuh kalung yang kini tergantung di lehernya. Hatinya berdebar kencang, merasa malam ini menjadi salah satu momen paling istimewa dalam hidupnya. Duduk berdua di taman, di bawah langit malam Jakarta yang tenang, mereka menikmati kebersamaan yang penuh kehangatan dan cinta, seolah waktu berhenti hanya untuk mereka berdua.
Tiara tampak senang, tapi ada kekhawatiran di balik senyumnya saat menatap kalung emas yang kini menggantung di lehernya. Ia tahu kalung ini bukanlah hadiah biasa, ini emas, sederhana namun pasti tak murah. Rendra bukan anak orang kaya, ia adalah pekerja kantoran biasa di sebuah perusahaan e-commerce, dan ia juga yang memenuhi kebutuhan keluarganya. Di dalam hatinya, ada perasaan gembira dan haru, tapi juga rasa khawatir.
Tiara menatap Rendra dengan lembut, namun ragu-ragu. “Mas… ini kalungnya cantik sekali, tapi… aku tahu ini pasti mahal. Kamu kan harus bantu keluarga juga. Apa Mas yakin ini nggak masalah?”
Rendra tersenyum, meraih tangan Tiara dengan lembut. “Aku tahu kamu pasti akan bilang begitu. Tapi aku ingin ngasih sesuatu yang spesial buat kamu. Aku udah nabung untuk ini, Sayang. Jadi nggak usah khawatir.”
Tiara masih tampak bimbang. “Tapi, Mas, kamu udah banyak berkorban buat keluarga. Aku nggak mau jadi beban.”
Rendra menggeleng sambil menatap Tiara dengan tatapan yang meyakinkan. “Tiara, kamu bukan beban. Kamu adalah seseorang yang spesial buat aku, dan aku ingin menunjukkan kalau kamu berarti. Ini memang mahal, tapi aku senang bisa memberikannya buat kamu. Aku mau kamu tahu kalau aku serius dan sayang sama kamu.”
Perkataan Rendra membuat hati Tiara berdebar. Ia merasa tersentuh, tapi juga tak ingin membuat Rendra merasa terbebani. Akhirnya, ia mengangguk pelan, tersenyum lembut sambil menggenggam tangan Rendra lebih erat.
“Terima kasih, Mas. Aku akan menjaga hadiah ini baik-baik. Aku juga sayang sama kamu,” balasnya dengan suara penuh ketulusan.
Di malam itu, di bawah langit malam yang damai, keduanya merasa semakin dekat, saling menghargai pengorbanan dan perhatian masing-masing. Tiara tahu bahwa hubungan mereka tidak selalu mudah, tapi momen-momen sederhana namun penuh makna seperti ini membuatnya merasa semakin yakin pada cinta mereka.
-----
Adrian mengarahkan mobilnya dengan fokus, kedua tangan mantap menggenggam kemudi. Matanya lurus ke jalan, wajahnya tampak tenang meski sorot matanya menunjukkan kelelahan. Jam sudah menunjukkan larut malam, dan suasana di dalam mobil terasa sepi, hanya terdengar suara mesin yang berputar dan sesekali denting lampu sein.
Di sebelahnya, Clarisa duduk diam. Pandangannya kosong, menatap jalanan gelap yang terhampar di luar jendela mobil. Ucapan-ucapan ibu Adrian terus bergema di pikirannya, membuat dadanya terasa sesak. Malam ini bukan pertama kalinya ia mendengar pertanyaan itu, kapan mereka akan memiliki anak, namun setiap kali pertanyaan itu muncul, ia tetap tak bisa menghindari rasa sakit yang menyertainya. Ia merasa gagal, seolah harapan ibu mertuanya untuk menjadi seorang nenek sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya. Bahkan, ketika ibu Adrian menyampaikan kata-kata itu dengan nada yang lembut, ia tetap merasakan tekanan yang dalam. Mereka sudah menikah empat tahun, tapi hingga kini, belum ada tanda-tanda kehamilan. Ia merasa seperti terkurung dalam rasa kecewa, tak hanya pada Adrian dan keluarganya, tapi juga pada dirinya sendiri.
Selama ini Clarisa telah banyak berkorban, apalagi dalam dua tahun terakhir. Demi harapan agar ia bisa segera hamil, ia bahkan rela berhenti dari kariernya sebagai artis, sesuatu yang dulu begitu ia cintai. Sesuatu yang telah ia perjuangkan sejak lama, sejak kecil. Ibunda Adrian memintanya untuk beristirahat dan fokus pada “tugasnya” sebagai istri, dengan alasan agar ia tidak terlalu lelah atau stres. Meski awalnya terasa berat, dengan enggan Clarisa mengikuti keinginan mertuanya dengan harapan bisa segera memberikan apa yang diinginkan keluarga suaminya.
Namun, kenyataan yang disampaikan dokter waktu itu masih membayangi pikirannya. Ia dan Adrian sepakat untuk merahasiakan kabar itu dari orang tua Adrian, mereka tak ingin menambah tekanan atau kekhawatiran. Setiap kali ibunda Adrian menanyakan soal cucu, Clarisa hanya tersenyum dan mengatakan bahwa mereka sedang berusaha. Jawaban itu sudah menjadi respons otomatisnya, meski setiap kali ia mengucapkannya, hatinya terasa perih.
Adrian melirik ke arah istrinya, menyadari keheningan yang menyelimuti mereka. Ia tahu, malam ini pasti berat untuk Clarisa. Sebenarnya, Adrian ingin berbicara, namun kata-kata terasa sulit keluar. Ia pun tak bisa mengabaikan harapan ibunya yang mendesak ingin cucu, namun di saat yang sama, ia tahu betul bagaimana perasaan istrinya selama ini.
Setelah beberapa saat, akhirnya Adrian memberanikan diri berbicara dengan suara lembut, “Sayang, Clarisa… kamu tidak apa-apa?”
Clarisa menoleh, matanya terlihat basah, namun ia berusaha tersenyum samar. “Aku… aku hanya memikirkan perkataan mama tadi. Rasanya sulit untuk tidak merasa gagal. Aku tahu mereka ingin cucu, aku tahu kamu juga… tapi sepertinya aku tidak bisa memenuhi harapan itu sekarang.”
Adrian menarik napas panjang, menepikan mobil ke pinggir jalan sejenak dan menatap Clarisa dengan penuh perhatian. “Sayang, ini bukan salah kamu. Kamu tidak perlu merasa gagal atau terbebani dengan harapan orang lain. Kita sudah berusaha, dan aku tahu kamu juga sangat menginginkan ini. Tapi, apapun yang terjadi, aku tetap di sini buat kamu.”
Clarisa terdiam, menatap wajah Adrian yang penuh ketulusan. Kata-kata suaminya membuat sedikit beban di hatinya terasa berkurang. Namun, ketakutan dan kesedihannya masih ada, menghantui dirinya dengan rasa tak berdaya.
Adrian meraih tangan Clarisa, menggenggamnya erat. “Kita akan cari solusi sama-sama, Sayang. Aku tahu ini berat, tapi kita nggak harus memikulnya sendirian. Kalau kamu merasa terbebani atau sedih, aku ada di sini. Kamu nggak sendiri.”
Clarisa merasakan kehangatan dari genggaman tangan Adrian, yang membuatnya sedikit lebih kuat. Ia mengangguk perlahan, berusaha untuk percaya bahwa semua ini mungkin bisa mereka lalui bersama.
Setelah beberapa saat hening, Adrian perlahan kembali menjalankan mobil, tapi suasana di dalam tetap terasa tegang. Clarisa menarik napas, berusaha menenangkan perasaan gelisah yang kembali menyergap. Kata-kata dokter beberapa waktu lalu terngiang-ngiang di pikirannya, bahwa kemungkinan dia untuk hamil memang ada, tapi sangat kecil. Wanita itu menelan ludah, tenggorokannya terasa tercekat memikirkan semua ini.
“Sayang… aku nggak bisa berhenti memikirkan apa yang dokter katakan waktu itu,” ucapnya pelan, suaranya terdengar goyah. “Dokter bilang peluang aku hamil itu ada, tapi sangat kecil. Dan aku… aku takut kalau kamu kecewa, kalau kita nggak bisa punya anak…”
Adrian terdiam sejenak, mencoba memilih kata-kata yang tepat. Dengan lembut, ia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Clarisa yang terasa dingin dengan tangannya yang bebas.
“Sayang, dengar,” ucap Adrian dengan suara pelan namun penuh kehangatan. “Aku menikah sama kamu bukan karena ingin kamu memenuhi harapan orang lain atau beban apa pun. Aku menikah dengan kamu karena aku cinta kamu, bukan karena alasan lain.”
Clarisa menatap suaminya dengan mata yang mulai berkaca-kaca, merasa betapa tulusnya perasaan Adrian. Namun, ia tetap merasa tersudut oleh kenyataan pahit yang harus mereka hadapi bersama.
“Aku juga ingin punya anak, Clarisa,” lanjut Adrian dengan nada yang lebih lembut, “tapi bukan berarti kalau kita nggak punya anak, kita nggak bisa bahagia. Aku nggak akan kecewa atau meninggalkan kamu hanya karena hal ini. Kita tetap bisa punya hidup yang penuh makna dan kebahagiaan, apapun yang terjadi nanti.”
Clarisa menggigit bibirnya, merasakan air mata mengalir perlahan di pipinya. Ada perasaan hangat yang menjalar di dadanya mendengar kata-kata Adrian. Pria di hadapannya ini tak hanya mencintainya, tapi juga menerimanya seutuhnya, dengan segala kelemahan dan ketakutannya.
“Aku takut, Mas… aku takut kalau kita nggak punya anak, aku nggak akan bisa jadi istri yang baik buat kamu. Apalagi orang tuamu”
Adrian menggeleng pelan dan mendekatkan dirinya, tetap memegang tangan Clarisa dengan erat. “Kamu adalah istri yang luar biasa, Sayang. Bukan anak atau harapan orang lain yang menentukan itu. Kamu sudah memberi aku kebahagiaan yang nggak bisa diukur dengan apapun. Dan kalau nanti kita bisa punya anak, itu adalah bonus dari Tuhan. Kalau pun tidak, kita tetap punya satu sama lain, kan?”
Clarisa mengangguk, menatap Adrian dengan penuh rasa syukur. Kata-kata suaminya membangkitkan perasaan damai dalam dirinya, walau mungkin itu hanya sejenak.
Adrian dan Clarisa bertemu di sebuah acara pernikahan yang meriah dan penuh kemewahan delapan tahu lalu. Mereka menghadiri pesta pernikahan seorang teman dekat. Clarisa datang sebagai tamu istimewa, wajahnya yang dikenal sebagai aktris terkenal membuat beberapa tamu berbisik kagum, bahkan tak sedikit yang meminta foto bersama. Dia hadir dengan gaun elegan berwarna merah marun yang memancarkan pesonanya, senyum ramahnya tak pernah pudar meski dikelilingi oleh banyak orang.
Adrian, berusia dua puluh lima tahun saat itu, datang bersama beberapa kolega bisnisnya. Penampilannya yang tenang dan berwibawa menarik perhatian tamu-tamu di sekitar, walau ia bukan sosok yang banyak dikenal publik seperti Clarisa. Sebagai seorang pengusaha muda yang telah membantu mengelola bisnis keluarganya di bidang pertambangan, real estate, dan konstruksi, Adrian adalah sosok yang sibuk namun selalu bersikap rendah hati. Penampilannya yang rapi dan caranya berbicara yang sopan membuat banyak orang di sekitarnya merasa nyaman.
Saat pesta berlangsung, mereka tak sengaja saling melihat dari kejauhan. Clarisa menyadari sosok Adrian yang berbeda dari tamu lainnya, ada aura percaya diri yang terpancar dari pria itu, tapi tidak mencolok atau berlebihan. Ketika acara berlanjut dan mereka akhirnya bertemu di meja prasmanan, Adrian memperkenalkan diri dengan sopan, dan Clarisa membalasnya dengan senyuman hangat.
Percakapan mereka berlanjut dengan ringan, mengalir tanpa hambatan. Adrian dan Clarisa berbicara tentang banyak hal, dari dunia hiburan yang penuh dinamika, sampai bisnis yang Adrian geluti. Clarisa yang biasanya sibuk dengan jadwal syuting merasa terkesan dengan ketenangan Adrian saat bercerita tentang bisnis keluarganya. Di sisi lain, Adrian menikmati sikap rendah hati dan humor Clarisa, jauh dari bayangan glamor yang sering melekat pada seorang aktris.
Dan hubungan mereka berjalan dengan sempurna hingga sekarang.
Clarisa menggulir layar ponselnya dengan serius, matanya fokus pada berbagai pilihan yang muncul. Di sebelahnya, Tiara duduk dengan tenang, memperhatikan tanpa banyak bicara. Sementara itu, Indah, yang ikut membantu, sesekali mengangguk atau memberi masukan.Clarisa lalu mengarahkan ponselnya ke Indah, meminta pendapatnya soal warna dan tekstur dari perut palsu yang hendak dibeli. "Ini kayaknya mirip banget sama kulit manusia, kan?" tanyanya, memastikan.Indah mengamati layar sebelum mengangguk. "Iya, Bu, ini kelihatannya paling realistis."Tiara tetap diam, tapi ia sudah bisa menebak apa yang Clarisa lakukan. Ketika Indah mengambil meteran dan mulai mengukur perutnya atas permintaan Clarisa, Tiara hanya menarik napas pelan. Ia tahu ini semua adalah bagian dari rencana Clarisa.Clarisa menyerahkan ponselnya kepada Indah setelah memastikan pilihan yang diinginkannya. Ia menyuruh Indah untuk segera memesankan perut kehamilan palsu itu dan mengatur agar pembayarannya dilakukan secara COD
Saat sarapan pagi itu, suasana terasa canggung di antara Adrian dan Clarisa. Mereka duduk berhadapan di meja makan yang tertata rapi, hanya ditemani suara dentingan sendok dan garpu. Tidak ada percakapan, tidak ada basa-basi. Clarisa masih kesal dengan suaminya itu, tetapi ia memilih untuk diam. Tiara tidak ikut, ia bilang sarapan nanti dulu karena sudah makan bubur yang dibelikan Bi Susi sebelumnya.Adrian juga tidak berusaha memulai pembicaraan. Ia hanya menikmati makanannya dengan tenang, seolah tidak ada yang terjadi. Iya tidak ingin bertengkar dengan Clarisa, membiarkan istrinya itu agar lebih tenang sehingga hilang sendiri kemarahannya.Hingga akhirnya, pandangan Clarisa jatuh ke pipi kanan Adrian yang tampak lebam. Dahinya berkerut, jelas heran dan sedikit terkejut."Apa itu?" tanyanya akhirnya, suaranya datar tapi cukup tajam.Adrian berhenti mengunyah, sedikit mengangkat alisnya. "Apa?""Pipimu," Clarisa mengarahkan pandangannya ke lebam di wajah Adrian. "Kenapa bisa begitu?"
Saat mobil Adrian memasuki halaman rumah, Tiara segera membuka sabuk pengamannya. Ia sedikit lelah setelah hari yang panjang, dan ia ingin segera masuk ke kamarnya untuk beristirahat.Adrian pun turun dari mobil dan berjalan masuk bersama Tiara. Seperti biasa, rumah terasa tenang, hanya ada suara samar dari aquarium ikan di ruang keluarga.Tiara langsung menuju kamarnya, sementara Adrian juga menaiki tangga menuju kamarnya sendiri. Ia berencana untuk mengganti pakaian dan mungkin beristirahat sebentar sebelum makan malam. Namun, begitu membuka pintu kamar, ia langsung terhenti.Clarisa sudah ada di sana, duduk di tepi ranjang dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya menunjukkan ekspresi kesal yang sulit disembunyikan. Matanya menatap tajam ke arah Adrian begitu pria itu masuk ke kamar.Adrian mengerutkan kening. Ia tidak menyangka Clarisa sudah pulang. Biasanya, istrinya belum di rumah jam segini. "Kamu sudah pulang?" tanyanya pelan, mencoba membaca situasi.Clarisa tidak langsung men
Setelah beberapa meter berkendara, Adrian membelokkan mobilnya ke pinggir jalan yang tenang, jauh dari keramaian. Ia mematikan mesin, lalu menoleh ke arah Tiara.Tiara masih menunduk, bahunya sedikit bergetar, matanya menatap kosong ke pangkuannya.Tanpa berkata apa-apa, Adrian meraih Tiara dan menariknya ke dalam pelukannya. Tiara tidak menolak. Justru saat itu juga pertahanannya runtuh. Ia kembali menangis di dekapan Adrian.Adrian mengusap punggungnya perlahan, membiarkan Tiara meluapkan segalanya. Ia tidak bicara, hanya memeluk erat, memberi kehangatan dan perlindungan.Setelah beberapa saat, isak tangis Tiara mulai mereda. Napasnya masih tersengal sedikit, tapi ia berusaha menguasai dirinya. Adrian tetap diam, memberinya waktu, membiarkan Tiara menangis tanpa tergesa-gesa. Ia hanya menggenggam tangannya erat, sebagai bentuk dukungan tanpa kata-kata.Setelah cukup tenang, Adrian menatap wajah Tiara dengan lembut. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya pelan.Tiara menggeleng tanpa suara.
Malam ini, sesuai rencana, Tiara pergi ke dokter kandungan untuk pemeriksaan rutinnya. Sejak pagi, Adrian sudah memutuskan bahwa ia tidak peduli jika Clarisa marah atau kesal. Baginya, yang terpenting adalah memastikan Tiara dan bayinya baik-baik saja. Lagipula, ia hanya akan menunggu di dalam mobil, tidak akan ikut masuk ke ruangan dokter. Itu sudah cukup baginya, atau setidaknya, ia mencoba meyakinkan dirinya begitu.Di dalam perjalanan, Tiara duduk diam di kursi penumpang, sesekali melirik Adrian yang fokus menyetir. Ia tahu Clarisa akan tidak suka jika tahu suaminya tetap mengantarnya, ia pun sudah sempat menolaknya sebelum berangkat ke sini, namun Adrian cukup keras kepala. Jadi, ia memilih untuk tidak membahasnya.Setibanya di klinik, Adrian memarkir mobil di sudut parkiran yang tidak terlalu mencolok, seperti beberapa bulan lalu Tiara melepas sabuk pengamannya, lalu menoleh ke Adrian. "Mas, aku masuk dulu."Adrian mengangguk. "Iya, Tiara, kamu hati-hati ya."Tiara mengangguk pe
Siang itu, Clarisa memutuskan untuk mengunjungi kantor Adrian. Sudah lama ia tidak mampir ke sana, dan hari ini, karena tidak ada jadwal syuting di sore hari, ia merasa ini waktu yang tepat. Dengan langkah santai, ia memasuki gedung perkantoran yang sudah tak asing lagi baginya. Beberapa karyawan langsung menyapa dengan sopan.“Selamat siang, Ibu Clarisa,” ucap salah satu resepsionis dengan senyuman ramah.Clarisa membalas senyum itu. “Selamat siang. Pak Adrian ada di ruangannya, kan?” tanyanya sambil berjalan menuju lift.“Seharusnya ada, Bu,” jawab resepsionis itu sebelum Clarisa melangkah masuk ke lift.Saat tiba di lantai tempat Adrian bekerja, Clarisa menuju ruang kerja suaminya. Namun, begitu pintu terbuka, ia mendapati ruangan itu kosong. Tidak ada Adrian di sana.Ia berdiri sejenak, mencoba menghubungi Adrian melalui ponselnya, tetapi panggilan itu tidak diangkat. Dengan sedikit rasa penasaran yang bercampur kesal, Clarisa keluar dari ruangan Adrian dan melangkah menuju ruanga