Share

Bab 3

Author: Vivy Yu
last update Last Updated: 2025-05-06 12:09:55

Rendra melajukan motornya perlahan, menembus jalan-jalan kecil kompleks perumahan sederhana yang mulai sepi di malam itu. Tiara duduk dengan nyaman di belakangnya, memeluknya erat untuk menghalau dingin malam. Setelah beberapa menit, mereka tiba di depan rumah kecil tempat tinggal Tiara bersama keluarganya.

Rumah Tiara terletak di sudut kompleks yang cukup sepi dan sederhana. Bangunan satu lantai itu terlihat rapi meski tampak sederhana dari luar. Cat tembok yang mulai memudar, pagar besi rendah yang sedikit berkarat, serta taman kecil di halaman depan menunjukkan kesederhanaan kehidupan keluarga Tiara. Di sudut taman, ada beberapa pot tanaman bunga yang disusun rapi, ditanam dan dirawat oleh dirinya dan keponakannya.

Lampu depan rumah menyala redup, menerangi sebagian halaman kecil yang dihiasi dengan lampu gantung sederhana. Tak ada kemewahan, namun rumah ini terasa hangat dan nyaman bagi Tiara. Rendra menghentikan motornya, lalu membantu Tiara turun.

“Terima kasih ya, Mas,” ucap Tiara sambil tersenyum manis.

Rendra tersenyum, menatap Tiara dengan lembut. “Sama-sama, Sayang. Kapan-kapan, kalau aku lagi libur, kita jalan-jalan lagi yang lebih lama, ya?”

Tiara mengangguk sambil melepaskan helmnya. Meskipun mereka hidup dalam keterbatasan, ia dan Rendra selalu berusaha membuat momen-momen kecil yang bermakna, tak peduli betapa sederhananya.

“Ya sudah, kamu masuk sana. Kasih salam buat keluargamu ya,” ujar Rendra sambil kembali mengenakan helmnya.

Tiara melambaikan tangan, menunggu sampai motor Rendra hilang di kejauhan sebelum masuk ke dalam rumah.

Saat Tiara mendekati pintu gerbang rumah, langkahnya melambat. Di bawah cahaya lampu jalan  yang redup, ia baru menyadari beberapa motor besar yang terparkir di dekat rumahnya, sebagian tersamarkan oleh bayangan pohon. Jantungnya berdebar kencang, dan perasaan cemas mulai merayap. Motor-motor itu bukan milik kakaknya, dan ia tahu betul siapa yang mungkin datang jika bukan keluarga atau teman.

Beberapa tahun terakhir, keluarga Tiara memang terjebak dalam situasi sulit karena hutang ayah dan kakaknya, yang telah berulang kali didatangi oleh para penagih hutang yang tak kenal kompromi. Beberapa kali, ayahnya telah berusaha melunasi sebagian, namun beban utang itu terlalu besar untuk segera terbayar. Setiap kali para penagih hutang datang, mereka tidak hanya menagih dengan keras, tetapi juga meninggalkan ancaman yang membuat semua orang di rumahnya was-was. Tiara masih ingat malam-malam penuh ketegangan saat ayahnya bernegosiasi dan mencoba menenangkan mereka agar mereka tak mengganggu keluarganya.

Tiara merapatkan jaketnya, berusaha menenangkan diri sejenak sebelum melangkah lebih dekat. Ia tahu jika ia menunjukkan tanda-tanda ketakutan atau ingin lari, itu mungkin hanya akan memperparah keadaan. Namun, rasa takut tak bisa sepenuhnya ia singkirkan. Jika benar mereka adalah para penagih hutang, ia tahu ia harus menghadapi situasi itu dengan tenang. Berbagai pikiran berkecamuk dalam benaknya, terutama bagaimana melindungi ayahnya yang sudah menua.

Mengambil napas dalam-dalam, Tiara berjalan pelan, berharap bahwa jika para penagih itu melihat dirinya, mungkin mereka akan menurunkan nada bicara mereka atau, setidaknya, memperlakukan keluarganya dengan sedikit lebih sopan. Perlahan, ia membuka pintu, berharap bisa masuk tanpa menarik perhatian, namun tetap waspada terhadap suara-suara dari dalam rumah.

Tiara berdiri terpaku di ambang pintu, menyaksikan pemandangan yang mengejutkan di ruang tamu rumahnya. Ayah dan kakaknya terlihat terduduk lemas di lantai, dikelilingi oleh empat pria bertubuh kekar dengan tatapan garang. Salah satu dari mereka, yang sepertinya adalah pemimpin kelompok itu, berbicara dengan nada tajam dan mengancam.

“Kalian sudah kehabisan waktu. Bos tidak sabar lagi,” ucap pria itu dingin. “Kalian tahu kesepakatannya, kan? Kalian janji akan menyerahkan anak gadis kalian pada bos kami. Bisa untuk kepentingan pribadi, atau mungkin untuk teman-teman bos besar lainnya.”

Tiara merasa darahnya berdesir. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hatinya. Ia tahu utang keluarga mereka sangat besar, namun tidak pernah terbayangkan bahwa ayah dan kakaknya bisa berani membuat kesepakatan seperti itu, yang melibatkan dirinya sebagai jaminan. Pandangannya beralih ke ayahnya, yang hanya bisa menunduk dalam ketakutan, dan kakaknya, yang tampak tak berdaya dan menahan napas. Tatapan mereka kosong, seakan menerima bahwa mereka tak punya pilihan lain.

“Apa? apakah itu benar, kalian tega menyerahkan aku sama mereka?” tanya Tiara dengan suara lirih, penuh dengan rasa sakit dan pengkhianatan yang mendalam.

Ayahnya mengangkat pandangannya, matanya dipenuhi rasa bersalah. “Tiara… kami terpaksa. Kami tidak tahu lagi harus bagaimana. Bos mereka mengancam…”

Sebelum ayahnya bisa menyelesaikan ucapannya, salah satu preman itu membentak, “Banyak bicara lagi, atau kami paksa kalian serahkan anak ini sekarang juga!” Tatapannya berpindah ke arah Tiara, seakan menilai seberapa ‘berguna’ dirinya untuk rencana kotor mereka.

Tiara terdiam, merasakan keterpurukan yang mendalam. Perasaan cemas dan takut menguasai dirinya, tetapi di balik semua itu, ada percikan keberanian yang muncul. Ia tahu jika ia tidak berani melawan atau mengambil sikap, hidupnya akan direnggut begitu saja oleh mereka yang hanya peduli pada kepentingan mereka sendiri.

Mengumpulkan keberanian, Tiara melangkah maju. “Aku tidak akan mau dijual untuk menebus kesalahan orang lain,” katanya tegas, berusaha untuk tidak menunjukkan ketakutan di hadapan para preman itu. Meski dalam hatinya ia merasa cemas, ia tahu bahwa mempertahankan martabat dan hidupnya adalah segalanya.

Namun, sebelum ia bisa bertindak lebih jauh, pemimpin preman itu tersenyum miring, seakan menertawakan keberanian Tiara yang dianggap sia-sia. “Gadis manis, kau pikir kau punya pilihan?” ujar pria itu dengan tatapan mengejek dan menuju ke arahnya. Sontak Tiara langsung mundur dan  pergi keluar rumah. Diikuti para preman tersebut.

Tiara berlari secepat mungkin, kakinya menjejak tanah dengan suara langkah yang cepat dan tak teratur. Rasa panik merambat dari ujung kepala hingga kakinya, menguasai dirinya seiring dengan suara langkah kaki para preman yang mengejarnya semakin mendekat. Nafasnya terengah-engah, jantungnya berdetak cepat, namun tekadnya lebih kuat dari rasa lelah yang mulai terasa di seluruh tubuh. Tiara tahu, jika ia berhenti walau sejenak, maka mimpi buruk yang paling ia takutkan akan segera menjadi kenyataan.

Di tengah rasa cemas dan panik, hatinya terasa sakit mengingat apa yang terjadi barusan. Selama ini, Tiara sudah rela bekerja siang dan malam, menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah demi keluarganya. Ia tak pernah mengeluh, meski harus meninggalkan impian dan kehidupan pribadinya, karena ia percaya bahwa keluarga adalah segalanya. Namun kini, segalanya berubah dalam sekejap. Betapa menyakitkannya mengetahui bahwa orang-orang yang ia cintai dan ia korbankan hidupnya untuk mereka, ayahnya dan kakaknya sendiri, ternyata tak segan mengorbankannya, menyerahkannya demi melunasi hutang yang mereka timbun dengan gaya hidup yang buruk dan merusak.

Ayahnya, pria berusia lima puluh enam tahun itu, yang selama ini tak pernah bisa lepas dari kecanduan judi, mabuk-mabukan, dan bermain wanita, selalu menjadi sumber masalah bagi keluarga. Begitu pula dengan kakaknya, yang mengikuti jejak buruk ayah mereka tanpa memikirkan dampaknya pada keluarga. Tiara selalu berharap suatu saat mereka akan berubah, akan sadar dan memulai hidup baru tanpa hutang yang terus bertambah. Namun, malam ini semua harapannya hancur. Tidak hanya karena mereka masih saja berhutang, tetapi karena kali ini hutang itu akan ditukar dengan dirinya.

Tiba-tiba, ia tersadar dari ingatan sesaat itu ketika suara salah satu pria di belakangnya semakin keras. “Berhenti! Tak ada gunanya lari, gadis kecil!” teriak salah satu preman, suaranya menggema di sepanjang jalan yang sunyi itu.

Tiara tak berani menoleh ke belakang. Ia mempercepat langkahnya, berusaha mengabaikan kelelahan yang mulai menggerogoti tubuhnya. Saat pandangannya menyapu jalanan di depannya, ia melihat sebuah gang kecil yang gelap di sisi kiri jalan. Dengan cepat, Tiara berbelok ke arah gang itu, berharap bisa menemukan tempat untuk bersembunyi atau setidaknya mengulur waktu agar para pengejarnya kehilangan jejak.

Gang itu sempit, penuh dengan tumpukan kardus dan beberapa tong sampah yang baunya menusuk hidung. Namun, Tiara tidak punya pilihan. Ia terus berlari, berharap tidak ada yang melihatnya masuk ke sana. Langkah-langkah kaki para preman terdengar semakin samar, membuatnya merasa sedikit lega. Ia mendekatkan dirinya ke tembok, menahan napas agar suaranya tak terdengar, sementara pikirannya berputar mencari cara untuk melarikan diri.

Di tengah ketakutannya, ia bertanya-tanya dalam hati, “Apa yang harus kulakukan? Ke mana aku harus pergi?” Sambil mencoba menenangkan dirinya, ia berusaha memikirkan solusi yang realistis. Namun, rasa sakit di hatinya begitu dalam, membuatnya sulit berkonsentrasi. Bagaimana mungkin keluarganya tega membuat kesepakatan yang begitu kejam? Ayah dan kakaknya tahu bahwa ia sangat bergantung pada pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan mereka, namun mereka memilih jalan pintas yang menghancurkan masa depan dan harga dirinya.

Tak lama kemudian, salah satu preman terlihat di ujung gang, dan Tiara panik. Ia bergerak perlahan ke belakang, mencari bayangan yang bisa menyamarkannya. Preman itu melangkah masuk lebih dalam, seakan meneliti setiap sudut gang untuk mencari dirinya. Jantung Tiara kembali berdegup kencang, setiap suara langkah preman itu membuatnya semakin was-was.

Hal yang ia takutkan terjadi, pria itu melihatnya, wajah pria itu langsung berubah penuh kemenangan, seolah menemukan mangsa yang sudah lama dikejarnya. “Nah, ketemu juga kamu, cantik,” ujarnya sambil berjalan mendekat, ekspresi wajahnya mengancam. Tanpa berpikir panjang, Tiara segera memutar badan dan berlari lagi, kali ini lebih cepat dari sebelumnya. Kakinya berlari sekuat tenaga, memacu dirinya hingga napasnya tersengal, tetapi ketakutan yang menguasai dirinya jauh lebih kuat dari rasa lelah yang mulai menyerang.

Tiara berlari hingga mencapai jalan raya yang penuh dengan kendaraan yang melintas dengan kecepatan tinggi. Ia melihat kanan-kiri, mencoba mencari jalan atau kesempatan untuk melarikan diri, tetapi perasaan panik membuat pikirannya kosong, tidak bisa fokus. Dalam kebingungan dan ketakutan, ia memutuskan untuk menyeberang tanpa memerhatikan kendaraan yang melaju di jalan. Detik berikutnya, suara klakson mobil yang keras mengejutkannya. Dari sudut matanya, ia melihat sebuah mobil melaju cepat, langsung menuju ke arahnya.

Tiara terpaku, tubuhnya kaku karena terkejut, tidak sempat menghindar...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 48

    Clarisa menggulir layar ponselnya dengan serius, matanya fokus pada berbagai pilihan yang muncul. Di sebelahnya, Tiara duduk dengan tenang, memperhatikan tanpa banyak bicara. Sementara itu, Indah, yang ikut membantu, sesekali mengangguk atau memberi masukan.Clarisa lalu mengarahkan ponselnya ke Indah, meminta pendapatnya soal warna dan tekstur dari perut palsu yang hendak dibeli. "Ini kayaknya mirip banget sama kulit manusia, kan?" tanyanya, memastikan.Indah mengamati layar sebelum mengangguk. "Iya, Bu, ini kelihatannya paling realistis."Tiara tetap diam, tapi ia sudah bisa menebak apa yang Clarisa lakukan. Ketika Indah mengambil meteran dan mulai mengukur perutnya atas permintaan Clarisa, Tiara hanya menarik napas pelan. Ia tahu ini semua adalah bagian dari rencana Clarisa.Clarisa menyerahkan ponselnya kepada Indah setelah memastikan pilihan yang diinginkannya. Ia menyuruh Indah untuk segera memesankan perut kehamilan palsu itu dan mengatur agar pembayarannya dilakukan secara COD

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 47

    Saat sarapan pagi itu, suasana terasa canggung di antara Adrian dan Clarisa. Mereka duduk berhadapan di meja makan yang tertata rapi, hanya ditemani suara dentingan sendok dan garpu. Tidak ada percakapan, tidak ada basa-basi. Clarisa masih kesal dengan suaminya itu, tetapi ia memilih untuk diam. Tiara tidak ikut, ia bilang sarapan nanti dulu karena sudah makan bubur yang dibelikan Bi Susi sebelumnya.Adrian juga tidak berusaha memulai pembicaraan. Ia hanya menikmati makanannya dengan tenang, seolah tidak ada yang terjadi. Iya tidak ingin bertengkar dengan Clarisa, membiarkan istrinya itu agar lebih tenang sehingga hilang sendiri kemarahannya.Hingga akhirnya, pandangan Clarisa jatuh ke pipi kanan Adrian yang tampak lebam. Dahinya berkerut, jelas heran dan sedikit terkejut."Apa itu?" tanyanya akhirnya, suaranya datar tapi cukup tajam.Adrian berhenti mengunyah, sedikit mengangkat alisnya. "Apa?""Pipimu," Clarisa mengarahkan pandangannya ke lebam di wajah Adrian. "Kenapa bisa begitu?"

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 46

    Saat mobil Adrian memasuki halaman rumah, Tiara segera membuka sabuk pengamannya. Ia sedikit lelah setelah hari yang panjang, dan ia ingin segera masuk ke kamarnya untuk beristirahat.Adrian pun turun dari mobil dan berjalan masuk bersama Tiara. Seperti biasa, rumah terasa tenang, hanya ada suara samar dari aquarium ikan di ruang keluarga.Tiara langsung menuju kamarnya, sementara Adrian juga menaiki tangga menuju kamarnya sendiri. Ia berencana untuk mengganti pakaian dan mungkin beristirahat sebentar sebelum makan malam. Namun, begitu membuka pintu kamar, ia langsung terhenti.Clarisa sudah ada di sana, duduk di tepi ranjang dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya menunjukkan ekspresi kesal yang sulit disembunyikan. Matanya menatap tajam ke arah Adrian begitu pria itu masuk ke kamar.Adrian mengerutkan kening. Ia tidak menyangka Clarisa sudah pulang. Biasanya, istrinya belum di rumah jam segini. "Kamu sudah pulang?" tanyanya pelan, mencoba membaca situasi.Clarisa tidak langsung men

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 45

    Setelah beberapa meter berkendara, Adrian membelokkan mobilnya ke pinggir jalan yang tenang, jauh dari keramaian. Ia mematikan mesin, lalu menoleh ke arah Tiara.Tiara masih menunduk, bahunya sedikit bergetar, matanya menatap kosong ke pangkuannya.Tanpa berkata apa-apa, Adrian meraih Tiara dan menariknya ke dalam pelukannya. Tiara tidak menolak. Justru saat itu juga pertahanannya runtuh. Ia kembali menangis di dekapan Adrian.Adrian mengusap punggungnya perlahan, membiarkan Tiara meluapkan segalanya. Ia tidak bicara, hanya memeluk erat, memberi kehangatan dan perlindungan.Setelah beberapa saat, isak tangis Tiara mulai mereda. Napasnya masih tersengal sedikit, tapi ia berusaha menguasai dirinya. Adrian tetap diam, memberinya waktu, membiarkan Tiara menangis tanpa tergesa-gesa. Ia hanya menggenggam tangannya erat, sebagai bentuk dukungan tanpa kata-kata.Setelah cukup tenang, Adrian menatap wajah Tiara dengan lembut. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya pelan.Tiara menggeleng tanpa suara.

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 44

    Malam ini, sesuai rencana, Tiara pergi ke dokter kandungan untuk pemeriksaan rutinnya. Sejak pagi, Adrian sudah memutuskan bahwa ia tidak peduli jika Clarisa marah atau kesal. Baginya, yang terpenting adalah memastikan Tiara dan bayinya baik-baik saja. Lagipula, ia hanya akan menunggu di dalam mobil, tidak akan ikut masuk ke ruangan dokter. Itu sudah cukup baginya, atau setidaknya, ia mencoba meyakinkan dirinya begitu.Di dalam perjalanan, Tiara duduk diam di kursi penumpang, sesekali melirik Adrian yang fokus menyetir. Ia tahu Clarisa akan tidak suka jika tahu suaminya tetap mengantarnya, ia pun sudah sempat menolaknya sebelum berangkat ke sini, namun Adrian cukup keras kepala. Jadi, ia memilih untuk tidak membahasnya.Setibanya di klinik, Adrian memarkir mobil di sudut parkiran yang tidak terlalu mencolok, seperti beberapa bulan lalu Tiara melepas sabuk pengamannya, lalu menoleh ke Adrian. "Mas, aku masuk dulu."Adrian mengangguk. "Iya, Tiara, kamu hati-hati ya."Tiara mengangguk pe

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 43

    Siang itu, Clarisa memutuskan untuk mengunjungi kantor Adrian. Sudah lama ia tidak mampir ke sana, dan hari ini, karena tidak ada jadwal syuting di sore hari, ia merasa ini waktu yang tepat. Dengan langkah santai, ia memasuki gedung perkantoran yang sudah tak asing lagi baginya. Beberapa karyawan langsung menyapa dengan sopan.“Selamat siang, Ibu Clarisa,” ucap salah satu resepsionis dengan senyuman ramah.Clarisa membalas senyum itu. “Selamat siang. Pak Adrian ada di ruangannya, kan?” tanyanya sambil berjalan menuju lift.“Seharusnya ada, Bu,” jawab resepsionis itu sebelum Clarisa melangkah masuk ke lift.Saat tiba di lantai tempat Adrian bekerja, Clarisa menuju ruang kerja suaminya. Namun, begitu pintu terbuka, ia mendapati ruangan itu kosong. Tidak ada Adrian di sana.Ia berdiri sejenak, mencoba menghubungi Adrian melalui ponselnya, tetapi panggilan itu tidak diangkat. Dengan sedikit rasa penasaran yang bercampur kesal, Clarisa keluar dari ruangan Adrian dan melangkah menuju ruanga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status