Adrian yang sedang menyetir dengan tenang tiba-tiba harus mengerem mendadak. Siluet seseorang muncul di depan mobilnya, membuat jantungnya berdegup kencang. Dengan cepat ia menoleh ke arah Clarisa yang duduk di sebelahnya, wajahnya tampak khawatir. Tanpa pikir panjang, Adrian dan Clarisa membuka pintu mobil dan bergegas keluar untuk melihat kondisi orang tersebut.
Di depan mobil, seorang wanita muda tergeletak pingsan di aspal, mengenakan celana jeans, kaos, dan jaket berwarna navy. Wajahnya pucat, nafasnya terengah, seolah baru mengalami kejadian yang menegangkan. Adrian dan Clarisa saling bertatapan bingung, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Dari kondisi mobil, tampak jelas bahwa kendaraan mereka tak sampai menabrak wanita ini. Tetapi mungkin karena kaget atau kelelahan, dia jatuh pingsan begitu saja tepat di hadapan mereka.
Clarisa berlutut di sisi wanita itu, mencoba menggoyangkan bahunya sedikit sambil memeriksa nadinya. "Sayang, dia masih hidup... tapi lemah sekali," gumamnya, nada suaranya penuh simpati. Adrian segera mengeluarkan ponselnya, bersiap menghubungi bantuan medis, tetapi ragu sejenak.
"Sepertinya dia tidak terluka parah, mungkin hanya kelelahan atau ketakutan. Kita bawa dia ke rumah sakit atau... apakah kita tunggu sampai dia sadar?" tanya Adrian, suara tenang namun tetap khawatir. Clarisa mengangguk, masih memperhatikan wajah pucat wanita yang tergeletak itu, bertanya-tanya apa yang bisa membuat seseorang berlari secepat itu sampai kehilangan kesadaran di jalan raya.
Dari kejauhan, keempat pria yang tadi mengejar Tiara berhenti mendadak, mata mereka tertuju pada sosok Tiara yang kini dikelilingi dua orang di depan sebuah mobil. Salah satu pria mendecakkan lidahnya dengan kesal, merasa upaya mereka sia-sia. Namun, saat menyadari bahwa mereka bisa saja menarik perhatian, ketegangan merambat di wajah-wajah mereka.
“Bro, mending kita balik aja,” bisik salah satu pria, tatapannya masih awas memperhatikan sekeliling, takut ada orang yang mengenali mereka. “Kalau sampai ada yang lihat kita tadi ngejar dia di jalan, bisa ribet urusannya.”
Pria yang lain mengangguk setuju, tatapan matanya penuh kecemasan. "Iya, apalagi kalau mereka lapor polisi. Kita bisa dicari-cari nanti," ujarnya, sambil melirik ke arah mobil yang berhenti tak jauh dari tempat mereka berdiri.
Pemimpin kelompok itu, yang tadi tampak paling berani dan vokal, kini ikut diliputi keraguan. Setelah memikirkan risiko, dia mendengus kesal sambil berkata, “Ya udah, mending kita balik aja sekarang. Nanti kita lapor ke bos, mungkin bisa dicari lagi di lain waktu.” Akhirnya dengan langkah tergesa, keempat pria itu segera berbalik dan menjauh dari tempat kejadian, menghilang ke dalam bayang-bayang jalanan yang semakin sepi.
Adrian kembali menyetir, tetapi pikirannya terfokus pada wanita yang kini terbaring lemah di kursi belakang. Clarisa juga menunjukkan kekhawatiran yang sama. Suasana di dalam mobil terasa sunyi, dan keduanya saling bertukar pandang, bingung harus bagaimana.
"Menurutmu, lebih baik kita bawa dia ke rumah sakit atau ke rumah kita saja untuk sementara?" Adrian bertanya, menyeimbangkan pandangan antara jalanan dan istrinya.
Clarisa berpikir sejenak sebelum menjawab, “Kalau dia tidak terluka dan mungkin hanya kelelahan, aku rasa lebih baik kita bawa ke rumah saja dulu, Mas. Rumah kita lebih dekat, dan kalau dia masih tidak sadar, kita bisa langsung membawanya ke rumah sakit nanti.”
Adrian mengangguk, setuju dengan usulan itu. “Baiklah, ke rumah saja, ya. Lagipula, siapa tahu dia sadar dalam perjalanan.”
Clarisa menoleh ke kursi belakang, memperhatikan wajah pucat Tiara. Wanita itu masih tertidur lelap, atau mungkin masih dalam kondisi pingsan, namun pernapasannya mulai terlihat stabil. Mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah, berharap bahwa keputusan mereka tepat.
Begitu sampai di rumah, Adrian segera meminta bantuan satpam untuk mengangkat Tiara dari mobil dan membawanya ke sofa di ruang tamu. Dengan sigap, satpam rumah tersebut membantu menurunkan Tiara dengan hati-hati, memastikan ia dibaringkan dengan nyaman. Adrian memperhatikan setiap gerakan untuk memastikan Tiara tidak terluka lebih jauh, sementara Clarisa menyiapkan beberapa bantal di sofa untuk menopang tubuh Tiara yang masih lemah.
Setelah memastikan Tiara berbaring dengan baik, Adrian memanggil satpam lagi, kali ini memintanya mencari minyak kayu putih. “Tolong ambilkan minyak kayu putih dari dapur atau di kotak obat. Mungkin bisa membantu dia siuman,” ujarnya dengan suara rendah namun penuh ketenangan. Satpam tersebut segera pergi mencari minyak kayu putih, sementara Adrian dan Clarisa tetap berdiri di dekat Tiara, memperhatikan dengan cemas, berharap wanita itu segera sadar.
Sementara itu di rumah Tiara yang kini terasa sunyi, Naura, keponakan Tiara yang baru berusia 9 tahun, terduduk di sudut ruang tamu sambil terisak. Matanya masih basah oleh air mata, tetapi sorot kemarahan yang jarang terlihat di wajahnya begitu jelas terpancar malam ini. Ia baru saja menyaksikan kejadian yang membuatnya terpukul, walau mungkin belum sepenuhnya paham dengan detailnya, Naura bisa merasakan ketidakadilan yang terjadi terhadap tante kesayangannya, Tiara.
Dengan suara yang bergetar dan penuh kemarahan, Naura akhirnya mendekati ayahnya dan kakeknya, yang kini tengah duduk di ruang tamu, terlihat kesal karena Tiara berhasil kabur. Naura memelototi mereka berdua, mengingat-ingat kata-kata kasar yang didengar dari para pria itu tentang rencana jahat yang ditujukan kepada Tiara. “Ayah jahat! Kakek juga jahat! Kenapa kalian begitu sama Tante Tiara?” Naura menangis sambil menuding ke arah mereka, perasaannya campur aduk antara takut dan marah. Walau tubuhnya kecil dan lemah dibandingkan mereka, keberanian yang muncul dari rasa sayang kepada Tiara membuatnya tak gentar untuk membela tantenya.
Kakak dan ayah Tiara terkejut, tidak menyangka bahwa Naura akan melontarkan keberanian semacam itu. Mereka tidak segera membalas perkataan Naura, hanya terdiam sesaat, mungkin merasa malu atau tertegun melihat betapa anak sekecil itu bisa memahami bahwa tindakan mereka salah. Namun, wajah-wajah itu tidak menunjukkan rasa penyesalan, hanya kebingungan atas keberanian Naura yang mendadak muncul seperti ini.
Ayah Tiara mencoba menenangkan cucunya yang masih terisak. Suasana di ruang tamu semakin hening kecuali isakan Naura yang memecah keheningan malam. Kakek mengusap pelan puncak kepala Naura, berusaha menenangkan dengan suara lembut, meskipun hatinya sendiri terasa berat. "Naura, sudah malam, sayang. Ayo tidur. Besok kamu sekolah. Jangan terus begini, ya?" kata kakek, sambil mencoba meyakinkan Naura bahwa semuanya akan baik-baik saja, meskipun ia tahu itu bukanlah hal yang mudah untuk dipahami oleh seorang anak seumuran Naura. Namun, kalimat itu seakan tidak cukup untuk menghapus kebingungan dan kesedihan yang menyelimutinya.
Naura terus menangis, suaranya semakin terisak-isak, wajahnya tampak bingung dan marah. Ia tak bisa menahan perasaannya yang berkecamuk, penuh dengan kemarahan dan ketidakmengertian terhadap apa yang baru saja terjadi. "Kenapa mereka begitu, Kakek? Kenapa Ayah dan Kakek jahat pada Tante Tiara?" Naura mengulangi pertanyaannya, matanya sembab dan penuh amarah. Ia baru saja menyaksikan kejadian yang membuatnya merasa sangat kecewa. Ia tidak bisa mengerti bagaimana orang-orang yang seharusnya menjaga dan melindungi tantenya justru melakukan hal yang begitu kejam. Semua kebingungannya itu meluap dalam tangisan.
Namun, Arya, nama kakak Tiara sekaligus ayah Naura, tampaknya tidak bisa lagi menahan kekesalannya. Wajahnya yang sedari tadi acuh kini dipenuhi amarah. Dengan suara yang kasar, ia menghardik Naura, "Sudah! Jangan pikirkan urusan Tiara itu, Naura!" Bentakan itu membuat Naura terkejut dan semakin ketakutan. "Itu masalah orang dewasa! Kamu nggak perlu ikut campur!" lanjutnya dengan nada yang lebih tinggi, seperti ingin menutup pembicaraan dengan cara yang keras. Tidak peduli jika anak perempuannya merasa bingung atau terluka, yang penting baginya adalah agar Naura tidak menggali lebih dalam soal yang menurutnya harus tetap disembunyikan dari sang anak.
Kata-kata itu semakin membuat hati Naura hancur. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya bisa berkata seperti itu. Bukankah ia hanya berusaha membela Tante Tiara? Naura merasa seperti terperangkap dalam sebuah situasi yang tidak bisa ia pahami. Ia hanya ingin agar semuanya kembali seperti semula, tanpa ketegangan, tanpa rasa takut. Tetapi semakin ia mencoba mengerti, semakin ia merasa terasing di antara keluarga yang seharusnya menjadi tempat perlindungannya. Matanya penuh dengan air mata yang tak bisa ia tahan, dan tubuh kecilnya bergetar dengan perasaan kecewa yang mendalam.
"Aku nggak mau, Ayah! Kenapa Ayah dan Kakek bisa jahat begitu sama Tante Tiara? Aku nggak mau diam!" Naura berteriak, meskipun suaranya tidak sekuat ayahnya. Rasa takut bercampur dengan perasaan marah yang mendalam. Ia tidak bisa memahami kenapa ayah dan kakeknya yang seharusnya menyayangi Tante Tiara justru tega melakukan hal yang sangat menyakitkan bagi wanita yang selalu berusaha membantu keluarga mereka.
Kakek Naura hanya bisa terdiam, menghela napas panjang. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Walau hatinya pedih melihat cucunya yang sedang bingung dan terluka, ia tidak tahu bagaimana menjelaskan situasi ini kepada anak sekecil Naura. Ia hanya bisa berharap, semoga Naura cepat lupa dan kembali tertidur, meskipun ia tahu itu tidak akan mudah.
Sementara itu, Arya yang semakin kesal dengan sikap Naura, menatap dengan tajam dan mencoba kembali mengendalikan situasi. "Naura, ini bukan urusanmu! Jangan terlalu ikut campur soal orang dewasa! Tidak ada yang perlu kamu pikirkan!" katanya dengan nada tinggi, berusaha menegaskan bahwa Naura harus melupakan apa yang telah dilihatnya.
Naura menunduk, menahan tangis yang semakin sulit untuk ditahan. Perlahan, dengan langkah kecil yang bergetar, ia berjalan menjauh dari ayah dan kakeknya. Dengan dada yang sesak, Naura akhirnya sampai di depan kamarnya. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia membuka pintu dan melangkah masuk, membiarkan pintu itu tertutup pelan di belakangnya.
Begitu berada di dalam kamar, Naura menatap kosong ke arah tempat tidurnya. Matanya yang merah karena menangis kini terasa berat. Ia membiarkan dirinya duduk di tepi tempat tidur sebentar, tangannya gemetar menyentuh wajahnya, mencoba menenangkan dirinya. Ia menarik selimut untuk menutupi badannya, perlahan-lahan mencoba untuk tidur.
Keesokan harinya, Tiara terbangun dengan perasaan campur aduk. Ia mendengar suara obrolan dari ruangan lain, dua suara yang ia kenali sebagai milik Adrian dan Clarisa. Percakapan mereka terdengar santai, membahas hal-hal acak seperti rencana aktivitas hari ini dan apakah sarapan sudah siap.Tiara duduk perlahan, merasa tubuhnya masih sedikit lemas setelah malam yang panjang. Ia melirik jam dinding di ruang tamu tempat ia tidur semalam dan menyadari waktu sudah menunjukkan pukul delapan lewat. Seketika rasa sungkan menyelimutinya. Ia merasa seperti tamu yang merepotkan karena tidur hingga pagi dan membiarkan mereka mengurusnya tanpa ia tahu harus membalas kebaikan mereka dengan apa.Semalam, ia nyaris tidak bisa tidur. Pikiran tentang apa yang terjadi di rumahnya terus menghantui. Wajah ayahnya dan kakaknya yang tertunduk ketika preman datang, ancaman yang mereka lontarkan, dan fakta bahwa mereka tega menjadikan dirinya "jaminan" untuk melunasi hutang, semuanya berputar dalam benaknya.
Tiara membuka matanya perlahan, rasa pusing yang berat masih menyelimuti kepalanya. Pandangannya kabur sejenak, tapi ia segera bisa menangkap sosok seorang pria berdiri tak jauh dari sofa tempatnya berbaring. Pria itu menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan, mungkin bingung, mungkin khawatir, atau mungkin campuran keduanya.Ia mengedipkan matanya beberapa kali, mencoba memastikan apa yang dilihatnya. Wajah pria itu perlahan menjadi lebih jelas, tampan dengan hidung mancung, rahang tegas, dan kulit putih bersih. Tatapan matanya tajam, meskipun ada kesan lembut yang tersirat di sana. Namun, alih-alih merasa tenang, Tiara justru panik. Siapa pria ini? pikirnya dalam hati. Rasa takut segera menyergap, terutama ketika ia teringat pada kejadian sebelumnya, kejaran para preman dan ancaman yang menyeramkan.Sejenak, tubuhnya menegang, lalu naluri pertahanan dirinya segera aktif. Matanya dengan cepat mengarah ke pakaian yang ia kenakan, memastikan semuanya masih lengkap. Ia menghela na
Adrian yang sedang menyetir dengan tenang tiba-tiba harus mengerem mendadak. Siluet seseorang muncul di depan mobilnya, membuat jantungnya berdegup kencang. Dengan cepat ia menoleh ke arah Clarisa yang duduk di sebelahnya, wajahnya tampak khawatir. Tanpa pikir panjang, Adrian dan Clarisa membuka pintu mobil dan bergegas keluar untuk melihat kondisi orang tersebut.Di depan mobil, seorang wanita muda tergeletak pingsan di aspal, mengenakan celana jeans, kaos, dan jaket berwarna navy. Wajahnya pucat, nafasnya terengah, seolah baru mengalami kejadian yang menegangkan. Adrian dan Clarisa saling bertatapan bingung, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Dari kondisi mobil, tampak jelas bahwa kendaraan mereka tak sampai menabrak wanita ini. Tetapi mungkin karena kaget atau kelelahan, dia jatuh pingsan begitu saja tepat di hadapan mereka.Clarisa berlutut di sisi wanita itu, mencoba menggoyangkan bahunya sedikit sambil memeriksa nadinya. "Sayang, dia masih hidup... tapi lemah sekali,"
Rendra melajukan motornya perlahan, menembus jalan-jalan kecil kompleks perumahan sederhana yang mulai sepi di malam itu. Tiara duduk dengan nyaman di belakangnya, memeluknya erat untuk menghalau dingin malam. Setelah beberapa menit, mereka tiba di depan rumah kecil tempat tinggal Tiara bersama keluarganya.Rumah Tiara terletak di sudut kompleks yang cukup sepi dan sederhana. Bangunan satu lantai itu terlihat rapi meski tampak sederhana dari luar. Cat tembok yang mulai memudar, pagar besi rendah yang sedikit berkarat, serta taman kecil di halaman depan menunjukkan kesederhanaan kehidupan keluarga Tiara. Di sudut taman, ada beberapa pot tanaman bunga yang disusun rapi, ditanam dan dirawat oleh dirinya dan keponakannya.Lampu depan rumah menyala redup, menerangi sebagian halaman kecil yang dihiasi dengan lampu gantung sederhana. Tak ada kemewahan, namun rumah ini terasa hangat dan nyaman bagi Tiara. Rendra menghentikan motornya, lalu membantu Tiara turun.“Terima kasih ya, Mas,” ucap Ti
Satu per satu, teman-teman Tiara berpamitan sambil saling tersenyum lelah namun puas. Ada yang beranjak naik motor, dan ada juga yang memilih berjalan kaki pulang ke rumah atau ke kost mereka. Mereka sempat melambaikan tangan pada Tiara, yang masih berdiri di depan restoran dengan senyum bahagia. Malam itu bukan hanya hari ulang tahunnya, tapi juga momen penuh perhatian yang membuatnya merasa dihargai.Tak lama kemudian, Tiara melihat cahaya lampu motor yang ia kenali dengan baik mendekat ke arah restoran. Senyumnya makin lebar ketika sebuah motor berwarna merah itu berhenti di depannya. Rendra, kekasihnya, turun dari motor dengan helm merah yang senada, lalu membuka helmnya, memperlihatkan wajahnya yang tampan dan kulitnya yang bersih. Ia tersenyum hangat, tatapan matanya penuh kasih."Selamat ulang tahun, Sayang," katanya lembut begitu ia mendekat, suaranya membuat hati Tiara terasa hangat.Tiara tersenyum sambil mengangguk, matanya berbinar. "Terima kasih, Mas, atas ucapannya."Ren
Restoran itu berdiri megah di jantung kota Jakarta, terpancar dari kemewahan eksteriornya yang didominasi oleh arsitektur klasik dan sentuhan modern. Lampu-lampu temaram dengan warna keemasan menghiasi setiap sudut bangunan, memancarkan kilau yang elegan namun hangat. Langit-langitnya yang tinggi dihiasi lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya lembut, menciptakan suasana yang anggun dan eksklusif.Begitu memasuki restoran, pengunjung akan disambut oleh lantai marmer berkilauan dan deretan meja yang tertata rapi dengan taplak putih dan piring porselen berkelas. Musik jazz yang halus mengalun pelan di latar belakang, menambah nuansa intim. Para pelayan berpakaian rapi dengan seragam hitam putih, gesit dan sopan dalam melayani, siap memberi rekomendasi anggur terbaik untuk melengkapi sajian.Restoran ini memiliki dinding kaca besar yang memperlihatkan pemandangan gemerlap kota Jakarta di malam hari, memberi sensasi makan malam yang romantis dan berkelas. Di bagian sudut, terdapat b