Share

Bab 4

Author: Vivy Yu
last update Last Updated: 2025-05-07 06:04:34

Adrian yang sedang menyetir dengan tenang tiba-tiba harus mengerem mendadak. Siluet seseorang muncul di depan mobilnya, membuat jantungnya berdegup kencang. Dengan cepat ia menoleh ke arah Clarisa yang duduk di sebelahnya, wajahnya tampak khawatir. Tanpa pikir panjang, Adrian dan Clarisa membuka pintu mobil dan bergegas keluar untuk melihat kondisi orang tersebut.

Di depan mobil, seorang wanita muda tergeletak pingsan di aspal, mengenakan celana jeans, kaos, dan jaket berwarna navy. Wajahnya pucat, nafasnya terengah, seolah baru mengalami kejadian yang menegangkan. Adrian dan Clarisa saling bertatapan bingung, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Dari kondisi mobil, tampak jelas bahwa kendaraan mereka tak sampai menabrak wanita ini. Tetapi mungkin karena kaget atau kelelahan, dia jatuh pingsan begitu saja tepat di hadapan mereka.

Clarisa berlutut di sisi wanita itu, mencoba menggoyangkan bahunya sedikit sambil memeriksa nadinya. "Sayang, dia masih hidup... tapi lemah sekali," gumamnya, nada suaranya penuh simpati. Adrian segera mengeluarkan ponselnya, bersiap menghubungi bantuan medis, tetapi ragu sejenak.

"Sepertinya dia tidak terluka parah, mungkin hanya kelelahan atau ketakutan. Kita bawa dia ke rumah sakit atau... apakah kita tunggu sampai dia sadar?" tanya Adrian, suara tenang namun tetap khawatir. Clarisa mengangguk, masih memperhatikan wajah pucat wanita yang tergeletak itu, bertanya-tanya apa yang bisa membuat seseorang berlari secepat itu sampai kehilangan kesadaran di jalan raya.

Dari kejauhan, keempat pria yang tadi mengejar Tiara berhenti mendadak, mata mereka tertuju pada sosok Tiara yang kini dikelilingi dua orang di depan sebuah mobil. Salah satu pria mendecakkan lidahnya dengan kesal, merasa upaya mereka sia-sia. Namun, saat menyadari bahwa mereka bisa saja menarik perhatian, ketegangan merambat di wajah-wajah mereka.

“Bro, mending kita balik aja,” bisik salah satu pria, tatapannya masih awas memperhatikan sekeliling, takut ada orang yang mengenali mereka. “Kalau sampai ada yang lihat kita tadi ngejar dia di jalan, bisa ribet urusannya.”

Pria yang lain mengangguk setuju, tatapan matanya penuh kecemasan. "Iya, apalagi kalau mereka lapor polisi. Kita bisa dicari-cari nanti," ujarnya, sambil melirik ke arah mobil yang berhenti tak jauh dari tempat mereka berdiri.

Pemimpin kelompok itu, yang tadi tampak paling berani dan vokal, kini ikut diliputi keraguan. Setelah memikirkan risiko, dia mendengus kesal sambil berkata, “Ya udah, mending kita balik aja sekarang. Nanti kita lapor ke bos, mungkin bisa dicari lagi di lain waktu.” Akhirnya dengan langkah tergesa, keempat pria itu segera berbalik dan menjauh dari tempat kejadian, menghilang ke dalam bayang-bayang jalanan yang semakin sepi.

Adrian kembali menyetir, tetapi pikirannya terfokus pada wanita yang kini terbaring lemah di kursi belakang. Clarisa juga menunjukkan kekhawatiran yang sama. Suasana di dalam mobil terasa sunyi, dan keduanya saling bertukar pandang, bingung harus bagaimana.

"Menurutmu, lebih baik kita bawa dia ke rumah sakit atau ke rumah kita saja untuk sementara?" Adrian bertanya, menyeimbangkan pandangan antara jalanan dan istrinya.

Clarisa berpikir sejenak sebelum menjawab, “Kalau dia tidak terluka dan mungkin hanya kelelahan, aku rasa lebih baik kita bawa ke rumah saja dulu, Mas. Rumah kita lebih dekat, dan kalau dia masih tidak sadar, kita bisa langsung membawanya ke rumah sakit nanti.”

Adrian mengangguk, setuju dengan usulan itu. “Baiklah, ke rumah saja, ya. Lagipula, siapa tahu dia sadar dalam perjalanan.”

Clarisa menoleh ke kursi belakang, memperhatikan wajah pucat Tiara. Wanita itu masih tertidur lelap, atau mungkin masih dalam kondisi pingsan, namun pernapasannya mulai terlihat stabil. Mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah, berharap bahwa keputusan mereka tepat.

Begitu sampai di rumah, Adrian segera meminta bantuan satpam untuk mengangkat Tiara dari mobil dan membawanya ke sofa di ruang tamu. Dengan sigap, satpam rumah tersebut membantu menurunkan Tiara dengan hati-hati, memastikan ia dibaringkan dengan nyaman. Adrian memperhatikan setiap gerakan untuk memastikan Tiara tidak terluka lebih jauh, sementara Clarisa menyiapkan beberapa bantal di sofa untuk menopang tubuh Tiara yang masih lemah.

Setelah memastikan Tiara berbaring dengan baik, Adrian memanggil satpam lagi, kali ini memintanya mencari minyak kayu putih. “Tolong ambilkan minyak kayu putih dari dapur atau di kotak obat. Mungkin bisa membantu dia siuman,” ujarnya dengan suara rendah namun penuh ketenangan. Satpam tersebut segera pergi mencari minyak kayu putih, sementara Adrian dan Clarisa tetap berdiri di dekat Tiara, memperhatikan dengan cemas, berharap wanita itu segera sadar.

Sementara itu di rumah Tiara yang kini terasa sunyi, Naura, keponakan Tiara yang baru berusia 9 tahun, terduduk di sudut ruang tamu sambil terisak. Matanya masih basah oleh air mata, tetapi sorot kemarahan yang jarang terlihat di wajahnya begitu jelas terpancar malam ini. Ia baru saja menyaksikan kejadian yang membuatnya terpukul, walau mungkin belum sepenuhnya paham dengan detailnya, Naura bisa merasakan ketidakadilan yang terjadi terhadap tante kesayangannya, Tiara.

Dengan suara yang bergetar dan penuh kemarahan, Naura akhirnya mendekati ayahnya dan kakeknya, yang kini tengah duduk di ruang tamu, terlihat kesal karena Tiara berhasil kabur. Naura memelototi mereka berdua, mengingat-ingat kata-kata kasar yang didengar dari para pria itu tentang rencana jahat yang ditujukan kepada Tiara. “Ayah jahat! Kakek juga jahat! Kenapa kalian begitu sama Tante Tiara?” Naura menangis sambil menuding ke arah mereka, perasaannya campur aduk antara takut dan marah. Walau tubuhnya kecil dan lemah dibandingkan mereka, keberanian yang muncul dari rasa sayang kepada Tiara membuatnya tak gentar untuk membela tantenya.

Kakak dan ayah Tiara terkejut, tidak menyangka bahwa Naura akan melontarkan keberanian semacam itu. Mereka tidak segera membalas perkataan Naura, hanya terdiam sesaat, mungkin merasa malu atau tertegun melihat betapa anak sekecil itu bisa memahami bahwa tindakan mereka salah. Namun, wajah-wajah itu tidak menunjukkan rasa penyesalan, hanya kebingungan atas keberanian Naura yang mendadak muncul seperti ini.

Ayah Tiara mencoba menenangkan cucunya yang masih terisak. Suasana di ruang tamu semakin hening kecuali isakan Naura yang memecah keheningan malam. Kakek mengusap pelan puncak kepala Naura, berusaha menenangkan dengan suara lembut, meskipun hatinya sendiri terasa berat. "Naura, sudah malam, sayang. Ayo tidur. Besok kamu sekolah. Jangan terus begini, ya?" kata kakek, sambil mencoba meyakinkan Naura bahwa semuanya akan baik-baik saja, meskipun ia tahu itu bukanlah hal yang mudah untuk dipahami oleh seorang anak seumuran Naura. Namun, kalimat itu seakan tidak cukup untuk menghapus kebingungan dan kesedihan yang menyelimutinya.

Naura terus menangis, suaranya semakin terisak-isak, wajahnya tampak bingung dan marah. Ia tak bisa menahan perasaannya yang berkecamuk, penuh dengan kemarahan dan ketidakmengertian terhadap apa yang baru saja terjadi. "Kenapa mereka begitu, Kakek? Kenapa Ayah dan Kakek jahat pada Tante Tiara?" Naura mengulangi pertanyaannya, matanya sembab dan penuh amarah. Ia baru saja menyaksikan kejadian yang membuatnya merasa sangat kecewa. Ia tidak bisa mengerti bagaimana orang-orang yang seharusnya menjaga dan melindungi tantenya justru melakukan hal yang begitu kejam. Semua kebingungannya itu meluap dalam tangisan.

Namun, Arya, nama kakak Tiara sekaligus ayah Naura, tampaknya tidak bisa lagi menahan kekesalannya. Wajahnya yang sedari tadi acuh kini dipenuhi amarah. Dengan suara yang kasar, ia menghardik Naura, "Sudah! Jangan pikirkan urusan Tiara itu, Naura!" Bentakan itu membuat Naura terkejut dan semakin ketakutan. "Itu masalah orang dewasa! Kamu nggak perlu ikut campur!" lanjutnya dengan nada yang lebih tinggi, seperti ingin menutup pembicaraan dengan cara yang keras. Tidak peduli jika anak perempuannya merasa bingung atau terluka, yang penting baginya adalah agar Naura tidak menggali lebih dalam soal yang menurutnya harus tetap disembunyikan dari sang anak.

Kata-kata itu semakin membuat hati Naura hancur. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya bisa berkata seperti itu. Bukankah ia hanya berusaha membela Tante Tiara? Naura merasa seperti terperangkap dalam sebuah situasi yang tidak bisa ia pahami. Ia hanya ingin agar semuanya kembali seperti semula, tanpa ketegangan, tanpa rasa takut. Tetapi semakin ia mencoba mengerti, semakin ia merasa terasing di antara keluarga yang seharusnya menjadi tempat perlindungannya. Matanya penuh dengan air mata yang tak bisa ia tahan, dan tubuh kecilnya bergetar dengan perasaan kecewa yang mendalam.

"Aku nggak mau, Ayah! Kenapa Ayah dan Kakek bisa jahat begitu sama Tante Tiara? Aku nggak mau diam!" Naura berteriak, meskipun suaranya tidak sekuat ayahnya. Rasa takut bercampur dengan perasaan marah yang mendalam. Ia tidak bisa memahami kenapa ayah dan kakeknya yang seharusnya menyayangi Tante Tiara justru tega melakukan hal yang sangat menyakitkan bagi wanita yang selalu berusaha membantu keluarga mereka.

Kakek Naura hanya bisa terdiam, menghela napas panjang. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Walau hatinya pedih melihat cucunya yang sedang bingung dan terluka, ia tidak tahu bagaimana menjelaskan situasi ini kepada anak sekecil Naura. Ia hanya bisa berharap, semoga Naura cepat lupa dan kembali tertidur, meskipun ia tahu itu tidak akan mudah.

Sementara itu, Arya yang semakin kesal dengan sikap Naura, menatap dengan tajam dan mencoba kembali mengendalikan situasi. "Naura, ini bukan urusanmu! Jangan terlalu ikut campur soal orang dewasa! Tidak ada yang perlu kamu pikirkan!" katanya dengan nada tinggi, berusaha menegaskan bahwa Naura harus melupakan apa yang telah dilihatnya.

Naura menunduk, menahan tangis yang semakin sulit untuk ditahan. Perlahan, dengan langkah kecil yang bergetar, ia berjalan menjauh dari ayah dan kakeknya. Dengan dada yang sesak, Naura akhirnya sampai di depan kamarnya. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia membuka pintu dan melangkah masuk, membiarkan pintu itu tertutup pelan di belakangnya.

Begitu berada di dalam kamar, Naura menatap kosong ke arah tempat tidurnya. Matanya yang merah karena menangis kini terasa berat. Ia membiarkan dirinya duduk di tepi tempat tidur sebentar, tangannya gemetar menyentuh wajahnya, mencoba menenangkan dirinya. Ia menarik selimut untuk menutupi badannya, perlahan-lahan mencoba untuk tidur.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 48

    Clarisa menggulir layar ponselnya dengan serius, matanya fokus pada berbagai pilihan yang muncul. Di sebelahnya, Tiara duduk dengan tenang, memperhatikan tanpa banyak bicara. Sementara itu, Indah, yang ikut membantu, sesekali mengangguk atau memberi masukan.Clarisa lalu mengarahkan ponselnya ke Indah, meminta pendapatnya soal warna dan tekstur dari perut palsu yang hendak dibeli. "Ini kayaknya mirip banget sama kulit manusia, kan?" tanyanya, memastikan.Indah mengamati layar sebelum mengangguk. "Iya, Bu, ini kelihatannya paling realistis."Tiara tetap diam, tapi ia sudah bisa menebak apa yang Clarisa lakukan. Ketika Indah mengambil meteran dan mulai mengukur perutnya atas permintaan Clarisa, Tiara hanya menarik napas pelan. Ia tahu ini semua adalah bagian dari rencana Clarisa.Clarisa menyerahkan ponselnya kepada Indah setelah memastikan pilihan yang diinginkannya. Ia menyuruh Indah untuk segera memesankan perut kehamilan palsu itu dan mengatur agar pembayarannya dilakukan secara COD

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 47

    Saat sarapan pagi itu, suasana terasa canggung di antara Adrian dan Clarisa. Mereka duduk berhadapan di meja makan yang tertata rapi, hanya ditemani suara dentingan sendok dan garpu. Tidak ada percakapan, tidak ada basa-basi. Clarisa masih kesal dengan suaminya itu, tetapi ia memilih untuk diam. Tiara tidak ikut, ia bilang sarapan nanti dulu karena sudah makan bubur yang dibelikan Bi Susi sebelumnya.Adrian juga tidak berusaha memulai pembicaraan. Ia hanya menikmati makanannya dengan tenang, seolah tidak ada yang terjadi. Iya tidak ingin bertengkar dengan Clarisa, membiarkan istrinya itu agar lebih tenang sehingga hilang sendiri kemarahannya.Hingga akhirnya, pandangan Clarisa jatuh ke pipi kanan Adrian yang tampak lebam. Dahinya berkerut, jelas heran dan sedikit terkejut."Apa itu?" tanyanya akhirnya, suaranya datar tapi cukup tajam.Adrian berhenti mengunyah, sedikit mengangkat alisnya. "Apa?""Pipimu," Clarisa mengarahkan pandangannya ke lebam di wajah Adrian. "Kenapa bisa begitu?"

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 46

    Saat mobil Adrian memasuki halaman rumah, Tiara segera membuka sabuk pengamannya. Ia sedikit lelah setelah hari yang panjang, dan ia ingin segera masuk ke kamarnya untuk beristirahat.Adrian pun turun dari mobil dan berjalan masuk bersama Tiara. Seperti biasa, rumah terasa tenang, hanya ada suara samar dari aquarium ikan di ruang keluarga.Tiara langsung menuju kamarnya, sementara Adrian juga menaiki tangga menuju kamarnya sendiri. Ia berencana untuk mengganti pakaian dan mungkin beristirahat sebentar sebelum makan malam. Namun, begitu membuka pintu kamar, ia langsung terhenti.Clarisa sudah ada di sana, duduk di tepi ranjang dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya menunjukkan ekspresi kesal yang sulit disembunyikan. Matanya menatap tajam ke arah Adrian begitu pria itu masuk ke kamar.Adrian mengerutkan kening. Ia tidak menyangka Clarisa sudah pulang. Biasanya, istrinya belum di rumah jam segini. "Kamu sudah pulang?" tanyanya pelan, mencoba membaca situasi.Clarisa tidak langsung men

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 45

    Setelah beberapa meter berkendara, Adrian membelokkan mobilnya ke pinggir jalan yang tenang, jauh dari keramaian. Ia mematikan mesin, lalu menoleh ke arah Tiara.Tiara masih menunduk, bahunya sedikit bergetar, matanya menatap kosong ke pangkuannya.Tanpa berkata apa-apa, Adrian meraih Tiara dan menariknya ke dalam pelukannya. Tiara tidak menolak. Justru saat itu juga pertahanannya runtuh. Ia kembali menangis di dekapan Adrian.Adrian mengusap punggungnya perlahan, membiarkan Tiara meluapkan segalanya. Ia tidak bicara, hanya memeluk erat, memberi kehangatan dan perlindungan.Setelah beberapa saat, isak tangis Tiara mulai mereda. Napasnya masih tersengal sedikit, tapi ia berusaha menguasai dirinya. Adrian tetap diam, memberinya waktu, membiarkan Tiara menangis tanpa tergesa-gesa. Ia hanya menggenggam tangannya erat, sebagai bentuk dukungan tanpa kata-kata.Setelah cukup tenang, Adrian menatap wajah Tiara dengan lembut. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya pelan.Tiara menggeleng tanpa suara.

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 44

    Malam ini, sesuai rencana, Tiara pergi ke dokter kandungan untuk pemeriksaan rutinnya. Sejak pagi, Adrian sudah memutuskan bahwa ia tidak peduli jika Clarisa marah atau kesal. Baginya, yang terpenting adalah memastikan Tiara dan bayinya baik-baik saja. Lagipula, ia hanya akan menunggu di dalam mobil, tidak akan ikut masuk ke ruangan dokter. Itu sudah cukup baginya, atau setidaknya, ia mencoba meyakinkan dirinya begitu.Di dalam perjalanan, Tiara duduk diam di kursi penumpang, sesekali melirik Adrian yang fokus menyetir. Ia tahu Clarisa akan tidak suka jika tahu suaminya tetap mengantarnya, ia pun sudah sempat menolaknya sebelum berangkat ke sini, namun Adrian cukup keras kepala. Jadi, ia memilih untuk tidak membahasnya.Setibanya di klinik, Adrian memarkir mobil di sudut parkiran yang tidak terlalu mencolok, seperti beberapa bulan lalu Tiara melepas sabuk pengamannya, lalu menoleh ke Adrian. "Mas, aku masuk dulu."Adrian mengangguk. "Iya, Tiara, kamu hati-hati ya."Tiara mengangguk pe

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 43

    Siang itu, Clarisa memutuskan untuk mengunjungi kantor Adrian. Sudah lama ia tidak mampir ke sana, dan hari ini, karena tidak ada jadwal syuting di sore hari, ia merasa ini waktu yang tepat. Dengan langkah santai, ia memasuki gedung perkantoran yang sudah tak asing lagi baginya. Beberapa karyawan langsung menyapa dengan sopan.“Selamat siang, Ibu Clarisa,” ucap salah satu resepsionis dengan senyuman ramah.Clarisa membalas senyum itu. “Selamat siang. Pak Adrian ada di ruangannya, kan?” tanyanya sambil berjalan menuju lift.“Seharusnya ada, Bu,” jawab resepsionis itu sebelum Clarisa melangkah masuk ke lift.Saat tiba di lantai tempat Adrian bekerja, Clarisa menuju ruang kerja suaminya. Namun, begitu pintu terbuka, ia mendapati ruangan itu kosong. Tidak ada Adrian di sana.Ia berdiri sejenak, mencoba menghubungi Adrian melalui ponselnya, tetapi panggilan itu tidak diangkat. Dengan sedikit rasa penasaran yang bercampur kesal, Clarisa keluar dari ruangan Adrian dan melangkah menuju ruanga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status