Flashback.
Di suatu malam, tepat di jam sembilan. Seorang gadis yang baru selesai bekerja, tampak sangat kelelahan. Gadis berkemeja putih dan bercelana jeans itu kini berjalan menelusuri kota. Menapaki jejak di pinggiran pertokoan. Malam yang sepi, ia terus melangkah pelan. Sambil menikmati semilir dinginnya angin malam. Cahaya lampu-lampu temaram, tampak begitu indah menghiasi pinggir jalan. Langkahnya kian terasa berat. Tatkala ia semakin mendekat ke arah sebuah rumah kecil tempatnya ia tinggal sekarang. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman untuk ia pulang. Malah justru membuatnya merasa sangat tertekan. Lalu, ketika ia hampir sampai di depan rumah, Syaqilla merasa sedikit keheranan. Dahinya mengernyit saat melihat sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan, depan rumah. Dalam hati pun bertanya, "Mobil siapa ini? Apakah kali ini Ibu sedang berada di rumah?" Tiap kali ia pulang kerja, rumah itu biasanya akan terlihat sepi. Karena ibunya jarang sekali pulang ke rumah. Sekalinya berada di rumah, pasti dia akan membawa teman laki-laki datang ke rumah itu juga. Sehingga membuat gadis yang baru berusia 21 tahunan itu sangat terganggu akan kehadiran mereka. Akan tetapi, ia bisa apa? Dirinya sudah kerap kali mencoba melarang dan berusaha menasehati ibunya, agar tidak melakukan pekerjaan kotor itu. Namun, yang ada ia malah akan dimarahi habis-habisan dan bahkan ibunya itu tak segan untuk memberi pukulan. Dan parahnya lagi, terkadang Ibunya bisa saja berbuat lebih kasar dari itu. Membuat gadis itu hanya bisa pasrah melihat ibunya yang terus saja melakukan pekerjaan, sebagai wanita panggilan. Perlahan, ia berjalan mendekati rumah. Sebuah rumah yang sangat sederhana di pinggiran kota Jakarta itu, hanya memiliki luas sepuluh meter persegi. Seperti rumah petak pada umumnya yang terlihat kecil dan terlihat biasa saja. Tidak ada yang istimewa dengan rumah tersebut. Hanya saja, itulah tempat satu-satunya untuk ia tinggal sekarang. Lalu, dengan samar-samar ia seperti mendengar ada keributan dari dalam rumah. Membuatnya merasa sangat penasaran ingin mengetahui, apa yang sedang terjadi di dalam? Segera ia pun ingin masuk ke dalam rumah tersebut. "Tolonglah kasih aku tenggang waktu beberapa hari lagi, Bang!" ucap Tamara memohon. "Aku janji, akan membayar hutang itu dengan segera." Terdengar suara tawa seorang pria, bagai sedang mencemooh. "Tamara ... Tamara! Mau sampai kapan kau terus memberi janji palsu seperti ini padaku?" Seorang pria berbadan tambun, dengan gaya sok angkuh duduk santai sambil menopang sebelah kaki, seperti Bos besar. "Memangnya kau mau bayar pake apa nanti, huh? Pake tubuh renta mu itu? Sorry, aku sudah tidak tertarik lagi dengan wanita tua sepertimu." Dengan tersenyum sinis, pria itu mulai mencelanya. "Ya elah, Bang, kau bisanya hanya menyela ku saja. Yang terpenting, 'kan aku bisa bayar utang." Wanita yang dipanggil ibu oleh Syaqilla itu, terlihat kesal. "Lagian siapa juga yang mau menawarkan diri ke padamu, Bang? Masih banyak kok, lelaki lain yang lebih gagah dan lebih muda darimu di luaran sana yang mau denganku. Kenapa aku harus memilihmu yang sudah tua dan sudah punya banyak istri pula." Wanita paruh baya itu tersenyum miring balas mencemooh, sengit. "Sombong sekali kau! Aku mau lihat, bagaimana caramu membayar semua hutang- hutangmu itu? Sementara kau saja sudah tidak ada lagi orang kaya yang mau denganmu, bukan?" Bibir hitam milik lelaki tua itu tampak tersenyum miring. Ia tak mau kalah. Dengan pongahnya balas mengejek. "Itu bukan urusanmu, Bang! Yang terpenting aku bisa bayar hutang, dan masalah kita selesai!" Kleek! Tiba-tiba saja pintu terbuka. "Assalamualaikum," ucap Syaqilla pelan. Semua orang langsung terdiam dan menoleh ke arah pintu. Bramantyo, pria 50 tahunan itu langsung terpesona ketika melihat ada sesosok gadis cantik yang sedang memasuki rumah. Begitu masuk ke dalam rumah, Ananda Syaqilla Maharani, atau yang sering dipanggil dengan nama Syaqilla itu, tampak kebingungan, saat melihat ada berapa orang laki-laki yang tengah terduduk di ruang tamu. Satu orang laki-laki tua, duduk berhadapan dengan ibunya, sedangkan dua orang lagi berdiri di belakang laki-laki itu. Laki-laki yang sedang terduduk itu, tampak sudah berumur. Badannya sedikit gembul, kepalanya botak, kumisnya tebal dan sorot matanya tampak genit menjijikan. Sementara dua orang yang berada di belakang, berbadan kekar tampangnya pun sangar. Mungkin mereka adalah pengawal ataupun anak buah dari si lelaki tua tersebut. Dengan tanpa berkedip Bramantyo menatapnya penuh nafsu. Syaqilla bergidik ngeri, merasa risih karena laki-laki itu terus mengamati dirinya dengan tatapan yang sangat mencurigakan. Sehingga ia memilih untuk pergi ke kamar saja. "Ya sudah, aku mau ke kamar dulu ya, Bu. Mari semua!" Gadis cantik itu tersenyum ramah seraya menunduk sopan. Kemudian, ia bergegas menuju kamar. Bramantyo masih terus saja memandanginya . Matanya enggan sekali untuk berkedip barang sedetik pun. Ia masih terhipnotis oleh kecantikan Syaqilla yang begitu sempurna. Wajahnya yang cantik, kulit langsat bercahaya, tubuhnya ramping namun berisi. Belum lagi senyum manisnya itu, bisa membuat semua orang yang melihat, langsung jatuh hati. Apa lagi Bramantyo, si laki-laki mata keranjang yang suka sekali mengoleksi istri. Terlebih lagi, kalau yang masih muda dan masih segar seperti Syaqilla. Dia pasti sangat menyukainya. "Ekhem!" Tamara berdehem, karena melihat Bram yang melongo bagai sapi ompong. Sambil terus menatap kepergian Syaqilla. Ia pun tahu, apa yang sedang dipikirkan oleh si rentenir tua itu. "Dasar, bandot tua! Liat yang masih seger aja langsung ijo deh, tuh mata. Hahaha ... tapi ini kesempatan bagiku agar bisa mendapatkan uang yang lebih banyak, bukan?" Dalam hati Tamara merasa senang, karena akan mendapat mangsa baru yang akan memberinya banyak uang. Bramantyo nyengir kuda, lalu berkata, "Siapa dia, Ra?" "Dia anakku. Kenapa?" jawabnya ketus. "Hah, anakmu! Sejak kapan kau punya anak?" Bramantyo pun terkejut dan tidak percaya kalau Tamara mempunyai seorang anak gadis yang begitu cantik nan jelita. Karena sebelumnya ia tidak mengetahui kalau ternyata wanita yang tak lagi muda itu telah mempunyai anak. "Sudah lama." "Tapi kok, aku tak pernah melihat?" "Ya, karena aku menitipkannya di panti asuhan." "Oh, begitu." Bramantyo manggut-manggut. "Tapi, beneran itu anakmu?" tanyanya lagi masih belum percaya. "Iya beneran, Pak Bramantyo!" Seraya mengeratkan gigi, Tamar mulai merasa jengah. Bramantyo malah terkekeh. "Jadi, apakah dia sama sepertimu?" Dengan menyeringai, lelaki itu menaikan sebelah alis. "Tidak, dia masih suci." "Benarkah?" Bramantyo bertambah senang ketika mendengar kalau gadis itu masih suci alias masih perawan. Berarti gadis itu belum pernah disentuh oleh siapa pun. Otak nakalnya mulai traveling ke mana-mana. Membayangkan yang tidak-tidak dengan gadis tersebut. Lalu, tiba-tiba terlintas keingin untuk memiliki gadis cantik itu. Sehingga ia pun ingin melakukan negosiasi dengan Tamara. "Jadi begini, Tam. Gimana ... kalau kau serahkan gadis itu padaku? Dan hutangmu nanti, aku anggap lunas," tawarnya. "Tuh, kan benar? Sudah ku duga. Si bandot tua ini pasti akan langsung tertarik dengan Syaqilla. Dan aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini," ujar Tamara membatin. "Oh jadi, anak gadisku yang masih perawan itu, cuma kau hargai lima puluh juta, doang?" ucapnya pongah. "Terus, kau mau berapa, hah?" timpal Bram. "Lima ratus juta! Aku mau lima ratus juta!" "Apa?! Lima ratus juta? Gila!"Deg! Seperti seorang maling yang kepergok oleh sang pemilik rumah. Suara Natasya bagikan aliran listrik yang merayap hingga ke seluruh tubuh. Syaqilla langsung membeku seketika. "CK ck ck! Lihat siapa ini, yang tengah malam begini baru pulang?" Sambil menggelengkan kepala, Natasya mulai bergerak mendekati Syaqilla yang tampak bergeming di tempatnya. Tatapan gadis itu begitu tajam siap untuk mengintimidasi. Syaqilla menelan ludah, wajahnya tampak menegang, mulai merasa ketakutan. "Dari mana saja kau, Syaqilla? Oh, aku tahu. Wanita dari panti asuhan, yang asal usul tidak jelas sepertimu itu, pasti memang suka sekali keluyuran tiap malam, ya?" Sembari tersenyum miring, Natasya mulai mengejek. "Tidak." Syaqilla menggelengkan kepala. "Em, saya tadi--" Belum sempat ia membela diri, Natasya lebih dulu menyela. "Habis ketemuan dengan Alvaro, kan?" Glek! Susah payah, Syaqilla kembali menelan ludah kasar. Ia merasa seperti seorang penjahat yang sedang diintrogasi oleh polisi
Setelah hampir satu jam kemudian. Akhirnya dengan sangat terpaksa, mau tidak mau, Alvaro harus mengantarkan sang gadis pujaan hatinya untuk pulang. Sebenarnya kalau boleh jujur, ia masih sangat ingin terus bersama dengan gadis itu. Namun, berhubung waktu yang sudah cukup larut malam, memang sudah sepatutnya seorang gadis tak boleh keluyuran di luar rumah. Sehingga ia pun ingin mengantarkannya ke rumah sang majikan Syaqilla, yang tak lain adalah rumah keluarga Mahendra yang sekaligus rumah orang tuanya Natasya. Jika mengingat bagaimana perlakuan kasar yang pernah dilakukan Natasya pada Syaqilla. Dirinya jadi merasa sedikit khawatir juga was-was, takut jika sampai Natasya nanti akan mengulangi perbuatannya lagi, bagaimana? Rasa cemas mulai menjalar di pikiran. Hatinya pun jadi tak tenang. Hingga jiwa kepahlawanannya pun muncul dan rasa ingin melindunginya tumbuh begitu saja. Membuatnya bertekad ingin jadi sang pelindung gadis tersebut. Di sepanjang jalan, walaupun merasa cemas,
Setelah melakukan pertolongan medis, Alvaro yang masih tampak lemas duduk bersenden di atas ranjang pasien. Dengan wajah cemas, Syaqilla terlihat tak tenang, setia duduk menunggu di samping ranjang. Sementara orang lainnya sudah disuruh pulang oleh Alvaro. Sehingga kini hanya tinggal mereka berdua di ruang IGD sebuah klinik terdekat dari tempat mereka berkelahi tadi. Jujur Syaqilla merasa sedikit canggung juga gelisah tak tahu harus bersikap bagaimana ia sekarang? Karena semenjak beberapa hari lalu, mereka sudah lama tak saling jumpa, membuatnya jadi merasa kikuk dan serba salah. "Terima kasih, karena tadi sudah mau menolongku." Akhirnya setelah cukup lama mereka saling diam, Syaqilla mulai bersuara. Alvaro tersenyum. Namun, sedetik kemudian ia meringis karena merasa sedikit nyeri di sudut bibirnya. Syaqilla yang melihatnya pun segera mendekat dan dengan ragu tangannya mulai terulur menyentuh pelan sudut bibir Alvaro yang masih tampak memerah. Sungguh ia tak tega melihat k
Tentu saja Alvaro langsung naik pitam. Dengan rahang mengeras ia melotot tajam ke arah Raka. "Jangan berani-berani kau mendekati Syaqill! Jika sampai kau berani menyentuhnya walau hanya sedikit, aku pasti akan langsung menghajarmu, Raka!" ancamnya geram. Namun, bukannya takut, Raka malah tertawa lantang. Ia merasa senang dan sekaligus tertantang mendengar ancaman Alvaro yang sudah mulai terpancing emosi. "Ukh, aku jadi takut, Alvaro!" Dengan wajah songong lelaki itu berpura-pura takut. "Mari kita lihat, jika aku berani menyentuh gadis itu, apa yang bisa kau lakukan, Varo?" Lalu Raka bergerak mendekati Syaqilla. Otomatis gadis itu langsung bergerak mundur ingin menjauh. Namun, tak bisa. Karena sang anak buah Raka menahan tangannya. "Aku bilang berhenti, Brengsek! Lepas, kalau kalian berani hadapi aku satu per satu. Jangan cuma beraninya main keroyokan begini! Dasar pengecut kalian!" Alvaro masih saja terus mengoceh berusaha untuk memberontak. Mendengar kata pengecut, Raka cu
Wajah Syaqilla panik, ia menelan ludah, merasa sedikit ketakutan. Lalu, dengan tanpa mau berkata, gegas ia membalikkan badan ingin segera pergi meninggalkan lelaki tersebut. Namun, apa yang terjadi? Tiba-tiba saja lelaki berpenampilan seperti preman itu langsung meraih tangannya dan berkata, "Eh, mau ke mana, Cantik!" Raka tersenyum menyeringai. "Ikh, lepasin!" Tentu saja Syaqilla menggerakkan tangan, berusaha untuk bisa terbebas dari cengkeraman lelaki itu. Semua orang, yang merupakan anak geng Rajawali itu tertawa lantang. Merasa sangat senang dan terhibur melihat wajah tegang Syaqilla. "Jangan galak-galak dong, Nona! Aku hanya ingin menawarkan bantuan. Bukankah kau mau pulang? Biar aku antar, ya?" Dengan gaya sok pura-pura baik, Raka menawarkan tumpangan. "Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri! Jadi, lepasin aku sekarang! Kalau tidak, maka aku akan teriak. Biar semua orang datang menghajar kalian!" Sambil memasang wajah galak, Syaqilla memberanikan diri memberi mereka anca
Brugh! "Aww ...." Karena takut, pada akhirnya Natasya menyingkir dan ia pun jatuh terduduk di samping motor Alvaro melintas. "Ya ampun, Tasya kamu tidak apa-apa?" Dua orang temannya langsung datang menghampirinya. Lalu, mereka ingin membantu untuk bangun. Namun, karena rasa kesal yang sedang membara di dalam dada, gadis itu menangkis kasar uluran tangan dari keduanya. "Aw, Tasya! Kenapa malah dipukul? Sakit tau!" keluh Sonia sedikit kesal. "Pergi! Tinggalin aku sendiri!" bentak Natasya beram. "Ta-tapi--" "Pergi! Aku bilang pergi!" Natasya mulai terlihat histeris. Otomatis semua orang yang melihatnya jadi ketakutan. "Ya ya, udah. Ayo, kita pergi! Biarin dia sendirian dulu?" ajak Renita mengajak temannya untuk segera menjauhi gadis tempramen tersebut. Setelah keduanya pergi. Untuk meluapkan emosi, yang serasa telah sesak memenuhi dada. Bagai orang yang tak waras, Tasya kembali berteriak, "Argh!" Sungguh, rasa benci terhadap Syaqilla kian bertambah besar. Dan bahkan