Berapa jam kemudian.
Di suatu ruang bernuansa putih, dua orang paruh baya terduduk di sofa panjang, yang ada di sudut ruang. Dengan perasaan khawatir dua orang tersebut tampak cemas, menunggu seorang gadis yang kini terbaring lemas di atas pembaringan. Dua mata gadis itu tertutup rapat, masih dalam keadaan yang tak sadarkan diri. Terlihat ada beberapa luka gores ataupun memar di sekujur tubuhnya kini. Di dahinya juga terdapat plester yang menempel cantik menghiasi wajah gadis tersebut. Dan tak lupa, selang infus yang menancap di satu lengannya, menandakan kalau gadis itu kini sedang dirawat di sebuah rumah sakit. Ya, karena keteledorannya yang berlari tanpa melihat ke sekitar, hingga membuat gadis itu tertabrak sebuah mobil yang sedang melintas di jalan. Untung saja keadaan gadis itu tidak terlalu parah, sehingga tidak berakibat fatal. Akan tetapi, karena dirinya yang dalam keadaan panik, dan kejadian itu yang terlalu mendadak, hingga membuat gadis itu sangat syok dan jatuh pingsang di tengah jalan. Tentu saja, dua orang yang tak sengaja menabraknya pun merasa sangat panik, juga khawatir padanya. Lalu, segera mereka membawanya ke rumah sakit terdekat. Dua orang yang merupakan pasangan suami istri itu, merasa trenyuh dan iba padanya. Melihatnya yang masih tak sadarkan diri tergeletak di atas ranjang pasien, membuat hati keduanya menjadi sedikit cemas. Dan, entah kenapa, dada mereka bergetar, saat melihat wajah gadis itu, kedua paruh baya itu merasa seperti familiar. Padahal, mereka tak saling kenal. Hingga tak lama kemudian, tangan gadis itu mulai bergerak pelan. Kedua kelopak matanya terbuka perlahan dan mengerjap, menyesuaikan sinar cahaya yang masuk ke dalam penglihatan. Syaqilla mulai tersadar dari pingsan. Dengan kebingungan ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruang. Ia mendapati kalau dirinya kini tengah berada di suatu ruang bernuansa putih dengan aroma desinfektan yang cukup menyengat indra penciuman. "Di mana ini?" batinnya merasa linglung. Karena belum bisa mengingat kejadian apa yang telah dialaminya tadi malam. Sementara dua orang paruh baya itu langsung terlihat sumringah. Tatkala mengetahui kalau dirinya sudah siuman, wanita paruh baya yang bernama Laura Saraswati itu, segera mendekat. "Alhamdulillah, Pah. Dia sudah sadar," ucapnya penuh syukur. Sembari tersenyum lega, lelaki paruh baya yang bersamanya kini, mengikutinya dari belakang. Sontak saja Syaqilla terjingkat dan menoleh ke arah sepasang suami istri tersebut. "A-anda siapa? D-dan, ini aku lagi di mana?" ucap Syaqilla kebingungan. "Hallo, Cantik. Perkenalkan nama saya Laura!" Wanita paruh baya berpenampilan elegan itu tersenyum ramah dan tampak mengulurkan tangan padanya. Gadis berambut panjang sebahu itu mengerjakan mata, masih terdiam karena bingung. Ia hanya bisa tersenyum kecil, menjabat tangan wanita itu. "Dan ini suami saya, namanya Mahendra Pratama." Wanita berbaju krem itu menunjuk ke arah suaminya. Sang suaminya pun melakukan hal yang sama dengan istrinya, yaitu berjabat tangan dengan gadis tersebut. "Em ... sebelumnya kami ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya. Karena kamilah, sehingga kamu bisa berada di rumah sakit ini." Bagai seorang ibu yang menatapnya penuh kasih sayang, wanita itu tersenyum lembut pada Syaqilla. Tanpa sadar Syaqilla tertegun menatapnya. Entah mengapa, hatinya bergetar dan senang melihat wajah ayu nan teduh wanita itu. Gadis itu membayangkan, andai saja ia mempunyai ibu yang baik hati sepertinya, pasti ia akan merasa sangat bahagia. Dulu ia sempat berpikir seperti itu. Di saat Ibunya datang menjemputnya di panti asuhan, sekitar tiga tahunan yang lalu. Ia merasa sangat senang dan membayangkan kalau ia akan hidup bahagia bersama ibunya. Akan tetapi, semua tidak sesuai dengan angan-angan. Justru, sangat berbanding terbalik dengan apa yang dibayangkan. Ibu yang seharusnya memberikan kasih sayang, malah selalu memperlakukannya dengan kasar. Gadis itu disuruh bekerja, dan uang dari hasil kerjanya pun harus diserahkan kepada ibunya. Semenjak itulah gadis yang bernama lengkap Ananda Syaqilla Maharani, mengetahui semua sifat buruk ibunya. Mulai dari pekerjaannya yang kotor, hingga sikap keras dan kasarnya wanita itu, kini sudah menjadi makanannya sehari-hari. Syaqilla masih bisa menerima dan memakluminya. Karena Ibunya selalu beralasan bahwa dia terpaksa melakukan pekerjaan yang tercela itu, demi bisa menghidupinya ataupun membiayainya selama ia tinggal di panti asuhan dulu. Namun sayang, setelah berapa tahun tinggal bersama, ternyata Ibunya itu malah tega menjualnya pada renternir tua. Hingga membuat hatinya merasa sedih dan sangat kecewa padanya. "Em ... kalau boleh tau, siapa namamu, Nak?" Suara lembut wanita itu langsung menyadarkannya dari lamunan. "Em, nama sa-saya Syaqilla, Nyonya," jawabnya gugup. "Oh, Syaqilla. Namamu cantik sekali, Sayang. Secantik orangnya ya." Sangat lembut, Laura mengusap kepalanya pelan. Membuat hati Syaqilla kembali bergetar, merasa trenyuh dan terharu. Karena baru kali ini, ia diperlakukan lembut dan penuh kasih sayang seperti ini. Ia jadi, merasa bagai sedang dibelai oleh ibunya sendiri. "Em ... saya kenapa, Nyonya? Kenapa saya bisa berada di sini?" Dengan wajah pucat, Syaqilla masih terlihat kebingungan. "Jadi begini, Syaqilla. Ketika saya dan istri saya sedang mengendarai mobil, tiba-tiba saja kamu datang melintas di depan mobil. Sehingga dengan tidak sengaja kami pun menabrakmu," ucap Mahendra menerangkan kronologi kecelakaan yang dialami oleh gadis itu. Degg! Syaqilla baru teringat saat terakhir kalinya ia sedang berlari untuk menghindar kejaran dua preman anak buahnya Bramantyo. Wajahnya langsung berubah tegang, juga panik. "Oh, tidak-tidak. Saya tidak mau menikah dengan laki-laki itu." Reflek gadis itu menggeleng ketakutan. "Tuan, Nyonya, tolong bantu saya agar saya bisa kabur dari laki-laki itu!" Dengan wajah memohon Syaqilla meraih kedua tangan Laura. Membuat dua paruh baya itu saling melempar pandang, merasa keheranan, sekaligus juga iba padanya. "Ya ya ya, kamu tenang dulu, Syaqilla! Kamu sekarang sudah aman berada di sini, oke." Karena iba, jiwa keibuan Laura pun muncul. Segera ia memeluknya dan mengusap-usap kepalanya pelan. Tutur kata wanita itu begitu lembut, terdengar bagai alunan musik yang indah di telinga Syaqilla. Sehingga lambat laun Syaqilla pun bisa merasa sedikit tenang. Setelah itu, Laura melepas pelukannya dan berkata, "Sekarang kamu bisa ceritakan kepada kami, sebenarnya apa yang tengah terjadi padamu, Syaqilla?" "Em, sebenarnya ... pada saat itu saya--"Tamara terdiam, tidak menjawab. Dirinya bingung mau menjawab apa. Apakah harus berkata jujur, atau akan tetap membiarkan putrinya berfikiran entah seperti apa tentang dirinya. "Sudah cukup dramanya! Mending sekarang kau ikut denganku saja gadis cantik!" sahut Bramantyo tiba-tiba. Wajah sembab Syaqilla yang semula sedang tertunduk langsung terangkat. Lalu, sembari menyeka air mata, gadis ber-piama pink itu mengernyitkan dahi, menatapnya keheranan. "Anda siapa?" Bramantyo malah tertawa lantang. Dengan tersenyum genit, ia berkata, "Aku adalah calon suamimu, Sayang!" "A-apa!" Spontan gadis cantik itu membelalakan mata. Sungguh sangat-sangat di luar dugaan. Ternyata ibunya malah tega menjodohkannya dengan seorang pria tua. "Ibu, apa maksudnya ini? Masa aku harus menikah dengan pria itu?" Protes Syaqilla menuding ke arah Bramantyo. Ia semakin menolak perjodohan ini. Apa lagi setelah tahu kalau umur pria yang akan menjadi calon suaminya itu terpaut jauh dengannya. Bahkan umur pr
"Lima ratus juta! Aku mau lima ratus juta. Aku jamin kalau dia benar-benar masih perawan dan belum pernah disentuh oleh siapa pun!" tandas Tamara, dengan entengnya menyebutkan nominal harga yang ia inginkan. Wanita paruh baya itu bagai sedang menawarkan suatu barang dagangan saja. Padahal, yang ia jual adalah keperawanan anak gadisnya sendiri. "Apaa?! Lima ratus juta? Apa kau sudah gila?" Mata Bramantyo langsung melotot syok mendengarnya. Tentu saja lelaki tua itu terlihat sangat kesal dengan nominal yang disebutkan oleh Tamara. Nominal itu terlalu besar buat membayar anak seorang pelacur. Walau putrinya masih perawan, tetapi bagi Bram, itu angka fantastis yang tidak masuk akal. "Kau meminta uang bayaran, atau mau memerasku, hah?" Dengan acuh Tamara mengangkat kedua bahu. Tanda ia tidak perduli dengan respon Bram yang sedang meneriakinya kesal. "Itu sih, terserah kau saja, Bang. Kalau setuju, silahkan. Kalau gak, ya udah sana-sana kau pergi saja deh sekarang!" Tamara mengibaskan
Flashback. Di suatu malam, tepat di jam sembilan. Seorang gadis yang baru selesai bekerja, tampak sangat kelelahan. Gadis berkemeja putih dan bercelana jeans itu kini berjalan menelusuri kota. Menapaki jejak di pinggiran pertokoan. Malam yang sepi, ia terus melangkah pelan sambil menikmati malam yang dipenuhi dengan cahaya lampu-lampu temaram, yang tampak begitu indah menghias pinggir jalan. Langkahnya kian terasa berat. Tatkala ia semakin mendekat ke arah sebuah rumah kecil tempatnya ia tinggal sekarang. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman untuk ia pulang. Malah justru membuatnya merasa sangat tertekan. Lalu, ketika ia hampir sampai di depan rumah, dirinya merasa sedikit keheranan. Dahinya mengernyit saat melihat sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan, depan rumah. Dalam hatinya pun bertanya, "Mobil siapa ini? Apakah kali ini Ibu sedang berada di rumah?" Tiap kali ia pulang kerja, rumah itu biasanya akan terlihat sepi. Karena ibunya jarang sekali pulang ke
Berapa jam kemudian. Di suatu ruang bernuansa putih, dua orang paruh baya terduduk di sofa panjang, yang ada di sudut ruang. Dengan perasaan khawatir dua orang tersebut tampak cemas, menunggu seorang gadis yang kini terbaring lemas di atas pembaringan. Dua mata gadis itu tertutup rapat, masih dalam keadaan yang tak sadarkan diri. Terlihat ada beberapa luka gores ataupun memar di sekujur tubuhnya kini. Di dahinya juga terdapat plester yang menempel cantik menghiasi wajah gadis tersebut. Dan tak lupa, selang infus yang menancap di satu lengannya, menandakan kalau gadis itu kini sedang dirawat di sebuah rumah sakit. Ya, karena keteledorannya yang berlari tanpa melihat ke sekitar, hingga membuat gadis itu tertabrak sebuah mobil yang sedang melintas di jalan. Untung saja keadaan gadis itu tidak terlalu parah, sehingga tidak berakibat fatal. Akan tetapi, karena dirinya yang dalam keadaan panik, dan kejadian itu yang terlalu mendadak, hingga membuat gadis itu sangat syok dan jatuh p
Di pinggir jalan. "Woy, berhenti! Jangan kabur!" Dua orang pria berbadan kekar sedang berlari mengejar seorang gadis. Terlihat, dua kaki mungil telanjang tanpa alas, terus berlari tiada henti di tepi jalanan yang sangat sepi. Suara napasnya menderu dan tersengal-sengal. Kadang dada terasa sesak, kala oksigen senyap tak terhirup dari lubang hidung. Jantungnya berdetak kencang tak beraturan. Rambut tergerai acak-acakan, wajah pun dipenuhi peluh. Padahal, angin malam di luaran sana terasa dingin menyentuh kulit. Namun, bulir-bulir bening seolah tak mau berhenti mengucur deras membasahi tiap jengkal kulit langsat-nya. Wajah gadis berambut panjang sebahu itu terlihat ketakutan. Sesekali ia menoleh ke belakang. Memastikan bahwa orang yang sedari tadi mengikutinya, masih terus mengejarnya atau tidak. Waktu sudah menunjukan pukul 23.00 WIB. Jalanan itu tampak lenggang, tidak terlihat ada banyak aktifitas orang yang melintas di sekitar jalan. Hanya ada beberapa mobil dan kendaraan b