Jaja membopong tubuh Yasmin masuk ke dalam mobil lalu meletakkan tubuh Yasmin pelan di kursi belakang, serta meluruskan kaki Yasmin agar Yasmin lebih nyaman. Jaja juga mengambil bantal leher kemudian menyangga kepala Yasmin."Saya bukan jompo lho, Ja," ujar Yasmin sambil memutar bola mata malasnya. Jaja hanya menyeringai, lalu masuk ke dalam kursi kemudi."Kita langsung pulang, Bu?" tanya Jaja sambil memasang seatbelt."Iya, saya mau istirahat di rumah saja.""Kalau mampir ke KUA dulu mau gak, Bu? Masih buka jam segini kok, Bu," ledek Jaja sambil terkekeh."Mulut kamu kalau bicara yang sopan, Ja. Saya tidak suka mendengarnya," ujar Yasmin ketus sambil melipat tangannya di dada."Emang mau ngapain ke KUA, Bu?" tanya Jaja keheranan."Jangan suudzon, Bu. Di KUA Kebayoran itu persis di sampingnya ada pom bensin, Bu. Ini si merah hampir habis bensinnya," terang Jaja sambil melihat ke arah Yasmin yang membuang pandangan."Oh ... bilang dong," sahut Yasmin sambil mengeluarkan uang tiga ratus
Reza memekik senang melihat amihnya digendong oleh Jaja saat akan turun dari mobil. Bik Narsih yang berdiri di depan pintu bersama Reza ikut melotot kaget melihat penampilan Jaja yang berubah. Ditambah saat ini Jaja sedang menggendong majikannya.Ada apa ini? Narsih bermonolog.Reza yang ditangannya sedang memegang ponsel, cepat membuka mode kamera lalu memotret amih dan abang Jaja kesayangannya."Amih kok digendong?" tanya Reza begitu amih dan Jaja sampai di depan pintu."Kaki Amih keseleo, Bang. Jadi susah jalannya," terang Yasmin sambil meringis."Narsih, kok bengong? Permisi saya mau lewat, ini Jaja berat gendong saya." Yasmin menegur Bik Narsih yang melongo menatap Jaja dan majikannya bergantian tanpa memberi jalan masuk bagi mereka."Eh...iya,Bu." Narsih tersadar lalu menggeser tubuhnya. Jaja masuk sambil menggendong Yasmin diikuti Reza yang kini sudah merekam adegan romantis amihnya."Kuat gak gendong saya ke lantai dua?" tanya Yasmin pelan sambil menatap Jaja."Kuat, Bu. Tena
Melihat Yasmin yang lemas di atas balkon kamarnya, Jaja panik begitu juga Reza. Masih dalam keadaan tubuh basah, Jaja berlari masuk ke dalam rumah menuju kamar Yasmin. Diikuti oleh Reza yang juga setengah berlari mengekori Jaja."Pelan, Za. Licin!" Jaja mengingatkan Reza agar hati-hati.Jangan dibayangkan betapa anehnya dua lelaki yang satu memakai sempak berenang dan yang satu lagi memakai sempak merah, berlari ke lantai dua.Kreekk...."Bu...ya Allah!" pekik Jaja kaget, melihat Yasmin dalam keadaaan lemas bersandar di tiang balkon."Amiih... hiks..hiks.." Reza malah menangis, menyaksikan amihnya lemas dan wajah yang pucat. Sigap Jaja menggendong Yasmin lalu menaruhnya kembali di atas kasur."Eza, punya minyak kayu putih ga?""Ada, Bang. Tunggu ya!" Reza berlari keluar kamar amihnya. Ia ingin mengambil minyak kayu putih yang memang selalu disimpan di kamarnya."Ini, Bang." Reza mengulurkan minyak kayu putih pada Jaja. Jaja membalur tangan dan juga kaki Yasmin dengan dada berdebar. Me
"Bu, permisi," tegur Jaja saat berdiri tepat di depan kamar Yasmin yang masih terbuka pintunya. Yasmin yang sedang duduk fokus pada ponselnya ikut menoleh."Ada apa?" tanya Yasmin datar. Melihat Jaja sekilas, lalu matanya kembali pada layar ponsel."Reza sudah tidur, saya permisi pulang ya, Bu. Besok saya balik lagi dengan membawa tukang urut.""Oh, oke. Hati-hati," sahut Yasmin sambil tersenyum tipis."Mas Jaja!!" suara Bik Narsih menggema dari dalam kamar mandi Yasmin. Kepalanya menyembul keluar. Hingga Jaja dan Yasmin menoleh pada Narsih."Mau pulang ya? Saya antar ya?" ujar Bik Narsih sambil menyeringai."Emang kamar mandinya sudah bersih?""Sedikit lagi, Bu. Saya antar Mas Jaja dulu ke bawah. Nanti saya lanjutkan lagi sikat kamar mandinya." Bik Narsih sudah berdiri di dekat Yasmin. Matanya tidak lepas menatap Jaja."Tidak bisa! lanjutkan lagi pekerjaanmu!" tolak Yasmin tegas."Sekalian saya kunci pagar, Bu," sela Narsih beralasan. Tetapi ada benarnya juga, pintu pagar memang haru
Jaja sudah sampai di depan gang rumahnya diantar oleh Dokter Vera."Terima kasih sudah mengantar saya, Dok.""Panggil Mbak Vera saja.""Eh iya, Mbak, terima kasih." Jaja menganggukkan kepalanya sambil tersenyum."Besok biar saya bicara pada Yasmin. Kalau Yasmin setuju, mulai lusa, kamu sudah bisa bekerja di rumah sakit.""Alhamdulillah, terimakasih banyak, Mbak Vera." Jaja tersenyum senang. Turun dari mobil sedan mewah Vera dengan hati riang. Vera melambaikan tangan pada Jaja sambil membunyikan klakson.Semoga Bu Yasmin mengizinkanku bekerja pada Dokter Vera, besok. Jaja bermonolog. Senandung riang ia nyanyikan mengisi ruang hati yang tadi sempat gundah karena perkataan pedas Yasmin sekaligus bertemu dengan lelaki yang mengaku calon suami Yasmin. Tawaran pekerjaan teknisi listrik yang dilayangkan Vera membuat ia kembali bersemangat."Assalamua'laykum," seru Jaja sambil membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci. Tumben sepi, pikirnya. Bu Ambar tidak menyahut, lampu ruang tengah yang d
"Apa?!" Yasmin kaget, bahkan wajahnya pias."Iya, aku bayarin hutang Jaja ke kamu, ini aku lebihkan dua juta sebagai kompensasi. Rumah sakit lagi butuh teknisi listrik.""Tidak bisa!" tolak Yasmin sambil meletakkan kembali amplop coklat ke tangan Vera."Kenapa tidak bisa?bukannya Jaja kerja jadi supir karena mempunyai hutang dengan kamu lima juta. Ini aku ganti uangnya, Sayaang. Jaja biar kerja di rumah sakit saja." Vera berkata lemah lembut sambil kembali menyodorkan amplop yang ia pegang."Aku harus bicara dulu pada Jaja," tukas Yasmin dengan raut wajah sebal."Oke, baiklah. Semoga Jaja juga setuju." Vera mengerling sambil tersenyum licik. Lalu dengan gemulai keluar dari kamar Yasmin, namun baru memegang engsel pintu, Vera berbalik."Bolehkan kalau aku naksir Jaja?" tanya Vera sambil menyeringai."Ya terserah kamu, bukan urusan aku juga," sahut Yasmin dengan memutar bola mata malasnya."Hehehehe...aku baru tahu lho, muka janda yang lagi cemburu itu kayak gini ternyata," ledek Vera s
Reza seharian uring-uringan. Sudah jam sepuluh siang, tapi Reza belum mau makan apa-apa dari pagi. Anak lelaki itu kesal sekaligus sedih karena Jaja tidak datang ke rumahnya hari ini. Bik Narsih sudah membujuknya agar mau makan, tetapi Reza masih mengunci rapat mulutnya."Makan, Bang. Nanti sakit perut," ujar Yasmin parau karena kakinya sedang dipijat oleh tukang urut langganan keluarga Vera."Iya nanti. Abang tidak lapar. Abang cuma sepi saja," sahut Reza sendu sambil melamun memperhatikan lego di depannya."Besok juga Bang Jaja ke sini. Ibunyakan lagi sakit, Bang."Reza tidak menyahut, ia malah keluar dari kamar Yasmin lalu turun ke bawah untuk menghampiri Narsih yang sedang membuat puding di dapur.Yasmin memandang layar ponselnya. Ada nama papanya tertera di sana. Yasmin enggan mengangkat tapi bunyi itu terus saja berdering.Hallo, Assalamualaykum, Pa.Lagi diurut, Pa. Kaki Yasmin keseleo, tapi sudah tidak apa-apa kok.Aduh, jangan besok deh, Pa. Yasmin aja ga tau kapan baru bener
Lo siento hermana, no he podido encontrar a Riani.(Maafkan aku, Kak. Aku belum bisa menemukan Riani).Ttuuutt...ttuuutt....Sambungan itu terputus. Lelaki berwajah bule mencoba kembali menghubungi seseorang.HalloApa sudah ada kabar?Lama sekali saya tunggu.Saya tidak pakai kamu lagi, jika dua hari nanti tidak ada kabar.****Sementara itu di kamar Yasmin udara mendadak panas, padahal Yasmin baru saja selesai mandi dibantu oleh Bik Narsih. Ia juga mengenakan piyama terusan pendek tanpa lengan, balkon kamar juga sudah dibuka agar udara dan matahari pagi masuk ke kamarnya. Namun tetap saja hawa kamar terasa panas. Semua ini dikarenakan foto yang baru lima menit lalu ia lihat. Rasa penasaran membuat Yasmin akhirnya memberanikan diri untuk menghubungi Jaja.Di lain tempat yaitu lebih tepatnya di sebuah rumah sakit. Seorang wanita paruh baya masih tertidur pulas karena baru saja selesai sarapan. Namun tidurnya terganggu karena suara ponsel anaknya yang sedari tadi berdering.Masih denga