"Maafin aku, Ja. Tidak bisa. Aku akan menikah dengan Devano," sahut Yasmin sambil terisak."Saya tanya pada Ibu, Ibu mencintai saya'kan?" Jaja mendongak menatap Yasmin yang masih terisak.Yasmin menggeleng, tidak. Ia terpaksa menggeleng di depan Jaja."Baiklah, saya paham.Saya hanya lelaki miskin yang mengharapkan cinta kasih tulus dari wanita kaya seperti ibu, yang sangat mustahil saya dapatkan." Jaja bangun dari duduknya. Masih dengan menunduk Jaja menahan isakannya."Ingatlah, Bu. Ada seorang lelaki miskin seperti saya yang pernah dengan tulus mencintai ibu." Jaja berbalik, ia kembali berjalan menuju balkon."Saya ikhlas, Bu. Jika ibu bahagia, maka saya pun ikut berbahagia. Selamat." Jaja keluar dari pintu balkon dengan perasaan hancur lebur.Yasmin jatuh terduduk, nafasnya tercekat tidak mampu menyahut ucapan Jaja barusan. "Maafin aku, Ja. Aku pun, hiks...hiks... mencintaimu." pandangan Yasmin menggelap.****Pukul sembilan pagi, semua orang sudah memenuhi kediaman Yasmin. Pak Miha
"Jajaaaa!" panggilnya semakin keras. Bahkan ia melepas sendal pengantin serta mengangkat kain roknya setinggi lutut, agar ia bisa mengejar mobil yang hilang dari pandangan."Ha...huh...ha... Jaja, jangan pergi. Jaja..." nafasnya terengah saat sampai di tikungan perumahan. Mobil yang ditumpangi Jaja sudah tidak ada. Yasmin berjongkok, tidak kuat menumpu tubuhnya yang melemah. Ia menangis tersedu tertahan. Bahkan tidak mampu mengeluarkan suara sedikitpun.Dari kejauhan, seorang anak lelaki kecil tampak berlari menyusul Yasmin tanpa alas kaki. Wajahnya sama sembabnya seperti ibunya. Dia adalah Reza, kesedihan luar biasa terpancar di wajahnya saat ia harus kehilangan Bang Jaja dan juga Nenek Ambar."Amih, ayo kita pulang! Abang Jaja dan nenek sudah pergi. Hiks...hiks..." Reza masih terisak saat menyentuh pundak Yasmin dan mengajaknya pulang. Yasmin menoleh pada Reza, lalu membuka tangannya. Keduanya berpelukan erat di tengah hiruk pikuk jalanan perumahan yang selalu ramai. Bahkan satu dua
Jaja mengamati hiruk pikuk ibu kota dari balik jendela apartemen. Cahaya lampu dari jalan, gedung, dan pantulan sinar bulan, membuat malam minggu bertambah syahdu, karena ditemani rintik hujan yang tak berkesudahan. Di tangannya masih menggenggam erat ponselnya yang dalam keadaan mati. Sejak sore, ia sudah memblokir nomor wanita yang sangat ia cintai. Ia terpaksa melakukannya, Yasmin sudah memilih menikah dengan orang lain, dari pada ikut bersamanya. Maka ia harus mencoba mengikhlaskan walaupun sangat sulit."Mama mau ke mana?" tanya Jaja saat melihat ibunya sudah berpakaian rapi, hendak keluar kamar."Makan malam di restoran bawah. Bapak lu ngajakin. Lu ikut ga?""Nggak deh, Ma. Jaja di sini saja.""Kalau masuk angin, awas aja lu minta kerokin!" ancam Bu Ambar."Mana bisa makan, Ma. Masih kepikiran Bu Yasmin dan Reza," sahut Jaja lemah. Ia berjalan ke arah ranjang, lalu merebahkan tubuhnya di sana."Ya sudah, gue makan dulu. Ntar lu gue bungkusin dah." ujar Bu Ambar sambil menutup pi
Di sinilah Yasmin berada, di dalam sebuah rumah kontrakan tiga petak, yang baru saja sepekan kosong. Perbotan dapur masih tertinggal, ada rak piring sederhana lengkap dengan isinya, panci-panci berukuran cukup sedang. Tetapi tidak ada kompor dan gas.Ranjang pun tidak ada, tetapi kasur lipat tipis ada di bawah kolong meja kecil di ruang depan. Sepertinya pemilik rumah pindah tanpa membawa semua barangnya. Gumam Yasmin saat melongok ke dalam kamar mandi. Ada sebuah handuk tergantung di sana."Gimana, Mbak? Mau di sini?" tanya Bu Sumi pada Yasmin."Tidak apa-apa, Bu. Saya mau. Tapi ini barang-barang boleh saya pakai, Bu? Apa mau diangkut sama pengontrak sebelumnya?""Kayaknya nggak deh, pengontrak sebelumnya sudah pergi. Tidak akan kembali lagi sepertinya. Ini barang-barang sebagian sudah dijual sama suami laknat ibu yang menempati rumah ini," terang Bu Sumi dengen penuh semangat sambil menggendong cucunya.Mulut Yasmin membentuk lingkaran menyerupai huruf O, lalu ia mengangguk paham."
Wah, kalau janda cantik begini sih, laki gue bisa ngences. Pasti deh, dibebasin iuran bulanan."Ini, Bu. Fotokopy KTP dan juga KK saya. Salam kenal, Bu." Yasmin menunduk dengan ukiran senyum di bibirnya sambil menyerahkan dua lembar data dirinya pada Bu RT.Setelah berbasa-basi lima belas menit, Yasmin dan Bu Sumi pamit pulang. Sepanjang jalan, Bu Sumi menertawakan Bu RT yang sudah salah paham. Yasmin hanya menanggapinya dengan senyuman."Tidur di mana, Mbak? Bukannya tidak ada kasur di rumah?""Eh, iya Bu, tadi siang saya sudah beli kasur model sorong, biar tidak makan tempat.""Oh gitu, ya sudah selamat bergabung di Gang Senggol ya, Mbak. Semoga betah." Bu Sumi pun masuk ke dalam rumahnya. Yasmin masih terpaku di depan rumah kontrakannya. Matanya melihat langit malam yang tampak ramai dengan gugusan bintang yang bertaburan.Bulan juga tampak muncul dengan sinar terangnya, bebas tanpa awan yang menyembunyikannya. Lampu pesawat berkelap-kelip di langit, seakan melewati bintang yang be
Yasmin merasa begitu senang mendapatkan hadiah dari Jaja. Senang dan sedih bersamaan. Dipandanginya gelang mutiara lombok yang kini sudah melingkar di pergelangan tangan. Sangat cantik dan bagus. Ia tersenyum penuh haru. Jaja benar-benar mencintainya, seperti almarhum suaminya dulu mencintainya. Lalu apa yang harus ia lakukan sekarang, saat ia tidak tahu di mana Jaja berada? Haruskah ia mencarinya, tapi ke mana? "Amih, kenapa belum tidur?" tanya Reza yang terbangun dari tidurnya. Ini sudah jam satu dini hari, jamnya Reza ke kamar mandi untuk buang air kecil. Yasmin buru-buru mengusap air matanya agar tidak dilihat Reza, tetapi sayang sekali, putranya yang tampan dan pintar itu sudah melihat air mata amihnya yang kembali jatuh. Reza yang tidur di kasur single bagian atas, langsung duduk sambil menggosok matanya yang berat. Ia menoleh pada amihnya yang matanya masih saja sembab. "Eza mau pipis," kata anak lelaki itu turun dengan tergesa-gesa untuk ke kamar mandi. Selesai buang air, R
"Jo, gue lagi pengen makan baso di mana sih?" tanya Bu Ambar pada ayah biologis putranya. Jonathan yang sedang memusatkan perhatian pada ponsel pintarnya, langsung menoleh ke asal suara. Pria itu tersenyum. "Di sini tidak ada baso. Adanya baso saya, mau?""Gak lucu, Jo, dan aku gak minat juga. Palingan udah kisut. " Bu Ambar melirik sinis, sedangkan Jaja hanya bisa terkikik geli menyaksikan mama dan babenya seperti ABG tua yang saling cari perhatian. Lebih tepatnya, babehnya yang cari perhatian. "Ja, lu masuk gih, ini obrolan dua satu plus. Anak kecil gak boleh dengar. Otak lu nanti ternodai kalau denger babe lu ngomong." Jaja menggelengkan kepala. "Ma, rumah sebesar ini, gak ada tetangga, gak ada teman, masa saya harus di kamar terus. Bosen, Ma. Tadi saya ngintip di depan, apa ada pos yang bisa dipakai buat main gaplek, tapi gak ada." Bu Ambar dan Jonathan terbahak mendengar cerita berapa menderitanya Jaja karena tidak ada teman di lingkungan rumah super elit. "Di sini mana ada p
"Eza, nanti tunggu Amih jemput ya. Amih mau ke kantor teman Amih dulu. Jika Amih terlambat, pasti Amih kasih tahu Eza. Ponsel Eza ada sama Bu Nur ya." Reza mengangguk paham pesan Yasmin. Putranya mencium punggung tangan sebelum masuk ke dalam kelas. Ini adalah sekolah baru Reza. Masih sekolah swasta juga, tetapi jauh berbeda dari yang pertama. Bu Nur; selalu wali kelas Reza, begitu juga dengan kepala sekolah dan guru lain, menyambut putranya dengan sangat baik. "Bu Nur, saya titip Reza ya. InsyaAllah saya gak akan lama kalaupun terlambat.""Baik, Bu Yasmin. Ponselnya Reza saya simpan ya. Saat pulang nanti baru saya berikan." Yasmin mengangguk setuju. Lalu, ia pun berpamitan untuk segera meluncur ke kantor Rahmi. Teman kuliah yang saat ini bekerja sebagai manajer pengadaan di sebuah perusahaan konstruksi. Ia berharap usahanya kali ini berhasil. Lokasinya sangat jauh dari sekolah Reza, maupun rumah kontrakannya. Naik ojek online, ia dikenakan ongkos enam puluh lima ribu rupiah. Kuran