Naira masih menatap layar ponselnya, membaca ulang pesan dari Adrian berkali-kali.
"Datang ke hotel La Royale pukul tujuh malam. Jangan terlambat." Apa maksudnya? Kenapa Adrian ingin menemuinya di hotel? Ia menggigit bibir, merasa ragu. Setelah insiden di kantor, ia tidak yakin apakah bertemu dengan pria itu adalah keputusan yang tepat. Tapi di sisi lain, menolak Adrian bukanlah pilihan yang bijak. Pria itu memiliki pengaruh besar, dan ia tidak ingin menambah masalah dalam pekerjaannya. Tapi sebelum ia bisa memikirkan lebih jauh, ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Dengan sedikit enggan, ia menjawab, "Halo?" "Naira!" Suara panik di seberang membuatnya langsung menegakkan punggung. Itu suara ibunya. "Ibu? Ada apa?" Suara ibunya terdengar bergetar. "Kita dalam masalah besar, Nak. Ayahmu… dia punya utang, dan sekarang orang-orang itu datang menagih!" Dunia Naira langsung berputar. "Apa? Utang apa?" "Dia meminjam uang dari seseorang… seorang rentenir. Dan jumlahnya sangat besar, Naira. Mereka datang ke rumah, mengancam akan mengambil semuanya jika kita tidak segera melunasi!" Naira merasakan keringat dingin mengalir di tengkuknya. Berapa pun jumlahnya, jika rentenir yang terlibat, itu pasti bukan angka kecil. "Ibu, tenang dulu. Aku akan cari jalan keluar," katanya, meskipun pikirannya sendiri penuh dengan kekhawatiran. "Bagaimana, Naira? Kita tidak punya uang sebanyak itu!" suara ibunya semakin putus asa. Naira mengepalkan tangannya. Ini terlalu mendadak. Baru kemarin ia berusaha menghadapi Adrian dan Revan, sekarang keluarganya di ambang kehancuran. Namun, saat pikirannya kacau, pesan Adrian kembali terlintas di benaknya. Datang ke hotel La Royale pukul tujuh malam. Entah kenapa, firasatnya mengatakan bahwa pria itu pasti memiliki rencana. --- Malamnya, di Hotel La Royale Naira berdiri di depan pintu suite mewah di lantai tertinggi hotel. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu. Tak butuh waktu lama, pintu terbuka. Adrian berdiri di sana, mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung hingga siku. Matanya yang tajam langsung mengunci tatapannya. "Kau datang," ujarnya datar. Naira mengangguk, lalu melangkah masuk. Ruangan itu sangat luas dan elegan, dengan lampu kristal menggantung di langit-langit serta jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota di malam hari. Adrian berjalan ke arah sofa dan duduk dengan santai. "Duduklah," katanya, menunjuk kursi di seberangnya. Naira menurut, meski tubuhnya terasa kaku. "Kenapa aku harus datang ke sini, Tuan Adrian?" tanyanya langsung. Adrian menatapnya lama sebelum akhirnya membuka suara. "Aku mendengar keluargamu dalam masalah." Naira terkejut. "Bagaimana Anda tahu?" Pria itu tersenyum tipis. "Aku punya banyak cara untuk mendapatkan informasi, Naira. Dan aku tahu ayahmu memiliki utang besar yang tidak bisa dia bayar." Naira menunduk, merasa malu. "Jadi, apa yang Anda inginkan?" tanyanya hati-hati. Adrian menyandarkan punggungnya ke sofa, menatapnya penuh arti. "Sederhana. Aku bisa melunasi semua utang keluargamu." Naira menegang. "Apa?" "Tapi tentu saja, itu bukan tanpa syarat," lanjut Adrian. Naira sudah menduganya. Tidak ada yang gratis di dunia ini. "Apa syaratnya?" Adrian menatapnya dalam. "Menjadi wanitaku." Jantung Naira hampir berhenti berdetak. "Apa maksud Anda?" tanyanya dengan suara bergetar. "Aku ingin kau menjadi milikku, Naira. Menemani aku kapan pun aku mau. Tidak hanya dalam bisnis, tetapi juga dalam kehidupan pribadiku." Naira membeku. Itu bukan sekadar tawaran biasa. Ini adalah perjanjian yang akan mengikatnya dengan pria yang paling menakutkan yang pernah ia temui. "Aku tidak bisa—" "Sebelum kau menolak," potong Adrian, "pikirkan baik-baik. Jika kau menolak, keluargamu akan kehilangan segalanya. Tapi jika kau menerima, semua masalahmu akan hilang dalam sekejap." Naira menggigit bibir. Ini gila. Tapi… apa ada pilihan lain? Ia hanya bisa menatap Adrian, menyadari bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Naira menatap Adrian dengan napas memburu. Tawaran pria itu terdengar begitu kejam dan tidak masuk akal, tetapi di saat yang sama, itu adalah satu-satunya jalan keluar yang ia miliki. "Apa aku terlihat seperti seseorang yang bisa dijual?" Suaranya bergetar, tetapi ia tetap berusaha mempertahankan harga dirinya. Adrian mengangkat alis, lalu menyandarkan punggung ke sofa. "Aku tidak mengatakan aku ingin membelimu, Naira. Aku hanya menawarkan kesepakatan yang saling menguntungkan." "Saling menguntungkan?" Naira tertawa sinis. "Jadi, aku mendapatkan uang dan Anda mendapatkan… aku?" Tatapan Adrian tetap tajam, tetapi ada sedikit ketertarikan di sana. "Kau pintar. Ya, kurang lebih begitu." Naira menggigit bibir, pikirannya berputar. Ia tidak ingin terjerat dalam permainan pria ini. Tetapi jika ia menolak, apa yang bisa ia lakukan? "Kenapa aku?" tanyanya akhirnya. Adrian tersenyum tipis, lalu menatapnya lekat. "Karena kau menarik, dan aku suka wanita yang berani menantangku." Kata-katanya membuat jantung Naira berdebar kencang, tetapi bukan karena senang—lebih karena takut. "Tidak. Aku tidak bisa menerima ini," katanya akhirnya, mencoba berdiri. Namun, sebelum ia bisa pergi, Adrian berbicara lagi. "Kau yakin?" Naira terdiam. "Kau mungkin masih bisa bertahan hari ini, tapi besok? Lusa? Bagaimana dengan ibumu? Bagaimana jika orang-orang itu kembali dengan cara yang lebih kasar?" Adrian mencondongkan tubuh ke depan, menatapnya lekat. "Apakah kau siap kehilangan semuanya hanya karena gengsi?" Naira meremas jemarinya. Ia membenci fakta bahwa pria ini benar. Jika ia menolak, keluarganya akan hancur. Tetapi jika ia menerima… "Aku tidak akan tidur denganmu," katanya, suaranya sedikit gemetar. Adrian terkekeh, seolah menikmati ketakutannya. "Siapa bilang aku menginginkan itu?" Ia berdiri, lalu berjalan ke dekat jendela, menatap pemandangan kota. "Aku hanya butuh seseorang di sisiku, seseorang yang bisa berpura-pura menjadi milikku di depan orang-orang tertentu." Naira menatap punggung pria itu dengan bingung. "Jadi, Anda ingin aku menjadi pacar pura-pura?" Adrian menoleh dengan ekspresi penuh misteri. "Sebut saja begitu. Tapi ingat, peranku dalam hidupmu tidak akan berakhir hanya di situ. Aku memiliki aturan, dan jika kau setuju, kau harus patuh." Naira menggigit bibirnya. Ini jelas jebakan, tetapi apa ia memiliki pilihan lain? "Berapa lama?" tanyanya pelan. Adrian tersenyum, lalu berjalan mendekatinya. "Sampai aku bosan." Naira merasa tubuhnya menegang. Jawaban itu terdengar begitu berbahaya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Aku… aku butuh waktu untuk berpikir," katanya akhirnya. Adrian mengangkat bahu. "Baiklah. Kau punya waktu 24 jam. Jika kau setuju, temui aku besok di kantor." Naira hanya bisa mengangguk, lalu segera pergi dari tempat itu. Pikirannya kacau. Apa yang baru saja ia masuki? --- Di Rumah Naira Saat Naira sampai di rumah, ia menemukan ibunya terduduk di sofa dengan wajah penuh kekhawatiran. "Naira, bagaimana? Apa kau menemukan solusinya?" tanya ibunya dengan suara putus asa. Naira menatap ibunya, lalu menghela napas. "Aku sedang mengusahakannya, Bu." "Tolong, Nak. Ibu tidak tahu harus berbuat apa lagi…" Ibu Naira menggenggam tangannya erat. Melihat ibunya seperti ini membuat hatinya semakin berat. Jika ia menerima tawaran Adrian, ia bisa menyelamatkan keluarganya. Tetapi apakah ia siap menyerahkan hidupnya kepada pria itu? Naira menatap ibunya sekali lagi. Dalam benaknya, hanya ada satu jawaban. Ia tidak punya pilihan lain.Tiga tahun kemudian... Langit sore tampak teduh di atas taman kecil di panti asuhan Harapan. Angin berembus lembut, menerpa bunga-bunga yang tumbuh di sepanjang jalan setapak. Anak-anak berlarian sambil tertawa, membawa balon warna-warni dan bendera kecil bertuliskan "Terima Kasih, Kak Adrian & Kak Naira!" Di tengah keramaian itu, sepasang suami istri berdiri berdampingan, tangan mereka saling menggenggam erat. Adrian mengenakan kemeja putih sederhana, sementara Naira mengenakan gaun biru langit dengan riasan ringan. Wajah mereka tak lagi tegang seperti dulu—hanya ada ketenangan, kedewasaan, dan bahagia yang tak meledak-ledak, tapi terasa penuh. Hari itu bukan hari ulang tahun pernikahan mereka, bukan pula perayaan besar. Hari itu adalah hari peresmian ruang belajar baru di panti asuhan tersebut. Ruangan itu dinamai: Ruang Harapan – Persembahan dari Naira & Adrian. Sebuah ruang kecil, penuh buku, meja belajar mungil, dan papan tulis dengan hiasan tangan-tangan kecil anak-anak.
Langit sore mulai berubah jingga, senja yang hangat menelusup melalui jendela kamar kerja Adrian yang kini sudah menjadi ruang bersama mereka. Meja kayu di dekat balkon tampak rapi, kecuali satu benda yang kini tergeletak di atasnya: sebuah surat, dengan amplop putih sederhana, dan tulisan tangan Naira di bagian depannya. “Untuk Adrian, dari wanita yang memilihmu.” Adrian belum pulang. Tapi Naira duduk di tepi kursi, menatap surat yang baru saja selesai ditulisnya. Tangannya masih gemetar, bukan karena ragu, tapi karena beban emosi yang begitu dalam saat menuliskan tiap kata. Ia menarik napas panjang, sebelum perlahan mulai membaca ulang isi surat yang telah ditulisnya dengan tinta biru tua. --- Adrian yang aku pilih… Aku menulis surat ini bukan karena aku tak mampu mengatakannya secara langsung. Tapi justru karena aku ingin setiap kalimat dalam surat ini bisa kamu baca kembali, kapan pun kamu merasa ragu, atau lelah, atau lupa kenapa kita berjuang sejauh ini. Banyak hal y
Hari itu datang tanpa gemuruh. Tidak ada karangan bunga mewah, tidak ada gaun putih panjang, tidak ada sorotan kamera seperti satu tahun yang lalu saat mereka menikah karena kesepakatan bisnis. Tapi di dalam hati Naira, tanggal itu terasa lebih sakral dari apa pun yang pernah ia alami sebelumnya. Ini bukan sekadar hari ulang tahun pernikahan mereka. Ini hari di mana mereka memilih untuk mengulang segalanya, dengan kesadaran penuh dan cinta yang tumbuh dari keberanian untuk memperbaiki. Pagi hari, Adrian datang ke kamar Naira membawa nampan sarapan dan seikat bunga liar dari halaman belakang. “Selamat ulang tahun pernikahan—versi baru,” ucapnya sambil tersenyum. Naira tertawa kecil. “Kita benar-benar mulai dari awal, ya? Bahkan bunganya juga bukan yang mahal.” “Justru itu. Ini bukan tentang harga, tapi tentang niat. Sama seperti kita.” ** Mereka sepakat merayakan hari itu dengan cara paling sederhana: mengadakan syukuran kecil di panti asuhan tempat segalanya berubah. Tem
Udara pagi terasa segar di halaman belakang rumah mereka. Burung-burung mulai berkicau dari balik pepohonan, seolah menyambut awal yang benar-benar baru. Naira berdiri di depan meja kayu kecil, menyeduh dua cangkir teh hangat. Di dadanya, ada ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—bukan karena semuanya sudah sempurna, tapi karena akhirnya ia memilih dengan sepenuh hati. Adrian muncul dari dalam rumah, masih mengenakan baju rumah dan wajah yang tampak tenang. “Mimpi buruk semalam?” tanyanya lembut, melihat wajah Naira sedikit lelah. Naira mengangguk kecil. “Iya, tapi tidak seperti dulu. Dulu aku merasa sendirian setelah bangun. Sekarang tidak.” Adrian duduk di hadapannya, lalu meraih salah satu cangkir. “Mungkin karena kamu sudah memilih untuk tidak berlari lagi.” “Mungkin,” balas Naira pelan. Mereka duduk dalam diam sejenak. Bukan keheningan yang canggung, tapi keheningan yang saling memberi ruang. “Aku tahu ini nggak akan langsung jadi hubungan yang ideal,”
Senja mulai turun ketika Naira duduk di ruang keluarga. Cahaya oranye temaram menembus jendela, memantulkan bayangan samar di wajahnya yang murung. Tak lama, langkah kaki Adrian terdengar memasuki ruangan, tenang namun penuh beban. "Aku ingin kita bicara… untuk terakhir kalinya, jika memang itu yang kamu inginkan," ucap Adrian, duduk di seberangnya dengan wajah tegas namun lembut. Naira menatapnya. "Kamu bilang kamu mencintaiku. Tapi kenapa kamu seolah siap kehilangan aku begitu saja?" Adrian menarik napas dalam-dalam. "Karena cinta yang memaksa untuk memiliki bukan cinta yang benar, Naira. Aku belajar... bahwa jika aku benar-benar mencintaimu, aku harus membiarkan kamu memilih tanpa beban masa lalu. Tanpa rasa bersalah." Dia berdiri, lalu berjalan menuju meja kecil di sisi ruangan dan meletakkan dua amplop. “Yang satu berisi tiket ke luar kota, lengkap dengan penginapan dan segala keperluan untuk memulai hidup baru. Yang satu lagi... kosong, simbol bahwa kamu memilih untuk te
Langit sore berwarna jingga saat Naira turun dari taksi di depan rumah besar itu. Udara terasa lebih berat daripada biasanya—seolah tahu bahwa malam ini bukan hanya soal pulang, tapi soal keputusan besar yang akan diambil. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mendorong pintu pagar. Adrian berdiri di teras, seolah menunggu. Tatapan matanya kosong, tapi bahunya tegang. Ketika melihat Naira berjalan mendekat, ia berdiri lebih tegak, siap menghadapi apa pun yang akan datang. "Aku perlu bicara," kata Naira tanpa basa-basi. Adrian mengangguk. "Aku tahu. Aku juga." Mereka duduk di ruang tamu, tak ada teh, tak ada formalitas. Hanya dua hati yang lelah dan jujur. "Aku lelah dengan semua drama ini, Adrian," ucap Naira memulai. "Kalau kamu masih menyimpan kebohongan, lebih baik kita akhiri sekarang. Aku tidak ingin hidup dengan setengah kebenaran." Adrian menunduk, lalu mengangkat kepalanya dengan tatapan yang berbeda. “Aku tak menyimpan apa-apa lagi, Naira. Semuanya sudah kubuka. Pes