Di meja makan yang luas dan mewah, suasana terasa tegang. Naira duduk berhadapan dengan Adrian, tetapi tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulut pria itu.
Hanya suara sendok dan garpu yang terdengar sesekali. Baru sehari setelah pernikahan mereka, dan Naira sudah merasa seperti tahanan di rumah ini. Tiba-tiba, Adrian meletakkan pisau steaknya dan menatapnya tajam. "Mulai hari ini, kau akan mengikuti beberapa aturan," katanya tanpa basa-basi. Naira mengangkat alis. "Aturan?" Adrian mengambil sebuah amplop dan meletakkannya di depan Naira. "Baca dan pahami." Dengan sedikit ragu, Naira membuka amplop itu dan menemukan selembar kertas berisi daftar peraturan. 1. Di depan publik, kita harus bertindak sebagai pasangan harmonis. 2. Jangan pernah mengumbar masalah pribadi kepada siapa pun. 3. Jika media bertanya, cukup jawab dengan singkat dan tegas. 4. Jangan membantah atau membuatku terlihat buruk di depan orang lain. 5. Jangan mencampuri urusan bisnis atau keluargaku. 6. Jangan keluar rumah tanpa seizinku. 7. Selalu kenakan cincin pernikahan di depan umum. 8. Setiap pagi dan malam, sarapan dan makan malam harus bersama. 9. Jangan membawa orang luar ke rumah tanpa izin. 10. Kontrak ini hanya berlaku satu tahun, jangan lupa itu. Mata Naira membulat saat membaca poin terakhir. "Jadi aku benar-benar tak boleh pergi tanpa izin?" tanyanya, menatap Adrian penuh protes. Adrian mengangkat bahu. "Aku tidak suka orang yang sulit diatur." Naira mengepalkan tangannya. "Dan bagaimana jika aku melanggar salah satu aturan ini?" Pria itu menatapnya dalam, ekspresi wajahnya sulit ditebak. "Maka aku akan memastikan kau menyesalinya." Ada nada ancaman halus dalam suaranya yang membuat bulu kuduk Naira berdiri. --- Menjalani Peran sebagai Istri Sempurna Sejak pagi, Naira mulai berlatih menjadi istri yang ‘sempurna’ sesuai aturan Adrian. Ia belajar cara tersenyum anggun di depan publik, memilih busana elegan, hingga bagaimana cara menghadapi media dengan tenang. Namun, setiap kali ia melakukan kesalahan kecil, Adrian akan selalu ada untuk mengoreksi. "Jangan menunduk saat berjalan. Itu membuatmu terlihat tidak percaya diri," tegur Adrian saat mereka berjalan di lobi perusahaan milik keluarga Nathaniel. Naira mendesah. "Kau tahu, aku bukan aktris yang harus berpura-pura sepanjang waktu." "Tapi kau sudah menandatangani kontrak ini. Jadi bersikaplah profesional." Naira menahan diri agar tidak mendebat lebih jauh. Namun, dalam hati, ia merasa semakin terkurung. --- Natasha Berusaha Menjatuhkan Naira Setiap hari, Natasha tidak pernah melewatkan kesempatan untuk meremehkan Naira. Saat makan malam keluarga, Natasha menatapnya dengan sinis. "Oh, Naira, kau tidak minum wine? Aku lupa, kau pasti belum terbiasa dengan gaya hidup kelas atas seperti ini." Naira tersenyum tipis. "Aku lebih suka teh. Lagipula, minuman beralkohol tidak baik untuk kesehatan, bukan?" Natasha mendengus. "Kau pikir dengan menikahi Adrian, kau bisa menjadi bagian dari keluarga ini?" Sebelum Naira sempat menjawab, Adrian berbicara dengan nada dingin. "Natasha, jaga sikapmu," katanya tajam. "Naira adalah istriku, dan itu tidak akan berubah." Natasha terdiam, tetapi tatapan bencinya tetap tidak hilang. Di sisi lain, Naira terkejut dengan sikap Adrian. Pria itu selalu dingin padanya, tetapi kali ini, ia seolah melindunginya. --- Perhatian Kecil dari Adrian Meskipun Adrian dikenal sebagai pria dingin dan tidak peduli, Naira mulai menyadari bahwa pria itu kadang menunjukkan perhatian kecil yang membingungkannya. Suatu malam, Naira merasa kepalanya pusing setelah seharian menjalani jadwal padat. Saat ia kembali ke kamar, ia menemukan segelas air hangat dan obat sakit kepala di nakas samping tempat tidur. Naira mengernyit. Siapa yang meletakkan ini? Ia menoleh dan melihat Adrian sedang membaca dokumen di sofa. "Minum obatnya sebelum kau pingsan," ucapnya tanpa menatapnya. Naira menatapnya heran. "Kau yang menyiapkan ini?" Adrian hanya mengangkat bahu. "Aku tidak ingin kau merepotkan rumah sakit jika kau jatuh sakit." Naira tidak tahu apakah itu alasan sebenarnya, tetapi tetap saja, ada sesuatu dalam sikap Adrian yang membuatnya bertanya-tanya. --- Ancaman dari Masa Lalu Saat Naira mulai beradaptasi dengan kehidupannya yang baru, tiba-tiba muncul ancaman tak terduga. Salah satu mantan kekasih Adrian, seorang wanita bernama Elena, kembali ke kota. Rumor mulai menyebar bahwa Elena ingin mengungkap kebenaran pernikahan Adrian dan Naira. "Pernikahan mereka hanya sandiwara!" "Adrian hanya menikahi gadis itu karena terpaksa!" Berita itu mulai beredar di media, membuat Naira panik. Sementara itu, Adrian terlihat tenang, tetapi tatapan matanya semakin tajam. "Aku akan menangani ini," katanya tegas. Namun, Naira bisa merasakan sesuatu yang berbeda dalam sikapnya. Seolah… ada hal lain yang lebih dalam terkait Elena dan masa lalu Adrian. Dan entah kenapa, Naira merasa bahwa ia akan segera terlibat dalam konflik yang lebih besar. Naira Mulai Melawan Beberapa hari setelah Adrian memberikan daftar aturannya, Naira mulai merasa bahwa dirinya tidak bisa terus mengikuti semua perintah tanpa perlawanan. Malam itu, ia duduk di ruang baca, memandangi cincin kawin di jarinya dengan perasaan campur aduk. "Aku hanya bagian dari kontrak, tapi kenapa aku harus tunduk sepenuhnya?" pikirnya. Saat Adrian masuk, Naira langsung menatapnya dengan serius. "Kau benar-benar ingin aku mengikuti aturan-aturan itu tanpa protes?" tanyanya. Adrian menatapnya tanpa ekspresi. "Kau sudah menandatangani kontrak. Apa kau menyesal?" Naira menghela napas panjang. "Aku hanya ingin sedikit kebebasan. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang memalukan. Aku hanya ingin keluar tanpa perlu selalu meminta izinmu." Adrian mendekatinya, menatapnya tajam. "Kau tidak mengerti, Naira. Dunia ini berbeda dari dunia yang biasa kau jalani. Satu kesalahan kecil bisa membuat semuanya berantakan." Naira menggertakkan giginya. "Tapi aku bukan boneka! Aku juga punya kehidupan, Adrian!" Untuk pertama kalinya, mata Adrian sedikit melembut, tetapi ia tetap pada pendiriannya. "Jika kau ingin kebebasan, buktikan dulu bahwa kau bisa menjaga citraku. Sampai saat itu tiba, tetaplah mengikuti aturan." --- Konflik dengan Natasha Semakin Panas Natasha tidak berhenti mencari celah untuk menjatuhkan Naira. Saat ada acara keluarga besar di salah satu restoran mewah, Natasha sengaja membuat Naira malu. "Oh, Naira, kenapa kau tidak berbicara banyak? Jangan-jangan kau merasa canggung karena tidak terbiasa dengan lingkungan seperti ini?" ucap Natasha dengan nada mengejek. Beberapa tamu tertawa kecil, tetapi Naira tetap tersenyum. "Tidak, aku hanya lebih suka mengamati orang-orang yang terlalu banyak bicara tanpa berpikir," balasnya santai. Wajah Natasha langsung berubah masam. Sementara itu, Adrian yang duduk di sebelah Naira hanya meliriknya dengan sedikit rasa kagum. Gadis ini ternyata tidak selemah yang ia kira. Namun, Natasha belum selesai. Saat makan malam hampir selesai, Natasha sengaja menjatuhkan segelas anggur merah ke gaun putih Naira. "Oh! Aku tidak sengaja! Maafkan aku, Naira!" ucapnya dengan senyum sinis. Semua mata tertuju pada mereka. Naira menatap Natasha tanpa ekspresi, lalu berdiri dengan tenang. Tanpa mengatakan apa pun, ia mengambil gelas air putih di meja dan menyiramkannya ke gaun Natasha. Ruangan menjadi hening. "Ups, aku juga tidak sengaja," kata Naira dengan senyum polos. Ekspresi Natasha berubah merah padam. Beberapa anggota keluarga berusaha menahan tawa, sementara Adrian hanya mengangkat alis. Setelah acara selesai, Adrian berjalan di samping Naira sambil berbisik, "Kau semakin berani." Naira hanya tersenyum kecil. "Aku tidak akan membiarkan diriku diinjak-injak." Untuk pertama kalinya, Adrian merasa bahwa gadis yang ia nikahi bukan sekadar gadis biasa. --- Misteri di Balik Adrian dan Elena Malam itu, saat Adrian sibuk dengan pekerjaannya, Naira tidak sengaja mendengar percakapan teleponnya dengan seseorang. "Kenapa kau kembali?" suara Adrian terdengar tegang. Naira menahan napas di balik pintu. "Kau pikir aku akan diam saja setelah kau menikahi orang lain?" suara seorang wanita terdengar marah. Naira mengernyit. Elena? "Aku sudah membuat keputusan. Pergilah dari kehidupanku," kata Adrian dingin. Namun, wanita itu tertawa kecil. "Apa kau yakin? Aku tahu rahasiamu, Adrian. Kau tidak akan bisa mengabaikanku begitu saja." Naira langsung merinding. Setelah Adrian menutup telepon, Naira berpikir keras. Apa sebenarnya hubungan Adrian dan Elena? Dan apa rahasia yang ia sembunyikan? Ia semakin sadar bahwa pernikahan ini jauh lebih rumit dari yang ia kira. --- Ancaman Media Tidak lama setelah kejadian itu, media mulai menggali informasi tentang pernikahan mereka. Sebuah artikel muncul dengan judul: "Siapa Sebenarnya Naira, Istri Baru Adrian Nathaniel? Apakah Pernikahan Ini Hanya Formalitas?" Naira membaca artikel itu dengan tangan gemetar. "Mereka mulai mencurigai kita..." gumamnya. Saat Adrian pulang malam itu, Naira langsung menunjukkan berita tersebut padanya. "Apa yang harus kita lakukan?" tanyanya cemas. Adrian membaca artikel itu sekilas, lalu meletakkan ponselnya dengan tenang. "Jangan panik. Ini baru permulaan." Naira menatapnya bingung. "Maksudmu?" Adrian menatapnya dalam. "Jika kau ingin bertahan dalam pernikahan ini, bersiaplah menghadapi badai yang lebih besar." Naira menelan ludah. Ia baru menyadari bahwa ini bukan hanya tentang kontrak atau perasaan mereka berdua. Ada banyak pihak yang tidak ingin pernikahan ini terjadi, dan ia harus bersiap menghadapi segala kemungkinan.Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan Naira dengan Lamia di kafe kecil itu. Dan sejak hari itu pula, pikirannya dipenuhi kalimat-kalimat ambigu yang terus berputar. Lamia memang tak lagi terlihat seperti ancaman, tapi tetap saja—masa lalu tak pernah benar-benar pergi. Naira ingin percaya. Ia sudah melihat perubahan Adrian dengan matanya sendiri. Tapi kepercayaan, sekali retak, sulit menyatu kembali tanpa bekas. Pagi itu, Naira sedang membersihkan ruang kerja kecil di rumahnya. Rak buku dirapikan, dokumen-dokumen disortir ulang. Di antara tumpukan buku, ia menemukan tablet tua milik Adrian—perangkat yang dulu sering digunakan saat mereka masih tinggal bersama sebagai pasangan kontrak. Tablet itu terkunci. Tapi entah bagaimana, saat disentuh, layar menyala dan langsung masuk ke layar utama. Tidak ada kata sandi. Mungkin karena Adrian sudah tak menggunakannya lagi, atau mungkin... karena ia tak merasa perlu menyembunyikan apa pun. Dengan jari yang ragu, Naira membuka galeri dan
Langit mendung menggantung di atas taman yang hampir sepi. Pepohonan bergoyang pelan diterpa angin, dedaunan jatuh satu per satu, menambah suasana sunyi yang menyusup hingga ke dada. Di salah satu bangku kayu taman itu, Adrian duduk menunggu, mengenakan jaket gelap dan celana jeans yang mulai basah karena embun malam. Ia menatap jam tangannya. Sudah hampir satu jam sejak ia duduk di sana, namun Naira belum juga muncul. Lalu terdengar langkah. Pelan tapi pasti. Adrian mendongak dan melihat sosok yang begitu dikenalnya. Naira berdiri di depan bangku taman, mengenakan kerudung tipis dan jaket krem. Wajahnya tenang, tapi tatapannya tajam—seolah menyimpan banyak pertanyaan yang tak ingin diulang dua kali. “Aku baca suratmu,” ucapnya langsung. Adrian berdiri, gugup tapi mencoba tenang. “Terima kasih… karena sudah datang.” “Aku datang bukan karena aku sudah memaafkan, Adrian. Tapi karena aku ingin dengar langsung, tanpa gangguan, tanpa perantara. Aku ingin tahu: apa benar kamu me
Langit sore itu berwarna jingga pucat, seperti hati Naira yang sedang belajar tenang. Setelah semuanya—kontrak, luka, dan pengakuan jujur—ia dan Adrian sepakat memulai dari awal. Tak ada lagi perjanjian, hanya cinta yang mereka pilih bangun bersama. Namun, sekuat apapun seseorang ingin melupakan masa lalu, seringkali masa lalu itu sendiri tak pernah benar-benar pergi. Sore itu, mereka berjalan berdampingan di taman kota. Adrian menggenggam tangan Naira dengan tenang, sesekali melirik wajah perempuan yang kini tak lagi rapuh, tapi tetap memancarkan kelembutan yang menyentuh. “Aku masih belum percaya,” gumam Adrian, “kamu mau memberiku kesempatan kedua.” Naira tersenyum samar. “Kamu tidak sedang kuberi kesempatan, Adrian. Kita sedang memulainya bersama.” Namun kebahagiaan yang baru saja bersemi itu goyah, saat suara perempuan terdengar dari belakang mereka—tajam, familiar, dan menyelusupkan hawa dingin di udara hangat sore itu. “Adrian?” Mereka berdua menoleh. Seorang wa
Taman itu masih sama. Rumput yang pernah diinjak oleh langkah marah, kursi kayu yang menjadi saksi pertengkaran hebat mereka, dan angin sore yang kini bertiup lembut, seakan menghapus jejak luka lama. Naira berdiri beberapa langkah di depan, mengenakan gaun sederhana berwarna putih gading. Tangannya menggenggam undangan dari Adrian—undangan tanpa agenda bisnis, tanpa tekanan keluarga, tanpa kewajiban kontrak. Ia menoleh saat suara langkah pelan mendekat. Adrian datang dengan kemeja abu-abu dan celana panjang santai. Tak ada dasi, tak ada aura dingin seorang CEO. Hanya lelaki dengan tatapan penuh penyesalan dan harapan baru. "Aku sempat berpikir kau tidak akan datang," ucap Adrian pelan. Naira tersenyum tipis. "Aku juga sempat berpikir tak akan pernah menginjakkan kaki di taman ini lagi." Keduanya tertawa kecil. Suara mereka menyatu dengan desiran angin dan kicau burung yang kembali ke sarangnya. Adrian menarik napas panjang. "Di tempat ini… kita pernah berkata hal-hal yang
Hujan sore itu turun ringan, mengiringi langkah Naira yang ragu saat menatap amplop undangan berwarna biru lembut di genggamannya. Nama pengirimnya jelas tertulis di pojok kanan atas: Adrian Alexander. Hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya. Setelah malam emosional di mana Adrian memintanya memilih dengan bebas, Naira mencoba menjauh untuk menata pikirannya. Namun undangan ini—mengajaknya ke panti asuhan tempat mereka pertama kali bertemu—seolah menjadi jembatan halus yang ditawarkan Adrian tanpa memaksa. Dengan balutan dress sederhana dan scarf putih, Naira melangkah ke halaman panti asuhan yang kini lebih tertata dan cerah. Senyum anak-anak menyambutnya, membuat hatinya hangat. Tapi pandangannya langsung tertuju pada sosok pria yang berdiri di depan panggung kecil, mengenakan kemeja putih yang digulung di bagian lengan, tampak bersahaja namun tetap karismatik. Adrian. Saat mata mereka bertemu, waktu seakan berhenti. Adrian tersenyum tipis, lalu melangkah maju. “Terima ka
Hujan gerimis turun perlahan di halaman belakang rumah, mengiringi suasana hati Naira yang tak menentu. Di tangannya tergenggam secarik kertas—salinan kontrak pernikahan mereka, yang kini tinggal menghitung hari sebelum resmi berakhir. Ia duduk sendiri di kursi rotan tua yang biasa mereka gunakan untuk menikmati sore bersama. Tapi sore ini berbeda. Tidak ada Adrian. Tidak ada percakapan. Hanya diam, dan pikiran yang terus menuntut jawaban. "Aku seharusnya lega..." gumamnya pelan. "Tapi kenapa terasa justru lebih menyakitkan sekarang?" Di dalam rumah, Adrian berdiri di balik jendela, memperhatikan Naira dalam diam. Ia tahu waktunya hampir habis, dan kali ini ia tidak berniat memohon atau memaksa. Semua sudah ia serahkan kepada keputusan Naira. Beberapa hari terakhir, ia memilih menjauh secara perlahan. Bukan karena menyerah, tapi karena ingin memberikan Naira ruang—ruang untuk benar-benar mendengar suara hatinya sendiri. --- Naira membuka kembali jurnal kecil yang berisi su