Home / Romansa / Tersesat Dalam Pelukan Musuh / Bab 1: Musuh yang Nyaris Abadi

Share

Tersesat Dalam Pelukan Musuh
Tersesat Dalam Pelukan Musuh
Author: Langit Jingga1415

Bab 1: Musuh yang Nyaris Abadi

last update Last Updated: 2025-06-17 02:16:55

Langit pagi itu tampak kelabu, seolah memberi tanda bahwa hari ini bukan hari biasa. Universitas Mahadwipa tampak ramai seperti biasa, tapi aura ketegangan di antara dua murid unggulannya hampir bisa dirasakan siapa pun yang lewat di koridor lantai dua.

Banyu Samudra berjalan dengan langkah tenang, rapi, dan dingin. Seragamnya licin, rambutnya disisir ke belakang, dan tatapannya setajam belati. Semua siswa tahu, meskipun dia jarang bicara, sekali bicara, efeknya dalam. Laki-laki itu entah mengapa selalu terlihat misterius dan mematikan dalam diamnya, membuat tidak ada satu orang pun yang berani mendekatinya.

Di ujung koridor, suara tawa meledak. Alexander Benjamin baru saja datang. Rambutnya agak acak-acakan, pakaiannya casual dan senyum liciknya tak pernah absen. Di sekelilingnya ada dua-tiga temanya, selalu tertawa atas apa pun yang dia ucapkan—entah karena lucu, atau karena mereka takut jadi target.

Seperti dua kutub magnet yang saling menolak, Banyu dan Alexander tak pernah akur sejak kelas satu. Entah siapa yang mulai duluan, tapi sejak kompetisi matematika tingkat kabupaten, semua orang tahu: persaingan mereka lebih panas dari sekadar nilai ujian dan lebih sengit dari perang dunia dua.

Dan di tengah keduanya, berdiri Diajeng Dirandra—gadis berambut panjang yang selalu dikepang setengah, suara lembut tapi tajam saat berbicara. Diajeng bukan tipe gadis populer yang haus perhatian, tapi entah kenapa dia justru menjadi pusat perhatian.

Diajeng adalah gadis tercantik di Universitas. Banyak laki-laki yang terpesona meskipun dia tidak pernah tebar pesona. Dia pacar Alexander. Tapi tak semua orang percaya mereka benar-benar saling cinta. Meskipun dua sejoli tersebut selalu tampak serasi dan romantis.

“Lihat tuh, murid teladan datang,” ejek Alexander sambil menepuk-nepuk pundak salah satu temannya, matanya menatap lurus ke arah Banyu.

Banyu tak menggubris. Ia hanya lewat begitu saja, memasuki bisnis tanpa sepatah kata.

Diajeng yang sedang berdiri di depan kelas, menyelipkan anak rambutnya ke telinga, matanya tak sengaja bertemu pandang dengan Banyu. Ada sedikit ketegangan di sana. Ia tak tahu kenapa, tapi Banyu selalu membuatnya merasa seolah dilucuti. Dia tahu betul, jika laki-laki tersebut adalah musuh kekasihnya sehingga di hatinya selalu muncul sedikit rasa tidak suka dengan Banyu.

Satu jam kemudian, suasana kelas mendadak ricuh karena dosen datang terlambat, dan itu selalu jadi kesempatan Alexander untuk unjuk kekuasaan.

"Eh, gimana kalau kita voting? Siapa yang lebih pantas jadi juara umum semester ini?” teriak Alexander.

“Alexander, lah!” sorak sebagian kelas.

“Woi, jangan lupa Banyu juara 1 terus,” celetuk yang lain.

Banyu tetap menulis di bukunya, tenang. Tapi saat Alexander maju dan berdiri di depannya, semua orang tahu: ini bukan sekadar bercanda.

"Kamu pikir kamu paling pinter, ya, Banyu?" suaranya mendesis, senyumnya tipis.

Banyu mengangkat wajah perlahan. “Fakta bukan soal siapa yang pikir. Tapi data.”

Ruangan mendadak hening dan mencekam. Ada rasa takut pada mahasiswa lain jika Alexander dan Banyu sampai baku hantam seperti beberapa waktu lalu.

Diajeng merasa jengah. Ia bangkit dari kursinya dan menarik tangan Alexander. “Udah, Lex. Gak usah cari gara-gara.”

Alexander menatap Diajeng dengan mata keras, tapi akhirnya duduk kembali. Dia selalu menuruti kata-kata gadis yang ia cintai. Banyu juga kembali menunduk ke buku catatannya.

Tapi dalam hati masing-masing, sesuatu mulai bergerak.

---

Hari-hari berlalu dengan intensitas yang semakin meningkat. Banyu mulai menyusun rencana. Bagi dia, Alexander bukan hanya musuh biasa. Dia adalah racun yang mengotori segalanya—dari prestasi sampai reputasi.

Banyu tahu kelemahan Alexander: obsesi. Dan sasaran obsesi itu adalah Diajeng.

“Kalau aku ingin menjatuhkan Alexander, aku harus buat dia kehilangan apa yang paling dia ingin miliki…” gumam Banyu malam itu di kamarnya. Dia mulai menyusun beberapa rencana yang akan dia lakukan untuk menghancyrkan Alexander.

Di sisi lain, Alexander juga menyusun rencana. Ia tahu Banyu terlalu bersih. Terlalu lurus. Terlalu 'sempurna'. Dan dia tahu cara tercepat menghancurkan orang sempurna adalah membuatnya terlihat paling kotor.

Keduanya seolah lupa jika manusia hanya bisa berencana, karena Tuhan adalah penentunya. Bahkan, Tuhan sangat mahir membolak balikkan hati dan perasaan manusia.

Hari Sabtu datang, membawa semangat yang berbeda di Universitas Mahadwipa. Sejak pagi, aula kampus sudah ramai oleh para mahasiswa yang bersiap untuk lomba pentas seni tahunan. Suara musik, tawa, dan langkah kaki berlomba-lomba memenuhi udara, menciptakan hiruk pikuk yang penuh antusiasme.

Di tengah keramaian itu, Diajeng Dirandra tampak sibuk mengatur perlengkapan acara. Sebagai anggota panitia, ia harus bolak-balik dari ruang kelas ke aula, memastikan semua berjalan lancar. Keringat membasahi pelipisnya, namun ia tetap tersenyum—wajahnya bersinar dalam kesibukan.

Dari kejauhan, Alexander Benjamin mengamatinya diam-diam. Tatapannya tak lepas dari sosok kekasihnya yang tampak begitu berdedikasi. Ada kebanggaan di sana, tapi juga kegelisahan yang belum ia pahami sepenuhnya.

Sementara itu, tak jauh dari tempat Alex berdiri, Banyu Samudra juga memperhatikan Diajeng. Bukan dengan cinta, melainkan dengan pandangan tajam penuh rencana. Hatinya masih menyimpan bara dendam yang belum padam. Bagi Banyu, Diajeng hanyalah bagian dari strategi untuk menghancurkan seseorang yang menjadi musuh terbesarnyar—Alexander.

Tanpa mereka sadari, garis-garis takdir mulai membelit satu sama lain, perlahan tapi pasti. Di tengah semarak panggung dan tepuk tangan, takdir sedang menulis naskah rahasianya sendiri.

Dan naskah itu dimulai… dari panggung seni yang seharusnya jadi ajang hiburan. Tapi justru menjadi panggung awal kehancuran hati.

Malam itu, Banyu mendapatkan pesan dari nomor tak dikenal. Isinya: foto Diajeng yang sedang duduk sendirian di perpustakaan, dengan caption:

> “Kalau kau berani, kita main adil. Aku sudah siapkan panggungnya.”

Banyu tahu itu dari Alexander. Dan itu tantangan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 33 : awal pendekatan

    Aroma kopi arabika memenuhi ruangan kafe kecil di sudut kota. Erika duduk di kursi dekat jendela, menunggu seseorang dengan wajah penuh kesabaran—atau lebih tepatnya, penuh perhitungan. Tangan halusnya memainkan sedotan plastik sambil sesekali melirik jam tangan mewah yang baru saja ia beli dengan sisa uang tabungannya.Tak lama kemudian, seorang pria tinggi berjaket denim memasuki kafe. Rambut hitamnya sedikit berantakan, tapi karisma alaminya tetap memancar. Alexander Benjamin.Alex menarik kursi dan duduk di hadapan Erika. “Kamu kelihatan serius banget. Ada apa?”"Aku lagi mikirin cara kita deketin Diajeng," jawab Erika seraya menatap pria pujannya. “Dan kalau dia nggak tertarik sama aku?”Erika menyeringai. “Tenang. Di situ aku yang main peran. Aku sahabatnya. Aku tahu semua pintu yang bisa kita buka. Percayakan sisanya ke aku.”Tatapan mereka bertemu. Dan di titik itulah, dosa pertama mereka dimulai—sebuah rencana yang kelak akan menghancurkan lebih banyak hati daripada yang mer

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 32 : Lamaran

    Mobil sedan hitam menggelinding mulus menyusuri jalan kota yang mulai diterangi lampu-lampu senja. Di dalamnya, keheningan menggantung seperti selimut tipis—tidak canggung, tapi… penuh degup yang disembunyikan.Diajeng melirik ke arah Banyu yang menyetir dengan satu tangan, tangan satunya bertumpu santai di kemudi. Tuxedo hitam itu membuatnya terlihat terlalu sempurna—pria yang tadinya ia benci, kini terlihat seperti tokoh utama dalam mimpi romantis siapa pun.“Kamu yakin gak salah arah?” tanya Diajeng pelan, mencoba mencairkan suasana.Banyu menoleh sebentar, tersenyum. “Tenang. Aku sudah hafal setiap jalan ke tempat yang akan jadi kenangan terindah kita malam ini.”Diajeng mengerjap pelan. Kalimat itu membuat pipinya sedikit hangat.Tak lama, mobil berbelok masuk ke sebuah kawasan elite. Di ujung jalan berlampu temaram, berdiri sebuah restoran bergaya klasik Eropa, dengan taman kecil di sisi kanan dan lampu-lampu gantung di terasnya. Ada suara lembut piano yang terdengar samar dari

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 31 : rayuan maut (flash back)

    Lampu bar berwarna kuning redup memantul di meja kaca yang basah oleh tetesan alkohol. Aroma vodka dan cerutu bercampur jadi satu, memenuhi udara malam yang pengap.Alexander Benjamin duduk di sudut VIP, kancing atas kemejanya terbuka. Wajahnya tampan tapi kusut, dengan mata merah dan rahang yang mengeras menahan amarah.Di depannya, tiga gelas whiskey sudah kosong. Gelas keempat kini ia genggam erat, jari-jarinya mencengkeram kaca seolah ingin menghancurkannya."Diajeng..." namanya terucap pelan, nyaris seperti geraman.Matanya menatap kosong ke arah lampu gantung bar, tapi pikirannya tak bisa lepas dari bayangan gadis itu. Senyumnya. Suaranya. Dan bayangan yang paling menusuk: Diajeng dalam pelukan Banyu.Alexander mendengus kasar, lalu meneguk whiskey itu sampai habis dalam satu tarikan. Cairan panas membakar tenggorokannya, tapi rasa perih di dadanya jauh lebih menyakitkan."Kenapa, Jeng...? Kenapa kamu harus jatuh ke pelukan dia?"Alex menunduk, menatap layar ponselnya. Foto yang

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 30 : rencana malam yang indah

    Apartemen Erika yang biasanya rapi kini tampak berantakan. Bantal berserakan di lantai, dua cangkir kopi yang belum habis tertinggal di meja, dan setumpuk pakaian bersih belum sempat dilipat.Erika mondar-mandir di ruang tamu dengan napas memburu, matanya memerah karena kurang tidur dan terlalu banyak emosi yang dipendam."Kenapa dia bisa sekuat itu, hah?!" bentaknya ke udara, lalu melempar bantal ke sofa.Gadis itu mengacak-acak rambutnya sendiri, frustasi. Ingatan tentang tatapan Diajeng semalam kembali menghantuinya—tatapan tajam penuh kebencian dan luka."Aku tahu semua, Rik. Aku lihat kalian."Kalimat itu terus terngiang di telinganya, menampar rasa aman yang selama ini ia bangun dengan kebohongan."Seharusnya dia lemah… seharusnya dia hancur!" gumam Erika, suaranya seperti racun.Dia meraih laptopnya dengan kasar, membukanya dan membuka folder tersembunyi berisi cuplikan-cuplikan dari malam pesta itu. Erika memutar video pendek saat Diajeng tampak memasuki kamar hotel sendirian.

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 29 : di pelukanmu

    Mentari siang mulai merambat, menyusup malu-malu lewat tirai yang setengah terbuka. Di atas ranjang, dua insan yang semalam diliputi badai emosi kini masih terbaring dalam diam.Tapi, bukan diam yang dingin. Ini diam yang… hangat. Menenangkan.Diajeng membuka mata lebih dulu. Cahaya tipis dari jendela menyentuh wajahnya. Ia mengedip pelan—dan baru sadar kepalanya masih bersandar di dada Banyu, yang kini terlelap. Tangan pria itu masih memeluknya lembut.Deg.Deg.Deg.Jantungnya seperti berdentang keras di telinga."Astaga... aku tidur sambil meluk dia?!" batin Diajeng panik.Pelan-pelan Diajeng beringsut mundur, tapi baru saja ia bergerak, Banyu mengerang pelan dan membuka mata. Mata mereka bertemu. Sekejap. Tapi cukup untuk membuat keduanya refleks saling menjauh dengan canggung.“Ehm…” Banyu menggaruk tengkuknya sambil menghindari tatapan. “Tidurmu… nyenyak?”Diajeng langsung duduk dan membetulkan rambutnya yang berantakan. “Aku... ya. Lumayan.”Mereka berdua menunduk. Sunyi. Cangg

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 28 : Mencarimu

    Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Suasana apartemen Banyu yang mewah dan biasanya terasa hangat, malam itu justru dingin seperti es. Diajeng duduk memeluk lututnya di sofa ruang tamu, hanya mengenakan sweater longgar dan celana tidur. Rambutnya masih sedikit basah karena tadi sempat mencuci wajahnya—berharap bisa menghapus sisa-sisa air mata yang terlalu keras mengalir..Namun yang tersisa hanyalah perih.Banyu belum pulang.Diajeng menatap kosong ke arah jendela besar yang menampilkan pemandangan kota Jakarta yang masih menyala. Tapi semua cahaya itu tak mampu menenangkan hatinya. Yang ada justru bayangan-bayangan dari masa lalu berputar dalam pikirannya seperti film rusak yang tak mau berhenti diputar ulang.Nama Erika muncul pertama.Sahabat yang selama ini ia percayai. Tempat ia berlindung. Tempat ia mencurahkan ketakutan dan kebingungan saat hidupnya berantakan... ternyata punya wajah lain di balik topeng manisnya.Diajeng mencengkeram bantal kecil di pelukannya lebih erat. Nap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status