Suasana pesta para mahasiswa Universitas Mahadwipa di rooftop hotel malam itu meriah. Musik berdentum, lampu disko berputar menciptakan kilauan warna-warni di langit malam, dan minuman mengalir seolah tak ada hari esok. semua orang larut dalam euforia malam kebebasan mereka—malam di mana aturan ditanggalkan, dan semua topeng bisa diturunkan.
Dari arah bar, sorotan mata mulai mengarah pada satu titik. Diajeng Dirandra. Ia berdiri sendirian, memandangi lampu-lampu kota yang berkelap-kelip dari ketinggian. Gaun merah marun selutut dengan potongan terbuka di bagian punggung itu membalut tubuh ramping dan proporsionalnya seperti dibuat khusus untuknya. Kain satin yang lembut mengalir mengikuti lekuk tubuhnya, memperlihatkan pinggang mungil dan kaki jenjang yang terpoles sempurna. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai ikal, menambah kesan feminin yang tak terelakkan. Bibirnya yang dilapisi lipstik burgundy tampak mengundang, dengan kilau samar saat terkena cahaya. Mata Diajeng yang dihiasi eyeliner tajam dan shimmer keemasan sesekali menatap ke arah kerumunan—dan cukup dengan satu tatapan saja, beberapa laki-laki tercekat menahan napas. Beberapa siswa laki-laki menghentikan percakapan mereka. Ada yang mencubit lengan temannya, menunjuk ke arahnya. Yang lain langsung mengangkat gelas, mencoba menarik perhatiannya. Bahkan beberapa panitia pria yang sedang sibuk pun tak luput mencuri pandang ke arahnya—mata mereka melekat, seolah tak sanggup berpaling. Ia tidak sedang mencoba memikat siapa pun malam itu. Tapi justru karena itulah, pesonanya terasa semakin kuat. Diajeng bukan sekadar cantik—dia memancarkan magnetisme yang tak bisa dijelaskan. Perpaduan antara keanggunan, ketenangan, dan sensualitas yang sulit ditemukan pada gadis seusianya. Dan dari jauh, Banyu Samudra tahu itu sejak tadi. Ia duduk di salah satu sofa VIP di sisi ruangan, satu kaki disilangkan dengan gaya malas, wajahnya tetap datar dan dingin. Tapi pandangannya... tak pernah benar-benar lepas dari sosok itu. Dari Diajeng Dirandra, yang kini berdiri bagaikan ratu malam di tengah lautan cahaya dan suara. Seseorang mendekat dari sisi kirinya—seorang cowok berjaket hitam dengan topi rendah menutupi wajahnya sebagian. “Target sudah di tempat. Dia sendirian. Siap ya,” bisiknya nyaris tak terdengar di tengah hiruk pikuk pesta. Banyu tak menjawab. Matanya masih terpaku pada gadis itu. Gadis yang seharusnya hanya bagian dari rencana. Tapi, entah kenapa, malam ini tampak seperti sebuah ancaman nyata bagi pertahanannya sendiri. Ia hanya mengangguk singkat. Tapi dalam hatinya, badai kecil mulai bergolak. Tawa dan musik masih membaur di udara ketika seorang cowok tinggi bertubuh atletis mulai berjalan ke arah Diajeng. Namanya Rizky, murid jurusan IT yang terkenal sebagai kapten basket dan jago gombal. Ia membawa dua gelas minuman soda bercampur sirup dan tersenyum percaya diri. “Hei,” sapa Rizky dengan suara berat dan ramah. “Kamu sendirian? Sayang banget kalau malam sebagus ini nggak ditemani.” Diajeng menoleh, matanya menyapu sosok Rizky tanpa ekspresi berarti. Ia tersenyum sopan, tapi tidak cukup untuk memberi harapan. “Lagi istirahat aja, habis muter-muter dari tadi,” jawabnya. “Kalau gitu istirahatnya bareng aku aja, ya?” Rizky duduk di sebelahnya tanpa diundang, lalu menyodorkan satu gelas. “Minum dulu biar segar. Nggak dicampur aneh-aneh kok.” Diajeng menerima gelas itu hanya karena tak enak hati, lalu meletakkannya di meja kecil di sebelah bar tanpa menyentuhnya. Ia kembali menatap kota yang gemerlap, seolah tak terusik. Namun di sisi lain ruangan, dua pasang mata memantau situasi dengan aura berbeda. Banyu Samudra menggertakkan rahangnya tanpa sadar. Tangan yang sejak tadi memegang gelas kini mencengkeram lebih erat. Pandangannya mengeras saat melihat Rizky duduk terlalu dekat dengan Diajeng. Ia bahkan merasa dadanya menghangat, bukan karena alkohol, tapi karena perasaan yang bahkan tak ingin ia akui. Kesal. Terganggu. Cemburu. Sementara itu, tak jauh dari sana, Alexander Benjamin baru saja tiba di rooftop bersama beberapa teman satu gengnya. Ia mengenakan setelan semi-formal yang membuatnya tampak dewasa, maskulin, dan memikat. Tapi begitu matanya menemukan sosok Diajeng bersama cowok lain, senyum di wajahnya langsung memudar. Ia berhenti berjalan. “Itu... Diajeng?” gumamnya lirih. Salah satu temannya mengikuti arah pandangnya. “Iya, kayaknya. Sama Rizky tuh. Mereka deket ya?” Alexander tidak menjawab. Matanya menyipit, rahangnya mengeras. Ada dorongan untuk segera menghampiri, menarik tangan Diajeng, dan menunjukkan siapa yang seharusnya di samping gadis itu. Tapi ia menahan diri. Karena ia tahu, Diajeng pasti punya alasan. Namun, sebelum salah satu dari dua pria itu bergerak, ponsel Diajeng berbunyi. Diajeng membuka pesan singkat itu dan langsung menarik napas pendek. Sebuah pesan dari panitia lainnya muncul: "Jeng, bantu ke lantai 3 sekarang. Bagian dekorasi pecah kaca, perlu koordinasi cepat." Diajeng menoleh pada Rizky, tersenyum sekilas. “Maaf ya, aku harus kerja lagi. Ada kejadian di lantai tiga.” “Oh? Mau aku temenin?” tawar Rizky dengan cepat. “Nggak usah. Aku bisa sendiri. Terima kasih minumannya.” Ia berdiri anggun, menggeser rambut dari pundaknya, lalu melangkah meninggalkan rooftop tanpa menoleh lagi. Langkahnya ringan tapi tegas. Punggungnya tegak. Gaun merahnya bergoyang lembut di bawah cahaya lampu, dan semua mata—termasuk milik Banyu dan Alexander—mengikutinya hingga ia menghilang dari pandangan. Malam masih panjang, tapi bagi dua pria itu, dunia terasa menyempit hanya karena kepergian seorang Diajeng Dirandra. --- Sementara itu, Banyu baru saja menyelesaikan urusannya dengan cowok bayaran yang akan "menemani" Diajeng malam itu. Namun beberapa detik kemudian, ia mendapat telepon mengejutkan. “Kita batal! Cowoknya kecelakaan di jalan. Gak bisa datang malam ini.” Banyu berdiri mendadak, terkejut dan panik. “Apa?! Gimana bisa?!” Belum sempat berpikir lebih jauh, Vanessa tiba-tiba datang, menyerahkan dua gelas minuman. “Kamu stres? Ini buat tenangin.” Banyu menatap gelas itu tajam. “Lagi-lagi kamu. Apa ini?” “Wine biasa, tenang aja.” Vanessa tersenyum manis. Senyum yang membuat Banyu ragu. Tapi ia menenggak juga, cepat dan tanpa pikir panjang. Saat ini Banyu benar-benar kesal karena rencananya gagal akibat baru mendapat kabar dari anak buahnya, laki-laaki berjaket hitam tadi. Beberapa menit setelahnya, tubuhnya mulai panas. Jantungnya berdetak cepat, dan matanya mulai berkunang. “Vanessa... kamu kasih apa barusan?” Vanessa mendekat, duduk di pangkuannya. “Santai, Ban. Aku cuma bantu kamu nikmatin malam ini. Kamu terlalu tegang.” Banyu mengerang pelan. Kepalanya berdenyut hebat. Saat Vanessa mulai mencium lehernya, Banyu tersadar. Bukan ini yang dia mau. Dengan sisa tenaga, ia mendorong Vanessa menjauh. Tapi gadis itu kembali mendekat, kali ini dengan tangan yang mulai meraba. BUK! Satu pukulan keras mendarat di rahang Vanessa. Gadis itu terjatuh ke sofa, pingsan. Nafas Banyu terengah-engah. Badannya sudah tak bisa diajak kompromi, tapi pikirannya tetap menolak menyentuh Vanessa. Tidak... bukan dia. --- Lantai tiga hotel jauh lebih sepi dibanding rooftop. Hanya ada lorong panjang dengan karpet tebal, beberapa ruang meeting yang kini dipakai untuk kepanitiaan, dan aroma ruangan ber-AC yang khas. Diajeng melangkah cepat ke arah ruang dekorasi, sesuai pesan yang ia terima. Begitu ia membuka pintu, seorang panitia cowok—Dimas, dari tim logistik—langsung menyambutnya. “Eh, Jeng, makasih udah cepet ke sini,” ucap Dimas sambil mengusap keringat dari pelipisnya. “Kacanya sih udah dibersihin, tapi tadi kacanya jatuh waktu kita ngangkat backdrop.” Diajeng mengangguk ringan. “Nggak apa-apa, yang penting nggak ada yang luka, kan?” “Enggak. Tapi... bisa minta bantuan terakhir nggak? Teman kita, si Arumi, dia tadi balik ke kamar karena katanya sakit perut. Tapi sampe sekarang belum balik. Dia bawa salah satu kunci cadangan gudang alat. Bisa tolong jemputin dia sebentar?” Diajeng agak ragu. “Kamarnya di mana?” “Lantai 5, nomor 521. Nggak jauh kok dari lift. Nih...” Dimas menyerahkan satu botol minuman dingin ke tangannya. “Minum dulu deh. Capek banget pasti muter-muter dari tadi.” Diajeng menerimanya tanpa curiga. Botol plastik itu tidak tersegel, tapi terlihat masih penuh dan dingin, embunnya menempel di tangan. Ia membuka tutupnya lalu meneguk beberapa kali. “Thanks ya,” katanya sambil menghela napas, lalu melangkah kembali menuju lift. Ia tidak sadar bahwa Dimas mengeluarkan ponsel, mengetik pesan singkat dengan cepat. "Dia udah minum." Lift berdenting pelan. Pintu terbuka. Diajeng masuk sendirian, dan saat pintu menutup, matanya sempat memejam sejenak. Ada sensasi hangat yang menjalar pelan dari tenggorokan hingga dada. Dadanya berdebar aneh. Napasnya terasa lebih berat, dan langkahnya sedikit goyah. Tapi ia menepisnya sebagai efek kelelahan. Lantai lima. Diajeng keluar dari lift dan berjalan menyusuri lorong. Nomor 521 ada di ujung. Ia mengetuk pelan. “Arumi?” panggilnya. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk sekali lagi, lalu mencoba gagang pintu. Tidak dikunci. Pintu terbuka perlahan. Lampu dalam kamar redup, hanya pencahayaan dari lampu tidur di sisi ranjang. “Arumi?” ulangnya, melangkah masuk dengan ragu. Tapi kamar itu kosong. Ia tidak sadar pintu di belakangnya menutup... perlahan... dan terkunci dari luar. Kamar itu terasa sunyi, terlalu sunyi. Hanya ada suara napas Diajeng sendiri yang terdengar semakin berat dan tersengal. Ia memijit pelipisnya pelan. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Kulitnya terasa panas, dan tubuhnya seolah mulai kehilangan kendali. Kakinya melemas. Pandangannya agak berkunang, tapi tidak sampai membuatnya pingsan. Justru... kesadarannya terlalu tajam, tapi tubuhnya menuntut sesuatu yang tidak bisa ia mengerti. “Apa... yang terjadi padaku...?” bisiknya pelan. Gaun merah marun yang membalut tubuhnya kini terasa semakin lengket di kulit. Nafasnya tercekat. Ada dorongan aneh yang mengalir dalam darahnya. Ia memegang sisi ranjang untuk menjaga keseimbangan. Salah satu panitia tadi... minuman itu... Matanya mulai menyipit, berusaha menahan sensasi aneh yang menyiksa dirinya dari dalam. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari luar. Pintu kamar terbuka pelan. Sesosok pria masuk—tinggi, tegap, dengan aura gelap yang menghantui tiap langkahnya. Banyu Samudra. Diajeng tertegun. Matanya membelalak samar, campuran antara terkejut, bingung, dan takut. “Kamu?” suaranya terdengar parau. Banyu mengunci pintu di belakangnya, lalu diam beberapa detik. Wajahnya tegang, bukan karena marah. Tapi, karena konflik batin yang menghantam dirinya keras-keras. Seharusnya orang lain yang masuk ke kamar itu. Seharusnya ini hanya bagian dari rencana. Tapi saat cowok bayaran itu mengalami kecelakaan mendadak, dan Banyu tahu Diajeng sudah menelan ‘jebakan’ itu… sesuatu dalam dirinya berkata dia tak bisa membiarkan siapa pun menyentuh gadis itu. Bukan Rizky. Bukan cowok bayaran. Bukan siapa pun. Bahkan jika itu membuatnya hancur. “Diajeng,” suara Banyu terdengar serak dan dalam. “Kamu harus duduk. Kamu... kamu kena sesuatu.” “Apa yang kamu... kasih ke aku?” Diajeng menatapnya tajam meski tubuhnya gemetar. “Apa kamu yang—” “Aku nggak bermaksud kayak gini!” potong Banyu cepat. “Kamu harus tenang. Aku akan bantu. Aku janji nggak akan—” Namun kata-kata itu terhenti ketika tubuh Diajeng tersandung langkahnya sendiri dan terjatuh tepat ke pelukan Banyu. Sentuhan itu... membakar. Keduanya membeku “Aku benci kamu...” gumam Diajeng, air mata menetes. Tapi ia tidak bergerak, hanya menggigit bibir saat tangan Banyu menyentuh kulit punggungnya.Hari-hari setelah itu berubah menjadi kabut yang tak bisa ditembus. Diajeng tak lagi tersenyum seperti dulu. Wajahnya pucat, matanya sembab, dan langkahnya lamban seperti kehilangan arah. Ia menghindari aula, menghindari kantin, bahkan menghindari cermin.Ia merasa seperti musuh bagi dirinya sendiri.Setiap kali melihat bayangannya di kaca, rasa malu dan takut langsung merayap naik seperti ular. Suara tawa teman-temannya terasa seperti ejekan. Tatapan orang-orang, bahkan yang tidak tahu apa-apa, terasa seperti tuduhan.Diajeng tahu dirinya hamil. Dua garis merah di test pack yang ia sembunyikan dalam kotak pensil tua adalah pengingat bahwa hidupnya tak akan pernah sama. Dan ia tak tahu harus bagaimana.---Di kampus, ia menghindari Alexander. Lelaki itu semakin mencarinya, mengirim pesan setiap malam, menanyakan mengapa ia berubah dingin. Tapi Diajeng tak mampu menjawab. Ia tahu suaranya akan bergetar jika bicara. Ia takut jika Alexander menyentuhnya dan tahu kenyataan pahit yang seda
Keesokan harinya, Diajeng terpaksa berangkat kuliah. Dia tidak ingin membuat orang tuanya khawatir dan curiga, dia juga tidak ingin membuat Alex khawatir dan mencemaskan keadaannya. "Sayang, kamu terlihat pucat. Kamu masih sakit?" tanya Alex dengan khawatir. Punggung tangan laki-laki itu menyentuh wajah Diajeng. Diajeng memaksakan sebuah senyum untuk kekasihnya agar tidak khawatir. "Aku gak apa-apa. Cuma kecapean, Lex." Beberapa meter dari sana, Banyu Samudra melihat semua itu. Dalam hatinya pun merasa cemas dengan tampilan Diajeng yang sedikit lebih pucat dan tertekan. Meskipun gadis itu sudah menutupinya dengan make-up tipis. Beberapa minggu pun berlalu. Pagi itu, Diajeng Dirandra berdiri di depan wastafel kamar mandi dengan tubuh gemetar. Aroma sabun cair yang biasanya ia suka kini membuat perutnya mual. Tangannya bergetar saat membasuh wajah. Napasnya berat. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Tapi mual di perutnya tak kunjung hilang. "Aku kenapa…?" bisiknya
"Aku benci kamu." Itu adalah kalimat terakhir yang keluar dari bibir Diajeng sebelum bibir lembut Banyu membungkam bibir merah gadis itu dengan ciuman panas dari laki-laki tersebut. Tidak ada kalimat lain yang terucap selain suara desahan dari kedua manusia itu dalam kedapnya kamar tersebut. Sementara Alexander di luar sana mencari kekasihnya seperti orang gila. Apalagi ponsel Diajeng tidak dapat di hubungi. Alexander mendapati rencananya gagal karena menemukan Vanessa tak sadarkan diri dan Banyu menghilang. Di tambah lagi di tidak menemukan Diajeng. Padahal dia ingin menemui kekasihnya tersebut untuk minta maaf dan memperbaiki hubungan mereka. Laki-laki tampan dengan wajah perpaduan Indo-Eropa tersebut benar-benar kesal. ---- Sinar matahari masuk dari celah tirai, menyinari dua tubuh yang terbaring di atas kasur hotel. Diajeng membuka mata dengan pelan. Sakit kepala, mual, dan nyeri menjalar di sekujur tubuhnya. Saat ia melihat sekeliling dan sadar... ia telanjang. Tubu
Suasana pesta para mahasiswa Universitas Mahadwipa di rooftop hotel malam itu meriah. Musik berdentum, lampu disko berputar menciptakan kilauan warna-warni di langit malam, dan minuman mengalir seolah tak ada hari esok. semua orang larut dalam euforia malam kebebasan mereka—malam di mana aturan ditanggalkan, dan semua topeng bisa diturunkan. Dari arah bar, sorotan mata mulai mengarah pada satu titik. Diajeng Dirandra. Ia berdiri sendirian, memandangi lampu-lampu kota yang berkelap-kelip dari ketinggian. Gaun merah marun selutut dengan potongan terbuka di bagian punggung itu membalut tubuh ramping dan proporsionalnya seperti dibuat khusus untuknya. Kain satin yang lembut mengalir mengikuti lekuk tubuhnya, memperlihatkan pinggang mungil dan kaki jenjang yang terpoles sempurna. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai ikal, menambah kesan feminin yang tak terelakkan. Bibirnya yang dilapisi lipstik burgundy tampak mengundang, dengan kilau samar saat terkena cahaya. Mata Diajeng yang dih
Aula Univeesitas Mahadwipa berubah menjadi lautan sorak-sorai. Lampu sorot menari di langit-langit, musik menggelegar, dan denting suara tawa para siswa mengisi udara. Tapi di sudut aula, di balik tirai belakang panggung, suasana berbeda. Alexander Benjamin berdiri dengan kedua tangan di saku celana. Tatapannya tajam, tertuju pada seorang gadis berambut pirang bergelombang yang sedang merapikan make-up. “Jangan lupa peranmu malam ini, Vanessa,” bisik Alexander sambil menyelipkan amplop kecil ke tas tangan si gadis. “Pastikan Banyu... kehilangan kendali. Dia harus kelihatan seperti monster di mata semua orang.” Vanessa mengangguk, tersenyum menggoda. “Tenang. Aku tahu cara menjerat pria cuek sepertinya.” Alexander berbalik. Bibirnya terangkat sinis. “Game dimulai, Banyu Samudra.” Sementara itu, di ruang peralatan pentas, Diajeng Dirandra sibuk menata perlengkapan lomba fashion show. Kardus berisi aksesoris dan kabel-kabel berserakan di sekelilingnya. Keringat menempel di pe
Langit pagi itu tampak kelabu, seolah memberi tanda bahwa hari ini bukan hari biasa. Universitas Mahadwipa tampak ramai seperti biasa, tapi aura ketegangan di antara dua murid unggulannya hampir bisa dirasakan siapa pun yang lewat di koridor lantai dua. Banyu Samudra berjalan dengan langkah tenang, rapi, dan dingin. Seragamnya licin, rambutnya disisir ke belakang, dan tatapannya setajam belati. Semua siswa tahu, meskipun dia jarang bicara, sekali bicara, efeknya dalam. Laki-laki itu entah mengapa selalu terlihat misterius dan mematikan dalam diamnya, membuat tidak ada satu orang pun yang berani mendekatinya. Di ujung koridor, suara tawa meledak. Alexander Benjamin baru saja datang. Rambutnya agak acak-acakan, pakaiannya casual dan senyum liciknya tak pernah absen. Di sekelilingnya ada dua-tiga temanya, selalu tertawa atas apa pun yang dia ucapkan—entah karena lucu, atau karena mereka takut jadi target. Seperti dua kutub magnet yang saling menolak, Banyu dan Alexander tak pernah