Beranda / Romansa / Tersesat Dalam Pelukan Musuh / Bab 3: Malam yang Mengubah Segalanya

Share

Bab 3: Malam yang Mengubah Segalanya

last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-17 13:17:43

Suasana pesta para mahasiswa Universitas Mahadwipa di rooftop hotel malam itu meriah. Musik berdentum, lampu disko berputar menciptakan kilauan warna-warni di langit malam, dan minuman mengalir seolah tak ada hari esok. semua orang larut dalam euforia malam kebebasan mereka—malam di mana aturan ditanggalkan, dan semua topeng bisa diturunkan.

Dari arah bar, sorotan mata mulai mengarah pada satu titik. Diajeng Dirandra.

Ia berdiri sendirian, memandangi lampu-lampu kota yang berkelap-kelip dari ketinggian. Gaun merah marun selutut dengan potongan terbuka di bagian punggung itu membalut tubuh ramping dan proporsionalnya seperti dibuat khusus untuknya. Kain satin yang lembut mengalir mengikuti lekuk tubuhnya, memperlihatkan pinggang mungil dan kaki jenjang yang terpoles sempurna.

Rambut panjangnya dibiarkan tergerai ikal, menambah kesan feminin yang tak terelakkan. Bibirnya yang dilapisi lipstik burgundy tampak mengundang, dengan kilau samar saat terkena cahaya. Mata Diajeng yang dihiasi eyeliner tajam dan shimmer keemasan sesekali menatap ke arah kerumunan—dan cukup dengan satu tatapan saja, beberapa laki-laki tercekat menahan napas.

Beberapa siswa laki-laki menghentikan percakapan mereka. Ada yang mencubit lengan temannya, menunjuk ke arahnya. Yang lain langsung mengangkat gelas, mencoba menarik perhatiannya. Bahkan beberapa panitia pria yang sedang sibuk pun tak luput mencuri pandang ke arahnya—mata mereka melekat, seolah tak sanggup berpaling.

Ia tidak sedang mencoba memikat siapa pun malam itu. Tapi justru karena itulah, pesonanya terasa semakin kuat. Diajeng bukan sekadar cantik—dia memancarkan magnetisme yang tak bisa dijelaskan. Perpaduan antara keanggunan, ketenangan, dan sensualitas yang sulit ditemukan pada gadis seusianya.

Dan dari jauh, Banyu Samudra tahu itu sejak tadi.

Ia duduk di salah satu sofa VIP di sisi ruangan, satu kaki disilangkan dengan gaya malas, wajahnya tetap datar dan dingin. Tapi pandangannya... tak pernah benar-benar lepas dari sosok itu. Dari Diajeng Dirandra, yang kini berdiri bagaikan ratu malam di tengah lautan cahaya dan suara.

Seseorang mendekat dari sisi kirinya—seorang cowok berjaket hitam dengan topi rendah menutupi wajahnya sebagian.

“Target sudah di tempat. Dia sendirian. Siap ya,” bisiknya nyaris tak terdengar di tengah hiruk pikuk pesta.

Banyu tak menjawab. Matanya masih terpaku pada gadis itu. Gadis yang seharusnya hanya bagian dari rencana. Tapi, entah kenapa, malam ini tampak seperti sebuah ancaman nyata bagi pertahanannya sendiri.

Ia hanya mengangguk singkat. Tapi dalam hatinya, badai kecil mulai bergolak.

Tawa dan musik masih membaur di udara ketika seorang cowok tinggi bertubuh atletis mulai berjalan ke arah Diajeng. Namanya Rizky, murid jurusan IT yang terkenal sebagai kapten basket dan jago gombal. Ia membawa dua gelas minuman soda bercampur sirup dan tersenyum percaya diri.

“Hei,” sapa Rizky dengan suara berat dan ramah. “Kamu sendirian? Sayang banget kalau malam sebagus ini nggak ditemani.”

Diajeng menoleh, matanya menyapu sosok Rizky tanpa ekspresi berarti. Ia tersenyum sopan, tapi tidak cukup untuk memberi harapan.

“Lagi istirahat aja, habis muter-muter dari tadi,” jawabnya.

“Kalau gitu istirahatnya bareng aku aja, ya?” Rizky duduk di sebelahnya tanpa diundang, lalu menyodorkan satu gelas. “Minum dulu biar segar. Nggak dicampur aneh-aneh kok.”

Diajeng menerima gelas itu hanya karena tak enak hati, lalu meletakkannya di meja kecil di sebelah bar tanpa menyentuhnya. Ia kembali menatap kota yang gemerlap, seolah tak terusik.

Namun di sisi lain ruangan, dua pasang mata memantau situasi dengan aura berbeda.

Banyu Samudra menggertakkan rahangnya tanpa sadar. Tangan yang sejak tadi memegang gelas kini mencengkeram lebih erat. Pandangannya mengeras saat melihat Rizky duduk terlalu dekat dengan Diajeng. Ia bahkan merasa dadanya menghangat, bukan karena alkohol, tapi karena perasaan yang bahkan tak ingin ia akui. Kesal. Terganggu. Cemburu.

Sementara itu, tak jauh dari sana, Alexander Benjamin baru saja tiba di rooftop bersama beberapa teman satu gengnya. Ia mengenakan setelan semi-formal yang membuatnya tampak dewasa, maskulin, dan memikat. Tapi begitu matanya menemukan sosok Diajeng bersama cowok lain, senyum di wajahnya langsung memudar.

Ia berhenti berjalan. “Itu... Diajeng?” gumamnya lirih.

Salah satu temannya mengikuti arah pandangnya. “Iya, kayaknya. Sama Rizky tuh. Mereka deket ya?”

Alexander tidak menjawab. Matanya menyipit, rahangnya mengeras. Ada dorongan untuk segera menghampiri, menarik tangan Diajeng, dan menunjukkan siapa yang seharusnya di samping gadis itu. Tapi ia menahan diri. Karena ia tahu, Diajeng pasti punya alasan.

Namun, sebelum salah satu dari dua pria itu bergerak, ponsel Diajeng berbunyi.

Diajeng membuka pesan singkat itu dan langsung menarik napas pendek. Sebuah pesan dari panitia lainnya muncul:

"Jeng, bantu ke lantai 3 sekarang. Bagian dekorasi pecah kaca, perlu koordinasi cepat."

Diajeng menoleh pada Rizky, tersenyum sekilas. “Maaf ya, aku harus kerja lagi. Ada kejadian di lantai tiga.”

“Oh? Mau aku temenin?” tawar Rizky dengan cepat.

“Nggak usah. Aku bisa sendiri. Terima kasih minumannya.” Ia berdiri anggun, menggeser rambut dari pundaknya, lalu melangkah meninggalkan rooftop tanpa menoleh lagi.

Langkahnya ringan tapi tegas. Punggungnya tegak. Gaun merahnya bergoyang lembut di bawah cahaya lampu, dan semua mata—termasuk milik Banyu dan Alexander—mengikutinya hingga ia menghilang dari pandangan.

Malam masih panjang, tapi bagi dua pria itu, dunia terasa menyempit hanya karena kepergian seorang Diajeng Dirandra.

---

Sementara itu, Banyu baru saja menyelesaikan urusannya dengan cowok bayaran yang akan "menemani" Diajeng malam itu. Namun beberapa detik kemudian, ia mendapat telepon mengejutkan.

“Kita batal! Cowoknya kecelakaan di jalan. Gak bisa datang malam ini.”

Banyu berdiri mendadak, terkejut dan panik. “Apa?! Gimana bisa?!”

Belum sempat berpikir lebih jauh, Vanessa tiba-tiba datang, menyerahkan dua gelas minuman.

“Kamu stres? Ini buat tenangin.”

Banyu menatap gelas itu tajam. “Lagi-lagi kamu. Apa ini?”

“Wine biasa, tenang aja.” Vanessa tersenyum manis. Senyum yang membuat Banyu ragu.

Tapi ia menenggak juga, cepat dan tanpa pikir panjang. Saat ini Banyu benar-benar kesal karena rencananya gagal akibat baru mendapat kabar dari anak buahnya, laki-laaki berjaket hitam tadi. Beberapa menit setelahnya, tubuhnya mulai panas. Jantungnya berdetak cepat, dan matanya mulai berkunang.

“Vanessa... kamu kasih apa barusan?”

Vanessa mendekat, duduk di pangkuannya. “Santai, Ban. Aku cuma bantu kamu nikmatin malam ini. Kamu terlalu tegang.”

Banyu mengerang pelan. Kepalanya berdenyut hebat. Saat Vanessa mulai mencium lehernya, Banyu tersadar.

Bukan ini yang dia mau.

Dengan sisa tenaga, ia mendorong Vanessa menjauh. Tapi gadis itu kembali mendekat, kali ini dengan tangan yang mulai meraba.

BUK!

Satu pukulan keras mendarat di rahang Vanessa. Gadis itu terjatuh ke sofa, pingsan. Nafas Banyu terengah-engah. Badannya sudah tak bisa diajak kompromi, tapi pikirannya tetap menolak menyentuh Vanessa. Tidak... bukan dia.

---

Lantai tiga hotel jauh lebih sepi dibanding rooftop. Hanya ada lorong panjang dengan karpet tebal, beberapa ruang meeting yang kini dipakai untuk kepanitiaan, dan aroma ruangan ber-AC yang khas. Diajeng melangkah cepat ke arah ruang dekorasi, sesuai pesan yang ia terima.

Begitu ia membuka pintu, seorang panitia cowok—Dimas, dari tim logistik—langsung menyambutnya.

“Eh, Jeng, makasih udah cepet ke sini,” ucap Dimas sambil mengusap keringat dari pelipisnya. “Kacanya sih udah dibersihin, tapi tadi kacanya jatuh waktu kita ngangkat backdrop.”

Diajeng mengangguk ringan. “Nggak apa-apa, yang penting nggak ada yang luka, kan?”

“Enggak. Tapi... bisa minta bantuan terakhir nggak? Teman kita, si Arumi, dia tadi balik ke kamar karena katanya sakit perut. Tapi sampe sekarang belum balik. Dia bawa salah satu kunci cadangan gudang alat. Bisa tolong jemputin dia sebentar?”

Diajeng agak ragu. “Kamarnya di mana?”

“Lantai 5, nomor 521. Nggak jauh kok dari lift. Nih...” Dimas menyerahkan satu botol minuman dingin ke tangannya. “Minum dulu deh. Capek banget pasti muter-muter dari tadi.”

Diajeng menerimanya tanpa curiga. Botol plastik itu tidak tersegel, tapi terlihat masih penuh dan dingin, embunnya menempel di tangan. Ia membuka tutupnya lalu meneguk beberapa kali.

“Thanks ya,” katanya sambil menghela napas, lalu melangkah kembali menuju lift. Ia tidak sadar bahwa Dimas mengeluarkan ponsel, mengetik pesan singkat dengan cepat.

"Dia udah minum."

Lift berdenting pelan. Pintu terbuka. Diajeng masuk sendirian, dan saat pintu menutup, matanya sempat memejam sejenak.

Ada sensasi hangat yang menjalar pelan dari tenggorokan hingga dada. Dadanya berdebar aneh. Napasnya terasa lebih berat, dan langkahnya sedikit goyah. Tapi ia menepisnya sebagai efek kelelahan.

Lantai lima.

Diajeng keluar dari lift dan berjalan menyusuri lorong. Nomor 521 ada di ujung. Ia mengetuk pelan.

“Arumi?” panggilnya. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk sekali lagi, lalu mencoba gagang pintu. Tidak dikunci.

Pintu terbuka perlahan. Lampu dalam kamar redup, hanya pencahayaan dari lampu tidur di sisi ranjang.

“Arumi?” ulangnya, melangkah masuk dengan ragu. Tapi kamar itu kosong.

Ia tidak sadar pintu di belakangnya menutup... perlahan... dan terkunci dari luar.

Kamar itu terasa sunyi, terlalu sunyi. Hanya ada suara napas Diajeng sendiri yang terdengar semakin berat dan tersengal.

Ia memijit pelipisnya pelan. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Kulitnya terasa panas, dan tubuhnya seolah mulai kehilangan kendali. Kakinya melemas. Pandangannya agak berkunang, tapi tidak sampai membuatnya pingsan. Justru... kesadarannya terlalu tajam, tapi tubuhnya menuntut sesuatu yang tidak bisa ia mengerti.

“Apa... yang terjadi padaku...?” bisiknya pelan.

Gaun merah marun yang membalut tubuhnya kini terasa semakin lengket di kulit. Nafasnya tercekat. Ada dorongan aneh yang mengalir dalam darahnya. Ia memegang sisi ranjang untuk menjaga keseimbangan.

Salah satu panitia tadi... minuman itu...

Matanya mulai menyipit, berusaha menahan sensasi aneh yang menyiksa dirinya dari dalam.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari luar.

Pintu kamar terbuka pelan. Sesosok pria masuk—tinggi, tegap, dengan aura gelap yang menghantui tiap langkahnya.

Banyu Samudra.

Diajeng tertegun. Matanya membelalak samar, campuran antara terkejut, bingung, dan takut.

“Kamu?” suaranya terdengar parau.

Banyu mengunci pintu di belakangnya, lalu diam beberapa detik. Wajahnya tegang, bukan karena marah. Tapi, karena konflik batin yang menghantam dirinya keras-keras.

Seharusnya orang lain yang masuk ke kamar itu. Seharusnya ini hanya bagian dari rencana. Tapi saat cowok bayaran itu mengalami kecelakaan mendadak, dan Banyu tahu Diajeng sudah menelan ‘jebakan’ itu… sesuatu dalam dirinya berkata dia tak bisa membiarkan siapa pun menyentuh gadis itu. Bukan Rizky. Bukan cowok bayaran. Bukan siapa pun. Bahkan jika itu membuatnya hancur.

“Diajeng,” suara Banyu terdengar serak dan dalam. “Kamu harus duduk. Kamu... kamu kena sesuatu.”

“Apa yang kamu... kasih ke aku?” Diajeng menatapnya tajam meski tubuhnya gemetar. “Apa kamu yang—”

“Aku nggak bermaksud kayak gini!” potong Banyu cepat. “Kamu harus tenang. Aku akan bantu. Aku janji nggak akan—”

Namun kata-kata itu terhenti ketika tubuh Diajeng tersandung langkahnya sendiri dan terjatuh tepat ke pelukan Banyu.

Sentuhan itu... membakar.

Keduanya membeku

“Aku benci kamu...” gumam Diajeng, air mata menetes. Tapi ia tidak bergerak, hanya menggigit bibir saat tangan Banyu menyentuh kulit punggungnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 33 : awal pendekatan

    Aroma kopi arabika memenuhi ruangan kafe kecil di sudut kota. Erika duduk di kursi dekat jendela, menunggu seseorang dengan wajah penuh kesabaran—atau lebih tepatnya, penuh perhitungan. Tangan halusnya memainkan sedotan plastik sambil sesekali melirik jam tangan mewah yang baru saja ia beli dengan sisa uang tabungannya.Tak lama kemudian, seorang pria tinggi berjaket denim memasuki kafe. Rambut hitamnya sedikit berantakan, tapi karisma alaminya tetap memancar. Alexander Benjamin.Alex menarik kursi dan duduk di hadapan Erika. “Kamu kelihatan serius banget. Ada apa?”"Aku lagi mikirin cara kita deketin Diajeng," jawab Erika seraya menatap pria pujannya. “Dan kalau dia nggak tertarik sama aku?”Erika menyeringai. “Tenang. Di situ aku yang main peran. Aku sahabatnya. Aku tahu semua pintu yang bisa kita buka. Percayakan sisanya ke aku.”Tatapan mereka bertemu. Dan di titik itulah, dosa pertama mereka dimulai—sebuah rencana yang kelak akan menghancurkan lebih banyak hati daripada yang mer

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 32 : Lamaran

    Mobil sedan hitam menggelinding mulus menyusuri jalan kota yang mulai diterangi lampu-lampu senja. Di dalamnya, keheningan menggantung seperti selimut tipis—tidak canggung, tapi… penuh degup yang disembunyikan.Diajeng melirik ke arah Banyu yang menyetir dengan satu tangan, tangan satunya bertumpu santai di kemudi. Tuxedo hitam itu membuatnya terlihat terlalu sempurna—pria yang tadinya ia benci, kini terlihat seperti tokoh utama dalam mimpi romantis siapa pun.“Kamu yakin gak salah arah?” tanya Diajeng pelan, mencoba mencairkan suasana.Banyu menoleh sebentar, tersenyum. “Tenang. Aku sudah hafal setiap jalan ke tempat yang akan jadi kenangan terindah kita malam ini.”Diajeng mengerjap pelan. Kalimat itu membuat pipinya sedikit hangat.Tak lama, mobil berbelok masuk ke sebuah kawasan elite. Di ujung jalan berlampu temaram, berdiri sebuah restoran bergaya klasik Eropa, dengan taman kecil di sisi kanan dan lampu-lampu gantung di terasnya. Ada suara lembut piano yang terdengar samar dari

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 31 : rayuan maut (flash back)

    Lampu bar berwarna kuning redup memantul di meja kaca yang basah oleh tetesan alkohol. Aroma vodka dan cerutu bercampur jadi satu, memenuhi udara malam yang pengap.Alexander Benjamin duduk di sudut VIP, kancing atas kemejanya terbuka. Wajahnya tampan tapi kusut, dengan mata merah dan rahang yang mengeras menahan amarah.Di depannya, tiga gelas whiskey sudah kosong. Gelas keempat kini ia genggam erat, jari-jarinya mencengkeram kaca seolah ingin menghancurkannya."Diajeng..." namanya terucap pelan, nyaris seperti geraman.Matanya menatap kosong ke arah lampu gantung bar, tapi pikirannya tak bisa lepas dari bayangan gadis itu. Senyumnya. Suaranya. Dan bayangan yang paling menusuk: Diajeng dalam pelukan Banyu.Alexander mendengus kasar, lalu meneguk whiskey itu sampai habis dalam satu tarikan. Cairan panas membakar tenggorokannya, tapi rasa perih di dadanya jauh lebih menyakitkan."Kenapa, Jeng...? Kenapa kamu harus jatuh ke pelukan dia?"Alex menunduk, menatap layar ponselnya. Foto yang

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 30 : rencana malam yang indah

    Apartemen Erika yang biasanya rapi kini tampak berantakan. Bantal berserakan di lantai, dua cangkir kopi yang belum habis tertinggal di meja, dan setumpuk pakaian bersih belum sempat dilipat.Erika mondar-mandir di ruang tamu dengan napas memburu, matanya memerah karena kurang tidur dan terlalu banyak emosi yang dipendam."Kenapa dia bisa sekuat itu, hah?!" bentaknya ke udara, lalu melempar bantal ke sofa.Gadis itu mengacak-acak rambutnya sendiri, frustasi. Ingatan tentang tatapan Diajeng semalam kembali menghantuinya—tatapan tajam penuh kebencian dan luka."Aku tahu semua, Rik. Aku lihat kalian."Kalimat itu terus terngiang di telinganya, menampar rasa aman yang selama ini ia bangun dengan kebohongan."Seharusnya dia lemah… seharusnya dia hancur!" gumam Erika, suaranya seperti racun.Dia meraih laptopnya dengan kasar, membukanya dan membuka folder tersembunyi berisi cuplikan-cuplikan dari malam pesta itu. Erika memutar video pendek saat Diajeng tampak memasuki kamar hotel sendirian.

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 29 : di pelukanmu

    Mentari siang mulai merambat, menyusup malu-malu lewat tirai yang setengah terbuka. Di atas ranjang, dua insan yang semalam diliputi badai emosi kini masih terbaring dalam diam.Tapi, bukan diam yang dingin. Ini diam yang… hangat. Menenangkan.Diajeng membuka mata lebih dulu. Cahaya tipis dari jendela menyentuh wajahnya. Ia mengedip pelan—dan baru sadar kepalanya masih bersandar di dada Banyu, yang kini terlelap. Tangan pria itu masih memeluknya lembut.Deg.Deg.Deg.Jantungnya seperti berdentang keras di telinga."Astaga... aku tidur sambil meluk dia?!" batin Diajeng panik.Pelan-pelan Diajeng beringsut mundur, tapi baru saja ia bergerak, Banyu mengerang pelan dan membuka mata. Mata mereka bertemu. Sekejap. Tapi cukup untuk membuat keduanya refleks saling menjauh dengan canggung.“Ehm…” Banyu menggaruk tengkuknya sambil menghindari tatapan. “Tidurmu… nyenyak?”Diajeng langsung duduk dan membetulkan rambutnya yang berantakan. “Aku... ya. Lumayan.”Mereka berdua menunduk. Sunyi. Cangg

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 28 : Mencarimu

    Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Suasana apartemen Banyu yang mewah dan biasanya terasa hangat, malam itu justru dingin seperti es. Diajeng duduk memeluk lututnya di sofa ruang tamu, hanya mengenakan sweater longgar dan celana tidur. Rambutnya masih sedikit basah karena tadi sempat mencuci wajahnya—berharap bisa menghapus sisa-sisa air mata yang terlalu keras mengalir..Namun yang tersisa hanyalah perih.Banyu belum pulang.Diajeng menatap kosong ke arah jendela besar yang menampilkan pemandangan kota Jakarta yang masih menyala. Tapi semua cahaya itu tak mampu menenangkan hatinya. Yang ada justru bayangan-bayangan dari masa lalu berputar dalam pikirannya seperti film rusak yang tak mau berhenti diputar ulang.Nama Erika muncul pertama.Sahabat yang selama ini ia percayai. Tempat ia berlindung. Tempat ia mencurahkan ketakutan dan kebingungan saat hidupnya berantakan... ternyata punya wajah lain di balik topeng manisnya.Diajeng mencengkeram bantal kecil di pelukannya lebih erat. Nap

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status