“Cepetan!” bentak lelaki bertato kalajengking. “Jangan lelet!” Ditariknya tangan Seruni dengan kasar. Keduanya baru saja tiba di Ramayana Hotel untuk menemui pelanggan yang telah memesan gadis itu.
Wajah Seruni tertekuk-tekuk. Di bawah temaram lampu halaman hotel, ia berjalan tersuruk-suruk. High heels setinggi sepuluh sentimeter membuatnya seperti akan jatuh terjerembab setiap menapak tanah beralas rumput. Bayangan Bapak dan Ibu yang menjejali kepala semakin memberatkan langkah Seruni.
Bapak, Ibu, maafkan Seruni. Gadis bertubuh semampai itu meratap dalam hati. Andai mereka masih hidup, pasti nasibnya tidak akan seburuk ini, dijual paman sendiri demi menebus utang akibat kalah di meja judi. Setelah berhasil kabur dari pemilik prostitusi online berkedok rumah indekos di Semarang, Seruni justru terperangkap jaringan lain yang lebih besar dan kuat di Yogyakarta.
Langkah si tato kalajengking terhenti di depan pintu masuk. Di hadapan satpam, ia memasang senyum ramah. Setelah menyebut nomor kamar, keduanya diizinkan lewat.
Seruni menghela napas. Dari ekor matanya, ia masih bisa menangkap tatapan liar lelaki berseragam serupa dengan polisi itu.
“President suit nomor 403,” ujar si tato kalajengking sambil menunjukkan pesan di ponsel pada karyawan hotel.
Pegawai hotel itu mengernyit sesaat kemudian menatap Seruni. Sejurus kemudian ia mengangguk mafhum dan memberi kunci kamar yang dimaksud.
Si tato kalajengking mengucapkan terima kasih dan meneruskan langkah ke kamar yang dituju. Ia meraih tangan Seruni dan melingkarkan di lengannya. “Senyum,” bisiknya dingin.
Gadis itu menuruti permintaan si tato kalajengking dengan enggan. Semakin dalam memasuki hotel, langkah kaki Seruni semakin berat dan dadanya semakin sakit. Bayangan wajah almarhum Bapak dan Ibu terpantul-pantul di depan mata.
Tuhan, kenapa tidak Kau matikan aku sekalian? batin Seruni seraya menahan kuat-kuat agar air mata tidak tumpah. Jangan sampai ia terlihat seperti gadis lemah di hadapan si tato kalajengking.
Jantung Seruni berdetak cepat ketika kakinya baru saja keluar dari lift di lantai tiga. Ia memaksakan senyum saat berpapasan dengan dua tamu perempuan yang baru saja keluar kamar dan menatap sedikit jijik padanya.
Si tato kalajengking berhenti sejenak di persimpangan koridor. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, kemudian melangkahkan kaki ke kiri.
Seruni menarik napas dalam-dalam. Tidak ada orang lain di koridor itu.
“Aduh!” Seruni berhenti lalu berjongkok. Dielusnya kaki kiri sembari meringis.
“Kenapa?” Si tato kalajengking juga berjongkok. Ia menelan ludah saat matanya menangkap bagian atas tubuh Seruni yang cukup terbuka.
“Sakit, Om.” Seruni mendongak sebentar kemudian melepas sepatu.
Seruni melirik si tato kalajengking. Ini saatnya, batin gadis itu. Dengan gerakan cepat, Seruni memukulkan sepatu ke wajah lelaki di hadapannya.
“Argh!” Si tato kalajengking refleks berdiri sambil mengelus pipi. Sebelum kesadarannya terkumpul, Seruni kembali menghantamkan sepatunya, dua kali.
Si tato kalajengking mengerang dan mengaduh. Dielapnya darah yang keluar di sudut bibir. “Apa-apaan kamu? Mau ngelawan aku?” Lelaki itu menatap tajam Seruni.
Seruni diam. Kedua matanya awas menatap lawan. Dari gerakan tubuh lelaki di depannya yang tidak beraturan, Seruni tahu kalau si tato kalajengking bukan lawan sepadan.
Lalu, dengan gerakan cepat, Seruni melanjutkan aksinya. Ia mendaratkan tendangan di perut dan bagian vital si tato kalajengking hingga jatuh terjengkang. Detik berikutnya, Seruni melompat dan menarik tubuh si tato kalajengking hingga kembali berdiri, bukan untuk menolongnya, melainkan membantingnya hingga terdengar bunyi berdebam disusul erangan yang memenuhi koridor.
Seruni berjongkok di samping si tato kalajengking yang diam tak bergerak. Pingsan. Dengan dada berdebar, gadis itu bangkit dan berlari menjauh. Karena terburu-buru, di persimpangan koridor ia menubruk lelaki tambun berkepala botak.
“Hei, kalau jalan yang bener, dong!”
Mengabaikan tatapan penuh nafsu pria gendut itu, Seruni minta maaf kemudian berlari menuruni tangga. Jantung Seruni berpacu. Telapak tangannya mulai terasa lembab. Peluh membanjiri tubuh.
“Ouh.” Seruni tergelincir. Kakinya tidak menapak tepat di anak tangga. Beruntung tubuhnya tidak jatuh ke bawah karena tangannya berhasil meraih pembatas tangga yang terbuat dari kayu.
Gadis itu berhenti sejenak karena tungkai kakinya terasa sakit. Gugup dan panik membuatnya lupa kalau seharusnya bisa menggunakan lift untuk turun ke lantai satu.
Mencoba menahan nyeri di kaki, Seruni berdiri dan menuruni tangga secepat mungkin. Ia tiba di lobi dengan napas terengah. Gadis dengan rambut panjang bergelombang itu sempat berhenti sejenak di ujung tangga, tetapi segera meneruskan pelarian saat mendengar derap langkah kaki menuruni tangga.
“Mau ke mana, Mbak? Kok, buru-buru?” tanya Satpam ketika Seruni tiba di hadapannya. Lelaki itu berdiri tegak dengan salah satu tangan mencengkeram handel pintu kaca sementara tangan lain berada di balik punggung.
“Ada yang ketinggalan, Pak.” Seruni berusaha meredam debar di dada. Ia menyibak rambut kemudian meletakkannya di balik telinga. Bibir tipis berbalut lipstik glossy itu mengembangkan senyum sementara matanya mengerjap-ngerjap.
Jantung satpam itu mendadak meleyot. Sesuatu yang hangat menjalari tubuhnya. Kedua matanya memindai tubuh Seruni. Mini dress merah terang yang membalut tubuh Seruni terlihat kontras dengan kulit putih miliknya. Sangat Menggoda.
“Tolong biarkan saya lewat, Pak. Saya ditunggu pelanggan di president suit nomor 403.” Seruni memasang wajah memelas. Ia menengok ke belakang, berharap si tato kalajengking tidak buru-buru siuman. “Saya khawatir beliau marah kalau terlalu lama pergi.” Ditatapnya satpam dengan sorot mata memohon.
Sempat terdiam sebentar, akhirnya satpam membuka pintu dan membiarkan Seruni lewat.
Degup jantung Seruni sedikit mereda ketika ia sudah keluar bangunan berarsitektur modern itu. Satu masalah telah teratasi. Kini, ia harus pergi secepat mungkin dari sarang penyamun ini. Sambil masih menahan sakit di kaki, gadis itu berlari melewati jalan semen beratap kanopi hingga tiba di halaman.
Jantung Seruni serasa mau lepas saat melihat satpam muncul dari arah hotel. Satpam yang berbeda, tetapi cukup membuat Seruni khawatir. Segera, ia mempercepat lari. Jantungnya kembali berpacu dan napasnya memburu. Jangan-jangan si tato kalajengking sudah sadar dan meminta bantuan para penjaga hotel. Kini, bukan hanya hati Seruni yang kacau, kepalanya pun semrawut seperti benang kusut.
Di tengah pelarian, tiba-tiba Seruni merasa punggungnya menubruk sesuatu lalu ketika berbalik, ia teruhuyung dan menimpa tubuh seorang lelaki berjas hitam yang telah lebih dulu jatuh terbaring di atas tanah berumput.
Bram, pria yang baru saja bertemu klien di Ramayana Hotel membelalakkan mata melihat Seruni berada di atas tubuhnya. Segera, didorongnya bahu Seruni hingga gadis itu terjengkang.
Buru-buru Bram berdiri seraya memalingkan wajah. Posisi jatuh Seruni membuat saraf otaknya mendadak kehilangan fungsi selama beberapa detik.
“Hei, kalau jalan itu lihat depan, bukan belakang!”
“Aku yang akan atur pertemuanmu dengan Seruni.”Bram menatap Re lurus-lurus. Mulutnya masih mengunya sepotong risol mayo. Pagi itu Re tampak seperti komandan pasukan rahasia sedang mengatur strategi. Mendadak Bram merasa sedikit gerah meski mesin pendingin kafe menyala.“Menurutmu, dengan cara apa aku bisa ketemu Seruni? Aku harus menyamar menjadi pria hidung belang?” Bram hampir tersedak ketika mengucapkannya. Beruntung risol mayo di mulut sudah tertelan. Kalau belum, mungkin makanan itu akan tersangkut di tenggorokan atau malah tersembur keluar. Entahlah. Bram mual mendengar istilah pria hidung belang. “Lalu apa? Membawa Seruni kabur?”Re tersenyum kecil. Tatapan tajamnya melunak dan otot-otot wajahnya mengendur. “Sabar, Bro. Aku akan jelaskan.” Diraihnya cangkir lalu menyeruput isinya perlahan. “Baristamu keren, Bram.” Bram mengacungkan jempol seraya melirik pria berapron biru di balik coffee bar yang sedang menyetel peralatan menyeduh kopi.“Kebiasaanmu mengalihkan pembicaraan.”
“Jangan terlambat atau kesempatanmu bertemu Seruni hilang.”Dengan tangan masih menggenggam ponsel, Bram menoleh ke kiri dan kanan, mencari sofa tersembunyi yang bisa diduduki dengan tenang atau dinding untuk sekadar bersandar. Bram menghela napas berat. Semakin malam bar semakin ramai. Tidak ada tempat kosong sama sekali.Ketika akhirnya Bram menemukan dinding untuk bersandar, ponsel di tangannya hampir jatuh karena seseorang menubruk tubuhnya. Bram menggeram. Didorongnya badan gempal pria beraroma minuman keras dan rokok itu hingga jatuh terduduk di lantai. Ia masih sempat meracau sambil bersandar di dinding sebelum akhirnya terkapar.Merasa tidak akan bisa berpikir di tempat remang-reman itu, Bram memutuskan keluar. Segera ia memasuki lift dan kembali ke basement. Ia bisa gila atau cepat mati kalau lebih lama di dalam bar.Sesampainya di basement, Bram menghirup oksigen banyak-banyak, mengusir asap rokok yang sempat menghuni paru-parunya dengan udara baru yang lebih segar. Bergegas
Bram membelalak melihat aksi perempuan bergaun merah. Segera, ia menurunkan lengan si gaun merah lalu mendorongnya dengan kasar hingga hampir terjungkal. Sebelum keadaan berubah menjadi tak terkendali, Bram menyadari kesalahannya. Ia menarik tangan perempuan itu dan menahan tubuhnya agar tidak jatuh.Bartender di balik meja bar terkejut. Ia sampai berhenti melayani pesanan demi melihat adegan tak terduga itu.“Lepaskan!” Si gaun merah mendorong tubuh Bram. Sumpah serapah perempuan itu berkejaran dengan bingar musik dalam bar. Ia melambaikan tangan dan tidak lama berselang, dua lelaki berbadan kekar dengan baju serba hitam mendatangi Bram.Si gaun merah menatap sengit Bram lalu pergi, menyerahkan urusan Bram pada dua bodyguard di bar. Ia tidak akan menghabiskan waktu meladeni pria tak tahu diri seperti Bram. Masih banyak laki-laki lain yang bisa didekati.Astaga, kenapa aku bisa lepas kendali? Bram mengambil sapu tangan dan mengusapkannya ke wajah. Ada banyak perempuan mencoba mendekat
“Kamu sudah lapor polisi kalau tempat mereka pindah?”Bram tidak lagi punya harapan apa pun pada Dewi dan teman-temannya. Jika polisi saja tidak mampu mengejar dan menangkap mereka, apalagi Dewi dan anggota LSM-nya. Musuh mereka terlalu kuat. Hanya demi kesopanan, ia tetap menanggapi laporan Dewi.“Sudah.”Dari nada bicara Dewi, Bram bisa menebak kalau harapan dalam genggaman perempuan itu pun mulai meredup. Advokat utama mereka masih belum pulih dari patah tulang. Sementara itu, pengacara pengganti terus didera teror dan Dewi terpaksa memintanya tiarap demi keselamatan diri dan keluarganya. Posisi Dewi sangat sulit. Bram tidak ingin menambah beban dengan bersikap acuh.“Apa kata mereka?”“Mereka hanya bilang sedang mendalami kasus ini dan akan segera memberi tahu kalau ada perkembangan baru.”Dewi menghentikan kalimat lalu diam.“Halo, Dew, kamu masih di sana?” Bram berseru khawatir pembicaraan mereka terjeda sunyi. Dewi juga mengalami banyak teror, tetapi wanita itu begitu tegar dan
“Ngomong-ngomong, Gou yang katamu dulu pernah menangkap Seruni, sekarang sudah mati.” Re menatap Bram sekilas lalu menandaskan isi cangkir.Mulut Bram sedikit terbuka. Ia hampir tersedak. Jika Gou sudah mati, lalu siapa yang menculik Seruni sekarang? Bram berteman dengan Re sejak lama. Mereka memiliki satu guru dan lama berlatih bersama dalam satu perguruan Taekwondo. Belakangan Bram tahu kalau selain mendirikan perguruan dan mengajar Taekwondo, Re juga membuka jasa menyediakan petugas keamanan yang bekerja tersembunyi. Ia tahu bisnis gelap dan orang-orang yang berputar di dalamnya. Jadi, Bram tidak punya alasan untuk tidak mempercayai ucapan Re. Pria itu tidak mungkin bohong. “Aku boleh nambah kopi?” Re mengangkat cangkir yang telah kosong. “Kasusmu membuat otakku berasap.” Ia terkekeh.“Kamu boleh minum dan makan sepuasmu tanpa harus memikirkan bagaimana membayar tagihan.” Bram melengkungkan bibir.Re berdecak. “Kamu pikir aku semiskin itu sampai nggak bisa bayar secangkir kopi?”
Merasa kasus Seruni masih gelap, Bram mencoba mengurai dan mencari titik terang. Ia mengambil kertas dan pulpen lalu mulai menulis kronologi hilangnya Seruni versi Ben dan hasil pencarian timnya Dewi. Bram yakin, Seruni diculik komplotan bisnis prostitusi online yang dulu pernah menjualnya.Bram menuliskan tempat-tempat yang mungkin akan digunakan komplotan itu untuk mempertemukan Seruni dengan pelanggan.BarPubHotelJumlah ketiganya puluhan atau malah ratusan. Menyisir semua tempat akan menghabiskan waktu. Alih-alih ketemu, Seruni mungkin sudah jatuh ke tangan pria hidung belang. Membayangkan hal itu, Bram bergidik. Disandarkannya punggung ke kursi. Sesaat ia memejamkan mata sambil memijit pelipis.Lelah karena tidak kunjung menemukan jalan keluar, Bram memutuskan rehat sejenak. Ia bangkit dan keluar ruang kerjanya. Kafe menjadi tujuan Bram. Sebagai CEO, ia bisa saja memesan menu apa pun dan pelayan akan mengantar ke kantor. Namun, Bram butuh udara segar dan suasana baru. Siapa ta