Yuliani berusaha untuk menguatkan diri, tidak mau berhenti begitu saja. Bagaimanapun, dia harus mendapatkan pertanggung jawaban atas janin yang saat ini ada dalam perutnya.
"Kamu gak boleh lemah seperti ini, Yuliani! Kamu harus kuat, Anton harus menikah denganmu, anak ini harus punya ayah saat lahir nanti," monolog Yuliani sembari memegang perutnya yang masih rata. Air matanya segera dihapus, lalu berdiri dan mengejar pria yang meninggalkan seorang diri."Anton! Tunggu!" teriak Yuliani sehingga langkah kaki Anton berhenti.Pria itu menoleh ke arah wanita yang telah kusut wajahnya."Ada apa lagi?" tanya Anton kesal.Yuliani mendekati Anton yang berdiri dengan jarak 10 meter darinya."Aku mau kamu bertanggung jawab atas janin yang ada dalam kandunganku. Aku tidak mungkin melahirkan anak ini tanpa seorang ayah." Yuliani menyahut dengan nada pelan. Dia tidak ingin obrolannya terdengar oleh orang sekitar taman."Kalau aku gak mau gimana? Aku gak yakin itu darah dagingku!" cetus Anton mengelak perbuatannya."Aku berani memberikan bukti, kalau janin ini adalah anakmu. Kalau kamu tidak mau bertanggung jawab, akan aku laporkan kamu ke polisi." Wajah Yuliani terlihat serius, membuat Anton ketakutan. Pria itu melihat jelas dari sorot mata Yuliani bahwa wanita itu berkata jujur."Oke! Aku percaya kalau janin itu milikku, lantas apa yang kamu inginkan?" tanya Anton mengalah. Dia tidak ingin berurusan dengan polisi, mengingat pria itu memiliki rahasia.Wajah Yuliani berubah bahagia kembali mendengar ucapan Anton."Aku ingin kamu menikah denganku." Yuliani menyahut singkat.Anton berpikir sejenak, "Gak mungkin juga aku menikah dengan wanita ini. Apalagi melihat penampilannya sekarang." Sorot matanya melihat dari ujung kaki hingga ujung kepala."Bagaimana? Kamu mau 'kan? Aku cuma ingin anak ini lahir punya sosok ayah," cetus Yuliani menatap Anton yang masih berdiri tanpa sepatah kata apa pun."Beri aku waktu, secepatnya aku akan menghubungimu." Anton berusaha mencari alasan agar bisa pergi saat itu juga."Sudah gak ada waktu lagi, Anton. Perutku lambat laun akan semakin membesar. Jadi, lebih baik kamu putuskan sekarang juga." Yuliani memaksa karena tidak ingin kehamilannya semakin membesar dan diketahui orang lain."Beri aku waktu, aku janji akan datang ke rumahmu," bujuk Anton sembari mengambil kedua tangan Yuliani.Anton berpaling, lalu melanjutkan perkataannya, "Aku butuh restu dari keluarga terlebih dulu. Harus meyakinkan mereka kenapa aku mau menikah denganmu. Kamu tidak mau 'kan, menikah tanpa restu dari keluarga?" Anton menyeringai. Sebuah rencana terlintas dalam benaknya.Pria itu memang pintar merayu, jadi sudah pasti Yuliani akan tunduk. Rayuan demi rayuan dilontarkan, hingga wanita yang berdiri di depannya menyetujui permintaannya."Baik, aku akan menunggu. Namun, batas waktunya cuma sampai besok. Jadi, besok kamu harus memberikan jawaban," kata Yuliani.Meskipun dengan mudah dibujuk, bukan berati wanita itu mau menuruti semua permintaan Anton. Diberikan kesempatan itu sudah untung, dibandingkan tidak sama sekali. Pria itu juga tidak bisa menolak lagi, sebab bisa terlepas dari wanita yang dipermainkan sekarang juga itu lebih baik."Ya sudah, sekarang aku antar kamu pulang. Gak mungkin juga kamu pulang sendiri dalam keadaan seperti ini. Bagaimanapun, aku khawatir sama kamu dan juga janin yang ada dalam perut ini," kata Anton mengelus perut Yuliani yang masih rata.Modus yang dilakukan agar wanita yang dihamilinya semakin yakin akan janjinya. Dengan senang hati Yuliani menerima tawaran tersebut, selain karena minimnya uang. Anton juga harus tahu alamat rumahnya.Sepeda motor melaju kencang sesuai arahan Yuliani."Pegangan takut jatuh," kata Anton yang masih sempat modus.Tanpa pikir panjang, Yuliani langsung melingkarkan kedua tangannya memeluk Anton. Cinta sudah membutakannya, sehingga melakukan apa pun yang membuatnya bahagia.Sesampainya di rumah, Yuliani turun dari sepeda motor Anton."Kamu gak mau masuk dulu?" tanya Yuliani dengan wajah berseri-seri."Besok saja kalau semua sudah siap," sahut Anton memberikan senyuman terbaiknya."Kamu hati-hati di jalan ya!" seru Yuliani membalas senyuman Anton."Oya, apakah kedua orang tuamu sudah tahu perihal ini?" tanya Anton penasaran.Yuliani menganggukkan kepala.Satu hal yang tidak diketahui oleh wanita berambut lurus itu, kalau kedua orang tuanya saat ini kebingungan mencarinya."Ibu ini gimana sih? Kenapa bisa gak tahu kalau Yuliani pergi dari rumah?" tanya Mark dengan raut wajah memerah."Ibu tadi pergi ke dapur setelah Yuliani sarapan, Ayah. Setelah itu aku lihat di kamarnya dia sudah tidak ada. Makanya Ibu langsung menghubungi Ayah agar bisa mencarinya bersama-sama." Dina menjelaskan panjang lebar, tapi tetap saja Mark tidak bisa mengontrol emosinya.Amarah pria itu sudah tidak bisa terkontrol lagi sejak mengetahui fakta bahwa sang Anak hamil di luar nikah."Biarkan saja! Kita tidak usah sibuk mencarinya, anggap saja dia sudah tiada. Anak tidak tahu diri seperti itu hanya membuat kita stres," kata Mark kesal."Ayah jangan bilang seperti itu. Apa pun kesalahan yang dilakukannya, Yuliani masih tetap darah daging kita, Ayah. Jangan cuma menyalahkan dia saja, kita harus memberikan dia waktu." Dina berusaha untuk memberikan pengertian kepada sang Suami.Untuk saat ini, hanya Dina yang mau menerima Yuliani. Sedangkan Mark sudah kesal, tapi rasa peduli untuk puteri kesayangannya masih tersisa."Apa yang bisa kita banggakan dari anak seperti dia, Bu. Hanya bisa membuat keluarga kita malu saja," kata Mark menghembuskan napas secara kasar.Dina mengelus dada karena melihat wajah Mark yang menakutkan. Selama ini, pria itu terkenal lemah lembut, dan juga penyabar. Namun, semua berubah ketika emosi sudah melanda.Di saat Dina sudah kehabisan kata-kata, terdengar suara sepeda motor berhenti di teras rumah."Mungkin itu Yuliani, Ayah. Mungkin dia sudah pulang," kata Dina melangkahkan kaki ke arah pintu. Mark yang penasaran juga mengikuti dari belakang.Dina lebih dulu membuka pintu, terlihat Yuliani sedang mengobrol dengan Anton."Sepertinya dia pria yang sudah menghamili Yuliani. Kalau Ayah melihatnya, sudah pasti terjadi sesuatu nanti. Aku harus melakukan sesuatu," gumam Dina sembari menutup pintu kembali.Dia yang lebih tahu sifat sang Suami, jadi dia akan berusaha untuk melindungi anaknya. Juga pria yang saat ini bersama dengan Yuliani."Kenapa pintunya ditutup lagi?" tanya Mark yang berdiri tepat di belakang Dina."Iya, Ayah. Ternyata bukan Yuliani." Dina menyahut dengan ekspresi gugup.Dari gerak-gerik Dina sudah terbaca, jadi Mark tidak gampang percaya."Coba Ayah lihat," kata Mark menggeser tubuh Dina menghalangi pintu."Jangan, Ayah." Dina refleks tidak memberi izin Mark membuka pintu.Pria itu tetap memaksa, hingga pintu terbuka. Amarah yang semula sedikit redam kini berkobar lagi ketika melihat Yuliani bersama Anton. Segera dia menghampiri sepasang kekasih yang masih asik bercanda."Jadi kamu orangnya!" hardik Mark dengan sorot mata yang tajam.Yuliani dan Anton menoleh ke sumber suara. Mark dengan cepat melangkahkan kaki dengan amarah yang semakin tidak bisa terkendali."Lebih baik kamu pergi dari sini sekarang juga, Anton!" pinta Yuliani panik, dia tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada kekasih yang sudah berjanji menikahinya.Anton menganggukkan kepala, lalu naik ke atas sepeda motornya. Perasaan gugup dan takut bercampur jadi satu, hingga sulit untuknya menghidupkan sepeda motornya."Jangan kabur kamu!" hardik Mark bagian belakang sepeda motor Anton."Sudah, Ayah. Biarkan dia pergi, jangan sakiti dia!" cegah Yuliani. Wanita itu tidak sendiri, sebab Dina juga mendukung serta membantu menarik tangan Mark."Tenangkan hatimu dulu, Ayah. Jangan bersikap gegabah. Gak enak juga dilihat tetangga," kata Dina mengingatkan kalau aib keluarganya jangan sampai diketahui orang lain. Anton berhasil kabur ketika Mark mulai lengah. "Kenapa kalian berdua mencegah Ayah? Harusnya pria tidak tahu diri itu mendapatkan pelajaran atas a
Hari yang ditunggu akhirnya tiba, Yuliani sudah tidak sabar menyambut Anton bersama dengan keluarganya. Setelah mendapatkan pesan yang membahagiakan, wanita itu semakin semangat untuk menjalani hari. Membayangkan hidup berbahagia dengan pria yang dicintai."Kamu terlihat cantik sekali, Yuliani." Dina memuji Yuliani setelah merias diri."Terima kasih, Bu. Aku bahagia karena tidak menyangka kalau keluarga Anton merestui dan meminta untuk melangsungkan pernikahan sekarang juga," ujar Yuliani terharu. Pesan yang diterima kemarin selalu diingat, tidak dihapus bahkan semalam dibaca berulang-ulang ketika sulit memejamkan mata."Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu," kata Dina memeluk tubuh Yuliani. "Aamiin, terima kasih do'anya Bu." Yuliani membalas pelukan Dina.Melihat sinar kebahagiaan yang terpancar dari netra Yuliani membuat Dina juga merasakan kebahagiaan yang sama. Akhirnya, putri kesayangannya menikah juga dan akan menjalani bahtera rumah tangga.Semua sudah dipersiapkan dengan seb
"Kamu ke mana sih, Anton. Kenapa nomornya tidak aktif?" pikir Yuliani masih berusaha untuk menghubungi Anton. "Bagaimana? Apa sudah ada jawaban darinya?" tanya Dina tampak gelisah. Firasatnya sudah mengatakan yang tidak-tidak. Akan tetapi, dia masih terus berusaha untuk berpikir positif."Nomornya sudah tidak aktif, Bu." Yuliani berbicara terbata-bata."Ibu sudah menduga dari awal, pria itu pasti gak mau bertanggung jawab." Dina mulai meyakini firasatnya."Gak mungkin, Bu. Dia sendiri yang sudah berjanji untuk menikahi ku. Mungkin saja kehabisan baterai, atau kehilangan signal. Bisa saja seperti itu 'kan, Bu?" cetus Yuliani berusaha meyakinkan diri sendiri juga."Sudah, Yuliani. Jangan berharap lagi sama pria itu, dia mungkin tidak akan datang. Jangan buang-buang waktu lagi. Di luar para tamu sudah menunggu. Alasan apa yang akan kita katakan pada mereka? Ibu malu, Yuliani!" hardik Dina. Wanita yang semula selalu sabar, kini tidak tahan juga dengan permasalahan yang terjadi.Yuliani m
Dengan langkah sempoyongan Mark berlari menemui Dina, sedangkan para tamu dan juga keluarga mulai kebingungan dengan apa yang terjadi sebenarnya. "Ada apa, Bu?" tanya Mark memegang pundak Dina."Yuliani, Ayah. Dia tdiak ada di dalam kamarnya." Dina menyahut sembari menunjuk kamar Yuliani yang sudah kosong. Jendela kamarnya juga terbuka, wanita itu sudah pergi melarikan diri lewat sana.Mark langsung masuk untuk mengecek keadaan lebih lanjut, ternyata memang benar puteri kesayangannya tidak ada. "Ibu tenang dulu di sini ya, Ayah coba mengejarnya. Mungkin saja dia tidak jauh dari sini." Mark membantu Dina untuk duduk di tepi ranjang kamar Yuliani. Pria itu tidak peduli dengan sorot mata semua orang, yang ada dalam benaknya saat ini hanya satu. Yuliani harus segera ditemukan sebelum calon mempelai pria pilihan Mark kecewa dengan peristiwa ini."Apa aku bilang, Jeng. Calon mempelai pria tidak datang, makanya sekarang Yuliani tidak ada di kamarnya." Mawar dengan bangga berpendapat setel
"Ayah gak salah memilih calon suami untukku?" tanya Yuliani melihat pria yang ada di hadapannya. Wajah yang dimiliki sudah tidak lagi muda, bagaimana mungkin Mark tega memilihkan calon suami seperti itu?"Kamu gak punya pilihan lain, Yuliani. Sudah beruntung Pak Bandit mau menerimamu dengan kondisimu saat ini." Mark berbicara tegas agar Yuliani menyadari dengan kondisinya sekarang yang bukan lagi seorang wanita perawan."Sampai kapan pun, Yuliani tidak mau menikah dengan pria yang sudah tua seperti dia, Ayah." Yuliani tetap pada pendiriannya. Meskipun Mark sudah mengingatkan akan aib yang saat ini sedang ditanggungnya.Wanita mana yang akan mau menikah dengan pria yang memiliki umur terpaut jauh, bisa dibilang pria itu lebih pantas menjadi kakek Yuliani. Jika dibandingkan dengan Anton, lebih baik pria yang sudah menghamilinya dibandingkan dengan pria yang tulus menerima apa adanya. Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, wanita yang masih mengenakan gaun pengantin itu harus tahu diri juga
Tak hanya Yuliani saja yang diusir, seluruh anggota keluarga juga diusir agar pulang ke rumah masing-masing. Mark benar-benar marah dan berlalu pergi ke kamar setelah keadaan rumah benar-benar sepi. Dina menyusul ke kamar dan melampiaskan seluruh amarah pada suaminya."Ayah tega! Kenapa Yuliani diusir, Ayah. Selain kita, siapa lagi yang mau membantu masalahnya? Lagian dia tidak salah, Ibu juga tidak akan mau jika dijodohkan dengan pria yang sudah tua," kata Dina menggebu-gebu. Wanita itu tidak tega melihat anaknya dimarahi, terlebih kondisinya saat ini tengah mengandung cucunya. Di saat terpuruk begini, Yuliani pasti membutuhkan dukungan dari keluarga. Mark duduk di ujung ranjang, menundukkan kepala tanpa berbicara apa pun. Hanya mendengarkan setiap omelan yang dilontarkan oleh Dina."Ayah lihat sekarang, kita sudah kehilangan puteri kita satu-satunya. Bahkan Ibu sudah berusaha untuk mencegahnya pergi, tapi Yuliani sudah tidak peduli. Bicara, Ayah! Kenapa diam saja!" hardik Dina kesa
Rumah sederhana akan menjadi tempat tinggal Yuliani untuk sementara waktu. Anita yang bukan termasuk orang kaya, tapi sudah berbaik hati memberikan tempat tinggal pada ponakan yang terbilang memiliki keluarga mapan."Maaf, Yuliani. Tante cuma bisa memberikan tempat tinggal seperti ini. Sangat jauh berbeda dengan rumah yang ditinggali olehmu," kata Anita gak enak hati."Justru Yuliani senang, Bi. Karena Bibi masih ingat sama aku, dan mau membantu." Yuliani sedikit sungkan, sebab Bibi yang selama ini tidak begitu dihiraukan ternyata dia yang paling peduli padanya. Bahkan saudara yang lain boro-boro membantu, pura-pura bertanya justru tidak ada. Diberikan tempat tinggal saja wanita itu sudah bersyukur, gratis pula. Anita menunjukkan kamar yang akan ditempati Yuliani."Kamarnya kecil, karena di rumah ini cuma bisa membuat dua kamar dengan ukuran 3x4. Rencananya kamar ini nanti untuk anak Bibi." Anita menjelaskan dengan netra berkaca-kaca. Sudah lama sekali wanita itu menginginkan anak ya
Dia berjalan mengikuti Anita dari belakang, hingga sampai di ruang makan yang terlihat sederhana. Ruangan yang dibagi dua dengan ruang tamu. Jadi tidak heran kalau tempatnya sempit.Yuliani duduk dengan ragu, pandangannya terus awas pada Farhan. Ternyata pria itu tetap asik makan tanpa menghiraukan kedatangannya bersama Anita."Kenapa paman diam saja? Aku pikir akan bertengkar dengan Bibi. Syukurlah kalau begini," gumam Yuliani. Ada perasaan lega dalam hatinya, ternyata apa yang dikhawatirkan tidak terjadi dan tidak sesuai ekspektasinya."Kamu makan yang banyak ya, jangan sampai nutrisinya kurang," kata Anita menuangkan nasi dan ayam goreng yang sudah dimasak. Tidak lupa juga dengan sayuran bergizi khusus untuk Yuliani."Terima kasih, Bi. Seharusnya Bibi gak usah repot-repot," kata Yuliani memberikan senyuman."Bibi gak repot kok. Ayo, makan!" Anita mempersilakan.Tidak ada lagi obrolan di ruang makan, hanya ada bunyi sendok. Yuliani tampak menikmati makanan yang sudah disediakan oleh