Yuliani dan Anton menoleh ke sumber suara. Mark dengan cepat melangkahkan kaki dengan amarah yang semakin tidak bisa terkendali.
"Lebih baik kamu pergi dari sini sekarang juga, Anton!" pinta Yuliani panik, dia tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada kekasih yang sudah berjanji menikahinya.Anton menganggukkan kepala, lalu naik ke atas sepeda motornya. Perasaan gugup dan takut bercampur jadi satu, hingga sulit untuknya menghidupkan sepeda motornya."Jangan kabur kamu!" hardik Mark bagian belakang sepeda motor Anton."Sudah, Ayah. Biarkan dia pergi, jangan sakiti dia!" cegah Yuliani.Wanita itu tidak sendiri, sebab Dina juga mendukung serta membantu menarik tangan Mark."Tenangkan hatimu dulu, Ayah. Jangan bersikap gegabah. Gak enak juga dilihat tetangga," kata Dina mengingatkan kalau aib keluarganya jangan sampai diketahui orang lain.Anton berhasil kabur ketika Mark mulai lengah."Kenapa kalian berdua mencegah Ayah? Harusnya pria tidak tahu diri itu mendapatkan pelajaran atas apa yang sudah diperbuat kepada kamu, Yuliani!" hardik Mark. Wajahnya masih murka, ditambah sang Istri yang membantu Anton pergi."Ibu tidak ingin ada keributan di sini, Ayah. Gak enak juga dilihat tetangga." Dina berusaha menjelaskan."Terserah kalian saja! Ayah sudah tidak mau tahu lagi!" cetus Mark berlalu pergi masuk ke dalam rumah.Yuliani memeluk erat tubuh Dina, air matanya kembali mengalir karena teringat akan amarah Mark yang tidak seperti biasanya."Kamu tenang saja, tidak selamanya ayah marah." Dina membelai rambut Yuliani, berharap hatinya akan lebih baik lagi."Terima kasih, Bu. Sudah mau membantu Yuliani, bahkan masih ada untukku dengan kesalahan fatal yang sudah aku lakukan." Yuliani semakin erat memeluk tubuh Dina."Sekarang katakan sama Ibu, apakah pria tadi adalah pria yang sudah merenggut kesucianmu?" tanya Dina melepaskan pelukan, lalu menatap lekat wajah sang Anak."Iya, Bu. Dia ayah dari janin yang ada dalam kandunganku." Yuliani berkata dengan tegas."Apakah pria itu mau bertanggung jawab?" tanya Dina menuntut kejelasan."Iya, besok dia akan datang bersama dengan keluarganya. Ibu gak usah khawatir lagi, janin ini pasti akan lahir memiliki seorang ayah." Yuliani meyakinkan Dina."Kalau begitu, kita harus mengatakan semuanya kepada ayahmu agar emosinya reda. Kamu mau berbicara dengannya 'kan?" tanya Dina. Terlihat jelas kalau Yuliani ketakutan dengan sikap Mark saat ini."Aku takut, Bu. Juga tidak yakin kalau Ayah mau merestuinya," kata Yuliani. Masih teringat jelas bayangan sang Ayah ketika marah."Kamu gak usah takut, Ibu akan membantumu untuk bicara. Pasti ayahmu merestui, dia juga tidak ingin kamu melahirkan tanpa seorang suami. Ayahmu marah juga sebenarnya takut pria tadi tidak mau bertanggung jawab." Dina menjelaskan untuk menghilangkan rasa takut Yuliani.Wanita itu akhirnya setuju untuk menemui Mark. Yuliani melangkahkan kaki dengan ragu, tapi Dina selalu ada untuk mendukungnya.Melihat pria yang sedang duduk di ruang keluarga membuat hati Yuliani tidak karuan."Ibu yakin kamu pasti bisa mengatakannya," kata Dina menganggukkan kepala."Ayah, aku mau berbicara," kata Yuliani terbata-bata.Mark masih berusaha untuk menetralisir perasaannya, tapi dia berusaha bersikap lebih bijaksana sekarang."Duduklah, dan katakan saja." Mark berbicara singkat."Ayah jangan marah ya, pria tadi sudah berjanji akan bertanggung jawab. Besok dia akan ke sini untuk menemui Ayah beserta keluarganya. Yuliani berharap, Ayah mau merestuinya." Yuliani menjelaskan dengan perasaan gugup."Kamu yakin dia akan menepati janjinya?" tanya Mark tanpa basa-basi. Sebagai seorang pria, Mark memiliki pemikiran lain dari Dina yang yakin kalau Anton pasti menepati janji."Aku yakin, Ayah. Dia tidak mungkin ingkar janji," kata Yuliani tegas."Oke kalau memang kamu sudah yakin dia tidak akan ingkar janji, Ayah pasti akan merestui hubungan kalian. Kalau bisa, besok pernikahan kalian langsung dilaksanakan saja. Bukankah lebih cepat lebih baik? Sebelum janin yang ada dalam perutmu semakin membesar dan menjadi omongan tetangga," jelas Mark. Keputusan yang sudah dibuat tidak mungkin bisa diganggu gugat lagi.Masih ada rasa ketakutan di hati Yuliani, jadi dia hanya bisa mengiyakan apa yang dikatakan oleh Mark. Lagi pula tidak ada yang salah dari omongan sang Ayah."Ya sudah, kalau tidak ada yang ingin dikatakan lagi Ayah mau istirahat di kamar." Mark beranjak pergi meninggalkan Yuliani seorang diri.Dina pun menghampiri putri kesayangannya yang masih terdiam di atas kursi."Kamu lebih baik istirahat juga, jangan terlalu banyak pikiran. Besok kamu harus terlihat lebih fresh dan terlihat bahagia ya. Jangan sampai kamu kelelahan, kasihan janinnya juga." Dina menasihati Yuliani."Terima kasih, Bu. Atas kasih sayang yang selalu Ibu berikan. Aku tidak tahu bagaimana nasibku jika Ibu tidak mendukungku." Yuliani berkata dengan netra berkaca-kaca. Dia terharu karena kasih sayang Dina yang tidak pernah berubah sekalipun sudah berbuat salah."Sama-sama. Kamu istirahat dulu ya, Ibu akan masak untuk makan malam nanti." Dina beranjak pergi ke dapur. Pun Yuliani yang masuk ke kamar untuk membersihkan diri.Setelah membersihkan diri, Yuliani berdiri di depan cermin untuk merias diri."Kenapa aku semakin kusut begini?" pikir Yuliani menyadari dirinya tidak terawat.Masalah yang dihadapi memang membuatnya sedikit stress, hingga tidak memiliki waktu untuk mengurus diri."Aku tidak harus risau lagi, sebab semua sudah jelas. Anton besok akan menikahi denganku. Harusnya aku bahagia bukan? Kenapa aku malah jadi ragu?" pikir Yuliani karena sempat terbesit kemungkinan negatif dalam benaknya.Dia pun meraih ponselnya dan menghubungi Anton hanya sekedar untuk memastikan kalau pria itu berhasil mendapatkan restu keluarganya. Sudah lebih dari tiga kali Yuliani berusaha untuk menghubungi pria itu, tapi tidak ada jawaban juga."Gak mungkin dia sengaja mengabaikan panggilanku 'kan?" pikir Yuliani mulai gelisah.Bisikan demi bisikan negatif terdengar lagi, tapi Yuliani tetap berusaha untuk meyakinkan dirinya."Aku harus percaya kalau Anton tidak mungkin ingkar janji. Kalau sampai dia ingkar janji, lihat saja apa yang akan aku lakukan!" seru Yuliani. Sisi jahat wanita itu justru hadir.Setelah berkecamuk dengan pikiran yang tidak menentu, Yuliani merasa lapar. Dia pun pergi ke dapur untuk mencari makanan. Beruntung Dina hampir selesai memasak. Sebuah masakan sederhana yang akan disajikan waktu makan malam."Kayaknya lezat nih," puji Yuliani menghampiri ibunya."Kamu kenapa ke sini? Ibu 'kan menyuruh istirahat." Dina menghampiri Yuliani."Yah, bagaimana dong Bu. Namanya juga Yuliani lapar." Yuliani memberikan senyuman."Ya sudah kamu makan duluan saja, kasihan juga kalau yang di dalam perutmu kelaparan." Dina mengelus perut Yuliani yang masih rata."Terima kasih, Bu. Ibu memang yang terbaik." Yuliani mencium pipi kanan Dina.Di waktu itu juga, sebuah notifikasi pesan masuk. Sebuah pesan mengejutkan dari Anton.Hari yang ditunggu akhirnya tiba, Yuliani sudah tidak sabar menyambut Anton bersama dengan keluarganya. Setelah mendapatkan pesan yang membahagiakan, wanita itu semakin semangat untuk menjalani hari. Membayangkan hidup berbahagia dengan pria yang dicintai."Kamu terlihat cantik sekali, Yuliani." Dina memuji Yuliani setelah merias diri."Terima kasih, Bu. Aku bahagia karena tidak menyangka kalau keluarga Anton merestui dan meminta untuk melangsungkan pernikahan sekarang juga," ujar Yuliani terharu. Pesan yang diterima kemarin selalu diingat, tidak dihapus bahkan semalam dibaca berulang-ulang ketika sulit memejamkan mata."Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu," kata Dina memeluk tubuh Yuliani. "Aamiin, terima kasih do'anya Bu." Yuliani membalas pelukan Dina.Melihat sinar kebahagiaan yang terpancar dari netra Yuliani membuat Dina juga merasakan kebahagiaan yang sama. Akhirnya, putri kesayangannya menikah juga dan akan menjalani bahtera rumah tangga.Semua sudah dipersiapkan dengan seb
"Kamu ke mana sih, Anton. Kenapa nomornya tidak aktif?" pikir Yuliani masih berusaha untuk menghubungi Anton. "Bagaimana? Apa sudah ada jawaban darinya?" tanya Dina tampak gelisah. Firasatnya sudah mengatakan yang tidak-tidak. Akan tetapi, dia masih terus berusaha untuk berpikir positif."Nomornya sudah tidak aktif, Bu." Yuliani berbicara terbata-bata."Ibu sudah menduga dari awal, pria itu pasti gak mau bertanggung jawab." Dina mulai meyakini firasatnya."Gak mungkin, Bu. Dia sendiri yang sudah berjanji untuk menikahi ku. Mungkin saja kehabisan baterai, atau kehilangan signal. Bisa saja seperti itu 'kan, Bu?" cetus Yuliani berusaha meyakinkan diri sendiri juga."Sudah, Yuliani. Jangan berharap lagi sama pria itu, dia mungkin tidak akan datang. Jangan buang-buang waktu lagi. Di luar para tamu sudah menunggu. Alasan apa yang akan kita katakan pada mereka? Ibu malu, Yuliani!" hardik Dina. Wanita yang semula selalu sabar, kini tidak tahan juga dengan permasalahan yang terjadi.Yuliani m
Dengan langkah sempoyongan Mark berlari menemui Dina, sedangkan para tamu dan juga keluarga mulai kebingungan dengan apa yang terjadi sebenarnya. "Ada apa, Bu?" tanya Mark memegang pundak Dina."Yuliani, Ayah. Dia tdiak ada di dalam kamarnya." Dina menyahut sembari menunjuk kamar Yuliani yang sudah kosong. Jendela kamarnya juga terbuka, wanita itu sudah pergi melarikan diri lewat sana.Mark langsung masuk untuk mengecek keadaan lebih lanjut, ternyata memang benar puteri kesayangannya tidak ada. "Ibu tenang dulu di sini ya, Ayah coba mengejarnya. Mungkin saja dia tidak jauh dari sini." Mark membantu Dina untuk duduk di tepi ranjang kamar Yuliani. Pria itu tidak peduli dengan sorot mata semua orang, yang ada dalam benaknya saat ini hanya satu. Yuliani harus segera ditemukan sebelum calon mempelai pria pilihan Mark kecewa dengan peristiwa ini."Apa aku bilang, Jeng. Calon mempelai pria tidak datang, makanya sekarang Yuliani tidak ada di kamarnya." Mawar dengan bangga berpendapat setel
"Ayah gak salah memilih calon suami untukku?" tanya Yuliani melihat pria yang ada di hadapannya. Wajah yang dimiliki sudah tidak lagi muda, bagaimana mungkin Mark tega memilihkan calon suami seperti itu?"Kamu gak punya pilihan lain, Yuliani. Sudah beruntung Pak Bandit mau menerimamu dengan kondisimu saat ini." Mark berbicara tegas agar Yuliani menyadari dengan kondisinya sekarang yang bukan lagi seorang wanita perawan."Sampai kapan pun, Yuliani tidak mau menikah dengan pria yang sudah tua seperti dia, Ayah." Yuliani tetap pada pendiriannya. Meskipun Mark sudah mengingatkan akan aib yang saat ini sedang ditanggungnya.Wanita mana yang akan mau menikah dengan pria yang memiliki umur terpaut jauh, bisa dibilang pria itu lebih pantas menjadi kakek Yuliani. Jika dibandingkan dengan Anton, lebih baik pria yang sudah menghamilinya dibandingkan dengan pria yang tulus menerima apa adanya. Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, wanita yang masih mengenakan gaun pengantin itu harus tahu diri juga
Tak hanya Yuliani saja yang diusir, seluruh anggota keluarga juga diusir agar pulang ke rumah masing-masing. Mark benar-benar marah dan berlalu pergi ke kamar setelah keadaan rumah benar-benar sepi. Dina menyusul ke kamar dan melampiaskan seluruh amarah pada suaminya."Ayah tega! Kenapa Yuliani diusir, Ayah. Selain kita, siapa lagi yang mau membantu masalahnya? Lagian dia tidak salah, Ibu juga tidak akan mau jika dijodohkan dengan pria yang sudah tua," kata Dina menggebu-gebu. Wanita itu tidak tega melihat anaknya dimarahi, terlebih kondisinya saat ini tengah mengandung cucunya. Di saat terpuruk begini, Yuliani pasti membutuhkan dukungan dari keluarga. Mark duduk di ujung ranjang, menundukkan kepala tanpa berbicara apa pun. Hanya mendengarkan setiap omelan yang dilontarkan oleh Dina."Ayah lihat sekarang, kita sudah kehilangan puteri kita satu-satunya. Bahkan Ibu sudah berusaha untuk mencegahnya pergi, tapi Yuliani sudah tidak peduli. Bicara, Ayah! Kenapa diam saja!" hardik Dina kesa
Rumah sederhana akan menjadi tempat tinggal Yuliani untuk sementara waktu. Anita yang bukan termasuk orang kaya, tapi sudah berbaik hati memberikan tempat tinggal pada ponakan yang terbilang memiliki keluarga mapan."Maaf, Yuliani. Tante cuma bisa memberikan tempat tinggal seperti ini. Sangat jauh berbeda dengan rumah yang ditinggali olehmu," kata Anita gak enak hati."Justru Yuliani senang, Bi. Karena Bibi masih ingat sama aku, dan mau membantu." Yuliani sedikit sungkan, sebab Bibi yang selama ini tidak begitu dihiraukan ternyata dia yang paling peduli padanya. Bahkan saudara yang lain boro-boro membantu, pura-pura bertanya justru tidak ada. Diberikan tempat tinggal saja wanita itu sudah bersyukur, gratis pula. Anita menunjukkan kamar yang akan ditempati Yuliani."Kamarnya kecil, karena di rumah ini cuma bisa membuat dua kamar dengan ukuran 3x4. Rencananya kamar ini nanti untuk anak Bibi." Anita menjelaskan dengan netra berkaca-kaca. Sudah lama sekali wanita itu menginginkan anak ya
Dia berjalan mengikuti Anita dari belakang, hingga sampai di ruang makan yang terlihat sederhana. Ruangan yang dibagi dua dengan ruang tamu. Jadi tidak heran kalau tempatnya sempit.Yuliani duduk dengan ragu, pandangannya terus awas pada Farhan. Ternyata pria itu tetap asik makan tanpa menghiraukan kedatangannya bersama Anita."Kenapa paman diam saja? Aku pikir akan bertengkar dengan Bibi. Syukurlah kalau begini," gumam Yuliani. Ada perasaan lega dalam hatinya, ternyata apa yang dikhawatirkan tidak terjadi dan tidak sesuai ekspektasinya."Kamu makan yang banyak ya, jangan sampai nutrisinya kurang," kata Anita menuangkan nasi dan ayam goreng yang sudah dimasak. Tidak lupa juga dengan sayuran bergizi khusus untuk Yuliani."Terima kasih, Bi. Seharusnya Bibi gak usah repot-repot," kata Yuliani memberikan senyuman."Bibi gak repot kok. Ayo, makan!" Anita mempersilakan.Tidak ada lagi obrolan di ruang makan, hanya ada bunyi sendok. Yuliani tampak menikmati makanan yang sudah disediakan oleh
Yuliani tidur nyenyak semalam ditemani Anita. Beruntung sekali sang Bibi mau menemani karena tidak ingin ponakannya pergi.Usai subuh, wanita yang sedang hamil itu membantu Anita memasak di dapur. "Sarapan pagi ini cuma ada tahu, tempe dan sayur kelor. Apakah kamu mau?" tanya Anita memastikan. Dia tahu betul kalau ponakannya manja serta pilih-pilih soal makanan."Iya, Bi. Yuliani akan tetap makan apa pun yang ada. Aku bukan Yuliani yang dulu lagi, Bi." Yuliani menjawab karena tahu maksud Anita.Dengan lahap Yuliani menyantap semua makanan yang sudah dihidangkan oleh sang Bibi. Sudah bukan waktunya lagi wanita itu manja, atau memilih makanan enak. Perutnya tidak lapar saja harus dia syukuri. Dari pada kosong karena tidak ada satu pun makanan masuk. Apalagi di dalam ada janin yang harus dijaga sepenuh hati."Kamu jadi pergi hari ini?" tanya Anita memastikan lagi, berharap Yuliani mengurungkan niatnya serta bisa tinggal lebih lama."Iya, Bi. Aku harus mencari Anton secepatnya, Bi." Yuli