Share

5. Notifikasi Pesan

Yuliani dan Anton menoleh ke sumber suara. Mark dengan cepat melangkahkan kaki dengan amarah yang semakin tidak bisa terkendali.

"Lebih baik kamu pergi dari sini sekarang juga, Anton!" pinta Yuliani panik, dia tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada kekasih yang sudah berjanji menikahinya.

Anton menganggukkan kepala, lalu naik ke atas sepeda motornya. Perasaan gugup dan takut bercampur jadi satu, hingga sulit untuknya menghidupkan sepeda motornya.

"Jangan kabur kamu!" hardik Mark bagian belakang sepeda motor Anton.

"Sudah, Ayah. Biarkan dia pergi, jangan sakiti dia!" cegah Yuliani.

Wanita itu tidak sendiri, sebab Dina juga mendukung serta membantu menarik tangan Mark.

"Tenangkan hatimu dulu, Ayah. Jangan bersikap gegabah. Gak enak juga dilihat tetangga," kata Dina mengingatkan kalau aib keluarganya jangan sampai diketahui orang lain.

Anton berhasil kabur ketika Mark mulai lengah.

"Kenapa kalian berdua mencegah Ayah? Harusnya pria tidak tahu diri itu mendapatkan pelajaran atas apa yang sudah diperbuat kepada kamu, Yuliani!" hardik Mark. Wajahnya masih murka, ditambah sang Istri yang membantu Anton pergi.

"Ibu tidak ingin ada keributan di sini, Ayah. Gak enak juga dilihat tetangga." Dina berusaha menjelaskan.

"Terserah kalian saja! Ayah sudah tidak mau tahu lagi!" cetus Mark berlalu pergi masuk ke dalam rumah.

Yuliani memeluk erat tubuh Dina, air matanya kembali mengalir karena teringat akan amarah Mark yang tidak seperti biasanya.

"Kamu tenang saja, tidak selamanya ayah marah." Dina membelai rambut Yuliani, berharap hatinya akan lebih baik lagi.

"Terima kasih, Bu. Sudah mau membantu Yuliani, bahkan masih ada untukku dengan kesalahan fatal yang sudah aku lakukan." Yuliani semakin erat memeluk tubuh Dina.

"Sekarang katakan sama Ibu, apakah pria tadi adalah pria yang sudah merenggut kesucianmu?" tanya Dina melepaskan pelukan, lalu menatap lekat wajah sang Anak.

"Iya, Bu. Dia ayah dari janin yang ada dalam kandunganku." Yuliani berkata dengan tegas.

"Apakah pria itu mau bertanggung jawab?" tanya Dina menuntut kejelasan.

"Iya, besok dia akan datang bersama dengan keluarganya. Ibu gak usah khawatir lagi, janin ini pasti akan lahir memiliki seorang ayah." Yuliani meyakinkan Dina.

"Kalau begitu, kita harus mengatakan semuanya kepada ayahmu agar emosinya reda. Kamu mau berbicara dengannya 'kan?" tanya Dina. Terlihat jelas kalau Yuliani ketakutan dengan sikap Mark saat ini.

"Aku takut, Bu. Juga tidak yakin kalau Ayah mau merestuinya," kata Yuliani. Masih teringat jelas bayangan sang Ayah ketika marah.

"Kamu gak usah takut, Ibu akan membantumu untuk bicara. Pasti ayahmu merestui, dia juga tidak ingin kamu melahirkan tanpa seorang suami. Ayahmu marah juga sebenarnya takut pria tadi tidak mau bertanggung jawab." Dina menjelaskan untuk menghilangkan rasa takut Yuliani.

Wanita itu akhirnya setuju untuk menemui Mark. Yuliani melangkahkan kaki dengan ragu, tapi Dina selalu ada untuk mendukungnya.

Melihat pria yang sedang duduk di ruang keluarga membuat hati Yuliani tidak karuan.

"Ibu yakin kamu pasti bisa mengatakannya," kata Dina menganggukkan kepala.

"Ayah, aku mau berbicara," kata Yuliani terbata-bata.

Mark masih berusaha untuk menetralisir perasaannya, tapi dia berusaha bersikap lebih bijaksana sekarang.

"Duduklah, dan katakan saja." Mark berbicara singkat.

"Ayah jangan marah ya, pria tadi sudah berjanji akan bertanggung jawab. Besok dia akan ke sini untuk menemui Ayah beserta keluarganya. Yuliani berharap, Ayah mau merestuinya." Yuliani menjelaskan dengan perasaan gugup.

"Kamu yakin dia akan menepati janjinya?" tanya Mark tanpa basa-basi. Sebagai seorang pria, Mark memiliki pemikiran lain dari Dina yang yakin kalau Anton pasti menepati janji.

"Aku yakin, Ayah. Dia tidak mungkin ingkar janji," kata Yuliani tegas.

"Oke kalau memang kamu sudah yakin dia tidak akan ingkar janji, Ayah pasti akan merestui hubungan kalian. Kalau bisa, besok pernikahan kalian langsung dilaksanakan saja. Bukankah lebih cepat lebih baik? Sebelum janin yang ada dalam perutmu semakin membesar dan menjadi omongan tetangga," jelas Mark. Keputusan yang sudah dibuat tidak mungkin bisa diganggu gugat lagi.

Masih ada rasa ketakutan di hati Yuliani, jadi dia hanya bisa mengiyakan apa yang dikatakan oleh Mark. Lagi pula tidak ada yang salah dari omongan sang Ayah.

"Ya sudah, kalau tidak ada yang ingin dikatakan lagi Ayah mau istirahat di kamar." Mark beranjak pergi meninggalkan Yuliani seorang diri.

Dina pun menghampiri putri kesayangannya yang masih terdiam di atas kursi.

"Kamu lebih baik istirahat juga, jangan terlalu banyak pikiran. Besok kamu harus terlihat lebih fresh dan terlihat bahagia ya. Jangan sampai kamu kelelahan, kasihan janinnya juga." Dina menasihati Yuliani.

"Terima kasih, Bu. Atas kasih sayang yang selalu Ibu berikan. Aku tidak tahu bagaimana nasibku jika Ibu tidak mendukungku." Yuliani berkata dengan netra berkaca-kaca. Dia terharu karena kasih sayang Dina yang tidak pernah berubah sekalipun sudah berbuat salah.

"Sama-sama. Kamu istirahat dulu ya, Ibu akan masak untuk makan malam nanti." Dina beranjak pergi ke dapur. Pun Yuliani yang masuk ke kamar untuk membersihkan diri.

Setelah membersihkan diri, Yuliani berdiri di depan cermin untuk merias diri.

"Kenapa aku semakin kusut begini?" pikir Yuliani menyadari dirinya tidak terawat.

Masalah yang dihadapi memang membuatnya sedikit stress, hingga tidak memiliki waktu untuk mengurus diri.

"Aku tidak harus risau lagi, sebab semua sudah jelas. Anton besok akan menikahi denganku. Harusnya aku bahagia bukan? Kenapa aku malah jadi ragu?" pikir Yuliani karena sempat terbesit kemungkinan negatif dalam benaknya.

Dia pun meraih ponselnya dan menghubungi Anton hanya sekedar untuk memastikan kalau pria itu berhasil mendapatkan restu keluarganya. Sudah lebih dari tiga kali Yuliani berusaha untuk menghubungi pria itu, tapi tidak ada jawaban juga.

"Gak mungkin dia sengaja mengabaikan panggilanku 'kan?" pikir Yuliani mulai gelisah.

Bisikan demi bisikan negatif terdengar lagi, tapi Yuliani tetap berusaha untuk meyakinkan dirinya.

"Aku harus percaya kalau Anton tidak mungkin ingkar janji. Kalau sampai dia ingkar janji, lihat saja apa yang akan aku lakukan!" seru Yuliani. Sisi jahat wanita itu justru hadir.

Setelah berkecamuk dengan pikiran yang tidak menentu, Yuliani merasa lapar. Dia pun pergi ke dapur untuk mencari makanan. Beruntung Dina hampir selesai memasak. Sebuah masakan sederhana yang akan disajikan waktu makan malam.

"Kayaknya lezat nih," puji Yuliani menghampiri ibunya.

"Kamu kenapa ke sini? Ibu 'kan menyuruh istirahat." Dina menghampiri Yuliani.

"Yah, bagaimana dong Bu. Namanya juga Yuliani lapar." Yuliani memberikan senyuman.

"Ya sudah kamu makan duluan saja, kasihan juga kalau yang di dalam perutmu kelaparan." Dina mengelus perut Yuliani yang masih rata.

"Terima kasih, Bu. Ibu memang yang terbaik." Yuliani mencium pipi kanan Dina.

Di waktu itu juga, sebuah notifikasi pesan masuk. Sebuah pesan mengejutkan dari Anton.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status