“Umur kamu sudah berapa, Shila?”
“Dua puluh tiga,” jawab seorang gadis cantik yang sedang asik menonton televisi.
“Sudah cocok untuk menikah. Kamu akan Papa jodohkan dengan anak sahabat Papa.”
Uhuk.
Shila tersedak oleh ludahnya sendiri karena mendengar perkataan dari ayahnya. Ia menatap pria paruh baya yang ada di hadapannya dengan tatapan tak percaya. Mulutnya terbuka dengan lebar, serta mata yang membulat sempurna. Seakan apa yang ia dengar barusan seperti bom waktu, tapi memang itu adanya.
Bom waktu bagi kehidupan Shila.
"Papa gak salah ngomong?" tanya Shila meminta penjelasan. Ia menoleh ke samping—menatap sang bunda dengan tatapan bingung. Kenapa semuanya tiba-tiba seperti ini? Kenapa tidak didiskusikan terlebih dahulu dengannya?
Tampak pria yang ada di kursi kebesarannya itu menggeleng dengan tegas. "Kamu tidak salah dengar, Shila. Papa dan Bunda sudah membuat keputusan ini. Kamu hanya bisa menerima, tidak perlu membantah."
Tentu saja Shila tidak terima. Siapa yang mau dijodohkan begitu saja? Meskipun dengan orang tuanya sekalipun. Ini soal pernikahan. Sesuatu hal yang sakral bagi Shila. Ia tidak bisa menyetujui begitu saja tentang perjodohan yang disampaikan oleh Figo—papa Shila, karena ke depannya—ini adalah tentang kehidupannya.
"Tapi, Pa. Aku berhak untuk berpendapat. Memangnya kenapa harus buru-buru menikah, sih? Aku baru umur dua puluh tiga, Pa. Aku masih mau mencari kebahagiaanku," bela Shila dengan cepat. Ia kembali menoleh ke samping. Menatap Karin dengan tatapan memohon—berharap ibu tirinya itu mau menolongnya.
"Pernikahan itu ibadah Shila. Kamu pasti akan bahagia nanti."
Dan, suasana semakin panas karena Figo yang tidak menerima penolakan apapun dari anak bungsunya.
"Papa cuma mau yang terbaik buat kamu. Dia gak mau kamu sampai salah cari pasangan. Lagian, kamu gak punya pacar ‘kan?"
Tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki yang sedang menggendong anak kecil dan berjalan ke arah mereka. Dikta—kakak tiri Shila.
Seketika Shila menyipitkan matanya. Menatap Dikta dengan tatapan penuh curiga. “Kakak pasti udah tahu ini semua, kan?" tuduh Shila yang ternyata tepat sasaran.
Karin mengelus punggung Shila dengan lembut. Menggenggam tangan anak tirinya yang sudah ia anggap sebagai anak kandungnya sendiri itu pun dengan erat. "Percaya sama Papa kamu, Shila. Dia gak mungkin salah cari pasangan buat kamu. Ini yang terbaik. Umur kamu sudah mencukupi untuk menikah. Tidak boleh untuk menunda-nunda rencana yang baik seperti ini," bujuk Karin dengan nada yang sangat lembut.
Shila menautkan jari-jarinya. Menatap genggaman tangan bundanya dengan tatapan yang sulit diartikan. Jujur, dirinya belum siap untuk menikah. Bagi Shila, ia masih seperti anak-anak, belum bisa berpikir atau bahkan bersikap seperti orang dewasa pada umumnya. Apalagi, nanti ketika setelah menikah, bukan hanya tentang dirinya, tapi ada banyak hal yang harus ia pikirkan. Mulai dari cara mengurus suami, mengurus anak, bagaimana gaya kehidupan setelah menikah, tinggal di mana, dan masih banyak lagi yang harus dipikirkan. Dan Shila sama sekali belum siap untuk itu semua.
"Shila, tolong percaya sama Papa. Dia anaknya baik dan pastinya sudah berpenghasilan. Bahkan, kamu tidak perlu bekerja. Ah, yang paling penting, dia cocok untuk menjadi suamimu," tambah Figo dengan nada yang serius. Tentu saja ia mencari laki-laki yang sangat pas dengan kriteria anaknya.
"Kak Chila mau nikah?" tanya anak kecil yang berada di dalam gendongan Dikta. Menatap ke arah Shila dengan wajah polosnya.
Dikta berdecak. Ia segera bangkit dari duduknya. Sepertinya, membawa Hito ke sini bukanlah ide yang bagus. Anaknya yang masih berumur tiga tahun ini pasti akan mengacau.
"Aku ke kamar aja, deh. Gak bisa bantu bujuk Shila. Hito belum layak buat menyimak pembicaraan kalian," pamit Dikta sambil memberi kecupan di dahi anaknya dengan lembut. Lalu beranjak pergi dari hadapan mereka.
Huft.
Shila menghembuskan nafasnya dengan kasar. Menerawang bagaimana nantinya jika ia menerima keputusan ini. Keputusan yang akan merubah hidupnya.
"Bagaimana, Shila?" tanya Figo dengan tidak sabaran. "Kalau tidak, begini saja. Besok malam kita bertemu dulu dengan keluarga dari laki-laki yang akan menjadi suami kamu. Setelah itu, Papa mau kamu membuat keputusan yang tidak akan mengecewakan siapa pun."
"Apa tujuan Papa yang sebenarnya mau menjodohkan aku?" tanya Shila yang tidak menghiraukan perkataan dari Figo sebelumnya.
"Karena umur kamu sudah matang."
"Tapi kak Gladis umurnya udah dua puluh tujuh belum nikah-nikah aja, tuh," balas Shila yang menyebut salah satu anak tetangga yang dekat dengannya.
"Shila, siapa pun tidak bisa menentukan kapan dia akan menikah. Semuanya tergantung dengan jalan takdir. Beruntungnya kamu yang jodohnya udah sampai. Coba buat ketemu dulu, ya, besok?" timpal Karin yang membuat Shila tidak bisa menolak.
"Oke, deh. Aku mau ketemu dulu sama orangnya."
Figo tersenyum bahagia mendengarnya. Menatap putri dari istri pertamanya yang sudah meninggal itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Wajah Shila sangat mirip dengan mendiang istrinya—Yeslin. Tidak ada yang membedakan antara keduanya. Apalagi, dengan sifat manja Shila. Itu semua mampu membuat dirinya mengobati rasa rindu.
"Shila, apapun pikiran kamu tentang keputusan ini. Percayalah satu hal. Papa tidak mungkin membuat keputusan yang membuat hidup kamu menjadi kacau atau berantakan. Papa hanya ingin kamu bahagia, itu saja."
Shila mendongakkan kepalanya. Menatap Figo dengan sendu. Jika sudah mendengar nada lembut dari papanya—itu adalah kelemahan Shila. Artinya, Figo sangat tulus mengatakan itu. Pria yang berperan menjadi sosok ayahnya itu sangat menyayanginya—benar-benar sangat.
"Tapi Papa gak ada alasan lain, kan? Papa gak ada yang disembunyikan dari aku, kan?" tanya Shila yang tetap saja masih belum puas dengan alasan yang diberikan oleh Figo. Bukan ia tidak percaya, tidak. Shila percaya itu. Tapi entah mengapa jika dirinya merasa bahwa ada alasan lagi yang disembunyikan oleh Figo. Alasan yang paling sebenarnya dalam keputusan besar ini.
Lagi-lagi Figo menggelengkan kepalanya sambil menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Kamu percaya sama Papa, kan, Shila?" tanya balik Figo yang membuat Shila tidak mampu lagi berkata apa-apa.
"Percaya sama kita, Shila," sahut Karin lalu menarik tubuh mungil Shila untuk berada di dalam dekapannya.
"Kita ingin hidup kamu bahagia."
***
"Silakan duduk."Shila tersenyum sopan. Berusaha untuk bersikap biasa saja di hadapan mereka semua. Meskipun, jauh di dalam dirinya, ia sangat gugup sekarang. Bertemu dengan calon keluarga barunya nanti. Ah, sebenarnya, Shila belum memutuskan. Jadi, ia hanya bisa menyebutnya 'calon'. Itu pun ia masih merasa sangat asing."Bagaimana kabarnya, Figo?" tanya seorang pria yang duduk di bagian sebelah kiri—berhadapan langsung dengan keluarga Shila.Figo menganggukkan kepalanya sambil tersenyum dengan lebar. Bisa Shila lihat dari kedua bola matanya bahwa papanya itu sangat senang untuk pertemuan makan malam ini. Apakah ia mampu untuk mengecewakan Figo dengan menolak perjodohan yang sudah dipersiapkan oleh papanya itu? Seketika, Shila dilanda kebingungan yang sangat luar biasa.Shila tidak setega itu untuk membuat Figo sedih atau kecewa. Meskipun Figo begitu menyebalkan, tapi Shila sangat menyayanginya. Cinta pertama dalam hidupnya.&
Shila melangkahkan kakinya dengan lesu—memasuki kamar kakak laki-lakinya. Di sana ada kakak iparnya yang sedang bermain dengan Hito. Seketika ia menjadi ingat dengan masalah yang menimpanya sekarang. Apakah kehidupannya akan berubah seperti kehidupan Dikta dan Rea? Membangun rumah tangga dan memiliki anak. Shila belum siap dengan semuanya."Eh, ada Shila. Duduk sini, Dek," ajak Rea—istri Dikta yang menggeser posisi duduknya. Terus memperhatikan Hito yang asik dengan mainannya.Shila tidak menyahut, tapi tetap menuruti perkataan Rea untuk duduk di sana. Kedua matanya pun bergerak untuk memperhatikan Hito yang sedang asik bermain. Apakah nanti ia siap untuk memiliki seorang anak? Merawat dan mendidiknya? Apakah ia sanggup? Untuk membayangkannya saja Shila tidak mampu."Kamu kenapa lesu gitu mukanya?" tanya Rea menatap Shila dengan alis yang tertekuk. "Kamu pasti mikirin soal perjodohan itu, ya?" tebaknya yang tepat sasaran karena Shil
Terhitung hari ini sudah hari ke empat setelah acara makan malam mereka waktu itu. Shila menatap pantulan dirinya di cermin dengan tatapan yang sulit diartikan. Setelah menuruti perkataan kakak iparnya—Rea, Shila mendapat sebuah jawaban.Dengan cepat ia menyisir rambut panjangnya, lalu merapikannya. Setelah cukup—Shila menarik nafasnya dengan panjang. Ini adalah hari yang berat baginya. Sebuah keputusan yang akan merubah hidupnya nanti. Jika kalian berpikir kalau Shila lebay, maka kalian salah. Itu karena kalian belum merasakannya atau tidak akan pernah merasakannya. Menikah dengan pilihan keluarga, menikah dengan laki-laki yang tidak dikenal, apalagi, cinta. Menikah satu kali dalam seumur hidup, itu adalah prinsip Shila.Tak perlu berlama-lama lagi, Shila segera melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar. Berniat untuk menemui Figo—selama empat hari mereka tidak saling berbicara.'Renungkan kesalahan kamu tadi. Saya tidak mau mem
Sesuai perkataan Shila kemaren. Ia sudah menyetujui perjodohan yang dilakukan oleh Figo. Maka, di sini lah ia sekarang. Duduk berhadapan dengan laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Siapa lagi jika bukan, Gerald. Laki-laki minim ekspresi yang membuat Shila bingung bagaimana caranya membuat calon suaminya itu tersenyum jika sudah menikah nanti."Kamu umur berapa?" tanya Shila yang memilih topik random. Jujur, ia bingung harus berbicara apa saja dengan Gerald. Karena yang bisa ia nilai dari laki-laki itu sekarang adalah, Gerald tidak suka basa-basi dan apalagi banyak berbicara. Gerald tipe yang langsung to the point. Apa mungkin setelah menikah nanti mereka akan jarang berinteraksi?"Dua puluh enam tahun," balas Gerald dengan singkat tanpa mengalihkan tatapannya dari ponsel.Dalam hati Shila terus berdecak kesal karena Gerald yang tidak pernah menatapnya sedikit pun. Meskipun sekarang cafe ini banyak pengunjung—Shila merasa se
Tok tok tok."Aku masih mau tidur. Berisik banget, sih, dari tadi," gumam Shila sambil menutup wajahnya dengan bantal. Berharap jika orang yang mengetuk pintu kamarnya itu segera pergi.Setelah kejadian memalukan kemaren—Shila tidak berani lagi mengirimkan pesan kepada Gerald. Meskipun ada notifikasi pesan masuk dari laki-laki itu—Shila tidak berniat membalasnya sedikit pun. Bahkan, tidak ia baca. Biarkan saja, ia tidak peduli. Lagipula, itu adalah salah Gerald sendiri. Kenapa dengan sengaja memalukannya?Tok tok tok.Lagi, suara ketukan itu terus membuat Shila merasa kesal dan ingin berteriak marah. Tidak peduli jika itu Figo atau Karin. Siapa pun yang mengganggu waktu tidurnya—Shila akan
Shila berdecak malas. Tidak habis pikir dengan Figo yang menyuruh Gerald untuk menjadi supirnya malam ini. Padahal, ia bisa meminta Adel yang menjemputnya seperti biasa, tapi Figo tetap memaksakan kehendaknya."Calon suami lo cakep juga," ucap Adel sambil melirik ke arah Gerald yang sedang fokus menyetir mobil. Adel terkejut saat mendapat kabar dari Shila bahwa akan segera menikah bulan depan. Apalagi, dengan cara dijodohkan. Membuat Adel merasa kasihan sekaligus bahagia karena Shila akan menempuh hidup baru.Shila sengaja memilih untuk duduk di kursi penumpang—agar Gerald duduk sendirian seperti supir. Salah siapa yang tidak menolak permintaan dari Figo. Ini adalah salah satu bagian balas dendam Shila kepada calon suaminya karena pernah mempermalukannya waktu itu. Shila masih mengingatnya dengan baik dan rasa kesal itu tersimpan nyata di dalam hatinya.
Shila melangkahkan kakinya dengan malas. Memasuki rumahnya yang entah mengapa hari ini tampak sangat sepi. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan—tidak ada siapa-siapa. Shila mengerutkan dahinya bingung. Tumben sekali tidak ada orang seperti ini. Biasanya, saat ia pulang ke rumah ada suara televisi yang berisi film kartun kesukaan Hito—Upin & Ipin, tapi sekarang tidak ada."BI," panggil Shila dengan suara yang berteriak kencang. Ia berjalan ke arah dapur. Menatap sosok wanita tua yang sedang sibuk mencuci piring."Eh, Non Shila. Ada yang bisa Bibi bantu, Non?" tanya Bi Surti—pembantu rumah tangga mereka yang sudah bekerja sebelum Shila lahir ke dunia. Tepatnya, semenjak pernikahan kedua orang tuanya. Figo dan Yeslin.Shila menggelengkan ke
"SHILA!"Prang.Shila menatap nanar ke arah ponselnya yang baru saja terjatuh ke lantai. Ia terkejut mendengar suara teriakan Figo yang sangat kencang itu. Bahkan, jantungnya pun berdetak lebih cepat.Dengan kesal Shila melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar. Membuka pintu, lalu melihat Figo yang menyengir di depannya sekarang."Papa, Shila kaget tahu gak," ucap Shila dengan nada yang terdengar kesal.Sedangkan Figo hanya mampu menyengir dengan lebar. "Kamu gak pergi ke mana-mana, kan, hari ini?" tanyanya dengan tidak sabaran."Enggak ada kalau hari ini," balas Shi