Share

Tertipu Pernikahan Wasiat
Tertipu Pernikahan Wasiat
Penulis: Bervi Athalla

1. Keputusan

“Umur kamu sudah berapa, Shila?”

“Dua puluh tiga,” jawab seorang gadis cantik yang sedang asik menonton televisi. 

“Sudah cocok untuk menikah. Kamu akan Papa jodohkan dengan anak sahabat Papa.” 

Uhuk. 

Shila tersedak oleh ludahnya sendiri karena mendengar perkataan dari ayahnya. Ia menatap pria paruh baya yang ada di hadapannya dengan tatapan tak percaya. Mulutnya terbuka dengan lebar, serta mata yang membulat sempurna. Seakan apa yang ia dengar barusan seperti bom waktu, tapi memang itu adanya. 

Bom waktu bagi kehidupan Shila. 

"Papa gak salah ngomong?" tanya Shila meminta penjelasan. Ia menoleh ke samping—menatap sang bunda dengan tatapan bingung. Kenapa semuanya tiba-tiba seperti ini? Kenapa tidak didiskusikan terlebih dahulu dengannya? 

Tampak pria yang ada di kursi kebesarannya itu menggeleng dengan tegas. "Kamu tidak salah dengar, Shila. Papa dan Bunda sudah membuat keputusan ini. Kamu hanya bisa menerima, tidak perlu membantah." 

Tentu saja Shila tidak terima. Siapa yang mau dijodohkan begitu saja? Meskipun dengan orang tuanya sekalipun. Ini soal pernikahan. Sesuatu hal yang sakral bagi Shila. Ia tidak bisa menyetujui begitu saja tentang perjodohan yang disampaikan oleh Figo—papa Shila, karena ke depannya—ini adalah tentang kehidupannya. 

"Tapi, Pa. Aku berhak untuk berpendapat. Memangnya kenapa harus buru-buru menikah, sih? Aku baru umur dua puluh tiga, Pa. Aku masih mau mencari kebahagiaanku," bela Shila dengan cepat. Ia kembali menoleh ke samping. Menatap Karin dengan tatapan memohon—berharap ibu tirinya itu mau menolongnya. 

"Pernikahan itu ibadah Shila. Kamu pasti akan bahagia nanti." 

Dan, suasana semakin panas karena Figo yang tidak menerima penolakan apapun dari anak bungsunya. 

"Papa cuma mau yang terbaik buat kamu. Dia gak mau kamu sampai salah cari pasangan. Lagian, kamu gak punya pacar ‘kan?" 

Tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki yang sedang menggendong anak kecil dan berjalan ke arah mereka. Dikta—kakak tiri Shila. 

Seketika Shila menyipitkan matanya. Menatap Dikta dengan tatapan penuh curiga. “Kakak pasti udah tahu ini semua, kan?" tuduh Shila yang ternyata tepat sasaran. 

Karin mengelus punggung Shila dengan lembut. Menggenggam tangan anak tirinya yang sudah ia anggap sebagai anak kandungnya sendiri itu pun dengan erat. "Percaya sama Papa kamu, Shila. Dia gak mungkin salah cari pasangan buat kamu. Ini yang terbaik. Umur kamu sudah mencukupi untuk menikah. Tidak boleh untuk menunda-nunda rencana yang baik seperti ini," bujuk Karin dengan nada yang sangat lembut. 

Shila menautkan jari-jarinya. Menatap genggaman tangan bundanya dengan tatapan yang sulit diartikan. Jujur, dirinya belum siap untuk menikah. Bagi Shila, ia masih seperti anak-anak, belum bisa berpikir atau bahkan bersikap seperti orang dewasa pada umumnya. Apalagi, nanti ketika setelah menikah, bukan hanya tentang dirinya, tapi ada banyak hal yang harus ia pikirkan. Mulai dari cara mengurus suami, mengurus anak, bagaimana gaya kehidupan setelah menikah, tinggal di mana, dan masih banyak lagi yang harus dipikirkan. Dan Shila sama sekali belum siap untuk itu semua. 

"Shila, tolong percaya sama Papa. Dia anaknya baik dan pastinya sudah berpenghasilan. Bahkan, kamu tidak perlu bekerja. Ah, yang paling penting, dia cocok untuk menjadi suamimu," tambah Figo dengan nada yang serius. Tentu saja ia mencari laki-laki yang sangat pas dengan kriteria anaknya. 

"Kak Chila mau nikah?" tanya anak kecil yang berada di dalam gendongan Dikta. Menatap ke arah Shila dengan wajah polosnya. 

Dikta berdecak. Ia segera bangkit dari duduknya. Sepertinya, membawa Hito ke sini bukanlah ide yang bagus. Anaknya yang masih berumur tiga tahun ini pasti akan mengacau. 

"Aku ke kamar aja, deh. Gak bisa bantu bujuk Shila. Hito belum layak buat menyimak pembicaraan kalian," pamit Dikta sambil memberi kecupan di dahi anaknya dengan lembut. Lalu beranjak pergi dari hadapan mereka. 

Huft. 

Shila menghembuskan nafasnya dengan kasar. Menerawang bagaimana nantinya jika ia menerima keputusan ini. Keputusan yang akan merubah hidupnya. 

"Bagaimana, Shila?" tanya Figo dengan tidak sabaran. "Kalau tidak, begini saja. Besok malam kita bertemu dulu dengan keluarga dari laki-laki yang akan menjadi suami kamu. Setelah itu, Papa mau kamu membuat keputusan yang tidak akan mengecewakan siapa pun." 

"Apa tujuan Papa yang sebenarnya mau menjodohkan aku?" tanya Shila yang tidak menghiraukan perkataan dari Figo sebelumnya. 

"Karena umur kamu sudah matang." 

"Tapi kak Gladis umurnya udah dua puluh tujuh belum nikah-nikah aja, tuh," balas Shila yang menyebut salah satu anak tetangga yang dekat dengannya. 

"Shila, siapa pun tidak bisa menentukan kapan dia akan menikah. Semuanya tergantung dengan jalan takdir. Beruntungnya kamu yang jodohnya udah sampai. Coba buat ketemu dulu, ya, besok?" timpal Karin yang membuat Shila tidak bisa menolak. 

"Oke, deh. Aku mau ketemu dulu sama orangnya." 

Figo tersenyum bahagia mendengarnya. Menatap putri dari istri pertamanya yang sudah meninggal itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Wajah Shila sangat mirip dengan mendiang istrinya—Yeslin. Tidak ada yang membedakan antara keduanya. Apalagi, dengan sifat manja Shila. Itu semua mampu membuat dirinya mengobati rasa rindu.

"Shila, apapun pikiran kamu tentang keputusan ini. Percayalah satu hal. Papa tidak mungkin membuat keputusan yang membuat hidup kamu menjadi kacau atau berantakan. Papa hanya ingin kamu bahagia, itu saja." 

Shila mendongakkan kepalanya. Menatap Figo dengan sendu. Jika sudah mendengar nada lembut dari papanya—itu adalah kelemahan Shila. Artinya, Figo sangat tulus mengatakan itu. Pria yang berperan menjadi sosok ayahnya itu sangat menyayanginya—benar-benar sangat. 

"Tapi Papa gak ada alasan lain, kan? Papa gak ada yang disembunyikan dari aku, kan?" tanya Shila yang tetap saja masih belum puas dengan alasan yang diberikan oleh Figo. Bukan ia tidak percaya, tidak. Shila percaya itu. Tapi entah mengapa jika dirinya merasa bahwa ada alasan lagi yang disembunyikan oleh Figo. Alasan yang paling sebenarnya dalam keputusan besar ini. 

Lagi-lagi Figo menggelengkan kepalanya sambil menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Kamu percaya sama Papa, kan, Shila?" tanya balik Figo yang membuat Shila tidak mampu lagi berkata apa-apa.

"Percaya sama kita, Shila," sahut Karin lalu menarik tubuh mungil Shila untuk berada di dalam dekapannya.

"Kita ingin hidup kamu bahagia." 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status