Langit sore itu berwarna jingga pucat, seperti permen kapas yang memudar. Alisya berdiri di depan gerbang universitas, menunggu ojek online yang sudah ia pesan. Ia tak mengira Dhimas tiba-tiba muncul dengan motornya, menghentikan laju tepat di depannya.
“Naik. Aku jemput,” ucapnya singkat, melepas helm dan menyodorkannya.
Alisya sempat ragu. “Aku udah pesen ojek, Mas.”
“Cancel. Aku mau antar kamu sendiri.” Nada suaranya tegas, tapi bibirnya tersungging senyum tipis.
Alisya menghela napas, lalu mengeluarkan ponselnya untuk membatalkan pesanan. “Ya udah…”
Begitu ia duduk di jok belakang, Dhimas segera memacu motor keluar dari halaman kampus. Angin sore menyapu wajah Alisya, tapi tak cukup untuk menghilangkan rasa heran yang menggelayut.
“Kok tiba-tiba jemput? Kan biasanya kamu lagi dinas jam segini.”
“Aku ada waktu. Lagian, aku nggak tenang kalau kamu pulang sendir
Langit sore itu berwarna jingga pucat, seperti permen kapas yang memudar. Alisya berdiri di depan gerbang universitas, menunggu ojek online yang sudah ia pesan. Ia tak mengira Dhimas tiba-tiba muncul dengan motornya, menghentikan laju tepat di depannya.“Naik. Aku jemput,” ucapnya singkat, melepas helm dan menyodorkannya.Alisya sempat ragu. “Aku udah pesen ojek, Mas.”“Cancel. Aku mau antar kamu sendiri.” Nada suaranya tegas, tapi bibirnya tersungging senyum tipis.Alisya menghela napas, lalu mengeluarkan ponselnya untuk membatalkan pesanan. “Ya udah…”Begitu ia duduk di jok belakang, Dhimas segera memacu motor keluar dari halaman kampus. Angin sore menyapu wajah Alisya, tapi tak cukup untuk menghilangkan rasa heran yang menggelayut.“Kok tiba-tiba jemput? Kan biasanya kamu lagi dinas jam segini.”“Aku ada waktu. Lagian, aku nggak tenang kalau kamu pulang sendir
Sore itu, rumah Alisya terasa lebih hangat dari biasanya. Bau masakan ibunya masih menggantung di udara, bercampur aroma kopi yang baru saja diseduh. Ia duduk di ruang tamu, memandangi jam dinding yang jarumnya seolah bergerak lebih lambat dari biasanya.Dhimas bilang akan datang pukul empat, tapi sejak pukul tiga Alisya sudah gelisah. Bukan karena takut, melainkan perasaan aneh yang muncul setiap kali ia memikirkan pertemuan ini. Hari ini, Dhimas akan bicara dengan orang tuanya soal lamaran.Suara ketukan pintu memecah lamunannya. Ayahnya yang baru saja keluar dari kamar menghampiri pintu dan membukanya.“Assalamualaikum, Pak,” sapa Dhimas dengan senyum lebar, seragam polisinya rapi, rambutnya tersisir licin.“Waalaikumussalam,” jawab ayahnya sambil menyambut hangat. “Masuk, Mas Dhimas.”Alisya berdiri dari sofa, menatapnya sejenak. Dhimas melirik, senyum itu seolah langsung terarah padanya. “Sya,” panggilnya pelan.Ia membalas senyum tipis, lalu mempersilakan duduk. Ibunya datang me
Suara sendok beradu pelan dengan gelas es lemon tea di hadapanku, bercampur dengan denting musik jazz yang mengalun lembut di kafe kecil ini. Aroma kopi dan roti bakar menguar, membuat suasana sore terasa hangat. Dhimas duduk di seberang, masih dengan seragam polisinya yang rapi. Ia memang sengaja menjemputku sepulang kerja tadi, katanya ingin “menghabiskan waktu berdua tanpa gangguan”.Alisya tersenyum tipis sambil mengaduk minumannya. “Kamu mau pesan lagi? Kayaknya tadi kamu cuma makan setengah porsi.”“Nggak usah. Aku lebih kenyang lihat kamu,” jawabnya santai, seperti biasa dengan tatapan yang membuat pipiku terasa hangat.Alisya memutar bola mata, pura-pura tak terpengaruh. “Gombal.”Kami berbicara ringan, membahas pekerjaan Alisya di bagian administrasi universitas dan tugas-tugas Dhimas di lapangan. Obrolan terasa mengalir, sampai perutku memberi sinyal. “Eh, aku ke toilet sebentar, ya,” kata Alisya sambil menaruh ponsel di meja, di sebelah gelas minumannya.Dhimas hanya mengan
Suara deru angkot yang berlalu meninggalkan debu tipis di udara. Alisya turun pelan-pelan, merapikan tas kerjanya yang tergantung di bahu. Sore itu, tubuhnya terasa letih setelah seharian berkutat di meja administrasi kampus, mengurus dokumen-dokumen yang seolah tak pernah habis. Ia sudah membayangkan duduk santai di kamarnya sambil menyeruput hot chocolate kesukaannya.Namun langkahnya terhenti di depan gerbang rumah. Di halaman, terparkir mobil hitam mengilap yang jelas bukan milik siapa pun di keluarganya. Mobil itu tampak mahal, modelnya terbaru, dengan pelat nomor luar kota.Alisya mengerutkan dahi. Siapa tamu ini?Pagar rumah setengah terbuka. Ia melangkah pelan, tapi belum berani masuk. Saat ia mendekat, samar-samar terdengar suara tawa ayahnya dari ruang tamu. Disusul suara ibunya, lebih lembut daripada biasanya.Dan lalu—suara pria asing. Suara yang berat, tenang, namun entah kenapa terdengar akrab di telinganya.“Ayah dan Ibu sudah tahu alasan saya datang. Saya ingin melamar
Langit sore mulai berwarna oranye keemasan ketika Alisya berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan rambutnya untuk kesekian kali. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena udara yang dingin, tapi karena jantungnya berdebar terlalu kencang.Hari ini, untuk pertama kalinya, Dhimas akan datang ke rumahnya. Bukan sekadar menjemput atau mengantar pulang, tapi benar-benar masuk, duduk, dan berbicara langsung dengan orang tuanya.Ia memilih blus putih sederhana dipadu celana kain biru tua. Riasannya tipis, hanya sedikit bedak dan lipstik nude. Ia ingin terlihat rapi tapi tidak berlebihan.Dari jendela kamar, ia bisa melihat halaman rumahnya yang mungil. Ayahnya sudah pulang dari kantor, duduk di kursi teras sambil menyeruput teh. Ibunya mondar-mandir dari dapur, membawa piring dan gelas ke ruang tamu.Suara motor berhenti di depan pagar membuat Alisya refleks menoleh. Dari balik kaca jendela, ia melihat Dhimas turun dari motornya dengan kemeja biru lengan panjang yang digulung rapi sampai si
Warung makan sederhana di sudut jalan itu penuh dengan aroma gurih tumisan bawang dan wangi sate yang baru dibakar. Lampu kuning remang-remang membuat suasana terasa hangat.Alisya duduk di kursi kayu, jemarinya memainkan sendok sambil menunggu pesanan. Di depannya, Dhimas sedang meneliti menu, meski ia sebenarnya sudah memesan sejak tadi.“Aku suka tempat ini,” kata Dhimas sambil meliriknya. “Nggak terlalu ramai, tapi makanannya enak banget. Cocok buat kita yang mau ngobrol lama-lama.”Alisya tersenyum tipis. “Kamu sering ke sini?”“Sering. Biasanya sama teman kerja. Tapi kali ini spesial, soalnya aku bawa calon istriku,” jawabnya sambil terkekeh.Pipi Alisya terasa panas. “Belum jadi calon istri juga…”“Ah, nanti juga jadi,” potong Dhimas santai. “Tinggal tunggu waktunya.”Pelayan datang membawa dua porsi nasi goreng kambing dan segelas es jeruk untuk Alisya. Mereka mulai makan, sambil sesekali berbagi cerita tentang hari itu.Suara riuh pedagang sate di luar berpadu dengan obrolan