Share

Bab 3 – Makan Siang

last update Last Updated: 2025-07-29 17:22:33

Langit siang itu berwarna biru pucat. Matahari bersinar lembut, tak terlalu terik, cukup membuat jalanan terasa hangat. Alisya berdiri di depan pintu gerbang kampus, merapikan sedikit rambutnya yang tertiup angin. Ia melirik jam tangan — masih lima menit sebelum jam makan siang.

Sebuah motor berhenti tepat di hadapannya. Dhimas membuka helm, senyum lebarnya langsung menyapa.

“Kamu cantik banget hari ini, Sya,” katanya tanpa basa-basi.

Alisya terkekeh pelan, berusaha menahan rasa canggung. “Baru juga keluar dari ruangan.”

“Ya makanya aku bersyukur keluarin kamu dari sana,” jawab Dhimas sambil menyerahkan helm. “Ayo, waktunya makan siang bareng calon istri.”

Kata-kata itu membuat dada Alisya berdegup lebih cepat. Belum pernah ada yang berbicara sepercaya diri itu padanya. Ia menerima helm, lalu naik ke motor. Kali ini, ia memilih memegang bagian belakang jok lagi.

Dhimas melirik lewat spion, senyum tipisnya muncul. “Masih nggak mau pegangan?”

Alisya mengerjap. “Aku… nyaman gini.”

“Kalau kamu jatuh, jangan salahin aku, ya.” Kalimatnya ringan, tapi nadanya seperti memancing.

Perjalanan menuju restoran cukup singkat. Mereka berhenti di sebuah tempat makan yang dindingnya terbuat dari kaca, memberi pemandangan kota yang sibuk. Begitu masuk, pelayan langsung menyapa, seakan Dhimas adalah pelanggan tetap.

Mereka duduk di sudut ruangan. Dhimas memesan tanpa bertanya terlalu banyak — ayam bakar madu untuk Alisya, nasi goreng seafood untuknya.

“Kok kamu tahu aku suka ayam?” tanya Alisya sambil melepas tas.

Dhimas tersenyum, menyandarkan punggung. “Aku perhatiin kemarin waktu kita ngobrol di kampus, mata kamu berbinar waktu nyebut ayam bakar.”

Alisya tersipu. “Kamu ingat detail kayak gitu?”

“Kalau soal kamu, aku ingat semuanya.”

Alisya kembali tersenyum malu.

Mereka mengobrol ringan. Dhimas banyak bercerita tentang pekerjaannya, kadang diselipi candaan yang membuat Alisya tertawa. Tapi di sela-sela itu, ponselnya beberapa kali bergetar di meja. Nama “Ayu” muncul sekali, lalu nama lain yang tak dikenali. Setiap kali itu terjadi, Dhimas cepat-cepat menelungkupkan ponsel atau menggesernya ke saku.

Alisya berusaha tidak memperhatikan, tapi matanya selalu tertarik.

“Kamu nggak mau angkat?” tanyanya, berusaha terdengar santai.

Dhimas menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum tipis. “Aku lagi sama kamu. Yang lain nggak penting.”

Kalimat itu membuat Alisya terdiam. Sebagian dirinya merasa tersanjung, sebagian lagi bertanya-tanya kenapa panggilan itu terdengar seperti sesuatu yang harus disembunyikan.

Makanan mereka datang. Aroma ayam bakar madu memenuhi meja. Dhimas memotongkan daging ayam untuk Alisya, meletakkannya di piringnya sendiri. “Biar aku yang nyuapin.”

Alisya tertawa kecil, menggeleng. “Aku bisa sendiri.”

“Tapi aku mau,” jawabnya ringan, lalu menyodorkan garpu.

“Nggak, biar aku ajah.” Tolak Alisya lembut.

Dhimas menghela napas, “Oke kalau gitu.”

Mereka makan sambil sesekali bercanda. Dhimas pandai membuat suasana terasa nyaman, seperti mereka sudah lama saling kenal. Namun, di sela tawa itu, Alisya tak bisa menghapus rasa penasaran tentang panggilan yang diabaikan.

Saat mereka selesai makan, Dhimas membayar tagihan tanpa membiarkan Alisya membuka dompet. “Kamu simpan uangmu. Nanti kalau kita nikah, tabungan kita gabung,” katanya dengan nada seolah itu sudah pasti terjadi.

Kata-kata itu membuat pipi Alisya kembali panas. Dalam hati, ia mulai membayangkan seperti apa hidup bersama pria ini.

Tapi di sudut pikirannya yang lain, ia bertanya: Kenapa rasanya semua ini terlalu cepat?

Alisya menyandarkan punggung ke kursi, menyuap potongan ayam bakar yang masih hangat. Rasanya pas — manis, gurih, dan sedikit pedas di ujung lidah. “Enak banget,” komentarnya tulus.

Dhimas tersenyum puas. “Tuh kan, pilihan aku nggak pernah salah.” Ia lalu meminum es teh manisnya pelan. “Kayak waktu aku memilihmu, tentu tidak salah.”

Alisya menggeleng sambil tertawa kecil. “Kamu tuh ya… ngomongnya gampang banget bikin orang tersipu.”

“Itu cuma berlaku buat orang yang aku suka,” jawab Dhimas, tatapannya terfokus penuh padanya. Ada kilatan intens yang membuat Alisya sesaat tak berkedip.

Di luar, kendaraan lalu-lalang, tapi suasana di meja mereka seolah terisolasi. Sesekali, Alisya mencuri pandang pada ponsel Dhimas yang sekarang telungkup di sisi meja. Ia tidak mau terlihat terlalu penasaran, tapi rasa ingin tahunya semakin besar.

“Kamu seperti detektif Sya… matamu yang indah ini penuh misterius membuat aku selalu penasaran,” ucap Dhimas lagi saat sadar bahwa Alisya sedang memperhatikan ponselnya.

Alisya tertawa pelan. “Aku nggak ngerti itu pujian atau sindiran.”

“Pujian lah. Kamu itu unik. Nggak semua cewek punya aura yang bikin cowok penasaran. Makanya aku nggak mau nunggu lama buat kenal kamu.”

Ucapan itu membuat hati Alisya berdesir. Ia menunduk, pura-pura memotong ayamnya lagi. “Kita baru kenal kemarin sore, tapi kamu ngomongnya kayak udah kenal lama.”

“Kadang, butuh waktu lama buat jatuh cinta. Tapi kadang juga, cuma butuh satu tatapan,” balas Dhimas, bibirnya melengkung pelan.

Mereka kembali makan dalam diam sejenak. Suara musik instrumental dari speaker restoran mengisi kekosongan. Sesekali, tatapan mereka bertemu, dan setiap kali itu terjadi, Alisya cepat-cepat memalingkan muka.

Setelah beberapa suap, Dhimas meletakkan garpu, menyandarkan tubuh, lalu berkata, “Kalau aku serius sama kamu, kamu mau nggak coba serius juga sama aku?”

Pertanyaan itu membuat Alisya menoleh. “Maksudnya?”

“Maksudnya… ya nggak usah terlalu lama kenalan. Aku nggak main-main, Sya. Kalau aku bilang aku mau nikahin kamu, aku akan lakuin.”

Alisya tertegun. Ia tidak menyangka topik seperti itu muncul di pertemuan kedua mereka. “Kamu nggak takut nyesel? Kita bahkan belum saling kenal dekat.”

Dhimas menatapnya dalam-dalam. “Justru karena aku tahu apa yang aku mau. Kalau aku udah yakin sama satu orang, buat apa buang waktu?”

Kalimat itu terdengar meyakinkan, hampir memabukkan. Tapi di sudut hati Alisya, ada perasaan ganjil — terlalu cepat, terlalu mulus.

Ponsel Dhimas bergetar lagi. Kali ini, ia langsung meraih dan memasukkannya ke saku celana tanpa melihat layarnya.

“Kamu sibuk, ya? Kalau mau angkat, nggak ajah nggak apa-apa kok,” ujar Alisya mencoba tersenyum.

Dhimas menggeleng cepat. “Aku udah bilang kan, aku lagi sama kamu Alisya. Aku nggak mau diganggu.” Lalu ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Dan kalau kamu jadi pasangan aku nanti, kamu juga bakal jadi prioritas utama.”

Perkataan itu, ditambah tatapan matanya yang tajam namun hangat, membuat Alisya merasa spesial — meski ada suara kecil di kepalanya yang berkata bahwa semua ini seperti skenario yang sudah dihafal.

Setelah makanan habis, pelayan datang membawa tagihan. Dhimas menarik dompet, membayar tunai tanpa melihat jumlahnya. “Aku traktir, jangan nolak. Biar aku yang mulai, nanti kalau kita sering keluar, gantian kamu yang traktir aku.”

Alisya hanya mengangguk. “Makasih, ya.”

Mereka keluar dari restoran, angin siang menyapa wajah. Saat berjalan menuju motor, Dhimas tiba-tiba berkata, “Sya… kalau nanti ada orang lain yang ngedeketin kamu, kamu tolak aja, ya.”

Alisya menatapnya, sedikit bingung. “Kenapa ngomong gitu?”

“Soalnya aku nggak suka berbagi. Kalau aku udah nunjuk satu orang, berarti cuma dia yang aku mau.”

Nada suaranya kali ini terdengar lebih serius, bahkan sedikit mengandung peringatan. Alisya hanya tersenyum samar, mencoba menepis rasa aneh yang muncul.

Ia mengenakan helm, naik ke motor. Saat mesin menyala dan motor melaju, ia kembali bertanya-tanya — apakah ini awal dari sebuah kisah cinta yang indah, atau sesuatu yang perlahan akan berubah menjadi jebakan?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 10 – Cemburu yang Menyamar Manis

    Langit sore itu berwarna jingga pucat, seperti permen kapas yang memudar. Alisya berdiri di depan gerbang universitas, menunggu ojek online yang sudah ia pesan. Ia tak mengira Dhimas tiba-tiba muncul dengan motornya, menghentikan laju tepat di depannya.“Naik. Aku jemput,” ucapnya singkat, melepas helm dan menyodorkannya.Alisya sempat ragu. “Aku udah pesen ojek, Mas.”“Cancel. Aku mau antar kamu sendiri.” Nada suaranya tegas, tapi bibirnya tersungging senyum tipis.Alisya menghela napas, lalu mengeluarkan ponselnya untuk membatalkan pesanan. “Ya udah…”Begitu ia duduk di jok belakang, Dhimas segera memacu motor keluar dari halaman kampus. Angin sore menyapu wajah Alisya, tapi tak cukup untuk menghilangkan rasa heran yang menggelayut.“Kok tiba-tiba jemput? Kan biasanya kamu lagi dinas jam segini.”“Aku ada waktu. Lagian, aku nggak tenang kalau kamu pulang sendir

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 9 – Lamaran yang Terencana

    Sore itu, rumah Alisya terasa lebih hangat dari biasanya. Bau masakan ibunya masih menggantung di udara, bercampur aroma kopi yang baru saja diseduh. Ia duduk di ruang tamu, memandangi jam dinding yang jarumnya seolah bergerak lebih lambat dari biasanya.Dhimas bilang akan datang pukul empat, tapi sejak pukul tiga Alisya sudah gelisah. Bukan karena takut, melainkan perasaan aneh yang muncul setiap kali ia memikirkan pertemuan ini. Hari ini, Dhimas akan bicara dengan orang tuanya soal lamaran.Suara ketukan pintu memecah lamunannya. Ayahnya yang baru saja keluar dari kamar menghampiri pintu dan membukanya.“Assalamualaikum, Pak,” sapa Dhimas dengan senyum lebar, seragam polisinya rapi, rambutnya tersisir licin.“Waalaikumussalam,” jawab ayahnya sambil menyambut hangat. “Masuk, Mas Dhimas.”Alisya berdiri dari sofa, menatapnya sejenak. Dhimas melirik, senyum itu seolah langsung terarah padanya. “Sya,” panggilnya pelan.Ia membalas senyum tipis, lalu mempersilakan duduk. Ibunya datang me

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 8 – Chat yang Membakar Api

    Suara sendok beradu pelan dengan gelas es lemon tea di hadapanku, bercampur dengan denting musik jazz yang mengalun lembut di kafe kecil ini. Aroma kopi dan roti bakar menguar, membuat suasana sore terasa hangat. Dhimas duduk di seberang, masih dengan seragam polisinya yang rapi. Ia memang sengaja menjemputku sepulang kerja tadi, katanya ingin “menghabiskan waktu berdua tanpa gangguan”.Alisya tersenyum tipis sambil mengaduk minumannya. “Kamu mau pesan lagi? Kayaknya tadi kamu cuma makan setengah porsi.”“Nggak usah. Aku lebih kenyang lihat kamu,” jawabnya santai, seperti biasa dengan tatapan yang membuat pipiku terasa hangat.Alisya memutar bola mata, pura-pura tak terpengaruh. “Gombal.”Kami berbicara ringan, membahas pekerjaan Alisya di bagian administrasi universitas dan tugas-tugas Dhimas di lapangan. Obrolan terasa mengalir, sampai perutku memberi sinyal. “Eh, aku ke toilet sebentar, ya,” kata Alisya sambil menaruh ponsel di meja, di sebelah gelas minumannya.Dhimas hanya mengan

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 7 – Lamaran dari Masa Lalu

    Suara deru angkot yang berlalu meninggalkan debu tipis di udara. Alisya turun pelan-pelan, merapikan tas kerjanya yang tergantung di bahu. Sore itu, tubuhnya terasa letih setelah seharian berkutat di meja administrasi kampus, mengurus dokumen-dokumen yang seolah tak pernah habis. Ia sudah membayangkan duduk santai di kamarnya sambil menyeruput hot chocolate kesukaannya.Namun langkahnya terhenti di depan gerbang rumah. Di halaman, terparkir mobil hitam mengilap yang jelas bukan milik siapa pun di keluarganya. Mobil itu tampak mahal, modelnya terbaru, dengan pelat nomor luar kota.Alisya mengerutkan dahi. Siapa tamu ini?Pagar rumah setengah terbuka. Ia melangkah pelan, tapi belum berani masuk. Saat ia mendekat, samar-samar terdengar suara tawa ayahnya dari ruang tamu. Disusul suara ibunya, lebih lembut daripada biasanya.Dan lalu—suara pria asing. Suara yang berat, tenang, namun entah kenapa terdengar akrab di telinganya.“Ayah dan Ibu sudah tahu alasan saya datang. Saya ingin melamar

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 6 – Langkah Pertama ke Rumah

    Langit sore mulai berwarna oranye keemasan ketika Alisya berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan rambutnya untuk kesekian kali. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena udara yang dingin, tapi karena jantungnya berdebar terlalu kencang.Hari ini, untuk pertama kalinya, Dhimas akan datang ke rumahnya. Bukan sekadar menjemput atau mengantar pulang, tapi benar-benar masuk, duduk, dan berbicara langsung dengan orang tuanya.Ia memilih blus putih sederhana dipadu celana kain biru tua. Riasannya tipis, hanya sedikit bedak dan lipstik nude. Ia ingin terlihat rapi tapi tidak berlebihan.Dari jendela kamar, ia bisa melihat halaman rumahnya yang mungil. Ayahnya sudah pulang dari kantor, duduk di kursi teras sambil menyeruput teh. Ibunya mondar-mandir dari dapur, membawa piring dan gelas ke ruang tamu.Suara motor berhenti di depan pagar membuat Alisya refleks menoleh. Dari balik kaca jendela, ia melihat Dhimas turun dari motornya dengan kemeja biru lengan panjang yang digulung rapi sampai si

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 5 – Dikenalkan ke Orang Tua Dhimas

    Warung makan sederhana di sudut jalan itu penuh dengan aroma gurih tumisan bawang dan wangi sate yang baru dibakar. Lampu kuning remang-remang membuat suasana terasa hangat.Alisya duduk di kursi kayu, jemarinya memainkan sendok sambil menunggu pesanan. Di depannya, Dhimas sedang meneliti menu, meski ia sebenarnya sudah memesan sejak tadi.“Aku suka tempat ini,” kata Dhimas sambil meliriknya. “Nggak terlalu ramai, tapi makanannya enak banget. Cocok buat kita yang mau ngobrol lama-lama.”Alisya tersenyum tipis. “Kamu sering ke sini?”“Sering. Biasanya sama teman kerja. Tapi kali ini spesial, soalnya aku bawa calon istriku,” jawabnya sambil terkekeh.Pipi Alisya terasa panas. “Belum jadi calon istri juga…”“Ah, nanti juga jadi,” potong Dhimas santai. “Tinggal tunggu waktunya.”Pelayan datang membawa dua porsi nasi goreng kambing dan segelas es jeruk untuk Alisya. Mereka mulai makan, sambil sesekali berbagi cerita tentang hari itu.Suara riuh pedagang sate di luar berpadu dengan obrolan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status