Langit siang itu berwarna biru pucat. Matahari bersinar lembut, tak terlalu terik, cukup membuat jalanan terasa hangat. Alisya berdiri di depan pintu gerbang kampus, merapikan sedikit rambutnya yang tertiup angin. Ia melirik jam tangan — masih lima menit sebelum jam makan siang.
Sebuah motor berhenti tepat di hadapannya. Dhimas membuka helm, senyum lebarnya langsung menyapa.
“Kamu cantik banget hari ini, Sya,” katanya tanpa basa-basi.Alisya terkekeh pelan, berusaha menahan rasa canggung. “Baru juga keluar dari ruangan.”
“Ya makanya aku bersyukur keluarin kamu dari sana,” jawab Dhimas sambil menyerahkan helm. “Ayo, waktunya makan siang bareng calon istri.”
Kata-kata itu membuat dada Alisya berdegup lebih cepat. Belum pernah ada yang berbicara sepercaya diri itu padanya. Ia menerima helm, lalu naik ke motor. Kali ini, ia memilih memegang bagian belakang jok lagi.
Dhimas melirik lewat spion, senyum tipisnya muncul. “Masih nggak mau pegangan?”
Alisya mengerjap. “Aku… nyaman gini.”
“Kalau kamu jatuh, jangan salahin aku, ya.” Kalimatnya ringan, tapi nadanya seperti memancing.
Perjalanan menuju restoran cukup singkat. Mereka berhenti di sebuah tempat makan yang dindingnya terbuat dari kaca, memberi pemandangan kota yang sibuk. Begitu masuk, pelayan langsung menyapa, seakan Dhimas adalah pelanggan tetap.
Mereka duduk di sudut ruangan. Dhimas memesan tanpa bertanya terlalu banyak — ayam bakar madu untuk Alisya, nasi goreng seafood untuknya.
“Kok kamu tahu aku suka ayam?” tanya Alisya sambil melepas tas.
Dhimas tersenyum, menyandarkan punggung. “Aku perhatiin kemarin waktu kita ngobrol di kampus, mata kamu berbinar waktu nyebut ayam bakar.”
Alisya tersipu. “Kamu ingat detail kayak gitu?”
“Kalau soal kamu, aku ingat semuanya.”
Alisya kembali tersenyum malu.
Mereka mengobrol ringan. Dhimas banyak bercerita tentang pekerjaannya, kadang diselipi candaan yang membuat Alisya tertawa. Tapi di sela-sela itu, ponselnya beberapa kali bergetar di meja. Nama “Ayu” muncul sekali, lalu nama lain yang tak dikenali. Setiap kali itu terjadi, Dhimas cepat-cepat menelungkupkan ponsel atau menggesernya ke saku.
Alisya berusaha tidak memperhatikan, tapi matanya selalu tertarik.
“Kamu nggak mau angkat?” tanyanya, berusaha terdengar santai.
Dhimas menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum tipis. “Aku lagi sama kamu. Yang lain nggak penting.”
Kalimat itu membuat Alisya terdiam. Sebagian dirinya merasa tersanjung, sebagian lagi bertanya-tanya kenapa panggilan itu terdengar seperti sesuatu yang harus disembunyikan.
Makanan mereka datang. Aroma ayam bakar madu memenuhi meja. Dhimas memotongkan daging ayam untuk Alisya, meletakkannya di piringnya sendiri. “Biar aku yang nyuapin.”
Alisya tertawa kecil, menggeleng. “Aku bisa sendiri.”
“Tapi aku mau,” jawabnya ringan, lalu menyodorkan garpu.
“Nggak, biar aku ajah.” Tolak Alisya lembut.
Dhimas menghela napas, “Oke kalau gitu.”
Mereka makan sambil sesekali bercanda. Dhimas pandai membuat suasana terasa nyaman, seperti mereka sudah lama saling kenal. Namun, di sela tawa itu, Alisya tak bisa menghapus rasa penasaran tentang panggilan yang diabaikan.
Saat mereka selesai makan, Dhimas membayar tagihan tanpa membiarkan Alisya membuka dompet. “Kamu simpan uangmu. Nanti kalau kita nikah, tabungan kita gabung,” katanya dengan nada seolah itu sudah pasti terjadi.
Kata-kata itu membuat pipi Alisya kembali panas. Dalam hati, ia mulai membayangkan seperti apa hidup bersama pria ini.
Tapi di sudut pikirannya yang lain, ia bertanya: Kenapa rasanya semua ini terlalu cepat?
Alisya menyandarkan punggung ke kursi, menyuap potongan ayam bakar yang masih hangat. Rasanya pas — manis, gurih, dan sedikit pedas di ujung lidah. “Enak banget,” komentarnya tulus.
Dhimas tersenyum puas. “Tuh kan, pilihan aku nggak pernah salah.” Ia lalu meminum es teh manisnya pelan. “Kayak waktu aku memilihmu, tentu tidak salah.”
Alisya menggeleng sambil tertawa kecil. “Kamu tuh ya… ngomongnya gampang banget bikin orang tersipu.”
“Itu cuma berlaku buat orang yang aku suka,” jawab Dhimas, tatapannya terfokus penuh padanya. Ada kilatan intens yang membuat Alisya sesaat tak berkedip.
Di luar, kendaraan lalu-lalang, tapi suasana di meja mereka seolah terisolasi. Sesekali, Alisya mencuri pandang pada ponsel Dhimas yang sekarang telungkup di sisi meja. Ia tidak mau terlihat terlalu penasaran, tapi rasa ingin tahunya semakin besar.
“Kamu seperti detektif Sya… matamu yang indah ini penuh misterius membuat aku selalu penasaran,” ucap Dhimas lagi saat sadar bahwa Alisya sedang memperhatikan ponselnya.
Alisya tertawa pelan. “Aku nggak ngerti itu pujian atau sindiran.”
“Pujian lah. Kamu itu unik. Nggak semua cewek punya aura yang bikin cowok penasaran. Makanya aku nggak mau nunggu lama buat kenal kamu.”
Ucapan itu membuat hati Alisya berdesir. Ia menunduk, pura-pura memotong ayamnya lagi. “Kita baru kenal kemarin sore, tapi kamu ngomongnya kayak udah kenal lama.”
“Kadang, butuh waktu lama buat jatuh cinta. Tapi kadang juga, cuma butuh satu tatapan,” balas Dhimas, bibirnya melengkung pelan.
Mereka kembali makan dalam diam sejenak. Suara musik instrumental dari speaker restoran mengisi kekosongan. Sesekali, tatapan mereka bertemu, dan setiap kali itu terjadi, Alisya cepat-cepat memalingkan muka.
Setelah beberapa suap, Dhimas meletakkan garpu, menyandarkan tubuh, lalu berkata, “Kalau aku serius sama kamu, kamu mau nggak coba serius juga sama aku?”
Pertanyaan itu membuat Alisya menoleh. “Maksudnya?”
“Maksudnya… ya nggak usah terlalu lama kenalan. Aku nggak main-main, Sya. Kalau aku bilang aku mau nikahin kamu, aku akan lakuin.”
Alisya tertegun. Ia tidak menyangka topik seperti itu muncul di pertemuan kedua mereka. “Kamu nggak takut nyesel? Kita bahkan belum saling kenal dekat.”
Dhimas menatapnya dalam-dalam. “Justru karena aku tahu apa yang aku mau. Kalau aku udah yakin sama satu orang, buat apa buang waktu?”
Kalimat itu terdengar meyakinkan, hampir memabukkan. Tapi di sudut hati Alisya, ada perasaan ganjil — terlalu cepat, terlalu mulus.
Ponsel Dhimas bergetar lagi. Kali ini, ia langsung meraih dan memasukkannya ke saku celana tanpa melihat layarnya.
“Kamu sibuk, ya? Kalau mau angkat, nggak ajah nggak apa-apa kok,” ujar Alisya mencoba tersenyum.
Dhimas menggeleng cepat. “Aku udah bilang kan, aku lagi sama kamu Alisya. Aku nggak mau diganggu.” Lalu ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Dan kalau kamu jadi pasangan aku nanti, kamu juga bakal jadi prioritas utama.”
Perkataan itu, ditambah tatapan matanya yang tajam namun hangat, membuat Alisya merasa spesial — meski ada suara kecil di kepalanya yang berkata bahwa semua ini seperti skenario yang sudah dihafal.
Setelah makanan habis, pelayan datang membawa tagihan. Dhimas menarik dompet, membayar tunai tanpa melihat jumlahnya. “Aku traktir, jangan nolak. Biar aku yang mulai, nanti kalau kita sering keluar, gantian kamu yang traktir aku.”
Alisya hanya mengangguk. “Makasih, ya.”
Mereka keluar dari restoran, angin siang menyapa wajah. Saat berjalan menuju motor, Dhimas tiba-tiba berkata, “Sya… kalau nanti ada orang lain yang ngedeketin kamu, kamu tolak aja, ya.”
Alisya menatapnya, sedikit bingung. “Kenapa ngomong gitu?”
“Soalnya aku nggak suka berbagi. Kalau aku udah nunjuk satu orang, berarti cuma dia yang aku mau.”
Nada suaranya kali ini terdengar lebih serius, bahkan sedikit mengandung peringatan. Alisya hanya tersenyum samar, mencoba menepis rasa aneh yang muncul.
Ia mengenakan helm, naik ke motor. Saat mesin menyala dan motor melaju, ia kembali bertanya-tanya — apakah ini awal dari sebuah kisah cinta yang indah, atau sesuatu yang perlahan akan berubah menjadi jebakan?
POV DhimasSiang itu, setelah memastikan ibunya naik kereta dengan selamat, Dhimas tidak langsung menuju kantor. Ia menarik napas panjang, menyalakan motor, lalu tersenyum kecil. Hari ini akan jadi milikku dan Susi.Bukan rahasia lagi, sejak awal ia sudah tertarik pada anak dari sahabat mamanya itu. Bukan karena kebaikan hati atau sikapnya, tapi karena tubuh Susi yang montok, wajah manis yang selalu dihiasi make-up tipis, dan sikap manja yang sulit diabaikan.Begitu sampai di rumah, Dhimas langsung menjatuhkan tubuh ke sofa, lalu mengirim pesan singkat ke atasannya: Pak, izin nggak masuk. Lagi drop, kepala pusing banget.Tak lama, Susi keluar dari kamarnya, masih dengan kaus ketat berwarna biru muda dan celana pendek. Rambutnya diikat tinggi, membuat wajahnya semakin segar.“Mas Dhimas, kok udah pulang? Bukannya tadi bilang mau langsung ke kantor?” tanyanya sambil berjalan mendekat, suaranya terdengar lembut namun penuh nada manja.Dhimas menghela napas panjang, sengaja terdengar lema
Pov : DhimasPagi itu, aroma sayur asem dan gorengan hangat memenuhi ruang makan. Dhimas duduk dengan santai di kursi ujung meja, seragam polisinya sudah rapi, siap berangkat tugas setelah sarapan. Sementara ibunya duduk di samping kanan, wajahnya terlihat sedikit cemas namun tetap tegas. Susi, dengan gaun rumah berwarna pastel yang melekat manis pada tubuhnya, mondar-mandir membawa piring tambahan ke meja.“Mas Dhimas, tambah tempe goreng?” tanya Susi dengan suara lembut, senyum tipis tersungging di bibirnya.Dhimas melirik sekilas. “Boleh,” jawabnya singkat, namun pandangannya sempat menahan detik lebih lama pada wajah Susi. Ada sesuatu yang berbeda dari tatapan matanya pagi ini, lebih hidup, lebih berani.Ibunya berdeham, menarik perhatian. “Mas…,” panggilnya, lalu meletakkan sendok di atas piring. “Hari ini ibu harus pulang ke kampung dulu. Adikmu yang bungsu sakit. Ibu ng
Pagi itu, Alisya mengenakan blazer khaki dan kemeja putih rapi. Di ruang pertemuan kampus Jakarta, ia duduk bersama para staf yang menyambutnya dengan hangat. Berkas-berkas kerja sama ditumpuk rapi di meja. Meskipun dadanya sempat ciut, Alisya berusaha menampilkan wajah profesional.“Terima kasih sudah datang jauh-jauh ke sini, Bu Alisya,” ujar seorang dosen senior. “Kami percaya kerja sama ini akan berjalan lancar dengan bantuan Anda.”Alisya tersenyum sopan. “Sama-sama, Pak. Saya juga akan berusaha maksimal.”Pertemuan itu berlangsung lebih dari dua jam. Begitu selesai, Alisya menghela napas panjang. Ada rasa lega, tapi juga lelah. Saat menatap ponselnya, Alisya menghela nafas panjang. Sebuah pesan voice note dari Susi sejak malam belum ia play.Alisya mengumpulkan keberaniannya lagi, “Oke Alisya… jangan khawatir, paling Susi hanya nanya barang-barang yang dia butuhkan atau hal sepele lainnya… uhhh oke aku akan play sekarang.” Lirih Alisya kemudian menekan gambar play.“Aahh... mas,
Koper beroda kecil berderit mengikuti langkah Alisya begitu ia melangkah keluar dari gerbang stasiun Gambir. Lampu-lampu kota Jakarta menyilaukan matanya, lalu lintas padat membuatnya sejenak terdiam. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debar jantung yang masih belum reda sejak meninggalkan rumah tadi pagi.“Jakarta…” bisiknya, seakan meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia benar-benar ada di sini.Sebuah taksi berhenti di hadapannya. Sopir membuka kaca jendela. “Mau ke mana, Mbak?”“Hotel Bintang Utama, Pak,” jawab Alisya pelan sambil memasukkan kopernya ke bagasi.Sepanjang perjalanan, Alisya hanya diam. Matanya menatap keluar jendela, melihat gedung-gedung tinggi menjulang, papan reklame berkelap-kelip, dan orang-orang berjalan cepat di trotoar. Semuanya terasa asing, berbeda jauh dengan kota kecil tempat ia biasa tinggal.Pikirannya melayang ke rumah—ke Dhimas, ke ibu mertua, dan terutama ke pesan Susi yang masuk terakhir sebelum kereta berangkat. “Aku di sini bakal neme
Pagi itu rumah masih sunyi ketika Alisya menarik koper kecilnya keluar kamar. Jantungnya berdetak kencang, seakan setiap langkah menuju pintu membawa beban yang semakin berat. Tangannya menggenggam gagang koper erat-erat, sementara matanya melirik ke arah ruang tamu, tempat ibu mertua sudah duduk sejak subuh, dengan wajah masam dan tatapan yang sulit ditebak.“Sya, jadi kamu tetap berangkat ke Jakarta?” suara ibu mertua terdengar tajam.Alisya berhenti sejenak, lalu menoleh. “Iya, Bu. Saya harus berangkat hari ini, tiket sudah dibelikan pihak kampus.”Ibu mertua menghela napas panjang, seolah setiap hembusan adalah bentuk protes. “Hmmm… kalau istri orang lain, pasti mikir seribu kali sebelum ninggalin suaminya. Tapi kamu? Baru juga nikah, udah sibuk kerja ke luar kota.”Alisya menunduk, mencoba menahan gejolak di dadanya. “Saya sudah bicara dengan Mas Dhimas, Bu. Beliau sudah izinkan…”“Ya, kamu sudah bilang kemarin, tapi tetap saja Dhimas itu terlalu nurut sama kamu! Nanti kalau ada
Pagi itu udara kampus masih terasa sejuk. Langit biru terang membentang, dihiasi awan tipis yang bergerak pelan. Alisya melangkah masuk ke gedung administrasi dengan langkah mantap, meski dalam hati ada kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia baru saja mendapat izin dari Dhimas untuk pergi ke Jakarta, dan kini saatnya menyampaikan keputusan itu kepada rektor.Di depan ruang rektor, ia sempat berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sambil merapikan kerah bajunya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut, tapi karena kesadaran bahwa keberangkatan ini akan mengubah ritme hidupnya untuk sementara waktu.Ia mengetuk pintu. “Masuk,” suara berat rektor terdengar dari dalam.Alisya membuka pintu pelan. Rektor, pria paruh baya dengan kacamata bulat, menoleh sambil tersenyum kecil. “Silakan duduk, Alisya. Jadi bagaimana keputusanmu?”Alisya duduk, merapatkan tangannya di pangkuan. “Pak, saya sudah berbicara dengan suami saya. Beliau setuju k