Home / Rumah Tangga / Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi / Bab 4 – Jalan-jalan ke Taman

Share

Bab 4 – Jalan-jalan ke Taman

last update Last Updated: 2025-07-29 18:02:21

Langit sore mulai berwarna oranye ketika Dhimas memutar kemudi motornya, membelok ke arah jalan yang dipenuhi pepohonan rindang.

“Kita nggak langsung pulang, ya. Aku mau ajak kamu ke satu tempat,” katanya sambil melirik ke spion.

Alisya yang duduk di belakang menahan senyum. “Tempat apa?”

“Rahasia. Kalau aku kasih tahu sekarang, nggak seru.”

Motor mereka akhirnya berhenti di depan sebuah taman kota. Gerbangnya sederhana, tapi dari luar terlihat rindang, dengan bangku-bangku besi dan jalur setapak yang bersih. Anak-anak berlarian mengejar bola, sementara beberapa pasangan duduk bercengkerama di bangku.

Dhimas memarkir motor, lalu menoleh. “Ayo turun. Kita jalan sebentar.”

Alisya melepas helm, merapikan rambutnya, lalu mengikuti langkah Dhimas. Jalan setapak yang mereka lalui dipenuhi daun kering yang berderak di bawah sepatu. Udara sore bercampur aroma tanah dan bunga yang mulai mekar.

Mereka memilih duduk di bangku di bawah pohon flamboyan. Dari sini, terlihat air mancur kecil di tengah taman, memercik pelan.

“Kenapa bawa aku ke sini?” tanya Alisya sambil menatap pemandangan di depan.

Dhimas menyandarkan tangan di sandaran bangku, mendekat sedikit. “Soalnya aku mau ngobrol sama kamu tanpa gangguan. Dan… aku mau kamu ingat hari ini.”

Alisya mengangkat alis, separuh penasaran, separuh tersipu. “Ngobrol tentang apa?”

“Banyak hal,” jawabnya. Ia menatap lurus ke mata Alisya. “Tentang kita. Tentang masa depan.”

Alisya terdiam. Baru dua kali mereka bertemu, tapi Dhimas sudah sering membicarakan hal-hal besar seperti ini.

“Aku nggak mau main-main, Sya,” lanjutnya. “Aku udah cukup umur buat mikirin yang serius. Kalau aku mau sama kamu, berarti aku mau kita sampai ke pelaminan. Dan kalau bisa… cepat.”

Pipi Alisya memanas. “Cepat? Kita baru kenal, Mas.”

“Justru itu. Kalau nunggu lama, aku takut kamu keburu diambil orang. Kamu terlalu cantik buat dibiarkan bebas kelamaan.”

Kalimat itu terdengar seperti pujian, tapi ada nada lain yang membuat Alisya merasa sedikit terkekang. Ia mengalihkan pandangan ke arah air mancur.

Dhimas meraih tangannya, menggenggamnya hangat. “Aku nggak mau kamu mikir macem-macem. Aku orangnya protektif, bukan posesif. Bedanya jauh.”

Alisya tersenyum kecil. “Kedengarannya sama aja.”

Dhimas tertawa pelan. “Kalau posesif, itu nggak sehat. Kalau protektif, itu tanda sayang. Aku cuma mau pastiin kamu aman, nyaman, dan nggak perlu mikirin orang lain selain aku.”

Mata Alisya bertemu lagi dengan matanya. Ada ketulusan di sana — atau setidaknya, itulah yang ia lihat.

“Kalau nanti kita beneran jadian…,” Dhimas berkata pelan, “aku mau kita saling jaga. Kamu nggak usah terlalu dekat sama cowok lain. Dan aku juga janji, nggak akan dekat sama cewek lain. Setuju?”

Alisya menggigit bibir. “Kita lihat nanti.”

Dhimas tersenyum. “Tantangan, ya?”

Suasana hening sejenak. Angin sore berhembus lembut, membuat beberapa helai rambut Alisya jatuh ke pipinya. Dhimas menggesernya pelan ke belakang telinga. Sentuhan itu membuat jantung Alisya berdetak lebih cepat.

“Kalau kamu terus lihat aku kayak gitu, aku bisa tambah jatuh,” kata Dhimas setengah bercanda.

Alisya menggeleng, mencoba menyembunyikan senyumnya. “Kamu tuh… selalu tahu cara ngomong.”

“Bukan soal ngomong. Aku cuma jujur,” jawabnya.

Dhimas kemudian berdiri, mengulurkan tangan. “Ayo jalan lagi. Aku nggak mau sore ini cuma kita habisin duduk di sini.”

Mereka berjalan menyusuri jalur taman, melewati kolam kecil yang dipenuhi ikan koi. Dhimas sesekali menunjuk ikan berwarna cerah, membuat Alisya tertawa.

Saat mereka hampir sampai di gerbang keluar, Dhimas berhenti. “Sya… kalau aku bilang aku serius, kamu mau percaya sama aku?”

Alisya menatapnya, mencoba membaca wajahnya. “Aku mau percaya… kalau kamu bisa buktiin.”

Dhimas tersenyum tipis. “Tunggu aja. Aku akan buktiin.”

Mereka keluar dari taman, langit mulai berwarna ungu. Saat menaiki motor, Alisya merasa sore ini seperti mimpi yang terlalu indah untuk diakhiri. Ia belum tahu, di balik semua kata manis itu, ada sesuatu yang sedang menunggu untuk menguji kepercayaannya.

Mereka kembali ke bangku semula. Udara semakin sejuk, dedaunan bergetar pelan diterpa angin sore.

Dhimas merogoh saku celananya, mengeluarkan botol air mineral, lalu menyodorkannya. “Minum, biar nggak haus.”

Alisya menerimanya, lalu meneguk sedikit. “Makasih.”

“Aku suka tempat ini,” ucap Dhimas sambil memandang ke arah air mancur. “Nggak ramai, tapi nggak sepi juga. Cocok buat ngobrol.”

Alisya mengangguk, memperhatikan wajah Dhimas dari samping. Ada garis tegas di rahangnya, dan sorot matanya yang dalam membuatnya sulit berpaling. Tapi di balik rasa nyaman itu, ada pertanyaan kecil yang mengganjal — kenapa ia begitu cepat bicara soal masa depan, padahal mereka baru saling mengenal?

“Kamu kelihatan lagi mikirin sesuatu, Sya…” Dhimas memecah keheningan.

“Enggak, cuma… masih aneh aja. Kita baru berkenalan beberapa hari, tapi rasanya udah kayak kenal lama.”

Dhimas tersenyum tipis. “Itu pertanda baik. Berarti kita cocok.”

“Kalau nggak cocok?” goda Alisya, separuh ingin tahu jawabannya.

Dhimas menatapnya lekat-lekat, lalu berkata, “Kalau nggak cocok, aku bakal cari cara biar cocok. Aku bukan tipe yang gampang nyerah.”

Kalimat itu terdengar manis, tapi juga memiliki nada yang tak sepenuhnya bisa Alisya artikan.

Mereka terdiam beberapa saat, menikmati suara gemericik air mancur. Beberapa anak kecil yang tadi berlari kini duduk makan es krim bersama orang tuanya.

“Aku pernah patah hati,” kata Dhimas tiba-tiba, suaranya lebih pelan.

Alisya menoleh, terkejut. “Serius?”

“Serius. Aku pikir dia orangnya. Aku udah siap nikah. Tapi ternyata dia pilih orang lain. Sejak itu, aku janji, kalau aku udah ketemu yang cocok, aku nggak akan biarin dia pergi.”

Nada suaranya berat, dan Alisya bisa merasakan kesungguhan dalam tatapan itu.

“Dan kamu rasa… aku orangnya?” Tanya Alisya ragu.

Dhimas tersenyum, tapi matanya tak beralih dari wajah Alisya. “Aku nggak rasa, aku tahu kaulah orangnya.”

Pipi Alisya kembali panas. Ia mengalihkan pandangan, tapi genggaman tangan Dhimas semakin erat.

“Aku mau kamu tahu, Sya. Aku ini mungkin sibuk, pekerjaanku banyak resikonya. Tapi kalau kamu mau, aku akan selalu nyempetin waktu buat kamu. Kamu nggak akan pernah ngerasa sendirian.”

Alisya menelan ludah, mencoba mengendalikan gejolak di dadanya. Perhatian seperti ini belum pernah ia rasakan sebelumnya, apalagi dari seseorang yang baru ia kenal.

“Kamu percaya nggak sama aku?” tanya Dhimas, kali ini suaranya nyaris seperti bisikan.

“Aku… mau percaya,” jawab Alisya akhirnya.

“Kalau gitu, mulai sekarang, biar aku yang jagain kamu.”

Ucapan itu diiringi angin sore yang makin dingin, seakan menandai sebuah awal yang baru.

Mereka berdua duduk cukup lama di sana, berbicara tentang hal-hal kecil — makanan favorit, masa kecil, bahkan mimpi masing-masing. Dhimas bercerita bahwa ia selalu ingin punya rumah yang besar dengan halaman luas, sementara Alisya bercerita tentang keinginannya membuka usaha kue suatu hari nanti.

“Kalau kita nikah nanti,” Dhimas tiba-tiba berkata, “kita bisa gabungin mimpi kita. Kamu bikin kue, aku yang jagain rumahnya. Deal?”

Alisya tertawa kecil. “Kita belum pacaran udah ngomongin nikah.”

“Makanya, kita pacaran sekarang aja,” balas Dhimas cepat, membuat Alisya terdiam.

Tatapannya begitu yakin, membuat Alisya tak sanggup menolak secara langsung. Ia hanya tersenyum samar, mencoba menyembunyikan degup jantungnya yang tak terkendali.

“Kamu tersenyum meski nggak jawab, artinya kamu terima aku jadi pacarmu kan, Sya?”

Alisya mengangguk, pipinya merah.

“Oke deal, kita pacaran mulai hari ini… makasih yah Sya aku senang banget.”

“Iya” malu Alisya.

Dhimas senyum lalu memeluk Alisya tiba-tiba.

Dalam hidup, ia baru pertama kali menerima tawaran untuk berpacaran, saking kepolosannya dalam hubungan asmara yang bagai kertas kosong.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 58. Berduaan

    POV DhimasSiang itu, setelah memastikan ibunya naik kereta dengan selamat, Dhimas tidak langsung menuju kantor. Ia menarik napas panjang, menyalakan motor, lalu tersenyum kecil. Hari ini akan jadi milikku dan Susi.Bukan rahasia lagi, sejak awal ia sudah tertarik pada anak dari sahabat mamanya itu. Bukan karena kebaikan hati atau sikapnya, tapi karena tubuh Susi yang montok, wajah manis yang selalu dihiasi make-up tipis, dan sikap manja yang sulit diabaikan.Begitu sampai di rumah, Dhimas langsung menjatuhkan tubuh ke sofa, lalu mengirim pesan singkat ke atasannya: Pak, izin nggak masuk. Lagi drop, kepala pusing banget.Tak lama, Susi keluar dari kamarnya, masih dengan kaus ketat berwarna biru muda dan celana pendek. Rambutnya diikat tinggi, membuat wajahnya semakin segar.“Mas Dhimas, kok udah pulang? Bukannya tadi bilang mau langsung ke kantor?” tanyanya sambil berjalan mendekat, suaranya terdengar lembut namun penuh nada manja.Dhimas menghela napas panjang, sengaja terdengar lema

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 57 – Senyum di Balik Sarapan

    Pov : DhimasPagi itu, aroma sayur asem dan gorengan hangat memenuhi ruang makan. Dhimas duduk dengan santai di kursi ujung meja, seragam polisinya sudah rapi, siap berangkat tugas setelah sarapan. Sementara ibunya duduk di samping kanan, wajahnya terlihat sedikit cemas namun tetap tegas. Susi, dengan gaun rumah berwarna pastel yang melekat manis pada tubuhnya, mondar-mandir membawa piring tambahan ke meja.“Mas Dhimas, tambah tempe goreng?” tanya Susi dengan suara lembut, senyum tipis tersungging di bibirnya.Dhimas melirik sekilas. “Boleh,” jawabnya singkat, namun pandangannya sempat menahan detik lebih lama pada wajah Susi. Ada sesuatu yang berbeda dari tatapan matanya pagi ini, lebih hidup, lebih berani.Ibunya berdeham, menarik perhatian. “Mas…,” panggilnya, lalu meletakkan sendok di atas piring. “Hari ini ibu harus pulang ke kampung dulu. Adikmu yang bungsu sakit. Ibu ng

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 56 – Pertemuan yang Tak Terduga

    Pagi itu, Alisya mengenakan blazer khaki dan kemeja putih rapi. Di ruang pertemuan kampus Jakarta, ia duduk bersama para staf yang menyambutnya dengan hangat. Berkas-berkas kerja sama ditumpuk rapi di meja. Meskipun dadanya sempat ciut, Alisya berusaha menampilkan wajah profesional.“Terima kasih sudah datang jauh-jauh ke sini, Bu Alisya,” ujar seorang dosen senior. “Kami percaya kerja sama ini akan berjalan lancar dengan bantuan Anda.”Alisya tersenyum sopan. “Sama-sama, Pak. Saya juga akan berusaha maksimal.”Pertemuan itu berlangsung lebih dari dua jam. Begitu selesai, Alisya menghela napas panjang. Ada rasa lega, tapi juga lelah. Saat menatap ponselnya, Alisya menghela nafas panjang. Sebuah pesan voice note dari Susi sejak malam belum ia play.Alisya mengumpulkan keberaniannya lagi, “Oke Alisya… jangan khawatir, paling Susi hanya nanya barang-barang yang dia butuhkan atau hal sepele lainnya… uhhh oke aku akan play sekarang.” Lirih Alisya kemudian menekan gambar play.“Aahh... mas,

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 55 – Malam Pertama di Jakarta

    Koper beroda kecil berderit mengikuti langkah Alisya begitu ia melangkah keluar dari gerbang stasiun Gambir. Lampu-lampu kota Jakarta menyilaukan matanya, lalu lintas padat membuatnya sejenak terdiam. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debar jantung yang masih belum reda sejak meninggalkan rumah tadi pagi.“Jakarta…” bisiknya, seakan meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia benar-benar ada di sini.Sebuah taksi berhenti di hadapannya. Sopir membuka kaca jendela. “Mau ke mana, Mbak?”“Hotel Bintang Utama, Pak,” jawab Alisya pelan sambil memasukkan kopernya ke bagasi.Sepanjang perjalanan, Alisya hanya diam. Matanya menatap keluar jendela, melihat gedung-gedung tinggi menjulang, papan reklame berkelap-kelip, dan orang-orang berjalan cepat di trotoar. Semuanya terasa asing, berbeda jauh dengan kota kecil tempat ia biasa tinggal.Pikirannya melayang ke rumah—ke Dhimas, ke ibu mertua, dan terutama ke pesan Susi yang masuk terakhir sebelum kereta berangkat. “Aku di sini bakal neme

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 54. Keberangkatan

    Pagi itu rumah masih sunyi ketika Alisya menarik koper kecilnya keluar kamar. Jantungnya berdetak kencang, seakan setiap langkah menuju pintu membawa beban yang semakin berat. Tangannya menggenggam gagang koper erat-erat, sementara matanya melirik ke arah ruang tamu, tempat ibu mertua sudah duduk sejak subuh, dengan wajah masam dan tatapan yang sulit ditebak.“Sya, jadi kamu tetap berangkat ke Jakarta?” suara ibu mertua terdengar tajam.Alisya berhenti sejenak, lalu menoleh. “Iya, Bu. Saya harus berangkat hari ini, tiket sudah dibelikan pihak kampus.”Ibu mertua menghela napas panjang, seolah setiap hembusan adalah bentuk protes. “Hmmm… kalau istri orang lain, pasti mikir seribu kali sebelum ninggalin suaminya. Tapi kamu? Baru juga nikah, udah sibuk kerja ke luar kota.”Alisya menunduk, mencoba menahan gejolak di dadanya. “Saya sudah bicara dengan Mas Dhimas, Bu. Beliau sudah izinkan…”“Ya, kamu sudah bilang kemarin, tapi tetap saja Dhimas itu terlalu nurut sama kamu! Nanti kalau ada

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 53. Persiapan Keberangkatan

    Pagi itu udara kampus masih terasa sejuk. Langit biru terang membentang, dihiasi awan tipis yang bergerak pelan. Alisya melangkah masuk ke gedung administrasi dengan langkah mantap, meski dalam hati ada kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia baru saja mendapat izin dari Dhimas untuk pergi ke Jakarta, dan kini saatnya menyampaikan keputusan itu kepada rektor.Di depan ruang rektor, ia sempat berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sambil merapikan kerah bajunya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut, tapi karena kesadaran bahwa keberangkatan ini akan mengubah ritme hidupnya untuk sementara waktu.Ia mengetuk pintu. “Masuk,” suara berat rektor terdengar dari dalam.Alisya membuka pintu pelan. Rektor, pria paruh baya dengan kacamata bulat, menoleh sambil tersenyum kecil. “Silakan duduk, Alisya. Jadi bagaimana keputusanmu?”Alisya duduk, merapatkan tangannya di pangkuan. “Pak, saya sudah berbicara dengan suami saya. Beliau setuju k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status