Home / Rumah Tangga / Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi / Bab 5 – Dikenalkan ke Orang Tua Dhimas

Share

Bab 5 – Dikenalkan ke Orang Tua Dhimas

last update Last Updated: 2025-07-29 19:00:30

Warung makan sederhana di sudut jalan itu penuh dengan aroma gurih tumisan bawang dan wangi sate yang baru dibakar. Lampu kuning remang-remang membuat suasana terasa hangat.

Alisya duduk di kursi kayu, jemarinya memainkan sendok sambil menunggu pesanan. Di depannya, Dhimas sedang meneliti menu, meski ia sebenarnya sudah memesan sejak tadi.

“Aku suka tempat ini,” kata Dhimas sambil meliriknya. “Nggak terlalu ramai, tapi makanannya enak banget. Cocok buat kita yang mau ngobrol lama-lama.”

Alisya tersenyum tipis. “Kamu sering ke sini?”

“Sering. Biasanya sama teman kerja. Tapi kali ini spesial, soalnya aku bawa calon istriku,” jawabnya sambil terkekeh.

Pipi Alisya terasa panas. “Belum jadi calon istri juga…”

“Ah, nanti juga jadi,” potong Dhimas santai. “Tinggal tunggu waktunya.”

Pelayan datang membawa dua porsi nasi goreng kambing dan segelas es jeruk untuk Alisya. Mereka mulai makan, sambil sesekali berbagi cerita tentang hari itu.

Suara riuh pedagang sate di luar berpadu dengan obrolan pengunjung lain. Tapi di meja mereka, semua terasa tenang — setidaknya sampai ponsel Dhimas berdering.

Nama yang muncul di layar membuat Alisya otomatis menoleh: "Mama".

Dhimas tersenyum kecil, lalu mengangkat video call itu. “Halo, Ma.”

Wajah seorang wanita paruh baya muncul di layar. Rambutnya disanggul sederhana, alisnya tipis tapi tegas, dan matanya menyapu cepat ke arah Dhimas, lalu berhenti ketika melihat Alisya di seberang meja.

“Itu siapa?” tanya sang ibu, suaranya agak keras meski jarak mereka hanya dipisahkan oleh layar.

Dhimas memutar kamera ke arah Alisya. “Ini, Ma. Namanya Alisya. Teman dekat.”

“Teman dekat?” sang ibu mengulang, dengan nada yang entah kenapa terdengar seperti mengukur. “Kerja apa dia?”

Alisya tersenyum kaku. “Saya kerja di universitas, Bu. Bagian administrasi.”

Sang ibu mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis — senyum yang entah tulus atau sekadar formalitas. “Ya sudah, jaga diri baik-baik. Jangan cuma main-main, Mas Dhimas. Mama nggak mau lihat kamu buang waktu.”

Alisya menunduk sedikit, berusaha tetap sopan. Tapi hatinya mulai merasa ada sesuatu di balik kalimat itu.

“Ya, Ma. Doakan aja,” jawab Dhimas cepat. “Oke, nanti aku telepon lagi di rumah.”

Setelah panggilan berakhir, Alisya memandang Dhimas. “Mamamu… kelihatan tegas, ya.”

Dhimas tertawa kecil. “Iya, memang. Dia sayang banget sama aku, jadi agak protektif. Jangan diambil hati, ya. Nanti kalau udah kenal, Mama bakal sayang banget sama kamu.”

Alisya mengangguk, mencoba menghapus kesan aneh yang tadi ia rasakan. Tapi dalam hatinya, suara ibu Dhimas yang tegas itu masih bergema.

Dhimas lalu menyodorkan sepotong sate ke piring Alisya. “Nih, coba. Enak banget, dijamin kamu bakal ketagihan. Biar nggak tegang hehe…”

Alisya tertawa kecil, menerima potongan sate itu. “Kamu selalu tahu cara bikin suasana cair.”

“Itu tugas calon suami,” balas Dhimas sambil berkedip.

“Mulai – mulai gombalnya”

“Aku serius tahu…”

Obrolan pun kembali ringan, meski jauh di dalam hati Alisya, ada sedikit rasa yang tak bisa ia jelaskan — seperti awan tipis yang pelan-pelan menutupi langit cerah.

Alisya menyendok nasi gorengnya pelan, mencoba menikmati aroma rempah yang wangi. Tapi pikirannya belum lepas dari suara ibu Dhimas di telepon tadi. Nada bicara itu… entah kenapa terasa dingin, seperti menimbang-nimbang dan belum memutuskan apakah akan menerima dirinya.

Dhimas memperhatikan wajahnya. “Kok diem?” tanyanya sambil mengunyah pelan.

“Nggak apa-apa,” jawab Alisya cepat.

“Masa nggak apa-apa? Tadi pas Mama telepon kamu jadi lebih pendiem,” Dhimas mencondongkan tubuh, suaranya menurun, “Sya, Mama memang begitu. Tegas. Tapi itu cuma di awal.”

Alisya memaksakan senyum. “Aku ngerti kok.”

Dhimas menghela napas panjang, lalu meraih tangan Alisya di atas meja. Sentuhan hangat itu membuatnya sedikit terkejut. “Denger ya, aku yang milih kamu. Nggak ada yang bisa ubah keputusan itu, termasuk Mama.”

Tatapan Dhimas begitu intens, membuat Alisya merasa seperti sedang dihipnotis. Ada kepercayaan yang mengalir begitu saja lewat tatapan itu, membuatnya ingin percaya tanpa ragu.

“Aku nggak mau kamu overthinking cuma gara-gara satu telepon,” lanjut Dhimas. “Aku udah lihat banyak cewek, tapi nggak ada yang bikin aku pengin serius kecuali kamu.”

Ucapan itu membuat hati Alisya berdebar. “Kenapa aku?” tanyanya, setengah bercanda, setengah ingin tahu sungguh-sungguh.

Dhimas menyandarkan punggungnya ke kursi, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. “Karena kamu beda. Cewek lain gampang banget aku ajak jalan, gampang diajak… ya, kamu tahu lah. Tapi kamu? Dari pertama kali ketemu, kamu nggak langsung jatuh ke pelukan aku. Itu bikin aku penasaran, Sya. Dan makin lama, aku sadar… aku nggak cuma penasaran, aku butuh kamu.”

Alisya merasakan darahnya mengalir cepat. Kalimat itu seperti menghapus keraguan yang tadi menempel di pikirannya.

“Kamu tau nggak?” Dhimas mencondongkan tubuh lagi, suaranya lebih lembut, “Aku udah mikirin, kalau kita nikah, aku nggak akan biarin kamu kerja terlalu capek. Kamu bisa pilih mau lanjut kerja atau nggak. Yang penting kamu bahagia.”

Alisya tersenyum malu. “Aku belum mikir sampai sejauh itu.”

“Makanya mulai sekarang mikir. Aku serius, Sya. Bulan depan aku mau bawa keluargaku resmi ke rumah kamu. Kita lamaran. Aku nggak mau buang waktu.”

Ucapan itu membuat Alisya terdiam. Lamaran. Kata itu terasa besar dan berat, tapi juga manis di telinga.

“Buru-buru banget?” tanyanya pelan.

Dhimas tertawa kecil. “Orang kalau udah nemu yang cocok, buat apa nunggu lama? Lagian…” ia menatap Alisya dalam-dalam, “aku nggak mau kamu diambil orang.”

Kalimat itu menimbulkan dua rasa yang bertolak belakang dalam hati Alisya: rasa terharu karena merasa diinginkan, dan rasa cemas karena Dhimas seolah tak memberi ruang untuk mempertimbangkan.

Mereka melanjutkan makan, tapi pembicaraan terus mengalir. Dhimas menceritakan rencananya setelah menikah, kemana mereka akan berbulan madu, bahkan seperti apa rumah yang ia inginkan.

“Rumah kecil aja, yang penting nyaman. Ada halaman belakang, biar kamu bisa tanam bunga atau sayur. Kamu suka kan?”

Alisya mengangguk sambil tersenyum. Ia membayangkan gambaran itu, dan tanpa sadar mulai merasa hangat di dalam dada.

Usai makan, mereka duduk sebentar sambil menunggu hujan gerimis reda. Suasana warung mulai sepi. Hanya tersisa mereka dan pasangan tua di pojok lain.

Dhimas meraih ponselnya, memutar sebuah lagu pelan-pelan. “Ini lagu yang aku dengerin tiap kali kangen kamu,” katanya.

Alisya terkekeh. “Baru kenal nggak lama, udah sering kangen?”

“Ya, tiap nggak liat kamu beberapa jam aja, aku udah kangen. Gimana nanti kalau kita nikah terus aku dinas luar kota?”

“Ya kan ada telepon, video call…”

Dhimas menggeleng. “Nggak cukup. Aku pengen kamu di dekat aku setiap saat.”

Nada itu manis, tapi di telinga Alisya ada sedikit nada posesif yang samar. Ia tidak membantah, hanya tersenyum dan mengalihkan pandangan ke luar jendela.

Gerimis mulai reda. Dhimas berdiri, membayar makanan, lalu memegang tangan Alisya saat keluar dari warung. “Ayo, aku antar pulang.”

Alisya menatap tangan mereka yang saling menggenggam. Ada sesuatu yang nyaman, tapi juga menakutkan — rasa yang belum bisa ia jelaskan, dan mungkin, belum berani ia pahami.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 58. Berduaan

    POV DhimasSiang itu, setelah memastikan ibunya naik kereta dengan selamat, Dhimas tidak langsung menuju kantor. Ia menarik napas panjang, menyalakan motor, lalu tersenyum kecil. Hari ini akan jadi milikku dan Susi.Bukan rahasia lagi, sejak awal ia sudah tertarik pada anak dari sahabat mamanya itu. Bukan karena kebaikan hati atau sikapnya, tapi karena tubuh Susi yang montok, wajah manis yang selalu dihiasi make-up tipis, dan sikap manja yang sulit diabaikan.Begitu sampai di rumah, Dhimas langsung menjatuhkan tubuh ke sofa, lalu mengirim pesan singkat ke atasannya: Pak, izin nggak masuk. Lagi drop, kepala pusing banget.Tak lama, Susi keluar dari kamarnya, masih dengan kaus ketat berwarna biru muda dan celana pendek. Rambutnya diikat tinggi, membuat wajahnya semakin segar.“Mas Dhimas, kok udah pulang? Bukannya tadi bilang mau langsung ke kantor?” tanyanya sambil berjalan mendekat, suaranya terdengar lembut namun penuh nada manja.Dhimas menghela napas panjang, sengaja terdengar lema

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 57 – Senyum di Balik Sarapan

    Pov : DhimasPagi itu, aroma sayur asem dan gorengan hangat memenuhi ruang makan. Dhimas duduk dengan santai di kursi ujung meja, seragam polisinya sudah rapi, siap berangkat tugas setelah sarapan. Sementara ibunya duduk di samping kanan, wajahnya terlihat sedikit cemas namun tetap tegas. Susi, dengan gaun rumah berwarna pastel yang melekat manis pada tubuhnya, mondar-mandir membawa piring tambahan ke meja.“Mas Dhimas, tambah tempe goreng?” tanya Susi dengan suara lembut, senyum tipis tersungging di bibirnya.Dhimas melirik sekilas. “Boleh,” jawabnya singkat, namun pandangannya sempat menahan detik lebih lama pada wajah Susi. Ada sesuatu yang berbeda dari tatapan matanya pagi ini, lebih hidup, lebih berani.Ibunya berdeham, menarik perhatian. “Mas…,” panggilnya, lalu meletakkan sendok di atas piring. “Hari ini ibu harus pulang ke kampung dulu. Adikmu yang bungsu sakit. Ibu ng

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 56 – Pertemuan yang Tak Terduga

    Pagi itu, Alisya mengenakan blazer khaki dan kemeja putih rapi. Di ruang pertemuan kampus Jakarta, ia duduk bersama para staf yang menyambutnya dengan hangat. Berkas-berkas kerja sama ditumpuk rapi di meja. Meskipun dadanya sempat ciut, Alisya berusaha menampilkan wajah profesional.“Terima kasih sudah datang jauh-jauh ke sini, Bu Alisya,” ujar seorang dosen senior. “Kami percaya kerja sama ini akan berjalan lancar dengan bantuan Anda.”Alisya tersenyum sopan. “Sama-sama, Pak. Saya juga akan berusaha maksimal.”Pertemuan itu berlangsung lebih dari dua jam. Begitu selesai, Alisya menghela napas panjang. Ada rasa lega, tapi juga lelah. Saat menatap ponselnya, Alisya menghela nafas panjang. Sebuah pesan voice note dari Susi sejak malam belum ia play.Alisya mengumpulkan keberaniannya lagi, “Oke Alisya… jangan khawatir, paling Susi hanya nanya barang-barang yang dia butuhkan atau hal sepele lainnya… uhhh oke aku akan play sekarang.” Lirih Alisya kemudian menekan gambar play.“Aahh... mas,

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 55 – Malam Pertama di Jakarta

    Koper beroda kecil berderit mengikuti langkah Alisya begitu ia melangkah keluar dari gerbang stasiun Gambir. Lampu-lampu kota Jakarta menyilaukan matanya, lalu lintas padat membuatnya sejenak terdiam. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debar jantung yang masih belum reda sejak meninggalkan rumah tadi pagi.“Jakarta…” bisiknya, seakan meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia benar-benar ada di sini.Sebuah taksi berhenti di hadapannya. Sopir membuka kaca jendela. “Mau ke mana, Mbak?”“Hotel Bintang Utama, Pak,” jawab Alisya pelan sambil memasukkan kopernya ke bagasi.Sepanjang perjalanan, Alisya hanya diam. Matanya menatap keluar jendela, melihat gedung-gedung tinggi menjulang, papan reklame berkelap-kelip, dan orang-orang berjalan cepat di trotoar. Semuanya terasa asing, berbeda jauh dengan kota kecil tempat ia biasa tinggal.Pikirannya melayang ke rumah—ke Dhimas, ke ibu mertua, dan terutama ke pesan Susi yang masuk terakhir sebelum kereta berangkat. “Aku di sini bakal neme

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 54. Keberangkatan

    Pagi itu rumah masih sunyi ketika Alisya menarik koper kecilnya keluar kamar. Jantungnya berdetak kencang, seakan setiap langkah menuju pintu membawa beban yang semakin berat. Tangannya menggenggam gagang koper erat-erat, sementara matanya melirik ke arah ruang tamu, tempat ibu mertua sudah duduk sejak subuh, dengan wajah masam dan tatapan yang sulit ditebak.“Sya, jadi kamu tetap berangkat ke Jakarta?” suara ibu mertua terdengar tajam.Alisya berhenti sejenak, lalu menoleh. “Iya, Bu. Saya harus berangkat hari ini, tiket sudah dibelikan pihak kampus.”Ibu mertua menghela napas panjang, seolah setiap hembusan adalah bentuk protes. “Hmmm… kalau istri orang lain, pasti mikir seribu kali sebelum ninggalin suaminya. Tapi kamu? Baru juga nikah, udah sibuk kerja ke luar kota.”Alisya menunduk, mencoba menahan gejolak di dadanya. “Saya sudah bicara dengan Mas Dhimas, Bu. Beliau sudah izinkan…”“Ya, kamu sudah bilang kemarin, tapi tetap saja Dhimas itu terlalu nurut sama kamu! Nanti kalau ada

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 53. Persiapan Keberangkatan

    Pagi itu udara kampus masih terasa sejuk. Langit biru terang membentang, dihiasi awan tipis yang bergerak pelan. Alisya melangkah masuk ke gedung administrasi dengan langkah mantap, meski dalam hati ada kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia baru saja mendapat izin dari Dhimas untuk pergi ke Jakarta, dan kini saatnya menyampaikan keputusan itu kepada rektor.Di depan ruang rektor, ia sempat berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sambil merapikan kerah bajunya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut, tapi karena kesadaran bahwa keberangkatan ini akan mengubah ritme hidupnya untuk sementara waktu.Ia mengetuk pintu. “Masuk,” suara berat rektor terdengar dari dalam.Alisya membuka pintu pelan. Rektor, pria paruh baya dengan kacamata bulat, menoleh sambil tersenyum kecil. “Silakan duduk, Alisya. Jadi bagaimana keputusanmu?”Alisya duduk, merapatkan tangannya di pangkuan. “Pak, saya sudah berbicara dengan suami saya. Beliau setuju k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status