Warung makan sederhana di sudut jalan itu penuh dengan aroma gurih tumisan bawang dan wangi sate yang baru dibakar. Lampu kuning remang-remang membuat suasana terasa hangat.
Alisya duduk di kursi kayu, jemarinya memainkan sendok sambil menunggu pesanan. Di depannya, Dhimas sedang meneliti menu, meski ia sebenarnya sudah memesan sejak tadi.
“Aku suka tempat ini,” kata Dhimas sambil meliriknya. “Nggak terlalu ramai, tapi makanannya enak banget. Cocok buat kita yang mau ngobrol lama-lama.”
Alisya tersenyum tipis. “Kamu sering ke sini?”
“Sering. Biasanya sama teman kerja. Tapi kali ini spesial, soalnya aku bawa calon istriku,” jawabnya sambil terkekeh.
Pipi Alisya terasa panas. “Belum jadi calon istri juga…”
“Ah, nanti juga jadi,” potong Dhimas santai. “Tinggal tunggu waktunya.”
Pelayan datang membawa dua porsi nasi goreng kambing dan segelas es jeruk untuk Alisya. Mereka mulai makan, sambil sesekali berbagi cerita tentang hari itu.
Suara riuh pedagang sate di luar berpadu dengan obrolan pengunjung lain. Tapi di meja mereka, semua terasa tenang — setidaknya sampai ponsel Dhimas berdering.
Nama yang muncul di layar membuat Alisya otomatis menoleh: "Mama".
Dhimas tersenyum kecil, lalu mengangkat video call itu. “Halo, Ma.”
Wajah seorang wanita paruh baya muncul di layar. Rambutnya disanggul sederhana, alisnya tipis tapi tegas, dan matanya menyapu cepat ke arah Dhimas, lalu berhenti ketika melihat Alisya di seberang meja.
“Itu siapa?” tanya sang ibu, suaranya agak keras meski jarak mereka hanya dipisahkan oleh layar.
Dhimas memutar kamera ke arah Alisya. “Ini, Ma. Namanya Alisya. Teman dekat.”
“Teman dekat?” sang ibu mengulang, dengan nada yang entah kenapa terdengar seperti mengukur. “Kerja apa dia?”
Alisya tersenyum kaku. “Saya kerja di universitas, Bu. Bagian administrasi.”
Sang ibu mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis — senyum yang entah tulus atau sekadar formalitas. “Ya sudah, jaga diri baik-baik. Jangan cuma main-main, Mas Dhimas. Mama nggak mau lihat kamu buang waktu.”
Alisya menunduk sedikit, berusaha tetap sopan. Tapi hatinya mulai merasa ada sesuatu di balik kalimat itu.
“Ya, Ma. Doakan aja,” jawab Dhimas cepat. “Oke, nanti aku telepon lagi di rumah.”
Setelah panggilan berakhir, Alisya memandang Dhimas. “Mamamu… kelihatan tegas, ya.”
Dhimas tertawa kecil. “Iya, memang. Dia sayang banget sama aku, jadi agak protektif. Jangan diambil hati, ya. Nanti kalau udah kenal, Mama bakal sayang banget sama kamu.”
Alisya mengangguk, mencoba menghapus kesan aneh yang tadi ia rasakan. Tapi dalam hatinya, suara ibu Dhimas yang tegas itu masih bergema.
Dhimas lalu menyodorkan sepotong sate ke piring Alisya. “Nih, coba. Enak banget, dijamin kamu bakal ketagihan. Biar nggak tegang hehe…”
Alisya tertawa kecil, menerima potongan sate itu. “Kamu selalu tahu cara bikin suasana cair.”
“Itu tugas calon suami,” balas Dhimas sambil berkedip.
“Mulai – mulai gombalnya”
“Aku serius tahu…”
Obrolan pun kembali ringan, meski jauh di dalam hati Alisya, ada sedikit rasa yang tak bisa ia jelaskan — seperti awan tipis yang pelan-pelan menutupi langit cerah.
Alisya menyendok nasi gorengnya pelan, mencoba menikmati aroma rempah yang wangi. Tapi pikirannya belum lepas dari suara ibu Dhimas di telepon tadi. Nada bicara itu… entah kenapa terasa dingin, seperti menimbang-nimbang dan belum memutuskan apakah akan menerima dirinya.
Dhimas memperhatikan wajahnya. “Kok diem?” tanyanya sambil mengunyah pelan.
“Nggak apa-apa,” jawab Alisya cepat.
“Masa nggak apa-apa? Tadi pas Mama telepon kamu jadi lebih pendiem,” Dhimas mencondongkan tubuh, suaranya menurun, “Sya, Mama memang begitu. Tegas. Tapi itu cuma di awal.”
Alisya memaksakan senyum. “Aku ngerti kok.”
Dhimas menghela napas panjang, lalu meraih tangan Alisya di atas meja. Sentuhan hangat itu membuatnya sedikit terkejut. “Denger ya, aku yang milih kamu. Nggak ada yang bisa ubah keputusan itu, termasuk Mama.”
Tatapan Dhimas begitu intens, membuat Alisya merasa seperti sedang dihipnotis. Ada kepercayaan yang mengalir begitu saja lewat tatapan itu, membuatnya ingin percaya tanpa ragu.
“Aku nggak mau kamu overthinking cuma gara-gara satu telepon,” lanjut Dhimas. “Aku udah lihat banyak cewek, tapi nggak ada yang bikin aku pengin serius kecuali kamu.”
Ucapan itu membuat hati Alisya berdebar. “Kenapa aku?” tanyanya, setengah bercanda, setengah ingin tahu sungguh-sungguh.
Dhimas menyandarkan punggungnya ke kursi, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. “Karena kamu beda. Cewek lain gampang banget aku ajak jalan, gampang diajak… ya, kamu tahu lah. Tapi kamu? Dari pertama kali ketemu, kamu nggak langsung jatuh ke pelukan aku. Itu bikin aku penasaran, Sya. Dan makin lama, aku sadar… aku nggak cuma penasaran, aku butuh kamu.”
Alisya merasakan darahnya mengalir cepat. Kalimat itu seperti menghapus keraguan yang tadi menempel di pikirannya.
“Kamu tau nggak?” Dhimas mencondongkan tubuh lagi, suaranya lebih lembut, “Aku udah mikirin, kalau kita nikah, aku nggak akan biarin kamu kerja terlalu capek. Kamu bisa pilih mau lanjut kerja atau nggak. Yang penting kamu bahagia.”
Alisya tersenyum malu. “Aku belum mikir sampai sejauh itu.”
“Makanya mulai sekarang mikir. Aku serius, Sya. Bulan depan aku mau bawa keluargaku resmi ke rumah kamu. Kita lamaran. Aku nggak mau buang waktu.”
Ucapan itu membuat Alisya terdiam. Lamaran. Kata itu terasa besar dan berat, tapi juga manis di telinga.
“Buru-buru banget?” tanyanya pelan.
Dhimas tertawa kecil. “Orang kalau udah nemu yang cocok, buat apa nunggu lama? Lagian…” ia menatap Alisya dalam-dalam, “aku nggak mau kamu diambil orang.”
Kalimat itu menimbulkan dua rasa yang bertolak belakang dalam hati Alisya: rasa terharu karena merasa diinginkan, dan rasa cemas karena Dhimas seolah tak memberi ruang untuk mempertimbangkan.
Mereka melanjutkan makan, tapi pembicaraan terus mengalir. Dhimas menceritakan rencananya setelah menikah, kemana mereka akan berbulan madu, bahkan seperti apa rumah yang ia inginkan.
“Rumah kecil aja, yang penting nyaman. Ada halaman belakang, biar kamu bisa tanam bunga atau sayur. Kamu suka kan?”
Alisya mengangguk sambil tersenyum. Ia membayangkan gambaran itu, dan tanpa sadar mulai merasa hangat di dalam dada.
Usai makan, mereka duduk sebentar sambil menunggu hujan gerimis reda. Suasana warung mulai sepi. Hanya tersisa mereka dan pasangan tua di pojok lain.
Dhimas meraih ponselnya, memutar sebuah lagu pelan-pelan. “Ini lagu yang aku dengerin tiap kali kangen kamu,” katanya.
Alisya terkekeh. “Baru kenal nggak lama, udah sering kangen?”
“Ya, tiap nggak liat kamu beberapa jam aja, aku udah kangen. Gimana nanti kalau kita nikah terus aku dinas luar kota?”
“Ya kan ada telepon, video call…”
Dhimas menggeleng. “Nggak cukup. Aku pengen kamu di dekat aku setiap saat.”
Nada itu manis, tapi di telinga Alisya ada sedikit nada posesif yang samar. Ia tidak membantah, hanya tersenyum dan mengalihkan pandangan ke luar jendela.
Gerimis mulai reda. Dhimas berdiri, membayar makanan, lalu memegang tangan Alisya saat keluar dari warung. “Ayo, aku antar pulang.”
Alisya menatap tangan mereka yang saling menggenggam. Ada sesuatu yang nyaman, tapi juga menakutkan — rasa yang belum bisa ia jelaskan, dan mungkin, belum berani ia pahami.
Langit sore itu berwarna jingga pucat, seperti permen kapas yang memudar. Alisya berdiri di depan gerbang universitas, menunggu ojek online yang sudah ia pesan. Ia tak mengira Dhimas tiba-tiba muncul dengan motornya, menghentikan laju tepat di depannya.“Naik. Aku jemput,” ucapnya singkat, melepas helm dan menyodorkannya.Alisya sempat ragu. “Aku udah pesen ojek, Mas.”“Cancel. Aku mau antar kamu sendiri.” Nada suaranya tegas, tapi bibirnya tersungging senyum tipis.Alisya menghela napas, lalu mengeluarkan ponselnya untuk membatalkan pesanan. “Ya udah…”Begitu ia duduk di jok belakang, Dhimas segera memacu motor keluar dari halaman kampus. Angin sore menyapu wajah Alisya, tapi tak cukup untuk menghilangkan rasa heran yang menggelayut.“Kok tiba-tiba jemput? Kan biasanya kamu lagi dinas jam segini.”“Aku ada waktu. Lagian, aku nggak tenang kalau kamu pulang sendir
Sore itu, rumah Alisya terasa lebih hangat dari biasanya. Bau masakan ibunya masih menggantung di udara, bercampur aroma kopi yang baru saja diseduh. Ia duduk di ruang tamu, memandangi jam dinding yang jarumnya seolah bergerak lebih lambat dari biasanya.Dhimas bilang akan datang pukul empat, tapi sejak pukul tiga Alisya sudah gelisah. Bukan karena takut, melainkan perasaan aneh yang muncul setiap kali ia memikirkan pertemuan ini. Hari ini, Dhimas akan bicara dengan orang tuanya soal lamaran.Suara ketukan pintu memecah lamunannya. Ayahnya yang baru saja keluar dari kamar menghampiri pintu dan membukanya.“Assalamualaikum, Pak,” sapa Dhimas dengan senyum lebar, seragam polisinya rapi, rambutnya tersisir licin.“Waalaikumussalam,” jawab ayahnya sambil menyambut hangat. “Masuk, Mas Dhimas.”Alisya berdiri dari sofa, menatapnya sejenak. Dhimas melirik, senyum itu seolah langsung terarah padanya. “Sya,” panggilnya pelan.Ia membalas senyum tipis, lalu mempersilakan duduk. Ibunya datang me
Suara sendok beradu pelan dengan gelas es lemon tea di hadapanku, bercampur dengan denting musik jazz yang mengalun lembut di kafe kecil ini. Aroma kopi dan roti bakar menguar, membuat suasana sore terasa hangat. Dhimas duduk di seberang, masih dengan seragam polisinya yang rapi. Ia memang sengaja menjemputku sepulang kerja tadi, katanya ingin “menghabiskan waktu berdua tanpa gangguan”.Alisya tersenyum tipis sambil mengaduk minumannya. “Kamu mau pesan lagi? Kayaknya tadi kamu cuma makan setengah porsi.”“Nggak usah. Aku lebih kenyang lihat kamu,” jawabnya santai, seperti biasa dengan tatapan yang membuat pipiku terasa hangat.Alisya memutar bola mata, pura-pura tak terpengaruh. “Gombal.”Kami berbicara ringan, membahas pekerjaan Alisya di bagian administrasi universitas dan tugas-tugas Dhimas di lapangan. Obrolan terasa mengalir, sampai perutku memberi sinyal. “Eh, aku ke toilet sebentar, ya,” kata Alisya sambil menaruh ponsel di meja, di sebelah gelas minumannya.Dhimas hanya mengan
Suara deru angkot yang berlalu meninggalkan debu tipis di udara. Alisya turun pelan-pelan, merapikan tas kerjanya yang tergantung di bahu. Sore itu, tubuhnya terasa letih setelah seharian berkutat di meja administrasi kampus, mengurus dokumen-dokumen yang seolah tak pernah habis. Ia sudah membayangkan duduk santai di kamarnya sambil menyeruput hot chocolate kesukaannya.Namun langkahnya terhenti di depan gerbang rumah. Di halaman, terparkir mobil hitam mengilap yang jelas bukan milik siapa pun di keluarganya. Mobil itu tampak mahal, modelnya terbaru, dengan pelat nomor luar kota.Alisya mengerutkan dahi. Siapa tamu ini?Pagar rumah setengah terbuka. Ia melangkah pelan, tapi belum berani masuk. Saat ia mendekat, samar-samar terdengar suara tawa ayahnya dari ruang tamu. Disusul suara ibunya, lebih lembut daripada biasanya.Dan lalu—suara pria asing. Suara yang berat, tenang, namun entah kenapa terdengar akrab di telinganya.“Ayah dan Ibu sudah tahu alasan saya datang. Saya ingin melamar
Langit sore mulai berwarna oranye keemasan ketika Alisya berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan rambutnya untuk kesekian kali. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena udara yang dingin, tapi karena jantungnya berdebar terlalu kencang.Hari ini, untuk pertama kalinya, Dhimas akan datang ke rumahnya. Bukan sekadar menjemput atau mengantar pulang, tapi benar-benar masuk, duduk, dan berbicara langsung dengan orang tuanya.Ia memilih blus putih sederhana dipadu celana kain biru tua. Riasannya tipis, hanya sedikit bedak dan lipstik nude. Ia ingin terlihat rapi tapi tidak berlebihan.Dari jendela kamar, ia bisa melihat halaman rumahnya yang mungil. Ayahnya sudah pulang dari kantor, duduk di kursi teras sambil menyeruput teh. Ibunya mondar-mandir dari dapur, membawa piring dan gelas ke ruang tamu.Suara motor berhenti di depan pagar membuat Alisya refleks menoleh. Dari balik kaca jendela, ia melihat Dhimas turun dari motornya dengan kemeja biru lengan panjang yang digulung rapi sampai si
Warung makan sederhana di sudut jalan itu penuh dengan aroma gurih tumisan bawang dan wangi sate yang baru dibakar. Lampu kuning remang-remang membuat suasana terasa hangat.Alisya duduk di kursi kayu, jemarinya memainkan sendok sambil menunggu pesanan. Di depannya, Dhimas sedang meneliti menu, meski ia sebenarnya sudah memesan sejak tadi.“Aku suka tempat ini,” kata Dhimas sambil meliriknya. “Nggak terlalu ramai, tapi makanannya enak banget. Cocok buat kita yang mau ngobrol lama-lama.”Alisya tersenyum tipis. “Kamu sering ke sini?”“Sering. Biasanya sama teman kerja. Tapi kali ini spesial, soalnya aku bawa calon istriku,” jawabnya sambil terkekeh.Pipi Alisya terasa panas. “Belum jadi calon istri juga…”“Ah, nanti juga jadi,” potong Dhimas santai. “Tinggal tunggu waktunya.”Pelayan datang membawa dua porsi nasi goreng kambing dan segelas es jeruk untuk Alisya. Mereka mulai makan, sambil sesekali berbagi cerita tentang hari itu.Suara riuh pedagang sate di luar berpadu dengan obrolan