Home / Rumah Tangga / Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi / Bab 6 – Langkah Pertama ke Rumah

Share

Bab 6 – Langkah Pertama ke Rumah

last update Last Updated: 2025-07-30 20:00:54

Langit sore mulai berwarna oranye keemasan ketika Alisya berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan rambutnya untuk kesekian kali. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena udara yang dingin, tapi karena jantungnya berdebar terlalu kencang.

Hari ini, untuk pertama kalinya, Dhimas akan datang ke rumahnya. Bukan sekadar menjemput atau mengantar pulang, tapi benar-benar masuk, duduk, dan berbicara langsung dengan orang tuanya.

Ia memilih blus putih sederhana dipadu celana kain biru tua. Riasannya tipis, hanya sedikit bedak dan lipstik nude. Ia ingin terlihat rapi tapi tidak berlebihan.

Dari jendela kamar, ia bisa melihat halaman rumahnya yang mungil. Ayahnya sudah pulang dari kantor, duduk di kursi teras sambil menyeruput teh. Ibunya mondar-mandir dari dapur, membawa piring dan gelas ke ruang tamu.

Suara motor berhenti di depan pagar membuat Alisya refleks menoleh. Dari balik kaca jendela, ia melihat Dhimas turun dari motornya dengan kemeja biru lengan panjang yang digulung rapi sampai siku. Rambutnya yang disisir klimis tampak berkilau terkena cahaya sore.

“Assalamualaikum,” sapa Dhimas sambil tersenyum.

Ayah Alisya menoleh, membalas salamnya, lalu berdiri menyambut. “Waalaikumsalam. Silakan masuk.”

Alisya turun dari kamarnya dengan langkah pelan, mencoba menenangkan diri. Di ruang tamu, ia melihat Dhimas sudah duduk, menyelipkan senyum sopan pada kedua orang tuanya.

“Ibu, ini Dhimas,” ujar Alisya sambil duduk di kursi sebelahnya.

Ibu hanya mengangguk tipis sambil menuang teh ke gelas. “Silakan diminum, Nak.”

“Terima kasih, Bu.” Dhimas menerima gelas itu dengan kedua tangan. “Saya sengaja datang sore ini, Bu, Pak… karena saya ingin lebih dekat dengan keluarga Alisya. Saya serius sama dia, dan saya berharap restu dari Bapak dan Ibu.”

Ucapan itu terdengar mantap, membuat Alisya meliriknya sekilas. Ada rasa bangga sekaligus gugup.

Ayahnya menatap Dhimas lekat-lekat. “Serius itu bagus, Nak. Tapi kamu tahu kan, menikah itu bukan hanya soal dua orang, tapi juga dua keluarga?”

Dhimas mengangguk. “Saya paham, Pak. Saya siap belajar saling menyesuaikan.”

Percakapan berlanjut, sebagian besar berisi tanya jawab seputar pekerjaan Dhimas, keluarganya di kampung, dan rencana ke depan. Dhimas menjawab setiap pertanyaan dengan lancar, seakan ia sudah mempersiapkan semua jawaban itu sebelumnya.

Sesekali, Alisya memandanginya sambil tersenyum. Cara Dhimas berbicara begitu tenang, penuh percaya diri, membuatnya merasa aman.

Tapi di balik itu, ia juga melihat ayahnya beberapa kali saling pandang dengan ibunya. Tatapan yang ia kenal betul — tatapan bertukar pikiran tanpa kata.

Saat pembicaraan sedikit mereda, ibunya bertanya, “Orang tua kamu tahu kamu dekat sama Alisya?”

Dhimas tersenyum. “Tahu, Bu. Bahkan Mama saya sering tanya kapan bisa ketemu.”

“Oh, begitu…” jawab ibunya, suaranya datar.

Suasana sempat terasa hening beberapa detik, sampai Dhimas menoleh pada Alisya. “Kalau begitu, kapan saya boleh ajak Alisya ketemu keluarga saya, Bu, Pak?”

Pertanyaan itu membuat pipi Alisya memanas. Ia menunduk, pura-pura merapikan ujung blusnya.

Ayahnya mengangguk pelan. “Kita lihat nanti. Yang penting, kalian saling mengenal dulu dengan baik.”

Dhimas menerima jawaban itu dengan senyum. “Siap, Pak.”

Ayahnya mulai bercerita sedikit tentang masa kecil Alisya. “Anak ini dari dulu nggak pernah berani dekat sama laki-laki. Baru kali ini bawa teman pria ke rumah.”

Alisya mencubit pelan pahanya sendiri di bawah meja. “Ayah…” protesnya lirih.

Dhimas tersenyum, lalu menatap Alisya singkat. “Berarti saya orang yang beruntung, Pak.”

“Beruntung itu kalau bisa jaga dia baik-baik,” timpal ibunya. Nada suaranya datar, tapi cukup membuat Alisya menunduk.

Dhimas tidak kehilangan senyum. “InsyaAllah, Bu. Itu janji saya.”

Sambil menyeruput teh, Dhimas bercerita sedikit tentang pekerjaannya di kepolisian. Ia mengaku sedang menangani kasus kecil, mengawasi beberapa pos lalu lintas, dan kadang ikut patroli malam.

“Berat nggak kerjanya?” tanya ayahnya.

“Lumayan, Pak. Tapi saya menikmati. Saya suka pekerjaan ini. Saya percaya, melindungi orang adalah bagian dari ibadah.”

Jawaban itu terdengar mulia, membuat Alisya diam-diam kagum. Ia mencuri pandang, mencoba menyimpan momen itu di kepalanya.

Namun, ibunya masih tampak kaku. Ia hanya menanggapi secukupnya, bahkan beberapa kali mengalihkan pembicaraan ke hal lain.

“Kalau sudah menikah, kamu akan tinggal di mana?” tanya ibunya tiba-tiba.

Dhimas melirik Alisya sekilas sebelum menjawab. “Untuk sementara, saya masih kontrak rumah kecil dekat kantor. Kalau Alisya setuju, kita bisa tinggal di sana dulu. Nanti, kalau ada rezeki lebih, baru beli rumah sendiri.”

Jawaban itu terdengar realistis. Ayahnya mengangguk, tetapi ibunya menatap Alisya dengan sorot mata yang sulit dibaca.

“Kontrak rumah kecil itu… dekat jalan raya, ya?” tanya ibunya lagi.

“Iya, Bu.”

Hening sesaat. Lalu ibunya berkata, “Ya sudah, semoga nyaman saja di sana.”

Alisya bisa merasakan ada ketegangan yang tipis namun nyata di udara. Tapi sebelum suasana semakin canggung, Dhimas menoleh padanya dan berkata, “Sya, tadi kamu cerita mau belajar masak sayur asem. Besok-besok aku boleh icip, kan?”

Alisya tersenyum, sedikit lega. “Boleh. Tapi jangan protes kalau rasanya aneh.”

“Kalau kamu yang masak, walau hambar pun aku makan sampai habis.”

Ucapan itu membuat ayahnya tertawa kecil. “Manis sekali bicaranya, Nak.”

Mereka berbincang lagi beberapa menit, tapi topiknya ringan — seputar makanan favorit, hobi, dan pengalaman masa sekolah. Dhimas pandai mengatur ritme percakapan, tahu kapan harus serius dan kapan melontarkan candaan.

Ketika waktu magrib semakin dekat, Dhimas pamit. “Terima kasih banyak sudah menerima saya, Pak, Bu. Semoga kita bisa ketemu lagi dalam suasana yang lebih hangat.”

Di depan pagar, Alisya mengantarnya. Langit sudah mulai gelap, lampu jalan menyala.

“Kamu grogi nggak tadi?” tanya Alisya sambil tersenyum.

Dhimas mengangkat alis. “Sedikit. Tapi aku lebih grogi waktu nunggu kamu turun dari kamar.”

Alisya tertawa pelan. “Kenapa?”

“Soalnya… setiap kali lihat kamu, aku merasa mau bawa kamu ke hidup aku secepat mungkin.”

Kalimat itu membuat dada Alisya berdesir. Ia memandang Dhimas dengan tatapan yang tak bisa ia sembunyikan — tatapan orang yang mulai benar-benar jatuh hati.

“Pulangnya hati-hati, ya,” katanya.

Dhimas mengangguk, lalu mengenakan helm. “Besok aku kabarin. Jangan rindu berat, nanti kamu susah tidur.”

“Dasar…” Alisya menggeleng sambil tersenyum.

Motor Dhimas melaju pergi, meninggalkan suara knalpot yang perlahan memudar. Alisya berdiri di depan pagar beberapa detik lebih lama, menatap jalan yang mulai sepi.

Di dalam rumah, ibunya sudah memanggil. “Lis, tutup pagarnya. Malam-malam jangan kelamaan di luar.”

Alisya masuk, menutup pagar, lalu melepas napas panjang. Ia tak tahu kenapa, tapi hatinya terasa hangat — meski di benaknya, ia juga menyimpan sedikit rasa penasaran pada tatapan ibunya selama pertemuan tadi.

Malam itu, di kamar, ia tersenyum sendiri. Tidak ada yang ia pikirkan selain bagaimana rasanya jika suatu hari nanti Dhimas benar-benar menjadi bagian keluarganya.

Dan ia tidak sadar, bahwa langkah kecil yang ia ambil sore itu… sedang membawanya perlahan ke arah yang sama sekali tak ia duga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 10 – Cemburu yang Menyamar Manis

    Langit sore itu berwarna jingga pucat, seperti permen kapas yang memudar. Alisya berdiri di depan gerbang universitas, menunggu ojek online yang sudah ia pesan. Ia tak mengira Dhimas tiba-tiba muncul dengan motornya, menghentikan laju tepat di depannya.“Naik. Aku jemput,” ucapnya singkat, melepas helm dan menyodorkannya.Alisya sempat ragu. “Aku udah pesen ojek, Mas.”“Cancel. Aku mau antar kamu sendiri.” Nada suaranya tegas, tapi bibirnya tersungging senyum tipis.Alisya menghela napas, lalu mengeluarkan ponselnya untuk membatalkan pesanan. “Ya udah…”Begitu ia duduk di jok belakang, Dhimas segera memacu motor keluar dari halaman kampus. Angin sore menyapu wajah Alisya, tapi tak cukup untuk menghilangkan rasa heran yang menggelayut.“Kok tiba-tiba jemput? Kan biasanya kamu lagi dinas jam segini.”“Aku ada waktu. Lagian, aku nggak tenang kalau kamu pulang sendir

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 9 – Lamaran yang Terencana

    Sore itu, rumah Alisya terasa lebih hangat dari biasanya. Bau masakan ibunya masih menggantung di udara, bercampur aroma kopi yang baru saja diseduh. Ia duduk di ruang tamu, memandangi jam dinding yang jarumnya seolah bergerak lebih lambat dari biasanya.Dhimas bilang akan datang pukul empat, tapi sejak pukul tiga Alisya sudah gelisah. Bukan karena takut, melainkan perasaan aneh yang muncul setiap kali ia memikirkan pertemuan ini. Hari ini, Dhimas akan bicara dengan orang tuanya soal lamaran.Suara ketukan pintu memecah lamunannya. Ayahnya yang baru saja keluar dari kamar menghampiri pintu dan membukanya.“Assalamualaikum, Pak,” sapa Dhimas dengan senyum lebar, seragam polisinya rapi, rambutnya tersisir licin.“Waalaikumussalam,” jawab ayahnya sambil menyambut hangat. “Masuk, Mas Dhimas.”Alisya berdiri dari sofa, menatapnya sejenak. Dhimas melirik, senyum itu seolah langsung terarah padanya. “Sya,” panggilnya pelan.Ia membalas senyum tipis, lalu mempersilakan duduk. Ibunya datang me

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 8 – Chat yang Membakar Api

    Suara sendok beradu pelan dengan gelas es lemon tea di hadapanku, bercampur dengan denting musik jazz yang mengalun lembut di kafe kecil ini. Aroma kopi dan roti bakar menguar, membuat suasana sore terasa hangat. Dhimas duduk di seberang, masih dengan seragam polisinya yang rapi. Ia memang sengaja menjemputku sepulang kerja tadi, katanya ingin “menghabiskan waktu berdua tanpa gangguan”.Alisya tersenyum tipis sambil mengaduk minumannya. “Kamu mau pesan lagi? Kayaknya tadi kamu cuma makan setengah porsi.”“Nggak usah. Aku lebih kenyang lihat kamu,” jawabnya santai, seperti biasa dengan tatapan yang membuat pipiku terasa hangat.Alisya memutar bola mata, pura-pura tak terpengaruh. “Gombal.”Kami berbicara ringan, membahas pekerjaan Alisya di bagian administrasi universitas dan tugas-tugas Dhimas di lapangan. Obrolan terasa mengalir, sampai perutku memberi sinyal. “Eh, aku ke toilet sebentar, ya,” kata Alisya sambil menaruh ponsel di meja, di sebelah gelas minumannya.Dhimas hanya mengan

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 7 – Lamaran dari Masa Lalu

    Suara deru angkot yang berlalu meninggalkan debu tipis di udara. Alisya turun pelan-pelan, merapikan tas kerjanya yang tergantung di bahu. Sore itu, tubuhnya terasa letih setelah seharian berkutat di meja administrasi kampus, mengurus dokumen-dokumen yang seolah tak pernah habis. Ia sudah membayangkan duduk santai di kamarnya sambil menyeruput hot chocolate kesukaannya.Namun langkahnya terhenti di depan gerbang rumah. Di halaman, terparkir mobil hitam mengilap yang jelas bukan milik siapa pun di keluarganya. Mobil itu tampak mahal, modelnya terbaru, dengan pelat nomor luar kota.Alisya mengerutkan dahi. Siapa tamu ini?Pagar rumah setengah terbuka. Ia melangkah pelan, tapi belum berani masuk. Saat ia mendekat, samar-samar terdengar suara tawa ayahnya dari ruang tamu. Disusul suara ibunya, lebih lembut daripada biasanya.Dan lalu—suara pria asing. Suara yang berat, tenang, namun entah kenapa terdengar akrab di telinganya.“Ayah dan Ibu sudah tahu alasan saya datang. Saya ingin melamar

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 6 – Langkah Pertama ke Rumah

    Langit sore mulai berwarna oranye keemasan ketika Alisya berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan rambutnya untuk kesekian kali. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena udara yang dingin, tapi karena jantungnya berdebar terlalu kencang.Hari ini, untuk pertama kalinya, Dhimas akan datang ke rumahnya. Bukan sekadar menjemput atau mengantar pulang, tapi benar-benar masuk, duduk, dan berbicara langsung dengan orang tuanya.Ia memilih blus putih sederhana dipadu celana kain biru tua. Riasannya tipis, hanya sedikit bedak dan lipstik nude. Ia ingin terlihat rapi tapi tidak berlebihan.Dari jendela kamar, ia bisa melihat halaman rumahnya yang mungil. Ayahnya sudah pulang dari kantor, duduk di kursi teras sambil menyeruput teh. Ibunya mondar-mandir dari dapur, membawa piring dan gelas ke ruang tamu.Suara motor berhenti di depan pagar membuat Alisya refleks menoleh. Dari balik kaca jendela, ia melihat Dhimas turun dari motornya dengan kemeja biru lengan panjang yang digulung rapi sampai si

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 5 – Dikenalkan ke Orang Tua Dhimas

    Warung makan sederhana di sudut jalan itu penuh dengan aroma gurih tumisan bawang dan wangi sate yang baru dibakar. Lampu kuning remang-remang membuat suasana terasa hangat.Alisya duduk di kursi kayu, jemarinya memainkan sendok sambil menunggu pesanan. Di depannya, Dhimas sedang meneliti menu, meski ia sebenarnya sudah memesan sejak tadi.“Aku suka tempat ini,” kata Dhimas sambil meliriknya. “Nggak terlalu ramai, tapi makanannya enak banget. Cocok buat kita yang mau ngobrol lama-lama.”Alisya tersenyum tipis. “Kamu sering ke sini?”“Sering. Biasanya sama teman kerja. Tapi kali ini spesial, soalnya aku bawa calon istriku,” jawabnya sambil terkekeh.Pipi Alisya terasa panas. “Belum jadi calon istri juga…”“Ah, nanti juga jadi,” potong Dhimas santai. “Tinggal tunggu waktunya.”Pelayan datang membawa dua porsi nasi goreng kambing dan segelas es jeruk untuk Alisya. Mereka mulai makan, sambil sesekali berbagi cerita tentang hari itu.Suara riuh pedagang sate di luar berpadu dengan obrolan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status