Langit sore mulai berwarna oranye keemasan ketika Alisya berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan rambutnya untuk kesekian kali. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena udara yang dingin, tapi karena jantungnya berdebar terlalu kencang.
Hari ini, untuk pertama kalinya, Dhimas akan datang ke rumahnya. Bukan sekadar menjemput atau mengantar pulang, tapi benar-benar masuk, duduk, dan berbicara langsung dengan orang tuanya.
Ia memilih blus putih sederhana dipadu celana kain biru tua. Riasannya tipis, hanya sedikit bedak dan lipstik nude. Ia ingin terlihat rapi tapi tidak berlebihan.
Dari jendela kamar, ia bisa melihat halaman rumahnya yang mungil. Ayahnya sudah pulang dari kantor, duduk di kursi teras sambil menyeruput teh. Ibunya mondar-mandir dari dapur, membawa piring dan gelas ke ruang tamu.
Suara motor berhenti di depan pagar membuat Alisya refleks menoleh. Dari balik kaca jendela, ia melihat Dhimas turun dari motornya dengan kemeja biru lengan panjang yang digulung rapi sampai siku. Rambutnya yang disisir klimis tampak berkilau terkena cahaya sore.
“Assalamualaikum,” sapa Dhimas sambil tersenyum.
Ayah Alisya menoleh, membalas salamnya, lalu berdiri menyambut. “Waalaikumsalam. Silakan masuk.”
Alisya turun dari kamarnya dengan langkah pelan, mencoba menenangkan diri. Di ruang tamu, ia melihat Dhimas sudah duduk, menyelipkan senyum sopan pada kedua orang tuanya.
“Ibu, ini Dhimas,” ujar Alisya sambil duduk di kursi sebelahnya.
Ibu hanya mengangguk tipis sambil menuang teh ke gelas. “Silakan diminum, Nak.”
“Terima kasih, Bu.” Dhimas menerima gelas itu dengan kedua tangan. “Saya sengaja datang sore ini, Bu, Pak… karena saya ingin lebih dekat dengan keluarga Alisya. Saya serius sama dia, dan saya berharap restu dari Bapak dan Ibu.”
Ucapan itu terdengar mantap, membuat Alisya meliriknya sekilas. Ada rasa bangga sekaligus gugup.
Ayahnya menatap Dhimas lekat-lekat. “Serius itu bagus, Nak. Tapi kamu tahu kan, menikah itu bukan hanya soal dua orang, tapi juga dua keluarga?”
Dhimas mengangguk. “Saya paham, Pak. Saya siap belajar saling menyesuaikan.”
Percakapan berlanjut, sebagian besar berisi tanya jawab seputar pekerjaan Dhimas, keluarganya di kampung, dan rencana ke depan. Dhimas menjawab setiap pertanyaan dengan lancar, seakan ia sudah mempersiapkan semua jawaban itu sebelumnya.
Sesekali, Alisya memandanginya sambil tersenyum. Cara Dhimas berbicara begitu tenang, penuh percaya diri, membuatnya merasa aman.
Tapi di balik itu, ia juga melihat ayahnya beberapa kali saling pandang dengan ibunya. Tatapan yang ia kenal betul — tatapan bertukar pikiran tanpa kata.
Saat pembicaraan sedikit mereda, ibunya bertanya, “Orang tua kamu tahu kamu dekat sama Alisya?”
Dhimas tersenyum. “Tahu, Bu. Bahkan Mama saya sering tanya kapan bisa ketemu.”
“Oh, begitu…” jawab ibunya, suaranya datar.
Suasana sempat terasa hening beberapa detik, sampai Dhimas menoleh pada Alisya. “Kalau begitu, kapan saya boleh ajak Alisya ketemu keluarga saya, Bu, Pak?”
Pertanyaan itu membuat pipi Alisya memanas. Ia menunduk, pura-pura merapikan ujung blusnya.
Ayahnya mengangguk pelan. “Kita lihat nanti. Yang penting, kalian saling mengenal dulu dengan baik.”
Dhimas menerima jawaban itu dengan senyum. “Siap, Pak.”
Ayahnya mulai bercerita sedikit tentang masa kecil Alisya. “Anak ini dari dulu nggak pernah berani dekat sama laki-laki. Baru kali ini bawa teman pria ke rumah.”
Alisya mencubit pelan pahanya sendiri di bawah meja. “Ayah…” protesnya lirih.
Dhimas tersenyum, lalu menatap Alisya singkat. “Berarti saya orang yang beruntung, Pak.”
“Beruntung itu kalau bisa jaga dia baik-baik,” timpal ibunya. Nada suaranya datar, tapi cukup membuat Alisya menunduk.
Dhimas tidak kehilangan senyum. “InsyaAllah, Bu. Itu janji saya.”
Sambil menyeruput teh, Dhimas bercerita sedikit tentang pekerjaannya di kepolisian. Ia mengaku sedang menangani kasus kecil, mengawasi beberapa pos lalu lintas, dan kadang ikut patroli malam.
“Berat nggak kerjanya?” tanya ayahnya.
“Lumayan, Pak. Tapi saya menikmati. Saya suka pekerjaan ini. Saya percaya, melindungi orang adalah bagian dari ibadah.”
Jawaban itu terdengar mulia, membuat Alisya diam-diam kagum. Ia mencuri pandang, mencoba menyimpan momen itu di kepalanya.
Namun, ibunya masih tampak kaku. Ia hanya menanggapi secukupnya, bahkan beberapa kali mengalihkan pembicaraan ke hal lain.
“Kalau sudah menikah, kamu akan tinggal di mana?” tanya ibunya tiba-tiba.
Dhimas melirik Alisya sekilas sebelum menjawab. “Untuk sementara, saya masih kontrak rumah kecil dekat kantor. Kalau Alisya setuju, kita bisa tinggal di sana dulu. Nanti, kalau ada rezeki lebih, baru beli rumah sendiri.”
Jawaban itu terdengar realistis. Ayahnya mengangguk, tetapi ibunya menatap Alisya dengan sorot mata yang sulit dibaca.
“Kontrak rumah kecil itu… dekat jalan raya, ya?” tanya ibunya lagi.
“Iya, Bu.”
Hening sesaat. Lalu ibunya berkata, “Ya sudah, semoga nyaman saja di sana.”
Alisya bisa merasakan ada ketegangan yang tipis namun nyata di udara. Tapi sebelum suasana semakin canggung, Dhimas menoleh padanya dan berkata, “Sya, tadi kamu cerita mau belajar masak sayur asem. Besok-besok aku boleh icip, kan?”
Alisya tersenyum, sedikit lega. “Boleh. Tapi jangan protes kalau rasanya aneh.”
“Kalau kamu yang masak, walau hambar pun aku makan sampai habis.”
Ucapan itu membuat ayahnya tertawa kecil. “Manis sekali bicaranya, Nak.”
Mereka berbincang lagi beberapa menit, tapi topiknya ringan — seputar makanan favorit, hobi, dan pengalaman masa sekolah. Dhimas pandai mengatur ritme percakapan, tahu kapan harus serius dan kapan melontarkan candaan.
Ketika waktu magrib semakin dekat, Dhimas pamit. “Terima kasih banyak sudah menerima saya, Pak, Bu. Semoga kita bisa ketemu lagi dalam suasana yang lebih hangat.”
Di depan pagar, Alisya mengantarnya. Langit sudah mulai gelap, lampu jalan menyala.
“Kamu grogi nggak tadi?” tanya Alisya sambil tersenyum.
Dhimas mengangkat alis. “Sedikit. Tapi aku lebih grogi waktu nunggu kamu turun dari kamar.”
Alisya tertawa pelan. “Kenapa?”
“Soalnya… setiap kali lihat kamu, aku merasa mau bawa kamu ke hidup aku secepat mungkin.”
Kalimat itu membuat dada Alisya berdesir. Ia memandang Dhimas dengan tatapan yang tak bisa ia sembunyikan — tatapan orang yang mulai benar-benar jatuh hati.
“Pulangnya hati-hati, ya,” katanya.
Dhimas mengangguk, lalu mengenakan helm. “Besok aku kabarin. Jangan rindu berat, nanti kamu susah tidur.”
“Dasar…” Alisya menggeleng sambil tersenyum.
Motor Dhimas melaju pergi, meninggalkan suara knalpot yang perlahan memudar. Alisya berdiri di depan pagar beberapa detik lebih lama, menatap jalan yang mulai sepi.
Di dalam rumah, ibunya sudah memanggil. “Lis, tutup pagarnya. Malam-malam jangan kelamaan di luar.”
Alisya masuk, menutup pagar, lalu melepas napas panjang. Ia tak tahu kenapa, tapi hatinya terasa hangat — meski di benaknya, ia juga menyimpan sedikit rasa penasaran pada tatapan ibunya selama pertemuan tadi.
Malam itu, di kamar, ia tersenyum sendiri. Tidak ada yang ia pikirkan selain bagaimana rasanya jika suatu hari nanti Dhimas benar-benar menjadi bagian keluarganya.
Dan ia tidak sadar, bahwa langkah kecil yang ia ambil sore itu… sedang membawanya perlahan ke arah yang sama sekali tak ia duga.
POV DhimasSiang itu, setelah memastikan ibunya naik kereta dengan selamat, Dhimas tidak langsung menuju kantor. Ia menarik napas panjang, menyalakan motor, lalu tersenyum kecil. Hari ini akan jadi milikku dan Susi.Bukan rahasia lagi, sejak awal ia sudah tertarik pada anak dari sahabat mamanya itu. Bukan karena kebaikan hati atau sikapnya, tapi karena tubuh Susi yang montok, wajah manis yang selalu dihiasi make-up tipis, dan sikap manja yang sulit diabaikan.Begitu sampai di rumah, Dhimas langsung menjatuhkan tubuh ke sofa, lalu mengirim pesan singkat ke atasannya: Pak, izin nggak masuk. Lagi drop, kepala pusing banget.Tak lama, Susi keluar dari kamarnya, masih dengan kaus ketat berwarna biru muda dan celana pendek. Rambutnya diikat tinggi, membuat wajahnya semakin segar.“Mas Dhimas, kok udah pulang? Bukannya tadi bilang mau langsung ke kantor?” tanyanya sambil berjalan mendekat, suaranya terdengar lembut namun penuh nada manja.Dhimas menghela napas panjang, sengaja terdengar lema
Pov : DhimasPagi itu, aroma sayur asem dan gorengan hangat memenuhi ruang makan. Dhimas duduk dengan santai di kursi ujung meja, seragam polisinya sudah rapi, siap berangkat tugas setelah sarapan. Sementara ibunya duduk di samping kanan, wajahnya terlihat sedikit cemas namun tetap tegas. Susi, dengan gaun rumah berwarna pastel yang melekat manis pada tubuhnya, mondar-mandir membawa piring tambahan ke meja.“Mas Dhimas, tambah tempe goreng?” tanya Susi dengan suara lembut, senyum tipis tersungging di bibirnya.Dhimas melirik sekilas. “Boleh,” jawabnya singkat, namun pandangannya sempat menahan detik lebih lama pada wajah Susi. Ada sesuatu yang berbeda dari tatapan matanya pagi ini, lebih hidup, lebih berani.Ibunya berdeham, menarik perhatian. “Mas…,” panggilnya, lalu meletakkan sendok di atas piring. “Hari ini ibu harus pulang ke kampung dulu. Adikmu yang bungsu sakit. Ibu ng
Pagi itu, Alisya mengenakan blazer khaki dan kemeja putih rapi. Di ruang pertemuan kampus Jakarta, ia duduk bersama para staf yang menyambutnya dengan hangat. Berkas-berkas kerja sama ditumpuk rapi di meja. Meskipun dadanya sempat ciut, Alisya berusaha menampilkan wajah profesional.“Terima kasih sudah datang jauh-jauh ke sini, Bu Alisya,” ujar seorang dosen senior. “Kami percaya kerja sama ini akan berjalan lancar dengan bantuan Anda.”Alisya tersenyum sopan. “Sama-sama, Pak. Saya juga akan berusaha maksimal.”Pertemuan itu berlangsung lebih dari dua jam. Begitu selesai, Alisya menghela napas panjang. Ada rasa lega, tapi juga lelah. Saat menatap ponselnya, Alisya menghela nafas panjang. Sebuah pesan voice note dari Susi sejak malam belum ia play.Alisya mengumpulkan keberaniannya lagi, “Oke Alisya… jangan khawatir, paling Susi hanya nanya barang-barang yang dia butuhkan atau hal sepele lainnya… uhhh oke aku akan play sekarang.” Lirih Alisya kemudian menekan gambar play.“Aahh... mas,
Koper beroda kecil berderit mengikuti langkah Alisya begitu ia melangkah keluar dari gerbang stasiun Gambir. Lampu-lampu kota Jakarta menyilaukan matanya, lalu lintas padat membuatnya sejenak terdiam. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debar jantung yang masih belum reda sejak meninggalkan rumah tadi pagi.“Jakarta…” bisiknya, seakan meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia benar-benar ada di sini.Sebuah taksi berhenti di hadapannya. Sopir membuka kaca jendela. “Mau ke mana, Mbak?”“Hotel Bintang Utama, Pak,” jawab Alisya pelan sambil memasukkan kopernya ke bagasi.Sepanjang perjalanan, Alisya hanya diam. Matanya menatap keluar jendela, melihat gedung-gedung tinggi menjulang, papan reklame berkelap-kelip, dan orang-orang berjalan cepat di trotoar. Semuanya terasa asing, berbeda jauh dengan kota kecil tempat ia biasa tinggal.Pikirannya melayang ke rumah—ke Dhimas, ke ibu mertua, dan terutama ke pesan Susi yang masuk terakhir sebelum kereta berangkat. “Aku di sini bakal neme
Pagi itu rumah masih sunyi ketika Alisya menarik koper kecilnya keluar kamar. Jantungnya berdetak kencang, seakan setiap langkah menuju pintu membawa beban yang semakin berat. Tangannya menggenggam gagang koper erat-erat, sementara matanya melirik ke arah ruang tamu, tempat ibu mertua sudah duduk sejak subuh, dengan wajah masam dan tatapan yang sulit ditebak.“Sya, jadi kamu tetap berangkat ke Jakarta?” suara ibu mertua terdengar tajam.Alisya berhenti sejenak, lalu menoleh. “Iya, Bu. Saya harus berangkat hari ini, tiket sudah dibelikan pihak kampus.”Ibu mertua menghela napas panjang, seolah setiap hembusan adalah bentuk protes. “Hmmm… kalau istri orang lain, pasti mikir seribu kali sebelum ninggalin suaminya. Tapi kamu? Baru juga nikah, udah sibuk kerja ke luar kota.”Alisya menunduk, mencoba menahan gejolak di dadanya. “Saya sudah bicara dengan Mas Dhimas, Bu. Beliau sudah izinkan…”“Ya, kamu sudah bilang kemarin, tapi tetap saja Dhimas itu terlalu nurut sama kamu! Nanti kalau ada
Pagi itu udara kampus masih terasa sejuk. Langit biru terang membentang, dihiasi awan tipis yang bergerak pelan. Alisya melangkah masuk ke gedung administrasi dengan langkah mantap, meski dalam hati ada kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia baru saja mendapat izin dari Dhimas untuk pergi ke Jakarta, dan kini saatnya menyampaikan keputusan itu kepada rektor.Di depan ruang rektor, ia sempat berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sambil merapikan kerah bajunya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut, tapi karena kesadaran bahwa keberangkatan ini akan mengubah ritme hidupnya untuk sementara waktu.Ia mengetuk pintu. “Masuk,” suara berat rektor terdengar dari dalam.Alisya membuka pintu pelan. Rektor, pria paruh baya dengan kacamata bulat, menoleh sambil tersenyum kecil. “Silakan duduk, Alisya. Jadi bagaimana keputusanmu?”Alisya duduk, merapatkan tangannya di pangkuan. “Pak, saya sudah berbicara dengan suami saya. Beliau setuju k